Part 3 Ketiga Kembar
Lucius menutup berkas di hadapannya dengan kasar. Berkali-kali membacanya, tak ada satu pun yang berhasil masuk ke kepalanya. Otaknya benar-benar terasa buntu dan belum pernah ia menjadi tidak professional seperti ini.Tangannya menggusur rambut di kepalanya dengan penuh kegusaran dan mengusap wajahnya dalam helaan yang keras. Sejak kembali dari hotel, pikirannya benar-benar kacau dan tak bisa berkonsentrasi dengan benar. Perasaannya amburadul dan uring-uringan. Tak ada satu pun berkas yang bisa diselesaikannya sejak tadi pagi.Inilah dampak yang selalu diterimanya dengan kedatangan Calia di hidupnya. Tapi ia selalu tak punya alasan untuk menolak wanita itu. Dorongan tubuhnya untuk menghancurkan hidup Calia sama besarnya dengan keinginannya untuk memiliki wanita itu.Mengerang keras, ia melompat berdiri. Dan tepat ketika pintu ruangannya diketuk. “Masuk!” jawabnya dengan kasar meski sungguh ia tak butuh gangguan sialan ini.Pintu ruangannya terbuka dan sang adik, Lukas Cayson melangkah masuk. Dengan raut dinginnya. “Kau bertemu dengan Calia?”Wajah Lucius seketika mengeras, tatapannya menajam tepat ke kedua mata Lukas. “Kenapa itu jadi urusanmu?”“Kenapa dia datang padamu?”“Apakah ada alasan dia harus datang padamu?”Wajah Lukas mengeras, tak kalah geramnya dengan sang kakak. “Kau sengaja menyembunyikannya.”“Aku menyembunyikannya atau tidak, itu sama sekali bukan urusanmu, Lukas. Keluar!”Ketegangan membentang di antara keduanya, Lukas memilih berhenti dan keluar. Lucius mengerang keras dan mulai dikuasai kefrustrasian. Menyambar ponselnya di meja dan menghubungi Tom.“Apa yang kau dapatkan?”“…”“Di mana mereka?”Lucius mendengarkan. “Kirim ke emailku,” perintahnya mengakhiri pembicaraan dan menurunkan ponselnya. Kembali membanting tubuhnya di kursi kebesarannya. Tak lama ponselnya bergetar ringan dan ia membuka email baru yang dikirim oleh Tom. Semakin ia membaca ke bawah, seluruh tubuhnya semakin dibuat menegang.***Cayson’s Building, Calia menatap gedung tinggi dan megah di hadapannya. Setelah delapan tahun, ini adalah kedua kalinya ia menginjakkan kaki di gedung ini. Menghela napas, ia mengepalkan kedua tangannya. Menguatkan hatinya. Hanya Lucius satu-satunya harapan. Ia masih perlu melakukan usaha lainnya untuk meyakinkan pria itu. Tak peduli rasa malu dan harga dirinya yang sudah tercabik-cabik, ia tak mungkin tinggal diam dengan nyawa Zayn yang terancam melayang oleh penyakit tersebut.“Lucius Cayson?”“Apakah Anda sudah membuat janji temu dengan beliau?”Calia mengangguk, tak peduli jika harus berbohong. “Beliau menyuruh saya menemui di ruangannya. Permintaan pribadi.”Resepsionis tersebut tampak tak yakin ketika melihat penampilan Calia. Tapi kemudian Calia mengeluarkan kartu hitam yang diberikan Lucius kepadanya.“Seseorang sepertiku tak mungkin memiliki benda seperti ini jika bukan Beliau yang memberikannya padaku secara langsung, kan?” Calia mempertahankan keberaniannya dan memastikan kedua matanya menatap lebih tajam pada resepsionis tersebut. “Beliau tak suka jika harus dibuat menunggu. Kalian pasti tahu itu, kan?”Keraguan resepsionis tersebut segera lenyap, kemudian mengarahkan Calia area lift khusus direksi yang sudah Calia hafal letaknya. Meski penampilannya sederhana dan cukup menarik perhatian, tetap tak membuat terusik. Ia sudah terbiasa dipandang sebelah mata seperti itu. Dan semua tatapan itu tak akan membuatnya mundur demi keselamatan sang putra.“Tuan Cayson baru saja keluar,” beritahu salah satu sekretaris Lucius yang menyambutnya. Lebih ramah dibandingkan tiga sekretaris lain yang menatapnya dengan pandangan merendahkan.Calia tertegun, menatap dinding kaca yang memperlihatkan ruangan luas Lucius dan memang tidak ada tanda-tanda keberadaan pria itu. “Apakah beliau mengatakan kapan akan kembali?”“Beliau mengatakan tidak akan kembali.”Mata Calia terpejam, dengan helaan napas panjang yang rendah. Ia pun mengangguk dan berpamit pergi. Kembali masuk ke dalam lift. Sampai di lobi, pintu lift terbuka dan ia melangkah keluar ketika tiba-tiba suara familiar yang sudah begitu lama tak pernah didengarnya memanggil namanya.“Calia?”Langkah Calia terhenti, tubuhnya menegang merasakan keberadaan pria itu di belakangnya. Begitu ia merasakan satu langkah mendekat dari pria itu, Calia tak menunggu sedetik pun untuk melangkah lebih cepat.“Tunggu, Calia!”Calia semakin mempercepat langkahnya, berlari di antara orang-orang yang berlalu lalang, bahkan beberapa kali harus menabrak di antara mereka. Ia berhasil mencapai pintu keluar, berlari menuju jalanan dan mendapatkan taksi tepat ketika pria itu sampai di teras gedung.Jantung Calia berdegup kencang. Napasnya terengah dengan kedua tangan yang bergetar hebat di pangkuannya ketika pandangan pria itu mengarah ke taksi yang ditumpanginya. Calia segera menyuruh sopir taksi bergegas meninggalkan tempat ini.Cukup lama ia berhasil menenangkan degup jantungnya dan napasnya yang kembali normal. Ya, ia tahu kemungkinan ini akan terjadi saat memutuskan datang ke Cayson’s Building. Lukas Cayson, adik kandung Lucius yang menjadi mimpi terburuk di hidupnya. Hingga detik ini.Setengah jam kemudian, taksi berhenti di depan rumah sakit. Ponselnya berdering dan nama sang kakak muncul di layar.“Ya, Caleb?”“…”“Ya, aku baru saja sampai di rumah sakit. Ada sedikit urusan yang harus kuselesaikan. Ada apa?”“…”“Mereka bersamamu?”“…”“Ya, baiklah. Aku akan menunggu. Berapa lama kalian akan sampai?”“…”“Sepuluh menit?”“…”“Hmm, aku akan menemui mereka sebelum menemui dokter Reno.”“…”“Ya, sampai jumpa.”Calia memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas dan menyeberangi lorong rumah sakit yang lebih ramai saat jam makan siang seperti ini. Naik lift menuju lantai 7, ruang perawatan khusus anak-anak.Langkahnya terhenti melihat ruang perawatan Zayn yang setengah terbuka. Gegas ia menghampiri dan masuk ke dalam. Terkejut menemukan seseorang yang berdiri di samping ranjang pasien Zayn dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana.“L-lucius?” Perasaan Calia campur aduk menemukan pria itu ada di sini. Haruskah ia lega dengan keberadaan pria itu di sini?Lucius tak langsung menoleh. Amarah dan kecewa memenuhi dadanya. Menatap replika dirinya yang tengah berbaring lemah di hadapannya. Pada Calia dan lebih banyak pada dirinya sendiri.“Jadi dia memang anakku?” Kepala Lucius berputar dengan perlahan, menatap tajam pada Calia yang wajahnya sepucat mayat. Bibirnya menipis tajam, menahan luapan amarah yang sudah di ujung lidah. Siap diluapkan pada wanita di hadapannya. “Kita bicara di luar,” desisnya sambil melangkah keluar. Calia menyusul tak lama kemudian.Keduanya saling membisu, cukup lama keheningan membentang di antara keduanya.“Aku sudah memutuskan.” Lucius memecah kesenyapan tersebut. “Aku akan menyelamatkannya. Hanya dengan satu syarat.”Calia menunggu dengan napas tertahan. Syarat. Ia tahu syarat itu tak akan baik, tapi … rasanya ia pun tak punya pilihan.“Aku akan membawanya kembali.”Calia tersentak keras, “A-apa?”“Dengan atau tanpamu.”“A-aku … aku tak mungkin kembali ke hidupmu, Lucius.”“Kalau begitu, bersiaplah kehilangan dia.”Calia menggelengkan kepalanya.“Kau benar-benar wanita yang serakah, Calia. Berapa banyak lagi yang kau inginkan dariku, hah?”“Kau sudah membuang kami. Kau tak menginginkannya. Kau bahkan menolak kami tadi pagi.”“Kau tak memberiku pilihan. Kau tak pernah memberiku pilihan.”Calia seketika terdiam, menatap Lucius dengan penuh permohonan.Hening yang lama.“Mama?!” Suara polos yang memanggil dari arah belakang Lucius seketika membekukan seluruh tubuh Calia. Menghancurkan keheningan di antara mereka.Wajah Calia tak bisa lebih pucat lagi, ketika wajah Lucius yang menegang perlahan berputar ke belakang.Seolah belum cukup kejutan yang diberikan Calia di hidup Lucius dengan keberadaan anaknya yang bernama Zayn. Sekarang Lucius dibuat tercengang dengan keras, melihat bocah perempuan dan laki-laki yang mengenakan seragam sekolah sedang berlari ke arah Calia. Menghambur dalam pelukan wanita itu. Dan di belakang kedua bocah itu, berjalan sesosok pria yang terkejut dengan keberadaannya. Dan hanya sepersekian detik keterkejutan tersebut berubah menjadi kemarahan dan kebencian yang berkobar di kedua mata Caleb.Lucius mengabaikan pria itu, kembali pada dua sosok mungil yang berhasil mengalihkan seluruh perhatiannya. Kedua matanya mengamati dengan seksama dua bocah yang berada dalam pelukan Calia, yang kini menatap ke arahnya. Tak butuh lebih lama baginya untuk mengamati kedua bocah itu adalah saudara kembar identik Zayn.“Berapa banyak lagi yang kau sembunyikan dariku, Calia?” desis Lucius tajam mengunci tatapan Calia yang gelagapan.Part 4 Jatah Ketiga Kembar"Apa yang kau lakukan di sini, Lucius?" desis Caleb begitu berhenti di samping Lucius yang masih mengamati kedua keponakannya dengan seksama.Lucius memutar kepalanya, pandangannya turun pada dua kepalan tangan Caleb yang siap melayang ke arahnya. Jelas pria itu bisa mengendalikan amarahnya meski cukup sulit. Yang Lucius duga karena si kembar dalam pelukan Calia.'Merindukan putraku?" Salah satu alis Lucius terangkat dengan cemooh yang begitu jelas. "Ah, anak-anakku."Wajah Caleb lebih merah padam lagi. "Jangan konyol kau. Kau sudah membuang mereka. Dengan cara yang buruk. Ingat?" desisnya lirih agar tak sampai terdengar oleh kedua keponakannya."Mama?" Salah satu dari si kembar yang perempuan menarik-narik tangan Calia. "Siapa om ini?" tanyanya dengan polos.Calia menggigit bibir bagian dalamnya. Menatap sang kakak untuk meminta bantuan."Om?" Lucius jelas tak akan melewatkan kesempatan tersebut untuk memperkenalkan diri. "Kalian bisa memanggilku papa."Ked
Part 5 Masih Istri Sah“Mama.” Suara ceria Zsazsa menyambut kedatangan Calia. Dengan kedua lengannya putrinya tersebut memeluk pinggangnya. Lalu wajah mungil terdongak dan dengan tatapannya yang polos, anak itu bertanya, “Kapan papa datang lagi?”Pertanyaan tersebut membuat hati Calia mencelos. Menatap wajah polos sang putrid an merangkumnya. Ada harapan yang rasanya sulit untuk dihancurkannya dalam tatapan polos tersebut, tapi … bagaimana mungkin ia mengharapkan kedatangan Lucius. Tanpa sepatah kata pun yang mampu keluar dari bibirnya, Calia membawa Zsazsa ke dalam pelukannya. “Zsazsa ingin bertemu papa?” bisiknya dengan gumpalan keras yang mengganjal di tenggorokan.Zsazsa mengangguk dengan penuh keantusiasan yang polos. “Akhirnya Zsazsa punya papa seperti teman-teman. Bolehkah Zsazsa memamerkannya pada teman-teman sekolah Zsazsa? Sekaranh Zsazsa tak hanya punya om, tapi juga papa. Rara tidak punya om.”Senyum getir melengkung di kedua ujung bibir Calia. Untuk pertama kalinya kehila
Part 6 Kembali Vania tercengang dengan keras, menggelengkan kepalanya tak percaya. “T-tidak mungkin,” ucapnya dengan suara tercekik.Sementara kedua tatapan Lucius jelas tak main-main. Keseriusan menegaskan ekpresinya wajahnya yang tegang. Kemarahan dan kekecewaaan terhadap dirinya dan mamanya bercampur aduk jadi satu. Ya, ia tak pernah menceraikan Calia. Karena itu adalah hukuman untuk wanita itu. Setelah semuanya, ia tak mungkin membiarkan wanita itu bebas dan berbahagia dengan siapa pun di luar sana. Itulah alasannya tak pernah menceraikan wanita itu. Agar wanita itu tak pernah menjadi miliki pria lain. Terutama adiknya sendiri.“Mama tahu aku tak pernah bercanda,” ucap Lucius dengan bibir yang menipis tajam. “Terutama untuk hal seserius ini.”Vania tak perlu mempertanyakan keseriusan sang putra sulung. Ketegasan di mata Lucius adalah kebenaran yang tak bisa disangkal.“Aku akan membawanya kembali ke rumah ini. Ke tempat seharusnya dia berada.”Dengan mulut yang membulat penuh ket
Part 7 Sang MertuaCalia menggeleng pelan. “Aku tak tahu, Caleb. Setidaknya aku sudah mengusahakan yang terbaik untuk Zayn. Aku tak akan menyesali semuanya.”Caleb tak mengatakan apa pun lagi. Setidaknya jika hasil tes Lucius tidak cocok, masih ada keluarga utama Lucius yang berkemungkinan cocok. Ia begitu membenci Lucius dan keluarga pria itu, tapi ia tak bisa menyangkal darah yang mengalir di nadi ketiga keponakannya adalah darah yang sama dengan mereka semua.Lama keduanya tenggelam dalam keheningan.“Apakah semua ini akan sepadan?” tanya Caleb memecah keheningan tersebut.“Hubungan darah memang tidak bisa berbohong, Caleb. Zsazsa dan Zaiden menyukainya.”Caleb mendengus. Tak akan menyangkal bagaimana keantusiasan kedua keponakannya dengan kemunculan Lucius. “Dasar pengkhianat kecil.”Calia tertawa kecil. Sedikit mencairkan suasana di antara mereka.*** Calia beranjak keluar dari ruang perawatan Zayn, hendak menghubungi Caleb untuk membawakannya beberapa barangnya nanti sore. Ia m
Part 8 Baru DimulaiCalia tak mengatakan apa pun untuk menyangkal tuduhan tersebut. Ia membuang wajahnya ketika tatapannya sempat bertemu dengan Lucius."Kita bicara di luar, Ma." Lucius memegang lengan sang mama, berbicara dengan nada setenang mungkin."Apa?" Mata Vania mendelik tak percaya. "Kau tak mendengar dengan baik apa yang mama katakan, Lucius." Tangannya menunjukan ke arah Vania. "Dia berusaha mendorong mama ...."Lucius mendesah kasar. "Aku melihat semuanya, Ma. Dan aku bukan anak kecil untuk menelaah apa yang terjadi tepat di depan mataku."Mulut Vania menganga, kehilangan kata-kata tertangkap basah telah berbohong. Tak mau dipermalukan di hadapan Calia, ia bersikeras membela diri. Menunjukkan pergelangan tangannya. "Dia mencengkeram tangan ...""Kita pergi."Vanie menggeleng, kali ini tak ada lagi sandiwara yang mendramatisir, tetapi emosi yang sesungguhnya terhadap Calia. Kebencian dan kemarahan. "Aku tak akan menerinya kembali ke rumah kita. Tak akan pernah, Lucius."Ra
Part 9 Tak Pernah Punya Pilihan'Hentikan, Lukas.' Calia memiringkan wajahnya ke samping, membuat bibir Lukas mendarat di pipinya. Dan menyadari penolakan Calia, kedua mata pria itu terpejam. Masih dengan wajah yang saling menempel.'Kenapa? Kau sudah tak mencintaiku?''Ini tidak benar.''Tidak pernah ada yang benar dengan cinta kita, Calia. Lucius yang merebutmu dariku.'Mata Calia mengerjap ketika kenangan tersebut muncul di benaknya. Calia terdiam. Pengkhianatan tersebut tak sepenuhnya ada, tapi juga tak benar-benar menjadi sebuah pengkhianatan.Ia menatap keseriusan di wajah Lucius yang menunggu jawabannya. Ya. Sejak ia kembali ke hidup Lucius, ia memang tak pernah punya pilihan bukan. Menghadapi kebencian Vania Cayson bukanlah apa-apa dibandingkan dengan kehilangan ketiga buah hatinya di saat yang bersamaan, kan?Kepala Calia mengangguk pelan, menciptakan senyum kemenangan di bibir Lucius. Kemudian pria itu menangkap pinggangnya dan menyambar satu ciuman di bibirnya.*** Hanya b
Part 10 KembaliSetengah jam kemudian, Lucius mengambil koper di tangan Calia yang baru saja keluar dari pintu kamar. Kemudian melangkah keluar dari apartemen lebih dulu. Menunggu sejenak ketika Calia mengunci pintu."Melihat tempat ini, kenapa aku masih terkejut Zsazsa dan Zaiden bisa tumbuh dengan ceria." Ada ejekan dalam suara Lucius ketika keduanya melangkah lift yang tak berada jauh dari unit Calia."Tidak semua kebahagiaan bisa dibeli dengan uang, Lucius." Ada sindiran yang terselip dalam nada suara Calia.Lucius mendengus. Pintu lift terbuka dan Lucius mempersilahkan Calia masuk lebih dulu sebelum berdiri di samping wanita itu. Begitu pintu lift tertutup, wajahnya menoleh ke samping dengan seringai di ujung bibir. "Benarkah?"Calia terdiam."Ya, tidak semua kebahagiaan bisa dibeli dengan uang. Tapi … butuh uang lebih banyak untuk kebahagiaan yang lebih besar, kan?" Lucius memberi jeda sejenak. "Juga untuk menyelesaikan semua tumpukan masalah. Itu alasanmu datang padaku, kan?"M
Part 11 Kenyataan LainnyaNapas Calia tercekat, matanya melebar menyadari keseriusan dalam pertanyaan Lucius.Dokter Arfin terdiam sejenak. "Apakah Anda pernah mendonorkan ginjal Anda pada pasien lain?"Lucius terdiam."Kenapa kau bertanya tentang ini, Lucius?" Calia mengajukan pertanyaan lain meski sang dokter belum mendapatkan jawaban dari Lucius. Kecurigaan yang mendadak muncul di hatinya semakin meruncing tajam. Membawa kilasan-kilasan masalalu mereka berdua terhampar di hadapannya.Lucius masih bergeming. Bahkan pria itu sama sekali tak menoleh ke arahnya.Calia memegang pundak Lucius, berusaha mendapatkan perhatian pria itu yang masih membeku oleh kepucatan. "Jangan bilang kalau kau yang mendonorkan ginjalmu untukku?" Suara Calia diselimuti emosi yang campur aduk. Matanya membelalak penuh ketidak percayaan dengan kedua mata yang mulai digenangi kaca."Jangan bilang kau yang menyelamatkanku 10 tahun yang lalu, Lucius!" Kali ini Calia melompat berdiri. Kesulitan mengendalikan
Jangan lupa dibaca, ya. Baru muncul di web goodnovel. yang belum nemu bisa tunggu besokPelayang Sang Tuan ***Davina menyingkirkan selimut yang menutupi ketelanjangannya. Sesuatu bergejolak di perutnya, membuatnya melompat turun sambil menyambar kain apa pun yang ada di lantai. Menggunakannya untuk menutupi tubuhnya dalam perjalanan ke kamar mandi.Suara pintu yang dibanting terbuka membangunkan Dirga dari tidurnya yang lelap. Kepalanya pusing karena dibangunkan dengan tiba-tiba. Tetapi ia tetap memaksa bangun terduduk dan menatap pintu kamar mandi yang terjemblak terbuka. Mendengar suara muntahan yang begitu hebat.Dirga mengambil celana karetnya yang ada di ujung tempat tidur, mengenakannya sebelum beranjak menujuk kamar mandi. Ia berhenti di ambang pintu, menyandarkan pundaknya di pinggiran pintu dengan kedua tangan bersilang dada. Mengamati Davina yang berjongkok di depan lubang toilet. Mengusap sisa muntahan dengan punggung tangan.“Kau membangunkanku.” Suara Dirga datar dan tan
“Jadi dia keponakanmu?” Lucius bertanya dari balik bibir gelasnya. Menatap Luca yang duduk di seberang, tak berhenti mengarahkan pandangan ke arah kolam renang. Pada Zsazsa dan Ken yang bermain-main di tepi kolam. Suara canda tawa keduanya terdengar nyaring. Begitu merdu di kedua pasang telinga pria itu.Luca memutar kepala, menatap sang mertua dengan alis yang melengkung ke bawah. “Apakah itu membuat perbedaan?”Lucius meletakkan gelasnya yang sudah berkurang setengah. Kembali bersandar dengan kedua kaki bersilang. “Sejak awal kau mengincar putriku.”Luca tersenyum. Tak ada penyangkalan dalam tatapannya yang mengarah lurus pada sang mertua. “Dan kau menggunakan cara licik untuk mendapatkannya.”“Anda pernah muda, tuan Cayson. Jika dihadapkan dengan godaan yang begitu besar seperti putri Anda, saya yakin Anda pun akan mengabaikan akal sehat dan akan melakukan cara apa pun untuk memilikinya.”Lucius mendengus mengejek.Senyum Luca melengkung lebih tinggi, kepalanya berputar kembali ke
“Kabar buruknya, dia ehm … “ Zale memasang raut sedih yang begitu dalam di kedua mata. Duduk di samping Zesil lalu menggenggam tangan sang adik. “Papa sudah menemukan di mana makamnya.”“M-makam?” lirih Zesil dalam keterkejutan. Setengah jiwanya terasa ditarik paksa dari dalam dadanya. Rasa kehilangan yang lebih besar ketimbang kedua orang tua angkatnya mengatakan bahwa dia telah diadopsi 19 tahun yang lalu. Air mata mulai menggenangi kedua matanya. Meleleh di sudut mata ketika Zale merangkul pundaknya, membawa tubuhnya ke dalam pelukan pria itu.Sudut bibir Zaiden mengeras, merasa disisihkan melihat kedua adiknya yang saling berpelukan. Saling berbagi kesedihan. Kecemburuan merayapi dadanya, dan beruntung setidaknya ia masih memiliki nurani juga sedikit pikiran waras bahwa memang hanya Zale yang dibutuhkan Zesil di situasi ini.“Dan kabar baiknya, dia tidak membuangmu. Selama bertahun-tahun ini, dia juga mencarimu. Detailnya, papa akan memberitahumu,” tambah Zale. Berharap sedikit in
“Kau pikir aku tak tahu? Kau menghindarinya bukan karena butuh waktu yang tak perlu dibutuhkan untuk memberitahu pernikahan kita. Tapi karena kau tahu dia menyukaimu. Dan kau merasa sungkan padaku?” Zayn memungkasi kalimatnya dengan ejekan yang begitu kental.Cailey mengedipkan matanya dua kali, terpaku menatap wajah Zayn yang mulai diselimuti kegelapan.“Jangan menguji kesabaranku lebih dari ini, Cailey. Kau tahu aku sudah cukup sabar menghadapimu sejak kemarin siang. Simpan kecemburuanmu untuk dirimu sendiri. Kau tahu aku yang lebih berhak melakukan semua sikap kekanakan ini.”“Jangan menatapku seperti itu, Zayn,” desis Cailey tak kalah dinginnya. Berusaha menggeliatkan tubuhnya tetapi Zayn malah menekannya ke dalam kasur. Sama sekali tak memberinya kesempatan untuk membebaskan diri. “Aku tidak berbohong,” tandasnya penuh penekanan. “Dan bukan aku yang menciumnya, Jaren yang tiba-tiba melakukannya.”“Kau pikir aku yang mencium Adira?”Cailey terdiam.“Jangan jadikan itu alasan untuk
Butuh beberapa detik bagi Zesil untuk menelaah kalimat Roland. Setelah ia melahirkan, apakah Roland masih akan menerima dirinya? Harapan yang tak pernah ia bayangkan akan diucapkan oleh Roland. Akan tetapi, harapan itu seketika raib. Detik itu juga. Mata Zesil melebar, pandangannya melewati pundak Rolanda dan melihat Zaiden berdiri di depan pintu. Tatapan pria itu menyipit tajam, dengan kedua rahang yang mengeras, mengarah pada tangannya yang berada dalam genggaman Roland.Zesil pun melepaskan pegangannya dari kedua tangan Roland. Lalu menggeleng pelan. “Maafkan aku, Roland. Aku tidak bisa,” lirihnya. Memaksa melepaskan harapan yang sempat singgah. Kekecewaan kembali merebak di wajah Roland. Menatap tak percaya pada Zesil. “Kenapa?”Zesil menggeleng. “Aku tidak ingin bercerai dengan kak Zaiden dan meninggalkan anak ini demi kebahagiaan, yang mungkin tak akan sempurna tanpanya, Roland. Bagaimana pun dia anakku.” Kalimat terakhir Zesil terdengar seperti sebuah kebohongan. Ia bahkan ma
Wajah Zsazsa tak bisa lebih pucat lagi. “A-aapa?”“Aku yang meminta tuan Janson membatalkan kontrakmu. Dan aku juga sudah membayar semua ….”“K-kau?” Sekali lagi Zsazsa butuh afirmasi. Masih tak cukup percaya bahwa Lucalah pelakunya. “Tega sekali kau melakukannya, Luca? Kupikir aku sudah menegaskan padamu bahwa pernikahan kita tak berhak membuatmu ikut campur pekerjaanku.”“Cepat atau lambat kerjasama itu memang harus dibatalkan, Zsazsa. Kandunganmu …”“Itu bukan urusanmu!” teriak Zsazsa tepat di depan wajah Luca.“Anak itu anakku,” desis Luca tajam.“Dan itu tak membuatmu berhak merampas hidupku! Menghancurkan hidupku sesuka hatimu!”Luca terdiam. Kemarahan yang menguasai Zsazsa lebih besar dari yang ia perkirakan. “Aku juga akan membatalkan kerjasama perusahaanku denganmu.”“Ya, lakukan saja! Aku tak peduli!” Zsazsa menyambar ponsel di tangan Luca dan berbalik keluar menuju pintu utama.“Kau baik-baik saja?” Joanna mendekat, menyentuh lengan Luca dengan hati-hati.Mata Luca terpejam
Zaiden melangkah ke depan Lauren. “Kau benar-benar membuatku muak, Lauren. Sekali lagi jika kau menyentuh seujung rambut istriku, kupastikan kau akan menyesal telah muncul di hidupku.”Lauren terhuyung ke belakang. Keterkejutannya seketika berubah menjadi ketakutan yang begitu pekat merambati dadanya. Tatapan Zaiden begitu mengerikan, hingga membuat bulu kuduknya meremang.Zaiden berbalik, berhadap-hadapan dengan Roland yang tak kalah pucatnya dengan Lauren. “Bisakah aku mendapatkan istriku kembali?”“I-istri?” Suara Roland nyaris tertelan suara mesin mobil yang melintasi jalan.“Ya, sesuatu terjadi dan membuat kami harus berakhir sebagai suami istri. Juga hubunganmu dengannya yang harus diakhiri sesegera mungkin.”Roland menggeleng. Kepalanya berputar menatap Zesil yang tak mengatakan apa pun di sampingnya. “A-apakah itu benar, Zesil?”Zaiden mendengus tipis. Meraih tangan Zesil, menunjukkan kedua cincin yang melingkari jari manis mereka. “Apakah ini sudah cukup menjawab pertanyaanmu
Zesil memindahkan tubuhnya dari pangkuan sang kakak dan duduk di sofa. Lekas memperbaiki pakaiannya begitu napas keduanya sudah kembali normal. Dengan wajah yang merah padam, panas sekaligus terasa lembab di seluruh tubuh, kepalanya tertunduk dalam oleh rasa malu. Memasang kembali pengait branya dan menarik tertutup resleting di punggung. Dengan pikiran yang kacau akan apa yang baru saja keduanya lakukan di sofa ini.Zaiden terkekeh, tangannya terjulur ke wajah Zesil. Menyentuh ujung dagu gadis itu dan membawa perhatian Zesil kepadanya. “Aku tak pernah mengira seks di ruang kerja akan terasa sememuaskan ini.”Rasanya wajah Zesil tak bisa lebih merah padam lagi.“Lain kali aku akan memanggilmu untuk makan siang bersama.”Tentu saja Zesil itu tak hanya akan menjadi sekedar makan siang. “Zesil ingin ke kamar mandi,” lirihnya. Melepaskan wajahnya dari tangan Zaiden dan beranjak menuju pintu yang ada di sudut ruangan. Nyaris tersamar dengan dinding yang dilapisi kayu, tapi ia tahu kamar ma
Satu jam kemudian, pesan yang masuk ke ponsel Luca membuat keduanya harus lekas turun dari tempat tidur. “Ken mencariku,” gumam Luca menatap Zsazsa yang sedang mengenakan pakaiannya kembali dengan posisi memunggunginya.“Ya, pergilah.”“Kita pergi bersama.”Zsazsa yang baru saja memasukkan lengan bajunya langsung menoleh. “Kita? Kenapa?”Luca beranjak berdiri, mengenakan celananya. “Karena kau istriku dan Ken anakku, Zsazsa. Apakah kau tidak ingin berusaha mendekatinya?”Zsazsa kembali membelakangi Luca. “Di sana sudah ada ibunya, Luca. Aku sama sekali tidak …”Luca berjalan memutari ranjang, berhenti tepat di depan sang istri. membawa pandangan Zsazsa ke arahnya. “Aku tidak memintamu berada di sana sebagai ibunya. Kau tahu posisi Joanna tak akan pernah terganti oleh siapa pun di hati Ken, Zsazsa. Tapi aku ingin kau berada di sana sebagai istriku.”Zsazsa menelan kembali bantahan yang sudah nyaris terlepas. Sungguh, ia tak suka setiap kali berinteraksi dengan Joanna meski cukup denga