Part 4 Jatah Ketiga Kembar
"Apa yang kau lakukan di sini, Lucius?" desis Caleb begitu berhenti di samping Lucius yang masih mengamati kedua keponakannya dengan seksama.Lucius memutar kepalanya, pandangannya turun pada dua kepalan tangan Caleb yang siap melayang ke arahnya. Jelas pria itu bisa mengendalikan amarahnya meski cukup sulit. Yang Lucius duga karena si kembar dalam pelukan Calia.'Merindukan putraku?" Salah satu alis Lucius terangkat dengan cemooh yang begitu jelas. "Ah, anak-anakku."Wajah Caleb lebih merah padam lagi. "Jangan konyol kau. Kau sudah membuang mereka. Dengan cara yang buruk. Ingat?" desisnya lirih agar tak sampai terdengar oleh kedua keponakannya."Mama?" Salah satu dari si kembar yang perempuan menarik-narik tangan Calia. "Siapa om ini?" tanyanya dengan polos.Calia menggigit bibir bagian dalamnya. Menatap sang kakak untuk meminta bantuan."Om?" Lucius jelas tak akan melewatkan kesempatan tersebut untuk memperkenalkan diri. "Kalian bisa memanggilku papa."Kedua mata Calia dan Caleb melebar."Apa yang kau lakukan, Lucius?" delik Caleb masih mempertahankan suaranya serendah mungkin di hadapan kedua keponakannya.Lucius tak menggubris peringatan Caleb. Kembali menatap kedua anaknya dan bahkan melangkah maju dengan peringatan yang jelas ditujukan untuk Calia."Papa?" Kedua bocah kembar tersebut mengulang kata tersebut dengan begitu asing meski kedua pasang mata mereka berbinar ceria.Lucius berjongkok di hadapan mereka. Menatap kedua replika dirinya dengan tatapan haru. "Ya, ini papa, sayang. Kemarilah." Kedua lengan Lucius terbuka ke arah keduanya."Jadi benar kalau kami memang punya papa?" tanya yang perempuan pada Lucius. Sedangkan yang laki-laki menatap Calia penuh dan bertanya, "Mama, apa yang dikatakan om ini benar?"Calia menatap putranya, tetapi jawaban itu tak pernah lepas dari bibirnya. Kembali menatap Caleb tapi sang kakak menggeleng. Calia tak punya pilihan"Wajahmu mirip dengannya, Zaiden. Juga Zayn," celetuk yang perempuan lagi. Mengamati Lucius dan wajah saudaranya. "Ah, matanya sama dengan Zayn."Mata Caleb terpejam, mengusap wajahnya dengan gusar. Begitu pun dengan Calia yang masih berusaha merapatkan kedua tubuh mungil anaknya pada dirinya. Perdebatan mirip siapa memang seringkali terjadi di antara dirinya dan ketiga kembar. Dan mereka semua serempak menolak setiap kali Caleb menjawab ketiganya mirip dengannya dan Calia. Kecuali mata Zaiden dan Zsazsa yang sama dengan sang adik.Zaiden tampak meragu, mengamati wajah Lucius dengan seksama. "Lalu kenapa papa tak pernah datang pada kami?" tanya bocah itu pada Lucius. "Ke mana saja papa selama ini?"Lucius menyeringai. "Mama kalian akan menjelaskannya. Benar, kan?" tatapan Lucius beralih pada Calia. Begitu pun kedua kembar. "Dan sebelumnya, kemarilah. Papa ingin memeluk kalian berdua."Kedua bocah itu menatap Lucius dan Calia bergantian, lebih lama pada Calia. Begitu Calia memberikan satu anggukan dan melonggarkan pelukannya, kedua bocah itu menghambur ke arah Lucius. Membiarkan pria itu mencium wajah keduanya bergantian dengan penuh kerinduan.Caleb dan Calia saling pandang, sang adik jelas di bawah tekanan. Kemudian pria itu menarik tangan Calia dan membawanya menjauh untuk bicara."Jadi kau menemuinya?" tandas Caleb pada Calia yang duduk dengan kepala tertunduk di kursi panjang. "Tadi pagi aku ke lantai tiga untuk memeriksa semua biaya administrasi dan hendak mencicilnya. Tapi rupanya semua tagihannya sudah dilunasi. Bahkan kau sudah berkonsultasi dengan dokter Reno tentanh operasi Zayn. Jangan bilang semua itu kau lunasi dengan uang darinya, Calia?"Calia tak mengatakan apa pun. Bahkan wanita itu tak berani mengangkat wajah untuk bertatapan dengan sang kakak."Kau masih ingat apa yang dilakukannya padamu, kan?""Tapi hanya dia satu-satunya harapan yang Zayn miliki, Caleb. Bagaimana mungkin aku masih bersikap egois dengan perasaanku?" Calia menoleh ke samping. Seketika tertampak dengan kenyataan. Ikatan batin antara anak dan ayah yang tak pernah berbohong ketika melihat kedua kembarnya yang tertawa riang bersama Lucius.Caleb mengikuti arah pandangan Calia, ikut kehilangan kata-kata. Lucius memang pernah menjadi suami yang berengsek, tapi ketiga keponakannya memang tak berhenti merindukan pria itu. Satu-satunya hal yang paling ia sesalkan di dunia ini.***‘Seberapa yakin kau kalau anak itu adalah darah dagingku?’Calia tak menjawab, rautnya dipenuhi keraguan.‘Lihat. Bahkan kau juga meragukan dirimu sendiri.’Calia masih bergeming, wajahnya tertunduk dan kedua lengannya memeluk perutnya yang masih rata.‘Siang ini sopir akan membawamu ke rumah sakit. Aku akan langsung ke sana, keputusanku sudah bulat untuk menyingkirkan apa yang ada di perutmu.’Calia tentu saja masih mengingat kata-kata tanpa hati yang diucapkan Lucius kala itu.“Kau tak menjawab pertanyaanku, Calia,” ucap Lucius lagi. “Kenapa kau menyembunyikan mereka selama ini?”“Kau meragukanku, Lucius. Bahkan hingga detik ini. Kenapa sekarang kau tiba-tiba menerima mereka sebagai anakmu?”“Bukan hanya aku.”Calia terdiam. Ya, saat itu ia ragu anak dalam kandungannya adalah milik Lucius. Tetapi begitu ketiganya lahir, keraguan itu segera sirna. Ketiga kembarnya sepenuhnya replika Lucius.“Sejak kapan kau mengetahuinya? Setelah sekian lama dan kau datang padaku kemarin? Untuk meminta sumsum tulang belakangku?” sengit Lucius. “Apakah kalau keadaan Zayn tidak segenting ini, kau tak akan pernah datang padaku dan menyembunyikan rahasia besar ini seumur hidupku?”Calia terdiam. “Hubungan kita sudah berakhir, Lucius.”“Kau yakin benar-benar sudah berakhir?”Calia kembali dibuat terbungkam. Sekali lagi menangkap cincin yang terselip di jari manis Lucius.Lucius mendesah dengan gusar. Hening sejenak. “Aku akan membawa mereka.”Mata Calia seketika melebar.“Lihatlah apa yang kau lakukan pada mereka? Kupikir uang yang kuberikan padamu selama ini lebih dari cukup untuk membayar semua biaya Zayn dan kalian hidup layak. Tapi lihatlah, pakaian saja kau tak becus membelikan untuk mereka. Apakah bahkan mereka makan dengan layak juga?”Calia menatap Lucius tak mengerti. “Apa yang kau katakan, Lucius?”“Ke mana uang yang kukirimkan padamu setiap bulannya, hah?”Calia semakin tak memahami apa yang dikatakan oleh Lucius. Uang? Setiap bulan. “Aku tak membawa apa pun ketika meninggalkan rumahmu, Lucius. Bahkan sepeser pun. Harga diriku dan kepercayaanku sudah kalian hancurkan, kau pikir aku juga akan merendahkan diriku sendiri dengan mengambil uang pemberianmu?”Eskpresi Lucius seketika memucat, matanya mengerjap dan ia tahu Calia mengatakan kejujuran. Jadi ke mana jatah uang yang ia kirimkan pada Calia? Setiap bulan dan tak pernah terlambat karena sudah masuk dalam daftar transfer otomatis. Seketika satu-satunya orang yang melintas di pikirannya adalah sang mama. Matanya terpejam, mengumpat dirinya sendiri.“Kita bahas itu nanti. Sekarang, aku akan mengurus kepindahan Zayn. Ke rumah sakit yang lebih besar dan akan ditangani oleh dokter yang lebih ahli. Aku juga akan memeriksakan diri untuk memastikan sumsum tulangku cocok atau tidak dengannya, juga tes DNA. Hanya dengan satu syarat.” Lucius menekan kalimat terakhirnya dengan tegas. “Kau tahu itu apa.”Napas Calia seketika tertahan. Ya, tentu saja ia tahu. Satu syarat yang akan menjadi mimpi terburuknya.“Aku akan membawa mereka, dengan atau tanpamu. Sebagai ganti nyawa Zayn.”Part 5 Masih Istri Sah“Mama.” Suara ceria Zsazsa menyambut kedatangan Calia. Dengan kedua lengannya putrinya tersebut memeluk pinggangnya. Lalu wajah mungil terdongak dan dengan tatapannya yang polos, anak itu bertanya, “Kapan papa datang lagi?”Pertanyaan tersebut membuat hati Calia mencelos. Menatap wajah polos sang putrid an merangkumnya. Ada harapan yang rasanya sulit untuk dihancurkannya dalam tatapan polos tersebut, tapi … bagaimana mungkin ia mengharapkan kedatangan Lucius. Tanpa sepatah kata pun yang mampu keluar dari bibirnya, Calia membawa Zsazsa ke dalam pelukannya. “Zsazsa ingin bertemu papa?” bisiknya dengan gumpalan keras yang mengganjal di tenggorokan.Zsazsa mengangguk dengan penuh keantusiasan yang polos. “Akhirnya Zsazsa punya papa seperti teman-teman. Bolehkah Zsazsa memamerkannya pada teman-teman sekolah Zsazsa? Sekaranh Zsazsa tak hanya punya om, tapi juga papa. Rara tidak punya om.”Senyum getir melengkung di kedua ujung bibir Calia. Untuk pertama kalinya kehila
Part 6 Kembali Vania tercengang dengan keras, menggelengkan kepalanya tak percaya. “T-tidak mungkin,” ucapnya dengan suara tercekik.Sementara kedua tatapan Lucius jelas tak main-main. Keseriusan menegaskan ekpresinya wajahnya yang tegang. Kemarahan dan kekecewaaan terhadap dirinya dan mamanya bercampur aduk jadi satu. Ya, ia tak pernah menceraikan Calia. Karena itu adalah hukuman untuk wanita itu. Setelah semuanya, ia tak mungkin membiarkan wanita itu bebas dan berbahagia dengan siapa pun di luar sana. Itulah alasannya tak pernah menceraikan wanita itu. Agar wanita itu tak pernah menjadi miliki pria lain. Terutama adiknya sendiri.“Mama tahu aku tak pernah bercanda,” ucap Lucius dengan bibir yang menipis tajam. “Terutama untuk hal seserius ini.”Vania tak perlu mempertanyakan keseriusan sang putra sulung. Ketegasan di mata Lucius adalah kebenaran yang tak bisa disangkal.“Aku akan membawanya kembali ke rumah ini. Ke tempat seharusnya dia berada.”Dengan mulut yang membulat penuh ket
Part 7 Sang MertuaCalia menggeleng pelan. “Aku tak tahu, Caleb. Setidaknya aku sudah mengusahakan yang terbaik untuk Zayn. Aku tak akan menyesali semuanya.”Caleb tak mengatakan apa pun lagi. Setidaknya jika hasil tes Lucius tidak cocok, masih ada keluarga utama Lucius yang berkemungkinan cocok. Ia begitu membenci Lucius dan keluarga pria itu, tapi ia tak bisa menyangkal darah yang mengalir di nadi ketiga keponakannya adalah darah yang sama dengan mereka semua.Lama keduanya tenggelam dalam keheningan.“Apakah semua ini akan sepadan?” tanya Caleb memecah keheningan tersebut.“Hubungan darah memang tidak bisa berbohong, Caleb. Zsazsa dan Zaiden menyukainya.”Caleb mendengus. Tak akan menyangkal bagaimana keantusiasan kedua keponakannya dengan kemunculan Lucius. “Dasar pengkhianat kecil.”Calia tertawa kecil. Sedikit mencairkan suasana di antara mereka.*** Calia beranjak keluar dari ruang perawatan Zayn, hendak menghubungi Caleb untuk membawakannya beberapa barangnya nanti sore. Ia m
Part 8 Baru DimulaiCalia tak mengatakan apa pun untuk menyangkal tuduhan tersebut. Ia membuang wajahnya ketika tatapannya sempat bertemu dengan Lucius."Kita bicara di luar, Ma." Lucius memegang lengan sang mama, berbicara dengan nada setenang mungkin."Apa?" Mata Vania mendelik tak percaya. "Kau tak mendengar dengan baik apa yang mama katakan, Lucius." Tangannya menunjukan ke arah Vania. "Dia berusaha mendorong mama ...."Lucius mendesah kasar. "Aku melihat semuanya, Ma. Dan aku bukan anak kecil untuk menelaah apa yang terjadi tepat di depan mataku."Mulut Vania menganga, kehilangan kata-kata tertangkap basah telah berbohong. Tak mau dipermalukan di hadapan Calia, ia bersikeras membela diri. Menunjukkan pergelangan tangannya. "Dia mencengkeram tangan ...""Kita pergi."Vanie menggeleng, kali ini tak ada lagi sandiwara yang mendramatisir, tetapi emosi yang sesungguhnya terhadap Calia. Kebencian dan kemarahan. "Aku tak akan menerinya kembali ke rumah kita. Tak akan pernah, Lucius."Ra
Part 9 Tak Pernah Punya Pilihan'Hentikan, Lukas.' Calia memiringkan wajahnya ke samping, membuat bibir Lukas mendarat di pipinya. Dan menyadari penolakan Calia, kedua mata pria itu terpejam. Masih dengan wajah yang saling menempel.'Kenapa? Kau sudah tak mencintaiku?''Ini tidak benar.''Tidak pernah ada yang benar dengan cinta kita, Calia. Lucius yang merebutmu dariku.'Mata Calia mengerjap ketika kenangan tersebut muncul di benaknya. Calia terdiam. Pengkhianatan tersebut tak sepenuhnya ada, tapi juga tak benar-benar menjadi sebuah pengkhianatan.Ia menatap keseriusan di wajah Lucius yang menunggu jawabannya. Ya. Sejak ia kembali ke hidup Lucius, ia memang tak pernah punya pilihan bukan. Menghadapi kebencian Vania Cayson bukanlah apa-apa dibandingkan dengan kehilangan ketiga buah hatinya di saat yang bersamaan, kan?Kepala Calia mengangguk pelan, menciptakan senyum kemenangan di bibir Lucius. Kemudian pria itu menangkap pinggangnya dan menyambar satu ciuman di bibirnya.*** Hanya b
Part 10 KembaliSetengah jam kemudian, Lucius mengambil koper di tangan Calia yang baru saja keluar dari pintu kamar. Kemudian melangkah keluar dari apartemen lebih dulu. Menunggu sejenak ketika Calia mengunci pintu."Melihat tempat ini, kenapa aku masih terkejut Zsazsa dan Zaiden bisa tumbuh dengan ceria." Ada ejekan dalam suara Lucius ketika keduanya melangkah lift yang tak berada jauh dari unit Calia."Tidak semua kebahagiaan bisa dibeli dengan uang, Lucius." Ada sindiran yang terselip dalam nada suara Calia.Lucius mendengus. Pintu lift terbuka dan Lucius mempersilahkan Calia masuk lebih dulu sebelum berdiri di samping wanita itu. Begitu pintu lift tertutup, wajahnya menoleh ke samping dengan seringai di ujung bibir. "Benarkah?"Calia terdiam."Ya, tidak semua kebahagiaan bisa dibeli dengan uang. Tapi … butuh uang lebih banyak untuk kebahagiaan yang lebih besar, kan?" Lucius memberi jeda sejenak. "Juga untuk menyelesaikan semua tumpukan masalah. Itu alasanmu datang padaku, kan?"M
Part 11 Kenyataan LainnyaNapas Calia tercekat, matanya melebar menyadari keseriusan dalam pertanyaan Lucius.Dokter Arfin terdiam sejenak. "Apakah Anda pernah mendonorkan ginjal Anda pada pasien lain?"Lucius terdiam."Kenapa kau bertanya tentang ini, Lucius?" Calia mengajukan pertanyaan lain meski sang dokter belum mendapatkan jawaban dari Lucius. Kecurigaan yang mendadak muncul di hatinya semakin meruncing tajam. Membawa kilasan-kilasan masalalu mereka berdua terhampar di hadapannya.Lucius masih bergeming. Bahkan pria itu sama sekali tak menoleh ke arahnya.Calia memegang pundak Lucius, berusaha mendapatkan perhatian pria itu yang masih membeku oleh kepucatan. "Jangan bilang kalau kau yang mendonorkan ginjalmu untukku?" Suara Calia diselimuti emosi yang campur aduk. Matanya membelalak penuh ketidak percayaan dengan kedua mata yang mulai digenangi kaca."Jangan bilang kau yang menyelamatkanku 10 tahun yang lalu, Lucius!" Kali ini Calia melompat berdiri. Kesulitan mengendalikan
Part 12 Rela Mati“Kalau kau tidak bisa melakukannya untuk Zayn, kenapa kau berjanji seperti itu padanya, Lucius?” Pertama kalinya Calia bicara setelah lebih dari setengah perjalanan keduanya menuju sekolah Zsazsa dan Zaiden. Ya, hari mereka harus mengurus kepindahan sekolah kedua anaknya tersebut. Sekaligus menjemput mereka pulang.“Kalaupun aku tidak melakukannya pasti ada cara lain untuk menyelamatkannya, kan?”Calia terdiam. Ya, dokter Reno sebelumnya sudah pernah memberitahunya tentang hal ini. Jika sang ayah tidak bisa melakukannya, kemungkinan saudara kandung Lucius.“Tidak. Aku tidak akan meminta Lukas melakukan itu untuk anakku. Terutama jika mengingat apa yang kalian lakukan padaku. Tidak akan pernah, Calia.”Wajah Calia seketika membeku, tak ada sepatah kata pun yang berhaisl keluar dari mulutnya. Setiap kali Lucius mengungkit hal itu, hatinya pun tak berhenti merasa perih.“Aku tahu kau akan melakukan segalanya demi menyelamatkan Zayn, tapi sebaiknya kau jauhkan pikiran it
Jangan lupa dibaca, ya. Baru muncul di web goodnovel. yang belum nemu bisa tunggu besokPelayang Sang Tuan ***Davina menyingkirkan selimut yang menutupi ketelanjangannya. Sesuatu bergejolak di perutnya, membuatnya melompat turun sambil menyambar kain apa pun yang ada di lantai. Menggunakannya untuk menutupi tubuhnya dalam perjalanan ke kamar mandi.Suara pintu yang dibanting terbuka membangunkan Dirga dari tidurnya yang lelap. Kepalanya pusing karena dibangunkan dengan tiba-tiba. Tetapi ia tetap memaksa bangun terduduk dan menatap pintu kamar mandi yang terjemblak terbuka. Mendengar suara muntahan yang begitu hebat.Dirga mengambil celana karetnya yang ada di ujung tempat tidur, mengenakannya sebelum beranjak menujuk kamar mandi. Ia berhenti di ambang pintu, menyandarkan pundaknya di pinggiran pintu dengan kedua tangan bersilang dada. Mengamati Davina yang berjongkok di depan lubang toilet. Mengusap sisa muntahan dengan punggung tangan.“Kau membangunkanku.” Suara Dirga datar dan tan
“Jadi dia keponakanmu?” Lucius bertanya dari balik bibir gelasnya. Menatap Luca yang duduk di seberang, tak berhenti mengarahkan pandangan ke arah kolam renang. Pada Zsazsa dan Ken yang bermain-main di tepi kolam. Suara canda tawa keduanya terdengar nyaring. Begitu merdu di kedua pasang telinga pria itu.Luca memutar kepala, menatap sang mertua dengan alis yang melengkung ke bawah. “Apakah itu membuat perbedaan?”Lucius meletakkan gelasnya yang sudah berkurang setengah. Kembali bersandar dengan kedua kaki bersilang. “Sejak awal kau mengincar putriku.”Luca tersenyum. Tak ada penyangkalan dalam tatapannya yang mengarah lurus pada sang mertua. “Dan kau menggunakan cara licik untuk mendapatkannya.”“Anda pernah muda, tuan Cayson. Jika dihadapkan dengan godaan yang begitu besar seperti putri Anda, saya yakin Anda pun akan mengabaikan akal sehat dan akan melakukan cara apa pun untuk memilikinya.”Lucius mendengus mengejek.Senyum Luca melengkung lebih tinggi, kepalanya berputar kembali ke
“Kabar buruknya, dia ehm … “ Zale memasang raut sedih yang begitu dalam di kedua mata. Duduk di samping Zesil lalu menggenggam tangan sang adik. “Papa sudah menemukan di mana makamnya.”“M-makam?” lirih Zesil dalam keterkejutan. Setengah jiwanya terasa ditarik paksa dari dalam dadanya. Rasa kehilangan yang lebih besar ketimbang kedua orang tua angkatnya mengatakan bahwa dia telah diadopsi 19 tahun yang lalu. Air mata mulai menggenangi kedua matanya. Meleleh di sudut mata ketika Zale merangkul pundaknya, membawa tubuhnya ke dalam pelukan pria itu.Sudut bibir Zaiden mengeras, merasa disisihkan melihat kedua adiknya yang saling berpelukan. Saling berbagi kesedihan. Kecemburuan merayapi dadanya, dan beruntung setidaknya ia masih memiliki nurani juga sedikit pikiran waras bahwa memang hanya Zale yang dibutuhkan Zesil di situasi ini.“Dan kabar baiknya, dia tidak membuangmu. Selama bertahun-tahun ini, dia juga mencarimu. Detailnya, papa akan memberitahumu,” tambah Zale. Berharap sedikit in
“Kau pikir aku tak tahu? Kau menghindarinya bukan karena butuh waktu yang tak perlu dibutuhkan untuk memberitahu pernikahan kita. Tapi karena kau tahu dia menyukaimu. Dan kau merasa sungkan padaku?” Zayn memungkasi kalimatnya dengan ejekan yang begitu kental.Cailey mengedipkan matanya dua kali, terpaku menatap wajah Zayn yang mulai diselimuti kegelapan.“Jangan menguji kesabaranku lebih dari ini, Cailey. Kau tahu aku sudah cukup sabar menghadapimu sejak kemarin siang. Simpan kecemburuanmu untuk dirimu sendiri. Kau tahu aku yang lebih berhak melakukan semua sikap kekanakan ini.”“Jangan menatapku seperti itu, Zayn,” desis Cailey tak kalah dinginnya. Berusaha menggeliatkan tubuhnya tetapi Zayn malah menekannya ke dalam kasur. Sama sekali tak memberinya kesempatan untuk membebaskan diri. “Aku tidak berbohong,” tandasnya penuh penekanan. “Dan bukan aku yang menciumnya, Jaren yang tiba-tiba melakukannya.”“Kau pikir aku yang mencium Adira?”Cailey terdiam.“Jangan jadikan itu alasan untuk
Butuh beberapa detik bagi Zesil untuk menelaah kalimat Roland. Setelah ia melahirkan, apakah Roland masih akan menerima dirinya? Harapan yang tak pernah ia bayangkan akan diucapkan oleh Roland. Akan tetapi, harapan itu seketika raib. Detik itu juga. Mata Zesil melebar, pandangannya melewati pundak Rolanda dan melihat Zaiden berdiri di depan pintu. Tatapan pria itu menyipit tajam, dengan kedua rahang yang mengeras, mengarah pada tangannya yang berada dalam genggaman Roland.Zesil pun melepaskan pegangannya dari kedua tangan Roland. Lalu menggeleng pelan. “Maafkan aku, Roland. Aku tidak bisa,” lirihnya. Memaksa melepaskan harapan yang sempat singgah. Kekecewaan kembali merebak di wajah Roland. Menatap tak percaya pada Zesil. “Kenapa?”Zesil menggeleng. “Aku tidak ingin bercerai dengan kak Zaiden dan meninggalkan anak ini demi kebahagiaan, yang mungkin tak akan sempurna tanpanya, Roland. Bagaimana pun dia anakku.” Kalimat terakhir Zesil terdengar seperti sebuah kebohongan. Ia bahkan ma
Wajah Zsazsa tak bisa lebih pucat lagi. “A-aapa?”“Aku yang meminta tuan Janson membatalkan kontrakmu. Dan aku juga sudah membayar semua ….”“K-kau?” Sekali lagi Zsazsa butuh afirmasi. Masih tak cukup percaya bahwa Lucalah pelakunya. “Tega sekali kau melakukannya, Luca? Kupikir aku sudah menegaskan padamu bahwa pernikahan kita tak berhak membuatmu ikut campur pekerjaanku.”“Cepat atau lambat kerjasama itu memang harus dibatalkan, Zsazsa. Kandunganmu …”“Itu bukan urusanmu!” teriak Zsazsa tepat di depan wajah Luca.“Anak itu anakku,” desis Luca tajam.“Dan itu tak membuatmu berhak merampas hidupku! Menghancurkan hidupku sesuka hatimu!”Luca terdiam. Kemarahan yang menguasai Zsazsa lebih besar dari yang ia perkirakan. “Aku juga akan membatalkan kerjasama perusahaanku denganmu.”“Ya, lakukan saja! Aku tak peduli!” Zsazsa menyambar ponsel di tangan Luca dan berbalik keluar menuju pintu utama.“Kau baik-baik saja?” Joanna mendekat, menyentuh lengan Luca dengan hati-hati.Mata Luca terpejam
Zaiden melangkah ke depan Lauren. “Kau benar-benar membuatku muak, Lauren. Sekali lagi jika kau menyentuh seujung rambut istriku, kupastikan kau akan menyesal telah muncul di hidupku.”Lauren terhuyung ke belakang. Keterkejutannya seketika berubah menjadi ketakutan yang begitu pekat merambati dadanya. Tatapan Zaiden begitu mengerikan, hingga membuat bulu kuduknya meremang.Zaiden berbalik, berhadap-hadapan dengan Roland yang tak kalah pucatnya dengan Lauren. “Bisakah aku mendapatkan istriku kembali?”“I-istri?” Suara Roland nyaris tertelan suara mesin mobil yang melintasi jalan.“Ya, sesuatu terjadi dan membuat kami harus berakhir sebagai suami istri. Juga hubunganmu dengannya yang harus diakhiri sesegera mungkin.”Roland menggeleng. Kepalanya berputar menatap Zesil yang tak mengatakan apa pun di sampingnya. “A-apakah itu benar, Zesil?”Zaiden mendengus tipis. Meraih tangan Zesil, menunjukkan kedua cincin yang melingkari jari manis mereka. “Apakah ini sudah cukup menjawab pertanyaanmu
Zesil memindahkan tubuhnya dari pangkuan sang kakak dan duduk di sofa. Lekas memperbaiki pakaiannya begitu napas keduanya sudah kembali normal. Dengan wajah yang merah padam, panas sekaligus terasa lembab di seluruh tubuh, kepalanya tertunduk dalam oleh rasa malu. Memasang kembali pengait branya dan menarik tertutup resleting di punggung. Dengan pikiran yang kacau akan apa yang baru saja keduanya lakukan di sofa ini.Zaiden terkekeh, tangannya terjulur ke wajah Zesil. Menyentuh ujung dagu gadis itu dan membawa perhatian Zesil kepadanya. “Aku tak pernah mengira seks di ruang kerja akan terasa sememuaskan ini.”Rasanya wajah Zesil tak bisa lebih merah padam lagi.“Lain kali aku akan memanggilmu untuk makan siang bersama.”Tentu saja Zesil itu tak hanya akan menjadi sekedar makan siang. “Zesil ingin ke kamar mandi,” lirihnya. Melepaskan wajahnya dari tangan Zaiden dan beranjak menuju pintu yang ada di sudut ruangan. Nyaris tersamar dengan dinding yang dilapisi kayu, tapi ia tahu kamar ma
Satu jam kemudian, pesan yang masuk ke ponsel Luca membuat keduanya harus lekas turun dari tempat tidur. “Ken mencariku,” gumam Luca menatap Zsazsa yang sedang mengenakan pakaiannya kembali dengan posisi memunggunginya.“Ya, pergilah.”“Kita pergi bersama.”Zsazsa yang baru saja memasukkan lengan bajunya langsung menoleh. “Kita? Kenapa?”Luca beranjak berdiri, mengenakan celananya. “Karena kau istriku dan Ken anakku, Zsazsa. Apakah kau tidak ingin berusaha mendekatinya?”Zsazsa kembali membelakangi Luca. “Di sana sudah ada ibunya, Luca. Aku sama sekali tidak …”Luca berjalan memutari ranjang, berhenti tepat di depan sang istri. membawa pandangan Zsazsa ke arahnya. “Aku tidak memintamu berada di sana sebagai ibunya. Kau tahu posisi Joanna tak akan pernah terganti oleh siapa pun di hati Ken, Zsazsa. Tapi aku ingin kau berada di sana sebagai istriku.”Zsazsa menelan kembali bantahan yang sudah nyaris terlepas. Sungguh, ia tak suka setiap kali berinteraksi dengan Joanna meski cukup denga