Part 5 Masih Istri Sah
“Mama.” Suara ceria Zsazsa menyambut kedatangan Calia. Dengan kedua lengannya putrinya tersebut memeluk pinggangnya. Lalu wajah mungil terdongak dan dengan tatapannya yang polos, anak itu bertanya, “Kapan papa datang lagi?”Pertanyaan tersebut membuat hati Calia mencelos. Menatap wajah polos sang putrid an merangkumnya. Ada harapan yang rasanya sulit untuk dihancurkannya dalam tatapan polos tersebut, tapi … bagaimana mungkin ia mengharapkan kedatangan Lucius. Tanpa sepatah kata pun yang mampu keluar dari bibirnya, Calia membawa Zsazsa ke dalam pelukannya. “Zsazsa ingin bertemu papa?” bisiknya dengan gumpalan keras yang mengganjal di tenggorokan.Zsazsa mengangguk dengan penuh keantusiasan yang polos. “Akhirnya Zsazsa punya papa seperti teman-teman. Bolehkah Zsazsa memamerkannya pada teman-teman sekolah Zsazsa? Sekaranh Zsazsa tak hanya punya om, tapi juga papa. Rara tidak punya om.”Senyum getir melengkung di kedua ujung bibir Calia. Untuk pertama kalinya kehilangan kata-kata untuk menjawab pertanyaan sang putri. Biasanya ia selalu berhasil menghibur curahan hati sang putri yang sering kali mendapatkan ejekan tak punya ayah dari teman-teman sekelas. Merasa bertanggung jawab untuk setiap derita tersebut. Sekarang apa yang harus dikatakannya untuk menjawab pertanyaan sang putri?Lucius dengan sangat jelas mengatakan akan memastikan merampas ketiga buah hatinya darinya. Dengan atau tanpa dirinya. Maka, siapkah ia kembali ke hidup Lucius Cayson? Dengan segala masa lalu mereka yang begitu rumit dan kelam. Bersama endapan kehancuran dan patah hati yang masih mendekam di hatinya.Lalu, jika ia kembali memilih jalan untuk melarikan diri dari hidup Lucius, maka sanggupkah ia mengorbankan nyawa Zayn demi keegoisannya? Tidak akan pernah. Mata Calia terpejam, ia akan melakukan apa pun demi nyawa Zayn. Menahan hatinya yang terasa seperti akan terbelah, ia memberikan satu anggukan untuk Zsazsa. Memendam semua derita itu untuk dirinya sendiri.Mata bulat Zsazsa yang polos membelalak tak percaya, bercampur kegirangan. Bahkan tubuh mungil itu melonjak-lonjak dan tawa yang begitu lepas. Membuat Calia menggigit bibir bagian dalamnya mengamati kebahagiaan sang putri. Ya, memangnya sebanyak apalagi ia harus merampas kebahagiaan buah hatinya demi keegoisannya. Sepertinya sekarang saat baginya untuk membayar semua keegoisannya terhadap mereka bertiga selama delapan tahun ini.“Yeayyy. Jadi kapan papa akan kembali? Apakah papa akan membawa hadiah seperti papa Rara? Apakah papa akan tinggal bersama kita? Kenapa papa tidak tetap di sini?”Berondongan pertanyaan sang putri membuat Calia kewalahan. Ia memegang kedua pundak sang putri, menatap lurus kedua mata polos tersebut dengan genangan air mata yang berusaha ia pertahankan agar tak sampai meleleh. “Sekarang papa sedang sibuk mengurus pekerjaan. Kita tidak boleh mengganggunya, Zsazsa.”Bibir Zsazsa seketika memberengut tak suka. “Apakah papa tidak akan kembali lagi seperti …”Calia segera menggelengkan kepala dengan lembut dan merangkum wajah sang putri. “Tidak, sayang. Papa akan kembali. Papa berjanji akan kembali, kan?”“T-tapi …” Kesedihan segera menyelimuti wajah mungil Zsazsa.“Kali ini akan berbeda, sayang.” Calia kembali berusaha menenangkan sang putri yang tampak ketakutan. “Papa akan kembali. Papa sudah berjanji pada kalian bertiga, kan?”Zsazsa terdiam, air mata yang sudah menggenangi kedua mata bulat dan polosnya segera raib, berganti anggukan antusias yang penuh kegirangan. “Ya, papa berjanji.”Calia mengangguk. Pandangannya melewati puncak kepala Zsazsa dan langsung bertemu dengan tatapan tajam Caleb. Kedua mata sang kakak melotot, menggeleng sebagai isyarat penolakan untuk janji Calia.“Kau dengar, Zaiden?” Zsazsa membalikkan badan berlari ke arah Zaiden yang sejak tadi hanya duduk di samping Caleb mengamati kegirangan Zsazsa dengan sikap yang lebih datar, sembari sibuk melahap buah jeruk yang sudah dikupaskan sang paman. Lengannya digoyang-goyangkan sang adik yang berusaha mendapatkan perhatian darinya. “Papa akan kembali. Kau bilang papa tidak akan kembali.”“Aku mendengarnya, Zsazsa,” ucap Zaiden meski enggan tetap membiarkan lengannya digoyang-goyangkan oleh sang adik. Tahu kalau Zsazsa tetap tak akan melepaskan lengannya meski ia menariknya. Dan saking girangnya, Zsazsa merangkul Zaiden dan menciumi pipi kanan dan kiri sang kakak pertama bergantian. “Mama, tolong,” teriaknya berusaha menjauhkan tubuh Zsazsa yang memeluknya semakin erat saking bahagianya.“Zsazsa?” panggil Calia dengan lembut. “Zayn sedang tidur.”Zsazsa segera melepaskan tubuh Zaiden meski tak mampu menyembunyikan cekikikannya dan duduk di samping sang kakak yang sibuk menghapus bekas ciuman sang adik di wajah dengan kedua telapak tangan.“Aku tak sabar ingin memberitahu Zayn.” Zsazsa menolehkan kepala ke arah ranjang pasien. “Jangan coba-coba mendahuluiku, Zaiden,” deliknya pada Zaiden.Zaiden hanya memutar kedua bola matanya. Melanjutkan melahap buah jeruk di piring yang masih tersisa setengah.“Zayn pasti akan lebih cepat sembuh jika mendengar kabar bahagia ini kan, Ma?” tanya Zsazsa tiba-tiba pada Calia. “Mama bilang kabar bahagia bisa menjadi obat yang paling ampuh.”Calia menatap sang putri dengan kepucatan yang berusaha ia samarkan. Itulah kata-kata yang sering diucapkannya pada Zsazsa dan Zaiden untuk menghibur Zayn. Yang selama ini berhasil dengan baik.Calia mengangguk lagi, merasakan ketegangan dari seberang meja tempat Caleb duduk. Ialah yang harus memenuhi semua harapan Zsazsa. Juga kedua jagoannya. “Ya, Sayang.”***“A-apa yang kau katakan, Lucius?” Wajah Vania memucat. Tetapi ia segera menguasai ekspresinya dengan lihai. “Untuk apa kau mempertanyakan uang belanja yang kau berikan pada mantan istrimu yang murahan itu pada mama? Mama bahkan tak tahu …”Wajah Lucius yang sudah merah padam, kini semakin menggelap dengan kata-kata sang mama. Meski ia pun tak berhenti melihat Calia sebagai wanita murahan setelah kejadian 8 tahun yang lalu, tetap saja kata-kata itu membuat amarah di dadanya bergolak saat mendengar orang lain menyebut wanita itu sebagai murahan. “Kita berdua tahu apa yang sedang kubicarakan, Mama,” desisnya. Bibirnya menipis tajam dengan kedua mata yang semakin menggelap.Vania tampak tergelagap dengan tandasan sang putra yang tak bisa disangkalnya lagi. Ia menelan ludah, “M-mama hanya menyimpannya.”Ya, hanya pengakuan itu yang Lucius butuhkan dari mamanya meski tanpa mempertanyakannya pun ia tahu sang mamalah pelakunya.“Wanita itu tak layak mendapatkannya setelah semua yang dilakukannya pada keluarga kita, Lucius. Bahkan untuk sepeser pun uang darimu.” Kali ini wajah Vania diselimuti kebencian yang begitu mendalam. “Sama sekali tak berhak!” Suaranya lebih keras dan dengan emosi yang semakin kuat,Dan tentu saja emosi yang bergemuruh di dada Lucius lebih besar dan kuat lagi. “Dia berhak!”Vania tersentak dengan ketegasan Lucius yang tak main-main. Menatap mata sang putra yang menggelap.“Calia masih berhak. Bahkan dia berhak mendapatkan lebih dari yang kuberikan selama delapan tahun ini.” Lucius sengaja memberi jeda, agar mamanya mendengarkan dengan seksama setiap kata yang akan diucapkannya. “Karena Calia masih istri sahku.”Kalimat Lucius yang lantang membuat Vania terperangah dengan keras. Dengan kedua bola mata yang nyaris melompat dari rangkanya. Tubuhnya menegang, seperti tersambar petir. “T-tidak mungkin!”Part 6 Kembali Vania tercengang dengan keras, menggelengkan kepalanya tak percaya. “T-tidak mungkin,” ucapnya dengan suara tercekik.Sementara kedua tatapan Lucius jelas tak main-main. Keseriusan menegaskan ekpresinya wajahnya yang tegang. Kemarahan dan kekecewaaan terhadap dirinya dan mamanya bercampur aduk jadi satu. Ya, ia tak pernah menceraikan Calia. Karena itu adalah hukuman untuk wanita itu. Setelah semuanya, ia tak mungkin membiarkan wanita itu bebas dan berbahagia dengan siapa pun di luar sana. Itulah alasannya tak pernah menceraikan wanita itu. Agar wanita itu tak pernah menjadi miliki pria lain. Terutama adiknya sendiri.“Mama tahu aku tak pernah bercanda,” ucap Lucius dengan bibir yang menipis tajam. “Terutama untuk hal seserius ini.”Vania tak perlu mempertanyakan keseriusan sang putra sulung. Ketegasan di mata Lucius adalah kebenaran yang tak bisa disangkal.“Aku akan membawanya kembali ke rumah ini. Ke tempat seharusnya dia berada.”Dengan mulut yang membulat penuh ket
Part 7 Sang MertuaCalia menggeleng pelan. “Aku tak tahu, Caleb. Setidaknya aku sudah mengusahakan yang terbaik untuk Zayn. Aku tak akan menyesali semuanya.”Caleb tak mengatakan apa pun lagi. Setidaknya jika hasil tes Lucius tidak cocok, masih ada keluarga utama Lucius yang berkemungkinan cocok. Ia begitu membenci Lucius dan keluarga pria itu, tapi ia tak bisa menyangkal darah yang mengalir di nadi ketiga keponakannya adalah darah yang sama dengan mereka semua.Lama keduanya tenggelam dalam keheningan.“Apakah semua ini akan sepadan?” tanya Caleb memecah keheningan tersebut.“Hubungan darah memang tidak bisa berbohong, Caleb. Zsazsa dan Zaiden menyukainya.”Caleb mendengus. Tak akan menyangkal bagaimana keantusiasan kedua keponakannya dengan kemunculan Lucius. “Dasar pengkhianat kecil.”Calia tertawa kecil. Sedikit mencairkan suasana di antara mereka.*** Calia beranjak keluar dari ruang perawatan Zayn, hendak menghubungi Caleb untuk membawakannya beberapa barangnya nanti sore. Ia m
Part 8 Baru DimulaiCalia tak mengatakan apa pun untuk menyangkal tuduhan tersebut. Ia membuang wajahnya ketika tatapannya sempat bertemu dengan Lucius."Kita bicara di luar, Ma." Lucius memegang lengan sang mama, berbicara dengan nada setenang mungkin."Apa?" Mata Vania mendelik tak percaya. "Kau tak mendengar dengan baik apa yang mama katakan, Lucius." Tangannya menunjukan ke arah Vania. "Dia berusaha mendorong mama ...."Lucius mendesah kasar. "Aku melihat semuanya, Ma. Dan aku bukan anak kecil untuk menelaah apa yang terjadi tepat di depan mataku."Mulut Vania menganga, kehilangan kata-kata tertangkap basah telah berbohong. Tak mau dipermalukan di hadapan Calia, ia bersikeras membela diri. Menunjukkan pergelangan tangannya. "Dia mencengkeram tangan ...""Kita pergi."Vanie menggeleng, kali ini tak ada lagi sandiwara yang mendramatisir, tetapi emosi yang sesungguhnya terhadap Calia. Kebencian dan kemarahan. "Aku tak akan menerinya kembali ke rumah kita. Tak akan pernah, Lucius."Ra
Part 9 Tak Pernah Punya Pilihan'Hentikan, Lukas.' Calia memiringkan wajahnya ke samping, membuat bibir Lukas mendarat di pipinya. Dan menyadari penolakan Calia, kedua mata pria itu terpejam. Masih dengan wajah yang saling menempel.'Kenapa? Kau sudah tak mencintaiku?''Ini tidak benar.''Tidak pernah ada yang benar dengan cinta kita, Calia. Lucius yang merebutmu dariku.'Mata Calia mengerjap ketika kenangan tersebut muncul di benaknya. Calia terdiam. Pengkhianatan tersebut tak sepenuhnya ada, tapi juga tak benar-benar menjadi sebuah pengkhianatan.Ia menatap keseriusan di wajah Lucius yang menunggu jawabannya. Ya. Sejak ia kembali ke hidup Lucius, ia memang tak pernah punya pilihan bukan. Menghadapi kebencian Vania Cayson bukanlah apa-apa dibandingkan dengan kehilangan ketiga buah hatinya di saat yang bersamaan, kan?Kepala Calia mengangguk pelan, menciptakan senyum kemenangan di bibir Lucius. Kemudian pria itu menangkap pinggangnya dan menyambar satu ciuman di bibirnya.*** Hanya b
Part 10 KembaliSetengah jam kemudian, Lucius mengambil koper di tangan Calia yang baru saja keluar dari pintu kamar. Kemudian melangkah keluar dari apartemen lebih dulu. Menunggu sejenak ketika Calia mengunci pintu."Melihat tempat ini, kenapa aku masih terkejut Zsazsa dan Zaiden bisa tumbuh dengan ceria." Ada ejekan dalam suara Lucius ketika keduanya melangkah lift yang tak berada jauh dari unit Calia."Tidak semua kebahagiaan bisa dibeli dengan uang, Lucius." Ada sindiran yang terselip dalam nada suara Calia.Lucius mendengus. Pintu lift terbuka dan Lucius mempersilahkan Calia masuk lebih dulu sebelum berdiri di samping wanita itu. Begitu pintu lift tertutup, wajahnya menoleh ke samping dengan seringai di ujung bibir. "Benarkah?"Calia terdiam."Ya, tidak semua kebahagiaan bisa dibeli dengan uang. Tapi … butuh uang lebih banyak untuk kebahagiaan yang lebih besar, kan?" Lucius memberi jeda sejenak. "Juga untuk menyelesaikan semua tumpukan masalah. Itu alasanmu datang padaku, kan?"M
Part 11 Kenyataan LainnyaNapas Calia tercekat, matanya melebar menyadari keseriusan dalam pertanyaan Lucius.Dokter Arfin terdiam sejenak. "Apakah Anda pernah mendonorkan ginjal Anda pada pasien lain?"Lucius terdiam."Kenapa kau bertanya tentang ini, Lucius?" Calia mengajukan pertanyaan lain meski sang dokter belum mendapatkan jawaban dari Lucius. Kecurigaan yang mendadak muncul di hatinya semakin meruncing tajam. Membawa kilasan-kilasan masalalu mereka berdua terhampar di hadapannya.Lucius masih bergeming. Bahkan pria itu sama sekali tak menoleh ke arahnya.Calia memegang pundak Lucius, berusaha mendapatkan perhatian pria itu yang masih membeku oleh kepucatan. "Jangan bilang kalau kau yang mendonorkan ginjalmu untukku?" Suara Calia diselimuti emosi yang campur aduk. Matanya membelalak penuh ketidak percayaan dengan kedua mata yang mulai digenangi kaca."Jangan bilang kau yang menyelamatkanku 10 tahun yang lalu, Lucius!" Kali ini Calia melompat berdiri. Kesulitan mengendalikan
Part 12 Rela Mati“Kalau kau tidak bisa melakukannya untuk Zayn, kenapa kau berjanji seperti itu padanya, Lucius?” Pertama kalinya Calia bicara setelah lebih dari setengah perjalanan keduanya menuju sekolah Zsazsa dan Zaiden. Ya, hari mereka harus mengurus kepindahan sekolah kedua anaknya tersebut. Sekaligus menjemput mereka pulang.“Kalaupun aku tidak melakukannya pasti ada cara lain untuk menyelamatkannya, kan?”Calia terdiam. Ya, dokter Reno sebelumnya sudah pernah memberitahunya tentang hal ini. Jika sang ayah tidak bisa melakukannya, kemungkinan saudara kandung Lucius.“Tidak. Aku tidak akan meminta Lukas melakukan itu untuk anakku. Terutama jika mengingat apa yang kalian lakukan padaku. Tidak akan pernah, Calia.”Wajah Calia seketika membeku, tak ada sepatah kata pun yang berhaisl keluar dari mulutnya. Setiap kali Lucius mengungkit hal itu, hatinya pun tak berhenti merasa perih.“Aku tahu kau akan melakukan segalanya demi menyelamatkan Zayn, tapi sebaiknya kau jauhkan pikiran it
Lucius menurunkan Zsazsa di samping Zaiden. Lalu berjongkok di depan keduanya dengan masing-masing telapak tangan memegang pundak Zsazsa dan Zaiden. “Kenapa? Kalian ingin tetap bersekolah di sini?”“Apakah kami harus pindah?” tanya Zaiden.“Apa papa ingin kami pindah?” tanya Zsazsa.“Ya, papa ingin kalian pindah ke tempat yang jauh lebih baik. Lebih banyak teman, lebih luas, dan lebih segalanya yang terbaik yang bisa papa berikan pada kalian.” Lucius memberi jeda sejenak. “Hmm, ini sebagai bayaran karena tidak pernah menjadi papa yang baik selama papa pergi.”“Papa yang terbaik.” Zsazsa menyela.Lucius tersenyum, mengusap kepala sang putri. “Ya, tapi papa ingin menjadi lebih baik lagi untuk menjadi papa kalian. Bagaimana?”Zsazsa dan Zaiden kembali saling pandang. Kemudian keduanya menatap Calia yang menyerahkan pilihan pada mereka sendiri. Menatap Lucius lebih lama dan serempak mengangguk.“Dan satu lagi, mulai hari ini kalian akan tinggal bersama papa. Di rumah papa.”Wajah Zsazsa d
Jangan lupa dibaca, ya. Baru muncul di web goodnovel. yang belum nemu bisa tunggu besokPelayang Sang Tuan ***Davina menyingkirkan selimut yang menutupi ketelanjangannya. Sesuatu bergejolak di perutnya, membuatnya melompat turun sambil menyambar kain apa pun yang ada di lantai. Menggunakannya untuk menutupi tubuhnya dalam perjalanan ke kamar mandi.Suara pintu yang dibanting terbuka membangunkan Dirga dari tidurnya yang lelap. Kepalanya pusing karena dibangunkan dengan tiba-tiba. Tetapi ia tetap memaksa bangun terduduk dan menatap pintu kamar mandi yang terjemblak terbuka. Mendengar suara muntahan yang begitu hebat.Dirga mengambil celana karetnya yang ada di ujung tempat tidur, mengenakannya sebelum beranjak menujuk kamar mandi. Ia berhenti di ambang pintu, menyandarkan pundaknya di pinggiran pintu dengan kedua tangan bersilang dada. Mengamati Davina yang berjongkok di depan lubang toilet. Mengusap sisa muntahan dengan punggung tangan.“Kau membangunkanku.” Suara Dirga datar dan tan
“Jadi dia keponakanmu?” Lucius bertanya dari balik bibir gelasnya. Menatap Luca yang duduk di seberang, tak berhenti mengarahkan pandangan ke arah kolam renang. Pada Zsazsa dan Ken yang bermain-main di tepi kolam. Suara canda tawa keduanya terdengar nyaring. Begitu merdu di kedua pasang telinga pria itu.Luca memutar kepala, menatap sang mertua dengan alis yang melengkung ke bawah. “Apakah itu membuat perbedaan?”Lucius meletakkan gelasnya yang sudah berkurang setengah. Kembali bersandar dengan kedua kaki bersilang. “Sejak awal kau mengincar putriku.”Luca tersenyum. Tak ada penyangkalan dalam tatapannya yang mengarah lurus pada sang mertua. “Dan kau menggunakan cara licik untuk mendapatkannya.”“Anda pernah muda, tuan Cayson. Jika dihadapkan dengan godaan yang begitu besar seperti putri Anda, saya yakin Anda pun akan mengabaikan akal sehat dan akan melakukan cara apa pun untuk memilikinya.”Lucius mendengus mengejek.Senyum Luca melengkung lebih tinggi, kepalanya berputar kembali ke
“Kabar buruknya, dia ehm … “ Zale memasang raut sedih yang begitu dalam di kedua mata. Duduk di samping Zesil lalu menggenggam tangan sang adik. “Papa sudah menemukan di mana makamnya.”“M-makam?” lirih Zesil dalam keterkejutan. Setengah jiwanya terasa ditarik paksa dari dalam dadanya. Rasa kehilangan yang lebih besar ketimbang kedua orang tua angkatnya mengatakan bahwa dia telah diadopsi 19 tahun yang lalu. Air mata mulai menggenangi kedua matanya. Meleleh di sudut mata ketika Zale merangkul pundaknya, membawa tubuhnya ke dalam pelukan pria itu.Sudut bibir Zaiden mengeras, merasa disisihkan melihat kedua adiknya yang saling berpelukan. Saling berbagi kesedihan. Kecemburuan merayapi dadanya, dan beruntung setidaknya ia masih memiliki nurani juga sedikit pikiran waras bahwa memang hanya Zale yang dibutuhkan Zesil di situasi ini.“Dan kabar baiknya, dia tidak membuangmu. Selama bertahun-tahun ini, dia juga mencarimu. Detailnya, papa akan memberitahumu,” tambah Zale. Berharap sedikit in
“Kau pikir aku tak tahu? Kau menghindarinya bukan karena butuh waktu yang tak perlu dibutuhkan untuk memberitahu pernikahan kita. Tapi karena kau tahu dia menyukaimu. Dan kau merasa sungkan padaku?” Zayn memungkasi kalimatnya dengan ejekan yang begitu kental.Cailey mengedipkan matanya dua kali, terpaku menatap wajah Zayn yang mulai diselimuti kegelapan.“Jangan menguji kesabaranku lebih dari ini, Cailey. Kau tahu aku sudah cukup sabar menghadapimu sejak kemarin siang. Simpan kecemburuanmu untuk dirimu sendiri. Kau tahu aku yang lebih berhak melakukan semua sikap kekanakan ini.”“Jangan menatapku seperti itu, Zayn,” desis Cailey tak kalah dinginnya. Berusaha menggeliatkan tubuhnya tetapi Zayn malah menekannya ke dalam kasur. Sama sekali tak memberinya kesempatan untuk membebaskan diri. “Aku tidak berbohong,” tandasnya penuh penekanan. “Dan bukan aku yang menciumnya, Jaren yang tiba-tiba melakukannya.”“Kau pikir aku yang mencium Adira?”Cailey terdiam.“Jangan jadikan itu alasan untuk
Butuh beberapa detik bagi Zesil untuk menelaah kalimat Roland. Setelah ia melahirkan, apakah Roland masih akan menerima dirinya? Harapan yang tak pernah ia bayangkan akan diucapkan oleh Roland. Akan tetapi, harapan itu seketika raib. Detik itu juga. Mata Zesil melebar, pandangannya melewati pundak Rolanda dan melihat Zaiden berdiri di depan pintu. Tatapan pria itu menyipit tajam, dengan kedua rahang yang mengeras, mengarah pada tangannya yang berada dalam genggaman Roland.Zesil pun melepaskan pegangannya dari kedua tangan Roland. Lalu menggeleng pelan. “Maafkan aku, Roland. Aku tidak bisa,” lirihnya. Memaksa melepaskan harapan yang sempat singgah. Kekecewaan kembali merebak di wajah Roland. Menatap tak percaya pada Zesil. “Kenapa?”Zesil menggeleng. “Aku tidak ingin bercerai dengan kak Zaiden dan meninggalkan anak ini demi kebahagiaan, yang mungkin tak akan sempurna tanpanya, Roland. Bagaimana pun dia anakku.” Kalimat terakhir Zesil terdengar seperti sebuah kebohongan. Ia bahkan ma
Wajah Zsazsa tak bisa lebih pucat lagi. “A-aapa?”“Aku yang meminta tuan Janson membatalkan kontrakmu. Dan aku juga sudah membayar semua ….”“K-kau?” Sekali lagi Zsazsa butuh afirmasi. Masih tak cukup percaya bahwa Lucalah pelakunya. “Tega sekali kau melakukannya, Luca? Kupikir aku sudah menegaskan padamu bahwa pernikahan kita tak berhak membuatmu ikut campur pekerjaanku.”“Cepat atau lambat kerjasama itu memang harus dibatalkan, Zsazsa. Kandunganmu …”“Itu bukan urusanmu!” teriak Zsazsa tepat di depan wajah Luca.“Anak itu anakku,” desis Luca tajam.“Dan itu tak membuatmu berhak merampas hidupku! Menghancurkan hidupku sesuka hatimu!”Luca terdiam. Kemarahan yang menguasai Zsazsa lebih besar dari yang ia perkirakan. “Aku juga akan membatalkan kerjasama perusahaanku denganmu.”“Ya, lakukan saja! Aku tak peduli!” Zsazsa menyambar ponsel di tangan Luca dan berbalik keluar menuju pintu utama.“Kau baik-baik saja?” Joanna mendekat, menyentuh lengan Luca dengan hati-hati.Mata Luca terpejam
Zaiden melangkah ke depan Lauren. “Kau benar-benar membuatku muak, Lauren. Sekali lagi jika kau menyentuh seujung rambut istriku, kupastikan kau akan menyesal telah muncul di hidupku.”Lauren terhuyung ke belakang. Keterkejutannya seketika berubah menjadi ketakutan yang begitu pekat merambati dadanya. Tatapan Zaiden begitu mengerikan, hingga membuat bulu kuduknya meremang.Zaiden berbalik, berhadap-hadapan dengan Roland yang tak kalah pucatnya dengan Lauren. “Bisakah aku mendapatkan istriku kembali?”“I-istri?” Suara Roland nyaris tertelan suara mesin mobil yang melintasi jalan.“Ya, sesuatu terjadi dan membuat kami harus berakhir sebagai suami istri. Juga hubunganmu dengannya yang harus diakhiri sesegera mungkin.”Roland menggeleng. Kepalanya berputar menatap Zesil yang tak mengatakan apa pun di sampingnya. “A-apakah itu benar, Zesil?”Zaiden mendengus tipis. Meraih tangan Zesil, menunjukkan kedua cincin yang melingkari jari manis mereka. “Apakah ini sudah cukup menjawab pertanyaanmu
Zesil memindahkan tubuhnya dari pangkuan sang kakak dan duduk di sofa. Lekas memperbaiki pakaiannya begitu napas keduanya sudah kembali normal. Dengan wajah yang merah padam, panas sekaligus terasa lembab di seluruh tubuh, kepalanya tertunduk dalam oleh rasa malu. Memasang kembali pengait branya dan menarik tertutup resleting di punggung. Dengan pikiran yang kacau akan apa yang baru saja keduanya lakukan di sofa ini.Zaiden terkekeh, tangannya terjulur ke wajah Zesil. Menyentuh ujung dagu gadis itu dan membawa perhatian Zesil kepadanya. “Aku tak pernah mengira seks di ruang kerja akan terasa sememuaskan ini.”Rasanya wajah Zesil tak bisa lebih merah padam lagi.“Lain kali aku akan memanggilmu untuk makan siang bersama.”Tentu saja Zesil itu tak hanya akan menjadi sekedar makan siang. “Zesil ingin ke kamar mandi,” lirihnya. Melepaskan wajahnya dari tangan Zaiden dan beranjak menuju pintu yang ada di sudut ruangan. Nyaris tersamar dengan dinding yang dilapisi kayu, tapi ia tahu kamar ma
Satu jam kemudian, pesan yang masuk ke ponsel Luca membuat keduanya harus lekas turun dari tempat tidur. “Ken mencariku,” gumam Luca menatap Zsazsa yang sedang mengenakan pakaiannya kembali dengan posisi memunggunginya.“Ya, pergilah.”“Kita pergi bersama.”Zsazsa yang baru saja memasukkan lengan bajunya langsung menoleh. “Kita? Kenapa?”Luca beranjak berdiri, mengenakan celananya. “Karena kau istriku dan Ken anakku, Zsazsa. Apakah kau tidak ingin berusaha mendekatinya?”Zsazsa kembali membelakangi Luca. “Di sana sudah ada ibunya, Luca. Aku sama sekali tidak …”Luca berjalan memutari ranjang, berhenti tepat di depan sang istri. membawa pandangan Zsazsa ke arahnya. “Aku tidak memintamu berada di sana sebagai ibunya. Kau tahu posisi Joanna tak akan pernah terganti oleh siapa pun di hati Ken, Zsazsa. Tapi aku ingin kau berada di sana sebagai istriku.”Zsazsa menelan kembali bantahan yang sudah nyaris terlepas. Sungguh, ia tak suka setiap kali berinteraksi dengan Joanna meski cukup denga