Pertanyaan yang diucapkan Adnan dengan ekspresi tak terbaca itu membuat Suri terpaku. Suri seharusnya sudah tidak kaget lagi karena pria itu selalu memberikan kejutan-kejutan di luar ekspektasinya. Namun, yang terakhir ini... benar-benar sudah di luar logika!
"Aku bercanda, Ri."
Bisikan pria itu sontak mengembalikan fokus Suri pada wajah Adnan yang dekat sekali dengan wajahnya. Suri membelalak dan memundurkan kepala. Namun, itu tidak berguna. Posisinya saat ini tidak menguntungkan karena ia duduk di kursi, diperangkap Adnan dengan tubuhnya yang menggoda.
"A-apa yang kamu lakukan?" Suara yang keluar dari mulut Suri terdengar seperti tikus yang terjepit pintu.
Sudut bibir Adnan terangkat naik. Pria itu semakin mendekatkan wajah dan berbisik di telinga kiri Suri. "Menciummu?"
Suri membuang muka ke arah yang berlawanan dan mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Kedua tangannya mencengkeram meja di belakangnya kuat-kuat. Sebuah keajaiban Suri tidak langsung ambruk karena kedekatannya dengan seorang pria dengan pesona memikat begitu kuat yang melekat pada dirinya.
Adnan menegakkan tubuh dan mencubit pipi Suri dengan gemas. "Ekspresi kamu barusan udah kayak lihat hantu di siang bolong." Ia menurunkan tangan sebelum Suri sadar kalau pria itu lagi-lagi melakukan skinship yang tanpa persetujuan. Pria itu mendesah dan mundur selangkah, melebarkan jarak. "Harusnya aku foto dulu tadi, buat kenang-kenangan. Jarang-jarang aku melihat kamu jelek kayak tadi."
"Adnan!" Suri memukul lengan Adnan yang disambut kekehan kecil.
"Kamu pasti berpikir kalau aku sudah gila, benar kan?"
"Ya Tuhan! Ini bukan saatnya bercanda!" geram Suri, yang lagi-lagi mencipta kekeh tipis di bibir Adnan.
Suri mengatur napas dan kelegaan membajirinya. Wanita itu benar-benar ketakutan saat Adnan impulsif membuat keputusan gila hanya untuk bisa bersamanya dan Andaru lebih lama.
Menggenggam kedua tangan Suri yang basah oleh keringat dingin, Adnan berkata, "Aku tahu betul kalau tawaranku tadi bukan jalan keluar dari masalah. Tapi kalau kamu menerima lamaranku, aku bisa saja melakukannya demi—"
Suri berdecak kesal, tetapi membiarkan tangannya terselimuti hangat dari genggaman pria di hadapannya. "Aku tidak mau berteman denganmu lagi kalau kamu terus membahas kegilaan kamu itu."
Tawa Adnan mengudara. "Wah, setelah berkali-kali melamarmu, status kita masih saja teman? Kamu kejam sekali, Suri."
Adnan mengucapkannya dengan suara ringan berbalut canda, yang justru membuat wajah Suri mendung.
"Suri, dengar!" Adnan menguatkan genggaman. "Ada beberapa pilihan yang bisa kamu ambil dari situasi ini. Tapi, aku mohon. Di antara pilihan itu, jangan mengambil keputusan yang berakhir mendepakku dari hidupmu. Aku bersedia menjadi teman atau apa pun itu yang membuat kamu tetap nyaman tinggal di sisiku."
"Adnan...." Suri tak mampu berkata-kata.
Mengapa pria semengagumkan Adnan bisa terjebak dengan dirinya, seorang janda beranak satu yang masih belum bisa berdamai dengan masa lalu?
"Kamu tetap bisa mengunjungi kami sesekali, Nan." Suri kembali membahas tentang kemungkinan ia meninggalkan Indonesia dan memulai hidup baru di luar negeri. "Aku nggak akan memutus komunikasi denganmu. Kalau kamu nggak terganggu, aku akan kirimkan foto-foto dan video-video keseharian Andaru di tempat baru kami--"
"Cukup, Ri." Melepaskan genggaman tangannya dari Suri, Adnan ikut duduk di kursi tinggi tepat di sebelahnya. Tatapannya tidak lagi tertuju pada wanita itu. "Mendengar kamu lancar sekali mengatakannya, aku yakin kalau kamu sudah memikirkan rencana itu jauh sebelum hari ini. Apa aku salah?"
Wanita itu menahan napas. Adnan menebak dengan sangat tepat.
Meski tidak cukup yakin Pram akan mencarinya setelah ia minggat bertahun-tahun lalu, Suri tetap memikirkan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi di kemudian hari. Dan hari buruk itu benar-benar datang. Pram menemukan dirinya, sepaket dengan Andaru, saat Suri pikir sudah bisa mulai melanjutkan hidup tanpa bayang-bayang mantan suaminya itu.
Suri tidak bisa melupakan saat Pram mengklaim dirinya sebagai 'milik' pria itu ketika berdebat sengit dengan Adnan tadi. Ditambah lagi tatapan posesif Pram yang tertuju padanya--sebelum Melisa datang menginterupsi--membuat Suri sadar... bahwa pria tidak akan melepaskannya dengan mudah.
"Ri, aku tidak bisa memaksamu untuk melakukan sesuatu yang hanya akan membebani kamu. Tapi... tidak bisakah kamu mempertimbangkan aku juga, sebelum kamu membuat keputusan?"
Meski tidak terlalu kentara, ada keputusasaan dalam bisik lirih pria itu.
"Aku selalu mempertimbangkan kamu, Nan. Karena kamu penting untukku dan Aru."
Adnan memutar tubuh. Menghadap Suri yang menunduk menatap jalinan tangan di atas pangkuannya. "Jadi, kamu akan tetap tinggal di sini?"
"Hanya sampai kebohongan kita terbongkar."
Seperti yang Suri tekankan sebelumnya, Pram bukanlah pria yang bodoh. Terbukti dengan kemampuannya mengembangkan perusahaan setelah menempati posisi sebagai CEO Danuarta Group. Pria itu akan mengorek segala hal yang mencurigakan.
Adnan menghela napas panjang. "Lalu sandiwara kita di depan Pram akan sia-sia? Dan skenario terburuknya, Pram akan meminta hak asuhnya atas Andaru. Kamu siap menghadapi itu?"
"Mau bagaimana lagi, Adnan? Dia ayah kandung Andaru. Walaupun aku membenci kenyataan itu, aku tidak bisa berbuat apa-apa."
"Kamu bisa, kalau kamu mau," tukas Adnan.
"Maksud kamu?"
"Kamu bisa membuat Pram selamanya tidak mengetahui kebenaran tentang Andaru. Ini hanya tertulis di atas kertas. Tidak hanya mengamankan Andaru, tapi juga mengamankan kamu dari Pram." Adnan menatap Suri intens. Menghanyutkan Suri ke dalam pekatnya warna hitam mata pria itu. "Andaru harus punya akta kelahiran yang sah dengan nama kamu dan namaku sebagai orang tuanya. Karena sebuah akta kelahiran hanya bisa dibuat kalau ayah dan ibunya menikah, kita juga perlu surat nikah yang sah dan kartu keluarga."
Suri menggeleng tak habis pikir. "Nan, aku sudah bilang--"
"Aku belum selesai bicara, Ri. Dengarkan dulu." Adnan mengembuskan napas untuk mengurangi kegugupan yang singgah sekilas di wajahnya. "Sebagai seorang pebisnis, aku harus selalu berpikir realistis dan visioner untuk menghadapi hal-hal tak terduga dan nggak bisa dihindari, yang bisa saja terjadi di perusahaan. Saat kamu setuju untuk tinggal di Surabaya, di dekatku, aku pun otomatis memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depanmu dan Andaru. Aku nggak bisa diam dan bersantai-santai menunggu waktu di mana kamu akan kehilangan Andaru."
Suri mendengarkan dalam diam. Namun, tak dipungkiri, jantungnya berdetak kencang. Tangannya kembali berkeringat dingin karena gugup. Walaupun tak bisa menebak apa yang akan dikatakan oleh Adnan selanjutnya, wanita itu mulai menduga kalau Adnan akan mengatakan hal yang tidak biasa.
Dan beberapa detik kemudian, Suri nyaris terjengkang saat Adnan melemparkan bom tepat di depan wajahnya. "Suri... sebenarnya... aku sudah menyiapkan berkas-berkas itu beberapa minggu setelah kamu melahirkan Andaru."
Orang gilaaaa🤣🤣🤣 Adnan kalau udah bertindak beneran nggak main-main ya. Emang kalo udah bucin tuh ada aja jalan buat menghalalkan segala cara🤣🤣🤣
Dada Suri terasa sesak. Ia harus berpegangan pada ujung meja untuk menahan tubuhnya yang oleng sesaat karena tidak siap mendengar pernyataan gila yang diucapkan Adnan. "Aku... aku benar-benar nggak ngerti apa yang sedang kamu bicarakan, Nan." Getar dalam suaranya menunjukkan emosi campur aduk yang telah ditekan kuat-kuat, tetapi tak lagi bisa wanita itu sembunyikan. Hanya dalam kurun waktu dua hari, ia dibuat olahraga jantung berkali-kali. Patut diacungi jempol karena Suri masih belum tumbang juga akibat terlalu banyak menerima kejutan. Kemunculan Pram dan pertemuannya dengan Andaru mungkin memang sudah takdir yang tak bisa dihindari lagi. Namun, tentang apa yang dilakukan Adnan... itu sangat di luar dugaan. Pria itu benar-benar tega karena menambah satu beban pikiran baru di kepala Suri tanpa membiarkannya istirahat sejenak saja. Sulit menolerir tindakan gila Adnan. Memanipulasi data diri tak hanya miliknya sendiri, tetapi juga milik Suri dan Andaru yang terdaftar di Dukcapil. Bag
"Aru benar-benar nggak papa diantar Miss Dina dan Om Wirya ke sekolah?" Suri tak bisa berhenti bergerak gusar di tempat duduknya sejak Dina—pengasuh baru yang akan menjaga Andaru—datang sepuluh menit lalu bersama asisten pribadi Adnan yang berpenampilan serba hitam. Bocah laki-laki yang sedang melahap sarapannya dengan tumis brokoli dan sosis itu mengangguk-angguk. "Mama sama Papa Adnan sibuk kerja buat beli mainan yang banyak buat Aru, kan?" Dengan adanya situasi yang memaksa Suri untuk fokus pada masalahnya dengan mantan suaminya, ia tidak punya pilihan selain menyetujui usul Adnan menyewa pengasuh untuk Andaru. Dina adalah yang terbaik di antara enam kandidat yang dipilih oleh Wirya—atas persetujuan Adnan. Selama bertahun-tahun bekerja untuk Adnan, tidak pernah sekalipun Suri mendengar pria itu mengeluh atau menegur Wirya atas hasil pekerjaannya. Itu artinya, Wirya selalu mengerjakan tugasnya dengan baik. Seharusnya, tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi. Namun, sebagai seorang
Menginjakkan kaki di rumah sakit membuat Suri pusing dan mendadak mual karena terlalu cemas. Sementara itu, kepercayaan diri Adnan yang begitu yakin rencananya berjalan dengan lancar sama sekali tidak membantu Suri untuk bisa tenang. "Harusnya aku nggak makan dulu tadi. Aku rasanya mau muntah," panik Suri mencengkeram tas jinjing di tangan kanannya. Kakinya terasa lemas untuk diajak melangkah, seolah-olah bisa membuatnya jatuh kapan saja. "Kalau kamu nggak makan, kamu udah ambruk dari tadi, Ri." Dan Adnan masih bisa-bisanya bercanda dalam situasi serius seperti sekarang ini. "Seharusnya aku nggak mengizinkanmu merealisasikan rencana gilamu, Nan!" Adnan hanya tertawa dan terus melangkah dengan tenang. Sementara Suri sudah nyaris pingsan karena tekanan emosi yang membuncah di dadanya. Tidak ada yang bisa memprediksi apa yang akan terjadi beberapa detik kemudian. Suri bisa terkena serangan jantung sebelum sempat melihat hasil tes DNA yang dilakukan Adnan, Pram, dan Andaru beberapa ha
"Suri, kamu nggak apa-apa?" tanya Adnan sembari sesekali memperhatikan Suri yang duduk di kursi penumpang di sebelahnya. Sejak meninggalkan rumah sakit lima belas menit yang lalu, wanita yang tidak mau melepas pandangan dari luar jendela itu lebih banyak diam. "Kalau kamu butuh waktu, kamu nggak perlu ikut aku meeting sekarang. Aku bisa sendiri saja. Aku akan minta Wirya menyusul." Menoleh ke arah Adnan, Suri menampilkan senyum yang agak dipaksakan. "Nggak apa-apa, Nan. Meeting ini penting buat perusahaan. Aku nggak akan melewatkannya." "Tapi, Ri—" "Adnan, tolong!" Suri menyentuh lengan pria yang sedang mengemudi itu dengan lembut. "Jangan sedikit-sedikit menyuruhku untuk bolos kerja cuma karena ada masalah atau karena kamu merasa aku nggak cukup kuat untuk menghadapi masalah." Ada tatap penuh sesal saat Adnan membalas, "Seharusnya kamu nggak perlu ikut ke rumah sakit tadi. Jadi, kamu nggak perlu menghadapi kemarahan Pram. Aku yang ceroboh karena membawamu serta." Suri menggeleng.
"Makan siangmu ada di meja ya, Nan. Udah disiapin sama Pak Budi," kata Suri saat ia dan Adnan tiba di lantai 9. Wanita itu langsung melipir ke meja kerjanya yang berada di sisi kiri pintu masuk ke ruangan Adnan. Adnan mengernyit bingung karena Suri tidak mengekor masuk ke ruang kerjanya seperti biasa. "Kita nggak makan siang bareng?" Mereka baru saja selesai meeting dengan investor baru yang datang langsung dari Bali. Pertemuannya berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan hingga jam makan siang telah lewat lebih dari satu jam. Namun, raut puas dari kedua belah pihak tadi menunjukkan kalau rapat panjang selama berjam-jam itu menghasilkan sebuah kesepakatan yang menguntungkan untuk masing-masing perusahaan. Suri cukup senang dan lega karena kerja kerasnya bersama orang-orang kantor selama berbulan-bulan, untuk membantu Adnan menyiapkan proposal pembangunan sebuah panti wreda di Surabaya, terbayar dengan tuntas saat tercapai kesepakatan dengan investor dari Bali yang terkenal sulit
'Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan...' "Kenapa nggak aktif sih, argh!" kesal Suri. Sudah belasan menit berlalu sejak dua wanita penggosip tadi pergi dan ia masih belum beranjak dari bilik kamar mandi. Berkali-kali wanita itu mencoba menghubungi nomor tak dikenal yang mengirimkan pesan ancaman kepadanya itu, tetapi tidak jua tersambung. Ada kemungkinan kalau nomor itu sengaja digunakan satu kali saja untuk menakut-nakuti dirinya, tetapi Suri tetap kembali menekan tombol panggil ke nomor itu. Namun... tetap tidak tersambung hingga percobaan yang ke sekian kalinya. "Pengecut sialan!" Wanita itu mengerang kesal dan menggigiti bibir bawahnya karena cemas berlebih. Ia baru akan mencoba peruntungan sekali lagi, tetapi urung saat ada pesan masuk dari Adnan yang mencari-cari keberadaannya, menyuruhnya segera menyusul ke lobi. Ketika matanya menangkap angka 13.50 di ujung kiri atas di layar ponselnya, ia langsung memekik, "Ya Tuhan, Pak Pandi. Sebentar la
"Hai, Sayang!" Suri melambaikan tangan saat wajah Andaru memenuhi layar ponselnya. "Mama!" Pekikan nyaring itu membuat senyum di bibir Suri tercipta. Setelah itu, beberapa kali tampilan di layar ponselnya sempat goyang karena Andaru sepertinya sedang mencari posisi duduk yang nyaman untuk memegangi ponsel—yang berukuran tiga kali lebih besar dari tangan mungilnya. "Wah, ganteng banget anak Mama! Udah mandi sore sama Miss Dina, ya?" Bocah lelaki yang kedua bola matanya berbinar itu tersenyum lebar. "Aru mandi sendiri tadi, tapi ditemani Om Wirya, Ma. Iya kan, Om?" Mendengar suara Wirya yang mengiyakan pertanyaan Aru, kerutan samar muncul di dahi Suri. "Lho, memangnya Miss Dina tadi ke mana?" "Di dapur, Ma. Lagi bikin susu buat Aru." "Maksud Mama, tadi waktu Aru mandi sama Om Wirya, Miss Dina-nya ke mana? Kenapa nggak sama Miss Dina mandinya?" Wanita itu duduk tegak dan mengulangi pertanyaannya dengan lebih jelas karena Andaru malah memberitahu kegiatan yang dilakukan pengasuhnya
Bukan kemunculan sesosok Pramudya Danuarta yang membuat Suri nyaris pingsan, tetapi kata demi kata yang diucapkan pria itu, meruntuhkan segala harapan dan tanpa bisa dicegah memunculkan ketakutan besar di dalam dirinya. Celah kecil yang ditemukan Pram itu menghancurkan rencana yang telah dipersiapkan dengan sangat matang oleh Adnan. Saat Suri masih mengumpulkan alasan demi alasan yang cukup masuk akal untuk menyangkal kecurigaan Pram, pria itu tiba-tiba tertawa. "Sebenarnya aku datang ke sini bukan untuk menagih jawaban. Jadi kamu nggak usah setegang itu, Ri." Pram bersedekap. Tampak begitu santai, seolah-olah kejadian yang penuh ketegangan pagi tadi tidak pernah ada. Suri menelan ludah. Matanya memicing saat berusaha meneliti ekspresi ganjil di wajah mantan suaminya, yang seperti dirasuki orang lain. 'Ke mana perginya sosok Mas Pram yang dipenuhi amarah dan luka pagi tadi? Mengapa pria itu datang dengan aura yang berbeda?' Ajaibnya, Suri merasa lega karena tak harus bersitatap d
"Waktunya makan malam." Suri mendongak sekilas dari laptop yang ada di hadapannya--ia sedang merapikan agenda untuk esok hari. Menatap sesosok pria beriris hitam legam yang muncul di pintu kamarnya, wanita itu menjawab, "Sebentar lagi aku turun." Adnan mengangguk kecil dan pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi. Suri menghela napas. Hubungannya dengan sang suami belum membaik sejak pindah ke rumah Prabu seminggu yang lalu. Ia masih marah karena dipaksa pindah. Sementara Adnan menyimpan kecewa karena dirinya meminta pisah kamar. Menyusul Adnan tak lama kemudian, Suri menemukan tiga sosok laki-laki berbeda generasi yang telah duduk menempati meja makan besar. Di kepala meja, duduk sang tuan rumah. Diapit oleh Adnan di sisi kanan dan Andaru di sisi kiri. Suri masih bisa menangkap obrolan sang tuan rumah dengan Andaru tentang acara ulang tahun sekolahnya yang akan diadakan akhir minggu ini. Terdengar suara Adnan yang menimpali. "Mama!" Selalu, hanya Andaru yang akan menyapanya dengan ri
Sudah lebih dari dua jam sejak Adnan membawa Andaru pergi. Tidak ada kabar apa pun setelahnya. Karena Suri tidak berusaha menanyakannya lewat telepon meskipun ia ingin sekali. Dan tampaknya Adnan juga tidak terpikir untuk mengabarkan apa-apa tentang pertemuan pertama Andaru dengan Prabu Danuarta tanpa dirinya itu.'Ya Tuhan, kenapa mereka lama sekali?' batin Suri yang ke sekian kali.Dengan hati yang gelisah, diremas-remasnya ujung baju yang ia kenakan hingga kusut. Suri menyesali pilihannya untuk tidak ikut serta dan sekarang hanya bisa menunggu kepulangan anak dan suaminya dalam harap-harap cemas.Ketika kesabaran tinggal seujung kuku dan yang ditunggu masih tak kunjung datang, Suri membulatkan tekad untuk menyusul mereka sebentar lagi.Suara samar dari pintu yang dibuka membuat Suri yang sejak tadi mondar-mandir di ruang tamu bergegas menyongsong ke arah pintu.Wanita itu mengernyitkan kening. Kebingungan melihat Adnan datang sendirian. Padahal, tadi berangkat bertiga dengan Andaru
Membawa Andaru bertemu Prabu sebenarnya belum ada dalam agenda Adnan dalam waktu dekat. Awalnya, Adnan ingin lebih dulu mengantongi restu sebelum memperkenalkan Andaru--cicit pertama di keluarga Danuarta --kepada sang Kakek.Tetapi Suri malah mengacaukan semuanya. Tindakan Suri tempo hari membuat Adnan terlampau kecewa. Biasanya, tanpa kata maaf pun kekesalannya mudah mereda. Tetapi kali ini lain. Rasanya terlalu menyakitkan mendengar dengan telinganya sendiri ketika Suri bicara di depan Kakek, berniat mencampakkan dirinya demi menyelamatkan diri. Adnan mungkin sebenarnya sudah tahu kalau selama ini Suri belum benar-benar memberikan hatinya. Kapan saja Duri bisa berubah pikiran dan meninggalkan dirinya. Adnan hanya tidak mengira kalau waktu itu datang begitu cepat. Semakin ia merasa terkhianati karena Suri telah sempat berjanji tentang berjuang bersama menghadapi Prabu Danuarta."Andaru.. anak itu benar darah dagingmu?" tanya Prabu."Kakek juga butuh bukti tes DNA atau bagaimana?" A
Suri tidak begitu kaget mengetahui Adnan marah padanya sampai berhari-hari setelah apa yang terjadi di rumah Prabu Danuarta. Saat dalam keadaan terpojok kemarin, pikiran negatif mengambil alih akal sehatnya hingga berpikir bahwa meninggalkan Adnan adalah pilihan paling tepat. Itu sama saja dengan mengulangi siklus yang sama ketika ia dihadapkan pada situasi sulit dulu.Bedanya, ketika bersama Pram, ia benar-benar tidak yakin bisa menggantungkan harapannya. Sedangkan bersama Adnan, ada harapan-harapan yang menunggu diwujudkan. Sebab, mereka sudah berjanji untuk saling memperjuangkan."Suri, hari ini saya mau makan siang dengan Adnan. Tolong reservasi tempat di restoran biasa, ya," pinta Farah yang menghubungi lewat telepon di meja kerja."Maaf, Bu, apa saya juga perlu menghubungi Pak Adnan terlebih dahulu untuk--""Oh, nggak perlu. Saya udah ngabarin Adnan, kok."Suri hampir mendesah kecewa. Tadinya, ia mau memanfaatkan kesempatan untuk bicara dengan Adnan setelah beberapa hari terakhi
"Ri, kamu keluar dulu," ucap Adnan dengan suara bergetar menahan amarah. "Biar aku yang bicara--" "Enggak, kamu yang keluar, Nan." "Ri...." "Tolong, Nan. Sebentar saja. Biar aku yang bicara sama kakek kamu," tukas Suri tegas. "Janji sama aku, kamu nggak akan masuk dulu sampai aku keluar dari ruangan ini." Ia melepas genggaman tangan Adnan dan bergeser lebih maju. Mengabaikan kekagetan yang tergambar di wajah suaminya. "Berapa banyak yang Adnan tawarkan padamu? Saya bisa kasih yang jauh lebih banyak kalau kamu meninggalkan anak bodoh itu," ucap Prabu Danuarta dingin. Keangkuhannya membuat Suri bergidik. "Adnan tidak menawarkan apa pun selain kehidupan rumah tangga yang--" "Jangan membual tentang hal-hal seperti cinta dan kebahagiaan di depan muka saya," decih Prabu Danuarta. "Sebut saja nominal yang kamu mau, saya bisa langsung mengirimkannya detik ini juga." "Anda mungkin sulit untuk percaya, tapi saya menikah dengan Adnan bukan karena melihat harta yang keluarganya miliki," b
"Kalau sedang marah, Kakek memang kadang agak merepotkan," ujar Adnan ketika menyadari ada kekagetan yang tergambar di wajah istrinya. 'Agak, katanya?' Di mata Suri, ini sudah di luar nalar. Banyak pecahan beling yang berasal dari guci-guci yang dibanting, bertebaran di mana-mana ketika mereka memasuki rumah megah Prabu Danuarta. Suasana di rumah itu terasa mencekam. Rasanya seperti memasuki TKP setelah ada sebuah kejadian yang mengerikan. Keduanya sudah tiba di ruangan lain yang tidak jauh berbeda dengan keadaan di ruang tamu tadi. Masih tidak ada siapa-siapa di sana. "Siapa yang menghuni rumah ini selain Kakek, Nan?" "Asisten rumah tangga." Suri menoleh dengan cepat. "Maksudmu... selama ini Kakek sendirian?" Membayangkan seseorang yang sudah sepuh tinggal di sebuah rumah megah tanpa keluarganya membuat perasaan Suri campur aduk. Pria tua itu pasti sangat kesepian. Adnan tersenyum tipis. "Itu yang sebenarnya mau aku bahas sama kamu juga. Aku masih harus tinggal di sini sampa
"Mama, Mama! Mama pulang!" seru Andaru menyambut ibundanya yang baru pulang kerja."Halo, anak mama!" Suri berlutut untuk merengkuh anak lelakinya yang menghambur ke arahnya sambil berlarian kecil. "Gimana sekolah hari ini, Nak?""Aru seneeeeeng banget, Mama! Aru punya teman baru banyak!""Wah, pasti betul-betul menyenangkan, ya!" Suri membalas dengan antusias setelah anaknya meminta lepas dari pelukannya. "Ayo cerita sama Mama, siapa aja teman baru Aru?"Walau sudah beberapa lama pindah ke Jakarta, sebenarnya baru hari ini Andaru mulai masuk ke sekolah yang baru. Suri sempat merasa khawatir karena tidak punya waktu untuk ikut mengantarnya di hari pertama, tetapi untungnya Andaru bisa beradaptasi dengan cepat. Miss Dina juga tidak lupa memberikan report kepada Suri melalui foto-foto dan video Andaru di sekolah yang rutin dikirimkannya."Mama nggak pulang bareng Papa, ya?" tanya Andaru setelah berceloteh panjang tentang kesibukannya di sekolah baru. Ia baru menyadari kalau mamanya pula
"Kamu sekretaris barunya Farah?"Adnan tidak bisa menyembunyikan raut terkejutnya bahkan setelah berjam-jam berlalu sejak bertemu Suri di kantor baru wanita itu siang tadi."Begitulah.""Kenapa nggak bilang?"Suri batal melepas ikat rambut dan menatap suaminya dengan tenang. Seperti tak terganggu walau raut wajah suaminya seperti menahan kecewa. "Aku baru mau bilang, tapi kamu terlanjur tahu.""Kalau aku minta kamu membatalkan niat kamu bekerja di sana, kamu keberatan?" tanya Adnan hati-hati.Alis Suri tertaut. Kekesalannya menyeruak ke permukaan. "Nggak bisa gitu dong, Nan. Aku mendapatkan pekerjaan ini karena aku mampu dan aku dibutuhkan. Aku juga udah tanda tangan kontrak. Nggak semudah itu--""Aku yang akan urus kalau kamu bersedia. Kamu kerja di Danuarta aja, nggak harus jadi sekretarisku," ucap Adnan. Lebih terdengar seperti perintah ketimbang permohonan.Suri terlihat marah, tetapi bisa mengendalikan diri setelah beberapa kali mengatur napas. "Kita udah bahas soal itu tadi pagi
"Kamu mau ke mana udah rapi sepagi ini, Ri?" tanya Adnan yang baru saja membuka mata. Jarum jam pendek pada jam beker di nakas menunjuk ke angka enam."Kerja," jawab Suri yang memang sudah berpakaian rapi. Penampilannya persis seperti ketika masih menjadi sekretaris Adnan. Pagi ini, Suri memakai setelan kerja berwarna abu-abu."Di mana? Kok kamu nggak cerita sama aku?" Adnan membelalak. Tampak sedikit tidak terima karena ia tidak tahu apa-apa perihal pekerjaan baru istrinya."Maaf," cicit Suri dengan kepala sedikit menunduk. "Aku nggak tau kalau kamu keberatan aku kerja. Aku nggak bisa cuma diam di rumah dan hanya menikmati harta kamu. Apalagi sekarang hubungan kita terhalang restu—""Maksud aku bukan gitu," decak Adnan.Ini masih pagi dan Suri malah menyinggung masalah sensitif. Ia turun dari tempat tidur dan mendekati istrinya yang sudah berhenti menyisir rambutnya.Pria itu mengambil alih sisir dari tangan Suri dan membantu istrinya menyisir rambut. "Aku memang agak sibuk belakanga