“Oke, oke. Aku mengerti.” Daphne cepat-cepat mengangguk. Senyum pahit masih membekas di wajahnya.“Sekarang, tidurlah,” ulang Axel, menekankan nada dan raut wajahnya agar tak ada celah untuk mengira bahwa dia sedang bercanda.Daphne menatapnya dalam-dalam. Tatapan itu tiba-tiba meredup.Lagi-lagi.“Bisakah kau menggenggam tanganku sampai aku tertidur?”Axel menatapnya lekat-lekat. Dia nyaris mengenal gadis itu dengan sangat baik. Jika tidak sedang merasa cemas, Daphne tak akan bersikap seperti ini saat Axel sedang tidak ingin bercanda.“Oke.” Axel mengangguk, lalu meraih tangan kanan Daphne dan menggenggamnya erat. “Begini?”“Hm-mh,” sahut Daphne lirih. Matanya mulai terpejam.Axel mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, mencermati setiap sudut, berjaga-jaga kalau si penyerang berhasil menyusup tanpa diketahui Daphne.Caden pernah bilang bahwa sistem keamanan apartemen ini tidaklah istimewa. Maksudnya, tidak menjamin seratus persen rasa aman dan nyaman seperti apartemen lain di Valm
Daphne terus saja bertingkah menjengkelkan seperti beberapa waktu belakangan ini. Selama ini, Axel masih bisa memakluminya. Tapi kali ini, tidak.“Aku muak dan lelah, Daphne,” ucap Axel dengan suara tegas. “Kau tidak pernah merasa bahwa aku terus berjuang memisahkan diriku dari ketergantunganmu terhadapku. Tahu dirilah. Tidak ada tempat di hatiku selain untuk istriku. Jadi jangan bertindak yang semakin membuatku membencimu.”Axel melangkah menuju akuarium. Tak ada satu pun reaksi dari Daphne, tanda bahwa perempuan itu menyerah. Seperti biasa.Axel memasukkan tangannya ke dalam akuarium, meraih kunci yang tadi Daphne lempar ke dalam sana. Tubuhnya masih panas, rangsangan akibat sentuhan-sentuhan Daphne yang terus menekan dan menggesek tubuh depannya beberapa menit lalu masih tertinggal. Sial. Dia memang pria normal, tapi bukan tipe yang bisa dengan mudah meniduri wanita tanpa alasan.Setelah mengeringkan kunci dengan bajunya, Axel baru menyadari satu hal—Daphne sudah tak ada di tempat
“Aku yakin. Maaf, Axel. Bukan ingin membela diri, tapi kau bisa menanyakan semua ini pada Cole. Dia pasti tidak akan membohongimu,” balas Zuri, berusaha tetap tenang.Axel akhirnya meraih pakaian dari atas kasur, mengenakannya tepat di depan Zuri.Zuri menelan ludah, merasakan tenggorokannya kering. Dia berbalik, berpura-pura merapikan nampan makanan yang telah dihidangkan, mengaturnya di meja makan lipat kecil untuk masing-masing.Ini adalah rutinitas baru. Mereka jarang makan di kamar tidur, tapi malam ini Zuri melihat kelelahan Axel yang tersirat Makan di atas ranjang dengan meja lipat kecil terasa seperti pilihan yang tepat.Axel mendekat, lalu mulai makan dalam diam. Zuri mengunyah makanannya, pikirannya pun sibuk memikirkan cara meminta izin untuk menghadiri konser Lennox besok.Dia sudah mengirim pesan pada Rara dan Sila, seolah kepergiannya besok sudah pasti. Tapi apa Axel mengizinkan?Axel selesai lebih cepat dari biasanya. Menggeser mejanya, dan Zuri membantu tanpa diminta.
Axel tak menyia-nyiakan momen. Dengan gerakan yang penuh otoritas, mendorong Zuri ke kasur, tubuhnya menyelimuti Zuri seperti badai yang tak terelakkan. Jubah mandi yang masih membalutnya dilepaskan dengan cepat, memperlihatkan tubuhnya yang tegas, otot-ototnya menonjol di bawah kulit yang berkilau tipis oleh keringat.Zuri menahan napas, jantungnya berdegup kencang saat Axel menyingkap pakaian tidurnya dengan gerakan yang terampil namun penuh urgensi, kain itu melorot ke lantai dalam sekejap.“Axel .…” Zuri berbisik, suaranya campuran antara gugup dan antisipasi.Axel tak memberi istrinya waktu untuk ragu. Bibirnya menyerbu, mencium Zuri dengan intensitas yang menghapus segala pikiran lain, lidahnya menari dengan penuh kendali. Tangannya merayap ke pinggul Zuri, jari-jarinya mencengkeram dengan kuat namun tak menyakitkan, menegaskan dominasinya. Ia menarik pakaian dalam Zuri dengan satu gerakan halus, membuangnya tanpa peduli ke mana.“Jangan diam,” perintah Axel, suaranya rendah dan
Akhirnya, Axel menurunkan Zuri kembali ke tempat tidur dengan hati-hati. Tubuhnya masih menutupi Zuri saat ia ambruk di sisinya. Napas mereka masih tersengal, keringat membasahi kulit mereka.“Jangan pernah berbohong padaku,” bisik Axel, suaranya kini lebih lembut, tapi masih menyimpan nada peringatan yang tak asing.Zuri mengangguk lemas, tubuhnya terasa seperti melayang, pikirannya terpecah antara kepuasan fisik yang luar biasa dan ketegangan emosional yang selalu mengikuti momen seperti ini dengan Axel. Dia menutup mata, membiarkan kehangatan tubuh Axel menyelimutinya, meski tahu malam ini hanyalah salah satu dari banyak malam yang penuh kontradiksi dalam pernikahan mereka.Melirik ke samping, melihat Axel yang kini berbaring telentang, mata suaminya menatap langit-langit dengan ekspresi yang sulit dibaca. Tubuh mereka masih telanjang, keringat mereka bercampur, dan udara di kamar terasa hangat, penuh aroma hasrat yang belum sepenuhnya memudar.Saat Zuri bergerak untuk menarik seli
Axel Nightvale duduk tegak, ekspresinya datar, tapi tatapannya tajam mengunci Zuri Everlyn. Tanpa basa-basi, dia meletakkan sebuah amplop cokelat di atas meja.“Buka dan pastikan sendiri.”Zuri membuka amplop. Jari-jarinya sedikit gemetar saat menarik isinya. Beberapa lembar dokumen dan foto terselip di dalamnya.Rekaman CCTV menunjukkan Elysia memasuki kamar Axel, membuka lemari, dan menemukan kotak-kotak perhiasan di bawah lipatan pakaian. Gambar berikutnya menangkap momen saat kakaknya itu berdiri di depan brankas, memasukkan kombinasi angka yang ternyata tanggal pertemuan pertama mereka, lalu mengambil uang dalam jumlah besar.Di bawahnya, ada laporan transaksi rekening yang menunjukkan miliaran hilang pada malam yang sama. Beberapa foto memperlihatkan isi tas yang dibawa Elysia ke bandara—kotak-kotak perhiasan milik ibunya Axel masih utuh, tersembunyi di antara tumpukan uang tunai.Laporan terakhir dari pihak bandara mencatat bagaimana dua polisi berpakaian preman mengikuti Elysia
Zuri berdiri kaku di ruang persiapan, menatap gaun pengantin berwarna putih gading yang tergeletak di sisinya. Sorot matanya redup, menyimpan kekecewaan yang mendalam. Ini bukan pernikahan dengan Jaxon Holt. Hari ini, Axel Nightvale—kakak iparnya yang kini tak lagi terikat dengan Elysia Rosier, akan mengikatnya dalam sebuah ikatan yang dia benci.Tiga puluh menit lagi, janji setia akan terucap. Tubuh Zuri menegang, jantungnya berdegup kencang. Dia ingin kabur, menghilang dari ruangan ini, tapi kenyataan menekannya seperti belenggu besi.“Kenapa belum berpakaian?” Suara Axel memecah hening, tajam dan dingin.Zuri mendongak cepat, melihat pria itu berdiri di ambang pintu, masih mengenakan kaos putih dan celana olahraga hitam.Tatapan Axel yang menusuk, membuat Zuri tersentak hingga napasnya tersendat.Dia membuka mulut, tapi kata-katanya tercekat. “Aku … ingin istirahat sebentar,” jawabnya lemah, suaranya nyaris hilang.“Tidak ada waktu.” Axel melangkah masuk, posturnya tegak penuh otori
Di kantor, Axel keluar dari ruang rapat dengan perut kosong. Kekacauan pagi itu membuatnya kesal, fokusnya hilang.“Tuan Axel, ada tamu,” kata Oliver—salah satu karyawan terpercaya Axel, mendekat cepat.“Tamu?” Axel mengerutkan kening. Seingatnya, tidak ada jadwal tamu hari ini sampai nanti.“Itu Nyonya Zuri Everlyn. Istri baru Anda,” bisik Caden—asisten sekaligus sekretaris Axel yang berdiri tepat di sisinya.Axel menegang, pikirannya melayang ke Elysia sebelum tersadar pada kenyataan. “Biarkan dia menunggu. Aku perlu mengecek beberapa dokumen dulu,” katanya dingin, lalu masuk ke ruangan.Belum lama duduk, Axel gelisah tanpa alasan pasti. Zuri di Nightvale Corporation mengusiknya. Dia selalu melarang wanita masuk ke sini—bahkan Elysia. Tapi Zuri ada di sini sekarang. Hal itu membuatnya merasa terganggu dan tidak nyaman.Akhirnya, dia bergegas ke ruang yang biasa dijadikan tempat para tamu untuk bertemu dengannya. Membuka pintu, dia melihat Zuri duduk kaku, memegang kotak bekal ungu tu
Akhirnya, Axel menurunkan Zuri kembali ke tempat tidur dengan hati-hati. Tubuhnya masih menutupi Zuri saat ia ambruk di sisinya. Napas mereka masih tersengal, keringat membasahi kulit mereka.“Jangan pernah berbohong padaku,” bisik Axel, suaranya kini lebih lembut, tapi masih menyimpan nada peringatan yang tak asing.Zuri mengangguk lemas, tubuhnya terasa seperti melayang, pikirannya terpecah antara kepuasan fisik yang luar biasa dan ketegangan emosional yang selalu mengikuti momen seperti ini dengan Axel. Dia menutup mata, membiarkan kehangatan tubuh Axel menyelimutinya, meski tahu malam ini hanyalah salah satu dari banyak malam yang penuh kontradiksi dalam pernikahan mereka.Melirik ke samping, melihat Axel yang kini berbaring telentang, mata suaminya menatap langit-langit dengan ekspresi yang sulit dibaca. Tubuh mereka masih telanjang, keringat mereka bercampur, dan udara di kamar terasa hangat, penuh aroma hasrat yang belum sepenuhnya memudar.Saat Zuri bergerak untuk menarik seli
Axel tak menyia-nyiakan momen. Dengan gerakan yang penuh otoritas, mendorong Zuri ke kasur, tubuhnya menyelimuti Zuri seperti badai yang tak terelakkan. Jubah mandi yang masih membalutnya dilepaskan dengan cepat, memperlihatkan tubuhnya yang tegas, otot-ototnya menonjol di bawah kulit yang berkilau tipis oleh keringat.Zuri menahan napas, jantungnya berdegup kencang saat Axel menyingkap pakaian tidurnya dengan gerakan yang terampil namun penuh urgensi, kain itu melorot ke lantai dalam sekejap.“Axel .…” Zuri berbisik, suaranya campuran antara gugup dan antisipasi.Axel tak memberi istrinya waktu untuk ragu. Bibirnya menyerbu, mencium Zuri dengan intensitas yang menghapus segala pikiran lain, lidahnya menari dengan penuh kendali. Tangannya merayap ke pinggul Zuri, jari-jarinya mencengkeram dengan kuat namun tak menyakitkan, menegaskan dominasinya. Ia menarik pakaian dalam Zuri dengan satu gerakan halus, membuangnya tanpa peduli ke mana.“Jangan diam,” perintah Axel, suaranya rendah dan
“Aku yakin. Maaf, Axel. Bukan ingin membela diri, tapi kau bisa menanyakan semua ini pada Cole. Dia pasti tidak akan membohongimu,” balas Zuri, berusaha tetap tenang.Axel akhirnya meraih pakaian dari atas kasur, mengenakannya tepat di depan Zuri.Zuri menelan ludah, merasakan tenggorokannya kering. Dia berbalik, berpura-pura merapikan nampan makanan yang telah dihidangkan, mengaturnya di meja makan lipat kecil untuk masing-masing.Ini adalah rutinitas baru. Mereka jarang makan di kamar tidur, tapi malam ini Zuri melihat kelelahan Axel yang tersirat Makan di atas ranjang dengan meja lipat kecil terasa seperti pilihan yang tepat.Axel mendekat, lalu mulai makan dalam diam. Zuri mengunyah makanannya, pikirannya pun sibuk memikirkan cara meminta izin untuk menghadiri konser Lennox besok.Dia sudah mengirim pesan pada Rara dan Sila, seolah kepergiannya besok sudah pasti. Tapi apa Axel mengizinkan?Axel selesai lebih cepat dari biasanya. Menggeser mejanya, dan Zuri membantu tanpa diminta.
Daphne terus saja bertingkah menjengkelkan seperti beberapa waktu belakangan ini. Selama ini, Axel masih bisa memakluminya. Tapi kali ini, tidak.“Aku muak dan lelah, Daphne,” ucap Axel dengan suara tegas. “Kau tidak pernah merasa bahwa aku terus berjuang memisahkan diriku dari ketergantunganmu terhadapku. Tahu dirilah. Tidak ada tempat di hatiku selain untuk istriku. Jadi jangan bertindak yang semakin membuatku membencimu.”Axel melangkah menuju akuarium. Tak ada satu pun reaksi dari Daphne, tanda bahwa perempuan itu menyerah. Seperti biasa.Axel memasukkan tangannya ke dalam akuarium, meraih kunci yang tadi Daphne lempar ke dalam sana. Tubuhnya masih panas, rangsangan akibat sentuhan-sentuhan Daphne yang terus menekan dan menggesek tubuh depannya beberapa menit lalu masih tertinggal. Sial. Dia memang pria normal, tapi bukan tipe yang bisa dengan mudah meniduri wanita tanpa alasan.Setelah mengeringkan kunci dengan bajunya, Axel baru menyadari satu hal—Daphne sudah tak ada di tempat
“Oke, oke. Aku mengerti.” Daphne cepat-cepat mengangguk. Senyum pahit masih membekas di wajahnya.“Sekarang, tidurlah,” ulang Axel, menekankan nada dan raut wajahnya agar tak ada celah untuk mengira bahwa dia sedang bercanda.Daphne menatapnya dalam-dalam. Tatapan itu tiba-tiba meredup.Lagi-lagi.“Bisakah kau menggenggam tanganku sampai aku tertidur?”Axel menatapnya lekat-lekat. Dia nyaris mengenal gadis itu dengan sangat baik. Jika tidak sedang merasa cemas, Daphne tak akan bersikap seperti ini saat Axel sedang tidak ingin bercanda.“Oke.” Axel mengangguk, lalu meraih tangan kanan Daphne dan menggenggamnya erat. “Begini?”“Hm-mh,” sahut Daphne lirih. Matanya mulai terpejam.Axel mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, mencermati setiap sudut, berjaga-jaga kalau si penyerang berhasil menyusup tanpa diketahui Daphne.Caden pernah bilang bahwa sistem keamanan apartemen ini tidaklah istimewa. Maksudnya, tidak menjamin seratus persen rasa aman dan nyaman seperti apartemen lain di Valm
“Apa aku terlihat bercanda karena mengatakannya sambil tertawa?” Alis tebalnya terangkat.Ah, rupanya pria itu serius. Mentraktir makan siang bukan hal berlebihan—hanya sopan santun menurut Zuri. “Oke. Apa yang ingin kau makan siang ini?”Pria itu berdiri, bersemangat. “Sesuatu yang berkuah dan sedikit pedas.”“Mapo tofu? Tom yam? Pozole? Shrimp creole?” tanya Zuri.“Kau sudah mencoba semuanya, ya?” Matanya terbelalak, antusias.“Tidak. Aku hanya tertarik mencoba shrimp creole,” jawab Zuri.“Di depan klinik ada restoran kecil. Bagaimana menurutmu?” tanya pria itu.“Aku akan memeriksa Dottie dulu. Mungkin dia membutuhkanku,” kata Zuri.“Ah, baiklah. Silakan,” jawabnya.Saat kembali, Cole masih di sana, bicara serius dengan Dottie. Zuri tidak tahu mereka sedang membahas apa.“Dokter baru memastikan bibi bisa pulang sore nanti,” kata Cole, melirik ke belakang Zuri. “Di mana Tuan Ronan, Nyonya?”“Oh, kau mengenalnya?” tanya Zuri.“Kami semua saling kenal, kecuali kau, istrinya Axel,” ujar
Sementara Axel bersama Daphne, Zuri menyingkir dari sana dan kembali teringat kejadian tadi. Sudah berusaha menghindar, namun sepertinya Daphne memang sengaja berniat agar Zuri ikut terlibat.Zuri menebak, bahwa gadis itu masih muda, mungkin awal dua puluhan. Saat tadi memaksa masuk, dia sedang bersiap membuka butik dan meminta Dottie mengatakan pada petugas keamanan di pos penjaga depan agar membiarkan Daphne masuk.Awalnya, Zuri tidak mengira-ngira akan terjadi sesuatu, tapi rupanya, gadis itu malah menghardik dan membentaknya.Dan tuduhan yang paling membuat Zuri ingin tertawa adalah ….“Kau penyebab Axel berubah menjadi pria lemah seperti sekarang.”Zuri menahan diri untuk tidak tertawa. Apa? Axel menjadi pria lemah karena dirinya? Oh, mana mungkin!Jika Axel memperlihatkan kelemahan, seolah karena Zuri, itu hanya sandiwara untuk menjaga reputasinya sebagai suami baik di mata orang lain. Zuri yakin hal itu juga berlaku untuk gadis muda itu. Axel berubah menjadi pria lemah? Yang ben
Axel membuang napas, menarik Zuri ke pelukannya. Mendekap Zuri erat-erat. “Kuberitahu kau satu rahasiaku, Zuri. Mungkin kau menyadarinya. Aku mustahil tidak tahu apa pun tentangmu. Aku menikahimu setelah menyelidiki latar belakangmu. Lalu, apa gunanya kau berbohong pada seseorang yang tahu kebenarannya? Walau aku sering bertanya seolah tak tahu, itu hanya caraku mendengar versimu. Apa sekarang kau mengerti?” kata Axel, panjang lebar.Zuri mengangguk, meminta maaf lagi, dan Axel mengusap punggung istrinya dengan lembut. “Sekarang tidurlah.” Dia melepas Zuri, berbalik untuk memunggungi sang istri.“Oke.” Zuri mengangguk pelan, menarik selimut untuk mereka berdua. Berakhir dengan tidur saling membelakangi.***Pagi harinya, Zuri tidak ada di sisi Axel, tapi ada nampan sarapan pagi pria itu seperti biasa. Dia bertanya-tanya ke mana perginya si istri.Turun dari ranjang, Axel mendengar kegaduhan di luar kamar. Luar biasa—kenapa ada keributan di rumahnya yang seharusnya tenang, terutama di
“Hm-mh,” jawab Zuri, suaranya parau seperti bersenandung.“Tidurlah. Akan kubangunkan saat hujannya reda,” kata Axel.“Baiklah,” jawab Zuri. Entah nadanya kecewa atau tidak, tapi setengah sadar, dia mengecup leher Axel pelan sebelum memejamkan mata.Saat terbangun beberapa belas menit kemudian, Zuri melihat embun sisa hujan di kaca mobil. Axel sudah menyetir, alunan musik lembut mengalir—pengantar tidur. Untuknya? Dia pikir mungkin saja begitu. Menggeliat dalam selimut, Zuri mendengar Axel berdeham.“Jangan sampai selimutmu terlepas, Zuri. Atau aku akan menghukummu. Kau mengerti?” ancam Axel.Bercanda atau serius, tetap saja Zuri merasa panik. “Aku mengerti.”“Bagus,” kata Axel.Jalan menuju rumah di Fairview sudah dekat. Zuri menghela napas. Seperti rasa kecewa karena kebersamaan mereka segera berakhir.“Ponselmu terus berdering sejak tadi. Periksalah,” ujar Axel.Zuri menemukan tas di bawah kakinya. Melihat ponsel, jantungnya berdebar cepat. Lennox menelepon lima belas kali dan meni