"Biyaaa ... kenapa baru pulang? Aku takut." Begitu membuka pintu utama, Neo berlari dan menghambur memeluk lutut Abia.Perempuan itu mengerjap terkejut. "Loh, kenapa kau takut? Kan ada Daddy," tanya Abia heran."Aku tidak tahu Daddy ada di mana. Saat aku bangun tadi, dia menghilang." Neo bercerita dengan wajah hampir menangisnya."Biya juga tidak ada. Aku jadi takut sendirian di rumah. Bi Lily juga sudah tidur," sambung bocah sipit itu yang membuat Abia luar biasa merasa bersalah.Lagipula, Arya juga tahu dia pergi keluar. Kenapa pria itu malah meninggalkan Neo sendiri di rumah? Kemana suaminya pergi malam-malam begini?"Mungkin Daddy ada pekerjaan yang harus segera dikerjakan. Biya tadi juga begitu. Jadi, jangan takut, ya? Ayo Biya temani tidur!" ajak Abia sambil mengangkat bocah sipit itu ke dalam gendongannya.Neo mengangguk patuh. "Tapi jika aku tidur, jangan tinggalkan aku sendirian, ya?" pesan bocah itu yang diangguki Abia sambil tersenyum."Tentu saja. Mana mungkin Biya mening
Arya baru saja akan berbelok ke jalan menuju rumahnya kalau saja Aluna tidak meneleponnya. Maka, pria itu memilih menghentikan mobil sejenak guna mengangkat telepon."Ada apa?" tanya Arya to the point."Kudengar kau yang membawaku ke sini. Perawat juga bilang kau menungguku sampai siang. Terima kasih," ucap perempuan di seberang sana yang hanya dibalas Arya dengan dengkusan."Aku yang menabrakmu. Jadi aku harus bertanggung jawab, kan?" sahut Arya apa adanya."O-oh ... okey. Tapi aku ingin berterima kasih secara langsung. Bisa kau datang ke sini?" pinta Aluna lembut."Tidak. Aku sibuk," jawab Arya cepat."Tolong, aku juga ingin membicarakan sesuatu denganmu. Datang, ya?" pinta perempuan itu lagi terdengar memelas.Arya diam sejenak. Seketika, pria itu teringat kembali pada perselingkuhan istrinya dengan Keanu."Iya, aku akan datang."Jika Abia saja bisa, kenapa Arya tidak, kan?***"Kenapa Biya pulang sendiri?" tanya Neo yang sore ini tengah bersepeda di halaman rumah yang luas.Abia m
Abia terbangun dan menyadari dia ada di kamar. Padahal, semalam perempuan itu yakin bahwa dia masih berada di ruang tengah.Pasti Arya yang membawanya ke sini, kan? Apa pria itu sudah pulang? Meraba pada sisi kasur tempat biasanya Arya tertidur, Abia menghela napas kecewa.Tempat itu terasa dingin. Tanda bahwa Arya memang tidak tidur di sini semalam. Segera bangkit dan berlari keluar kamar, perempuan itu tersenyum senang begitu menemukan suaminya tengah duduk sambil meminum kopi di lantai bawah."Kapan kau pulang, Mas?" tanya Abia senang.Perempuan itu berlari turun dari tangga membuat Arya ingin mengomelinya dan bilang hati-hati, tapi terlalu gengsi. Dia harus bisa menahan diri."Semalam," jawab Arya singkat."Kenapa tidak membangunkanku jika ingin minum kopi?" tanya Abia sambil duduk di samping pria itu.Arya diam. Terlihat tidak berniat menjawab. Pria itu menyesap kopinya lagi. Membuat Abia tersenyum getir karena diabaikan oleh sang suami."Apa kesalahanku sefatal itu sampai sikapm
Begitu sampai rumah, Arya mendapati ruang tengah yang sepi. Tidak ada Abia ataupun Neo yang biasanya duduk menonton TV di sini."Kemana mereka?" tanya Arya heran. Saat menaiki tangga menuju lantai dua, suara derai tawa sang istri dan putranya terdengar. Sepertinya Abia berada di kamar Neo, pikir Arya.Arya refleks berjalan menuju kamar putranya. Tapi, baru saja memegang gagang pintu, kesadaran menguasai diri."Kenapa aku harus bertemu dengannya?" geram Arya pada dirinya sendiri sebelum kemudian berbalik menuju kamar.Sampai Arya selesai mandi dan berganti pakaian, Abia tidak juga kembali dari kamar Neo. Membuat pria itu gemas ingin mengetahui apa yang keduanya lakukan.Tidak mungkin Abia tidak sadar kalau dirinya sudah pulang, kan? Karena terlalu kesal dan penasaran, Arya memberanikan diri masuk ke kamar Neo.Begitu membuka pintu, Arya mendapati Abia tengah memandangi boneka pemberian Aluna untuk Neo lekat. Wajah perempuan itu tampak murung. Apa Neo menceritakan soal Aluna pada Abia
"Kalian tahu? Semalam, rumor soal foto mirip Keanu tengah berkencan dengan seorang perempuan menyebar." Bu Anna mulai bercerita.Aira dan Rindi menoleh tertarik. Berbanding terbalik dengan Abia yang masih fokus menatap kopinya yang tersisa setengah. Tentu saja dia tidak peduli dan tidak ingin tahu.Orang itu adalah dia."Aku juga melihatnya. Memang mirip Keanu, tapi bisa juga tidak. Postur tubuh kan bisa sama, tapi wajah serta rambutnya tertutup topi dan masker." Aira menyahut bak seorang detektif."Kurasa ... aku juga mengenal perempuan itu. Jika benar itu Keanu, pasti kau juga mengenal perempuan yang dikencani temanmu itu kan, Abia?" Kali ini, Rindi beralih pada Abia.Abia berusaha bersikap biasa. "Coba kulihat fotonya!" pinta Abia membuat Aira segera menyodorkan ponsel berisi foto punggung Keanu dan Abia dari jarak jauh tersebut."Bajunya mirip denganku. Kira-kira siapa, ya?" gumam Abia seolah orang di foto itu bukan dia."Loh, iya juga! Kenapa bisa baju kalian mirip, ya?" timpal R
"Jadi ... dia tidak sakit, Cin?" tanya Arya sekali lagi memastikan.Dokter perempuan cantik dengan name tag 'Cintya A.' Serta kacamata itu mengangguk. Dia tersenyum lebar."Iya, Ar. Istrimu hanya sedang hamil. Oleh karena itu dia gampang kelelahan dan pusing. Terlebih, dia juga anemia. Jadi, jangan biarkan dia stres dan bekerja terlalu berat dulu, ya?" peringat Dokter sekaligus sepupunya tersebut.Arya mengangguk pelan. "Jadi ... dia hamil, ya?" tanya pria itu lagi. Masih terdengar tidak percaya."Sana temui istrimu! Dia sudah sadar daritadi. Aku juga sudah memberitahukan soal kehamilannya," perintah Cintya sambil mendorong bahu Arya masuk ruangan.Dengan berat hati, pria itu masuk ke sana. Di sana, Arya mendapati Abia tengah tersenyum senang sambil mengelus perutnya yang masih rata. Begiru menyadari kehadiran Arya, Abia segera memegangi lengan pria itu sambil tersenyum cerah. Senyum yang jarang sekali Arya lihat dari bibir istrinya beberapa waktu belakangan."Mas, aku hamil. Kita ak
Abia duduk di bawah ranjang dekat nakas sambil memeluk lutut. Sesekali, perempuan itu menghela napas berat. Kepalanya bersandar pada samping ranjang sambil memandangi langit-langit kamar.Dia benar-benar bingung sekarang. Jika sampai Arya tidak ingin mengakui anak ini, Abia harus bagaimana? Apa dia pergi dari sini saja?Tapi, Neo bagaimana? Mana mungkin Abia bisa meninggalkan bocah itu? Meski hanya anak tiri, Abia sudah sangat menyayangi Neo seperti putranya sendiri."Biyaaa!" Neo memanggil sambil masuk ke kamar sang Mama.Bocah sipit itu tampak mengucek matanya dengan rambut berantakan. Neo baru bangun dari tidur siangnya."Ada apa, Neo? Kau lapar?" tanya Abia sambil mendongak menatap putranya yang kini berdiri di depan."Kenapa Biya duduk di lantai? Dingin, Biya. Kata Daddy, Biya bisa sakit." Neo malah menegur sambil menarik lengan Abia agar berdiri.Perempuan itu tersenyum. "Maaf, Biya hanya bosan berbaring di atas ranjang," jawab Abia sambil bangkit dan duduk di sisi ranjang.Neo
"Kau hanya akan cuti sampai kau melahirkan, kan?" tanya Rindi memastikan.Raut wajah perempuan itu tampak sedih. Abia tersenyum menenangkan."Hei, aku hanya cuti kerja, Rin. Bukan pergi ke luar negeri. Kenapa kau harus memasang ekspresi sejelek itu?" ledek Abia yang dibalas Rindi dengan dengkusan sebal."Kau tidak mengerti! Bagaimana bisa kau tega membiarkanku diomeli sendirian oleh Pak Arya?" tanya perempuan itu kesal."Setidaknya gajimu bertambah! Aku bekerja sejak sebelum Abia datang ke sini, tapi jabatanku tidak naik sama sekali. Sekarang, kau direkomendasikan dan naik pangkat menjadi kepala tim humas. Lalu kau memasang wajah seperti itu? Ayolah ... ini menyinggungku," omel Bu Anna sambil melempari pegawai yang dulu menjadi juniornya dengan kulit kacang.Abia terkekeh. "Nah, iya juga. Setidaknya kau bersyukur karena gajimu naik berkali-kali lipat. Hal paling baiknya ...." Abia mendekatkan bibir pada telinga sang sahabat, "kau bisa lebih sering bertemu Lintang," bisiknya lirih.Kon
Selesai beristirahat sebentar, Naya memutuskan untuk bermain bulutangkis lagi. Tentu saja setelah perdebatan panjang lebar dengan si cerewet Neo."Kau tidak mau berhenti? Lihat wajah suamimu sudah semenyeramkan itu," tanya Arya di sela permainan seru mereka.Sedari tadi, pria sipit itu memang duduk menunggu di sisi area permainan sambil terus melotot pada sang istri. Naya yang dipelototi tentu saja tidak merasa sama sekali. Sebab jika sudah terlalu fokus pada permainannya, perempuan itu tidak akan memperhatikan hal lain lagi."Biarkan saja, Yah. Dia memang selebay itu," jawab Naya santai yang hanya dibalas Arya dengan kekehan kecil.Pria itu juga bermain dengan kelewat fokus melawan sang menantu. Meski hanya mengeluarkan sebagian kecil kemampuan bermainnya, pukulan yang dilayangkan Naya begitu berbahaya.Perempuan itu juga jarang sekali 'error'. Bidikan-bidikannya pun tepat dan cepat membuat Arya tidak bisa menjangkau dan menebak ke mana bola tersebut diarahkan.Sejujurnya, bermain de
Neo terbangun karena merasa terganggu dengan gerakan gelisah di sampingnya. Begitu melihat sang istri rupanya masih terjaga, pria sipit itu mengernyit heran. Ada apa dengan perempuan ini sehingga masih bangun di tengah malam begini?“Hei, bodoh! Kenapa kau masih bangun?” tanya Neo tidak habis pikir begitu perempuan itu menoleh terkejut padanya yang juga ikut bangun.“Apa aku mengganggu tidurmu? Aku hanya tidak bisa tidur,” tanya Naya merasa sedikit tidak enak hati.“Setidaknya jika tidak bisa tidur, kau jangan mengganggu tidur orang lain! Kenapa kau begitu menyebalkan? Apa kau tidak tahu ini jamnya orang normal untuk beristirahat? Ck ... kau memang bukan orang normal sepertinya,” omel Neo kelewat sebal.“Iya-iya! Maafkan aku, aku akan berusaha untuk tidak bersuara lagi.” Naya menyahut cepat sambil membenarkan posisi berbaringnya.Berikutnya, Neo memilih untuk memejamkan mata lagi sambil berbaring menghadap sang istri. Tapi, beberapa saat kemudian pria itu kembali membuka mata dan mena
Sejak kembali dari supermarket, Abia menyadari wajah sang menantu sedikit murung. Perempuan itu terus diam sedari tadi tanpa mengatakan apa-apa setelah pertemuannya dengan sang suami juga sang adik. Abia yakin perempuan itu merasa sedikit dikhianati oleh kelakuan Neo yang malah pergi berkencan dengan sang adik bukannya menemaninya selaku istri pria itu.“Apa kau butuh sesuatu? Atau ada yang membuatmu merasa terganggu?” tanya Abia meski sebenarnya dia sudah tahu betul masalah perempuan itu.“Hah? Tidak ada, Bunda. Kenapa malah bertanya begitu?” tanya Naya sambil menggeleng keras.“Tidak apa-apa. Bunda hanya sedikit khawatir karena kau terus diam dari tadi,” jawab Abia yang dibalas Naya dengan oooh singkat.“Aku tidak apa-apa. Mungkn aku hanya sedikit mengantuk, apa aku boleh pergi tidur?” tanya Naya sekaligus meminta izin untuk kembali ke kamar.“Tentu saja! Jika kau takut tidak bisa ikut memasak, Bunda akan menunggumu. Lagipula ini juga belum waktunya untuk memasak, kan?” tanya Abia
"Eh ... eh eh! Kenapa dia terus memberikan pukulan panjang?! Kenapa dia begitu bodoh?! Sepertinya dia hanya bermain dengan tenaga tanpa otak!" Naya terus memaki sambil menatap fokus pada layar pipih yang ada di ruang tengah tersebut.Abia yang penasaran dengan suara ribut itu dari arah dapur, kontan segera keluar dan melihat apa alasan kehebohan menantunya. Begitu menyadari perempuan itu tengah menonton pertandingan bulutangkis super series antar negara di televisi, Abia tersenyum senang."Kau sepertinya fokus sekali menonton, ya?" komentar Abia sambil berjalan mendekat dan duduk di samping perempuan yang terlihat sangat berat mengalihkan pandangan dari arah televisi itu."Eh, Bunda. Maaf, apa suaraku begitu berisik sampai Bunda bisa mendengarnya meski di dapur?" tanya Naya sambil menatap Abia sesekali."Iya, ini pertama kalinya Bunda mendengarmu seheboh itu. Ini juga pertama kalinya Bunda melihat matamu berbinar seantusias itu saat melihat sesuatu," jujur Abia yang sejenak membuat Na
"Pak, ada putrinya Tuan Bintang yang menunggumu di luar." Cindy, sekretaris pribadi Neo memberitahu."Kenapa dia mencariku ke kantor? Apa dia begitu tidak punya pekerjaan di rumah?" gumam Neo sambil meletakkan berkas yang tadi dibacanya sejenak."Bilang saja tunggu dulu. Aku masih punya banyak pekerjaan. Kau tidak lihat?" tanya Neo galak yang sejenak membuat perempuan itu sedikit terperangah."Bapak serius menyuruh Bu Nara menunggu? Biasanya kan Bapak langsung menemuinya. Apa karena Bapak sudah menikah jadi Pak Neo ingin menjaga perasaan istri Anda?" tanya Cindy serius yang kontan membuat Neo menoleh terkejut."Maksudmu yang ada di luar itu Nara? Kenapa tidak bilang?! Kan kukira Naya!" maki Neo malah semakin emosi.Cindy menggaruk tengkuknya bingung. Dia memang selalu terlihat serba salah begini di hadapan atasannya yang satu ini.Padahal, sudah sekitar enam tahun Cindy bekerja pada pria itu. Bagaimana bisa dia kadang masih merasa kebingungan menghadapi makhluk sipit ini?"Yasudah, Pa
Pagi ini, Neo tidak berangkat bekerja karena hujan. Meeting yang sudah mereka jadwalkan dengan client pun terpaksa dilakukan secara daring atau online. Tidak terkecuali Arya yang juga lebih memilih bolos ke kantor dan sibuk bermanja pada istri cantiknya.Ini memang sudah memasuki musim hujan. Biasanya, saat hujan mulai gemar datang begini, Naya akan bermalas-malasan di asrama bersama atlet lain. Karena ada begitu banyak alasan untuk tidak latihan."Biasanya aku bahkan menyeduh mie instan dengan kopi hangat bersama Tama," gumam Naya sambil bersila pada dinding kaca belakang rumah yang langsung menampilkan pemandangan taman belakang.Perempuan itu jadi teringat pada Bagas sekarang. Aditama Bagaskara, satu-satunya atlet ganda campuran yang mampu bertahan menjadi pasangannya di pertandingan internasional juga mampu menyeimbangkan permainan Naya.Peringkat mereka bahkan sudah berada di 10 besar dunia. Mana mungkin dia bisa lupa pada pria itu? Bagas selalu menemaninya pada setiap moment pen
Begitu terbangun dari tidurnya, Naya mendapati dirinya sudah berada di kamar. Seingatnya, tadi dia masih berbaring di sofa karena bosan menunggu Neo yang malah sibuk dengan game di ponselnya.Lalu, siapa yang memindahkannya ke kamar? Tidak mungkin dia berjalan sendiri ke sini. Begitu mendengar suara pintu kamar mandi terbuka, Naya menoleh cepat."Eh, kau sudah bangun?" tanya Neo sambil mengacak-acak rambutnya yang masih basah setelah mandi dan keramas.Sejenak, Naya terpaku melihat betapa se ksi pria itu. Dengan telan jang dada serta handuk yang hanya melilit sampai perutnya, sang suami entah kenapa terlihat bertambah menawan berkali-kali lipat.Gambaran pria dewasa dengan tubuh sempurna yang ada dalam hayalan Naya. Meski dikenal bahkan dirumorkan sudah tidak tertarik pada lawan jenis, tidak ada yang tahu bahwa sebenarnya kriteria Naya begitu tinggi untuk urusan lelaki.Perempuan itu tidak suka tubuh atlet, karena dia sudah terlalu bosan melihatnya. Dia menyukai pria dengan proporsi
Begitu Ayahnya pulang dari rumah sang suami, Naya segera kembali ke kamarnya. Entah kenapa, dia jadi mudah merasa lelah akhir-akhir ini. Sekarang, Naya bahkan merasa mengantuk. Tapi, baru saja akan memejamkan mata, suara bantingan pintu membuat perempuan itu terlonjak kaget.BRAK!"Apa kau tidak bisa membuka pintu dengan biasa-biasa saja?" tanya Naya tidak habis pikir dengan putra tunggal Arya Januar Malik itu."Kenapa kau mengaturku? Apa pedulimu tentang caraku membuka atau menutup pintu?" tanya Neo malah sensi sendiri.Naya mengernyit heran dengan jawaban bernada sarkas sang suami. Ada apa dengan pria ini? Kenapa suasana hatinya terus berubah dalam jangka waktu yang sangat singkat?"Kau mau apa berbaring di kamar saat masih siang begini? Seharusnya kau di luar menemani Biya atau melakukan kegiatan yang lain," komentar Neo begitu melihat perempuan itu kembali berbaring di ranjang sambil memejamkan mata."Kenapa kau mengaturku? Apa pedulimu tentang di mana aku jam segini?" tanya Naya
Jam menunjukkan pukul 2 siang saat sang Ayah berkunjung ke rumah Neo. Tepatnya rumah baru Naya juga. Pria itu beralasan ingin bermain catur dengan Arya---sang ayah mertua, dan Naya mempercayai saja.Padahal, nyatanya Bintang datang hanya untuk melihat keadaan sang putri. Apa perempuan itu betah di rumah suaminya juga apakah perempuan itu baik-baik saja. Bintang hanya ingin mengetahui hal tersebut."Kenapa kau tidak mengajakku main catur daritadi?" tanya Bintang heran begitu pria itu hanya menyuguhkan kopi dan makanan ringan di atas meja ruang tengah."Kau tidak perlu terlalu banyak bersandiwara. Jika memang ingin melihat keadaan putrimu, kau bisa datang kapan saja. Jangan gunakan alasan murahan seperti ini lagi!" tegur Arya to the point.Bintang terkekeh kikuk. Memang lumayan susah untuk berbohong pada pria yang juga rekan bisinis sekaligus sahabatnya ini. Pria galak ini terlalu jujur dalam menghujatnya."Aku masih agak malu pada Naya. Setelah menamparnya waktu itu, aku masih merasa b