Abia duduk di bawah ranjang dekat nakas sambil memeluk lutut. Sesekali, perempuan itu menghela napas berat. Kepalanya bersandar pada samping ranjang sambil memandangi langit-langit kamar.Dia benar-benar bingung sekarang. Jika sampai Arya tidak ingin mengakui anak ini, Abia harus bagaimana? Apa dia pergi dari sini saja?Tapi, Neo bagaimana? Mana mungkin Abia bisa meninggalkan bocah itu? Meski hanya anak tiri, Abia sudah sangat menyayangi Neo seperti putranya sendiri."Biyaaa!" Neo memanggil sambil masuk ke kamar sang Mama.Bocah sipit itu tampak mengucek matanya dengan rambut berantakan. Neo baru bangun dari tidur siangnya."Ada apa, Neo? Kau lapar?" tanya Abia sambil mendongak menatap putranya yang kini berdiri di depan."Kenapa Biya duduk di lantai? Dingin, Biya. Kata Daddy, Biya bisa sakit." Neo malah menegur sambil menarik lengan Abia agar berdiri.Perempuan itu tersenyum. "Maaf, Biya hanya bosan berbaring di atas ranjang," jawab Abia sambil bangkit dan duduk di sisi ranjang.Neo
"Kau hanya akan cuti sampai kau melahirkan, kan?" tanya Rindi memastikan.Raut wajah perempuan itu tampak sedih. Abia tersenyum menenangkan."Hei, aku hanya cuti kerja, Rin. Bukan pergi ke luar negeri. Kenapa kau harus memasang ekspresi sejelek itu?" ledek Abia yang dibalas Rindi dengan dengkusan sebal."Kau tidak mengerti! Bagaimana bisa kau tega membiarkanku diomeli sendirian oleh Pak Arya?" tanya perempuan itu kesal."Setidaknya gajimu bertambah! Aku bekerja sejak sebelum Abia datang ke sini, tapi jabatanku tidak naik sama sekali. Sekarang, kau direkomendasikan dan naik pangkat menjadi kepala tim humas. Lalu kau memasang wajah seperti itu? Ayolah ... ini menyinggungku," omel Bu Anna sambil melempari pegawai yang dulu menjadi juniornya dengan kulit kacang.Abia terkekeh. "Nah, iya juga. Setidaknya kau bersyukur karena gajimu naik berkali-kali lipat. Hal paling baiknya ...." Abia mendekatkan bibir pada telinga sang sahabat, "kau bisa lebih sering bertemu Lintang," bisiknya lirih.Kon
Setelah mengetahui fakta bahwa Arya telah menghamili Aluna, Abia tidak keluar dari kamar lagi. Perempuan itu mengurung diri di kamar lamanya sebelum sekamar dengan Arya.Abia tidak keluar bahkan sampai pagi. Meski Neo terus menangis dan merengek agar perempuan itu keluar, dia tidak menggubris apalagi mengeluarkan suara sama sekali.Tentu saja Arya khawatir. Istrinya sedang mengandung. Bagaimana bisa perempuan itu tidak makan seharian? Meski janin di dalam perut istrinya bukan darah dagingnya sekali pun, Arya tetap khawatir jika sampai terjadi sesuatu padanya.Tok ... tok ... tok ...."ABIA!"Arya mengetuk pintu kamar Abia untuk kesekian kalinya. Seperti biasa, tidak ada sahutan. Arya sedikit khawatir perempuan itu melakukan hal nekat atau melukai dirinya sendiri di dalam sana.Dia harus tahu apa Abia masih baik-baik saja di dalam atau tidak."Hei, kau masih di dalam, kan? Tolong jangan kekanakan, Abia! Keluarlah untuk makan, Neo juga terus mencarimu dari kemarin. Apa kau tidak kasihan
Arya terbangun oleh teriakan Neo yang terus memanggil Mamanya. Pria itu lantas bangkit dan keluar melihat sang putra."BIYA! BIYA DI MANA? BIYA DI MANA, BIBI?" teriak bocah sipit itu sambil menangis meraung di ruang tengah.Arya segera turun dan menarik kerah belakang baju tidur Neo. "Hei, kenapa kau menangis pagi-pagi?!" kesal pria itu membuat Neo terdiam dan menoleh."Daddy ... Biya tidak ada. Dia tidak ada di mana-mana. Carikan, Biya!" rengek bocah itu kali ini pada Ayahnya.Arya mengerjap. "Bukannya Biya ada di kamar lamanya?" tanya pria itu lagi."Tidak ada. Aku sudah mencarinya ke kamar Daddy juga, tapi Biya hilang. Aku mau Biya, Daddy!" Bocah itu terus merengek membuat Arya ikut kebingungan.Pria itu segera berlari menaiki tangga. Kemungkinan-kemungkinan paling buruk mulai berkeliarann di kepala. Begitu mengecek ke setiap penjuru rumah dan tidak menemukan sang istri di sana, Arya menyabet kunci mobil di kamar kemudian berlari keluar rumah."Bi Lily! Aku titip Neo, bantu dia ber
'Enam bulan kemudian ....'"Abia, kau sudah selesai menggorengnya?" tanya Daisy. Salah satu tetangga yang selama ini membantu Abia menjual gorengannya.Abia yang masih berdiri di depan tungku, kontan menoleh dan tersenyum tidak enak pada perempuan yang menyusulnya ke dapur kecilnya itu. Dia segera menarik sebuah kursi kayu kecil dan menyodorkan untuk Daisy."Maaf, Bi. Aku baru selesai menggoreng hanya senampan besar yang itu. Tadi perutku sakit, jadi aku istirahat sebentar. Baru bisa menggorengnya tadi," jelas Abia merasa bersalah.Daisy menghela napas berat. "Kandunganmu sudah besar. Dua bulan lagi kau akan melahirkan. Aku bisa meminjamkanmu uang jika kau khawatir tidak punya cukup biaya untuk melahirkan, meski uangku tidak seberapa sih. Tapi, aku yakin cukup dengan tabunganmu selama ini, kan? Jadi, jika kau merasa kuwalahan, kau bisa berhenti bekerja dulu," ucap perempuan tua itu yang hanya dibalas Abia dengan senyuman."Aku memang sudah menyiapkan biaya untuk kelahiran bayiku, Bi.
"Kali ini ada perkembangan apa saja?" tanya Arya pada beberapa pegawai yang hari ini menghadiri rapat."Seperti biasa, Pak. Minggu ini kami---""Apa 'seperti biasa' itu bisa disebut perkembangan? Aku tidak ingin mendengarnya." Arya memotong cepat.Satu ruangan kompak terdiam. Beberapa kepala divisi kompak saling melirik dengan panik dan takut. Sepertinya, mereka akan dimarahi lagi kali ini."Kami sudah akan mulai syuting hari ini untuk drama terbaru Keanu, Pak. Lokasi syutingnya juga masih baru, belum ada yang melakukan syuting di sama sebelumnya." Lintang bersuara. Tidak ingin membuat CEO galak itu meledakkan amarahnya hari ini.Arya Januar Malik itu ... menyeramkan sekali!"Kirimkan aku lokasinya!" perintah Arya tegas."Hah? Untuk apa, Pak?" tanya Rindi menimpali."Aku akan memantau lokasinya. Sekaligus melihat proses syuting di sana hari ini. Aku harus tahu apa kalian bekerja keras untuk project ini atau tidak," jawab Arya yang mendadak membuat anggota rapat di sana menahan napas.
“Kau sudah sadar?” Pertanyaan dengan nada luar biasa lega itu menyapa indra pendengaran Abia. Perempuan itu mengerjapkan mata pelan. Mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina. Seketika, rasa nyeri menghinggapi kepala dan perut bagian bawahnya. Membuat Abia meringis dan merintih kesakitan.“Apa kau kesakitan? Sebentar, akan segera kupanggilkan Dokter,” jelas pria itu yang diangguki Abia pasrah.Beberapa saat kemudian, seorang dokter cantik yang sudah sangat Abia kenali memeriksa keadaan Abia. Saat Dokter Cintya meraba bagian perutnya, barulah perempuan itu tersadar sesuatu. Abia kontan meraba perutnya sendiri guna memastikan.“K-kenapa perutku jadi rata? Apa aku sudah melahirkan? Lalu ... mana putraku, Cintya?” tanya Abia beruntun.Cintya kebingungan harus menjawab apa. Jadi, meminta bantuan Arya untuk menjelaskan kepada perempuan itu adalah yang terbaik. “Mas, mana bayiku? Aku pasti sudah melahirkan? Kenapa sepupumu itu tidak mau mengatakan apa pun? Apa kau yang membuang anak
Abia memandangi langit-langit ruang rawatnya kosong. Dia sebenarnya tahu, Keanu menunggunya di luar sana. Tapi, ia juga sudah berpesan untuk jangan membiarkan siapapun masuk ke ruangannya kepada perawat dan penjaga di luar.Jadi, sampai sekarang perempuan itu masih sendirian. Abia tidak ingin bertemu siapapun untuk saat ini. Dia tidak bisa."Aku seharusnya tidak bekerja terlalu keras. Aku sudah membunuhnya. Aku sudah membunuh anakku sendiri," gumam perempuan itu masih saja menyalahkan diri sendiri.Abia tidak mempedulikan panggilan Keanu yang sedari tadi terus memanggilnya dari luar. Dia hanya ingin sendirian sekarang."Ini bukan salah Mas Arya, ini salahku. Ini jelas salahku karena tidak bisa menjaga anakku sendiri. Aku memang tidak pantas memiliki anak," cerca Abia yang kali ini mulai menangis lagi.Sudah sekitar tiga hari Abia dirawat di sini. Sejak kemarin, sebenarnya ada Neo juga yang menunggunya di luar. Sayangnya, perempuan itu tidak tahu dan tidak mau mendengar apa pun.Neo ya