Pagi ini, Abia terbangun dengan sekujur tubuh yang terasa sakit. Berbanding terbalik dengan Arya yang pagi ini sudah rapi dengan setelan jas kerjanya.Pria itu duduk di sisi ranjang. Memandang Abia yang masih berbaring telungkup dengan punggung polos. Wajah perempuan itu tampak berantakan. Rambut pirang kecokelatannya tergerai menutupi senagian punggung.Perempuan itu masih tanpa busana. Hanya selimut yang menutupi tubuh polosnya. Melihat itu, tanpa sadar Arya tersenyum. Mengingat apa yang sudah mereka lakukan semalam membuat pria itu senang."Apa hari ini kau tidak akan pergi bekerja?" tanya Arya sambil menarik selimut di tubuh istrinya.Abia mengerang. "Maaas!" rengeknya sebal sambil mempertahankan selimut yang menutupi punggung."Kenapa? Aku kan sudah melihat semuanya semalam," jawab Arya santai.Abia menenggelamkan wajahnya di kasur. Dia malu. Sangat malu. Kenapa Arya harus membahasnya sepagi ini? Suaminya menyebalkan sekali."Jadi bagaimana? Kau tidak ikut ke kantor?" tanya Arya
"Kau sudah pulang?" Pertanyaan dengan nada semangat itu membuat Arya menoleh.Abia berlari menghampirinya dengan wajah bangun tidurnya. Sepertinya perempuan itu ada di ruang tengah karena menunggu Arya pulang."Kenapa kau belum tidur? Ini sudah hampir jam satu malam," tanya Arya heran.Biasanya, jangankan sampai jam 12. Sejak tinggal bersamanya, Abia bahkan tidak pernah tidur di bawah jam 10 malam. "Kenapa kau bertanya? Seharusnya aku yang bertanya padamu," sahut Abia sambil berkacak pinggang."Kau kemana saja? Kenapa sampai jam segini baru sampai rumah? Apa di kantor sedang ada masalah?" tanya perempuan dengan piyama satin hitam itu beruntun. Arya tersenyum. Bahkan kecerewetan perempuan ini membuat suasana hatinya jadi membaik dalam sekejap. Seharusnya Arya pulang lebih cepat saja tadi. Bukannya berkeliling tanpa tujuan guna menenangkan pikiran yang malah semakin kacau."Kenapa kau hanya tersenyum? Aku menunggumu pulang dari tadi. Kutelepon juga kau tidak angkat, nomormu tidak akti
Begitu kembali dari taman dengan tubuh basah kuyup, Abia berjalan mengendap di teras rumah. Perempuan itu mengintip dari jendela apa ada sang suami di ruang tengah.Begitu dirasa aman, ia membuka pintu dengan sangat pelan. Tapi, baru saja membawa tubuhnya melewati ambang pintu, sebuah deheman singkat membuat Abia terlonjak kaget."Ehem!""E-eh, Mas. Sejak kapan kau di sini? Aku tidak melihatmu tadi," tanya Abia mencoba terdengar biasa saja. "Memangnya kenapa? Ini rumahku. Aku berhak berada di sisi mana saja," jawab Arya sarkas."Aku tahu," jawab Abia lirih."Kau sudah bertemu dengan teman 'perempuan'mu itu?" tanya Arya sengaja mempertegas kata 'perempuan' di dalam kalimatnya."Sudah," jawab Abia singkat sambil berjalan menaiki tangga berniat menuju kamarnya.Bajunya basah kuyup. Di luar juga masih hujan deras. Setidaknya pria ini membiarkannya berganti pakaian terlebih dahulu. Bukan menanyainya sesuatu."Apa yang kalian bicarakan sampai harus bertemu sambil hujan-hujanan begini?" tan
Arya pikir, dampak dari ulah Keanu tidak akan separah ini. Tapi rupanya, harga saham Star Group turun drastis sejak rumor tentang Keanu yang keluar dari agensi muncul ke permukaan.Entah informasi itu muncul darimana, yang jelas, Star Group lumayan terancam sekarang. Arya bisa meminta Keanu kembali sebenarnya. Tapi, dia tidak ingin melepaskan Abia.Pria itu sudah bilang hanya akan kembali jika Arya menceraikan Abia. Dia tidak akan pernah melepaskan istrinya untuk hal semacam ini.Meski agensi ini dirintisnya dari nol. Meski usaha Arya untuk membesarkan Star Group selama beberapa tahun ini berakhir, dia tidak akan pernah merelakan istrinya untuk Keanu. Meski pria itu adalah sahabat atau bisa juga disebut adiknya."Pak, bagaimana---""Aku sedang tidak ingin diganggu! Beraninya kau masuk ke ruanganku!" teriak Arya murka membuat Lintang segera undur diri.Begitu sampai di luar, lagi-lagi, pria berkacamata itu harus terkejut menemukan istri sang atasan berdiri di ambang pintu. Perempuan it
"Kenapa kau baru pulang?" tanya Arya heran begitu mendapati Abia baru sampai rumah pada pukul 5 sore. Tadi, saat Arya bertanya pada tim humas, mereka bilang istrinya pulang lebih dulu. Tapi dia tidak memberi penjelasan akan kemana."Aku bertemu seseorang," jawab Abia sambil duduk di sofa ruang tengah. Tepat di samping suaminya.Wajah perempuan itu tampak lesu. Arya jadi sedikit curiga 'seseorang' yang dimaksud istrinya adalah Keanu. Waktu itu, Abia juga berbohong untuk bertemu pria itu, kan?"Aku mencarimu ke ruangaan tim humas tadi. Tapi kata mereka kau izin pulang lebih awal," jelas Arya jujur."Benarkah?" tanya Abia terkejut.Arya mengangguk."Maaf, aku benar-benar ada urusan penting tadi." Abia melingkari lengannya pada lengan kiri sang suami.Kepala perempuan itu bahkan bersandar di bahunya. Membuat Arya terkekeh geli dengan sikap sang istri."Akhir-akhir ini, kau jadi lebih romantis, ya? Biasanya orang yang berselingkuh melakukan ini karena rasa bersalah atau ingin menutupi per
"Biyaaa ... kenapa baru pulang? Aku takut." Begitu membuka pintu utama, Neo berlari dan menghambur memeluk lutut Abia.Perempuan itu mengerjap terkejut. "Loh, kenapa kau takut? Kan ada Daddy," tanya Abia heran."Aku tidak tahu Daddy ada di mana. Saat aku bangun tadi, dia menghilang." Neo bercerita dengan wajah hampir menangisnya."Biya juga tidak ada. Aku jadi takut sendirian di rumah. Bi Lily juga sudah tidur," sambung bocah sipit itu yang membuat Abia luar biasa merasa bersalah.Lagipula, Arya juga tahu dia pergi keluar. Kenapa pria itu malah meninggalkan Neo sendiri di rumah? Kemana suaminya pergi malam-malam begini?"Mungkin Daddy ada pekerjaan yang harus segera dikerjakan. Biya tadi juga begitu. Jadi, jangan takut, ya? Ayo Biya temani tidur!" ajak Abia sambil mengangkat bocah sipit itu ke dalam gendongannya.Neo mengangguk patuh. "Tapi jika aku tidur, jangan tinggalkan aku sendirian, ya?" pesan bocah itu yang diangguki Abia sambil tersenyum."Tentu saja. Mana mungkin Biya mening
Arya baru saja akan berbelok ke jalan menuju rumahnya kalau saja Aluna tidak meneleponnya. Maka, pria itu memilih menghentikan mobil sejenak guna mengangkat telepon."Ada apa?" tanya Arya to the point."Kudengar kau yang membawaku ke sini. Perawat juga bilang kau menungguku sampai siang. Terima kasih," ucap perempuan di seberang sana yang hanya dibalas Arya dengan dengkusan."Aku yang menabrakmu. Jadi aku harus bertanggung jawab, kan?" sahut Arya apa adanya."O-oh ... okey. Tapi aku ingin berterima kasih secara langsung. Bisa kau datang ke sini?" pinta Aluna lembut."Tidak. Aku sibuk," jawab Arya cepat."Tolong, aku juga ingin membicarakan sesuatu denganmu. Datang, ya?" pinta perempuan itu lagi terdengar memelas.Arya diam sejenak. Seketika, pria itu teringat kembali pada perselingkuhan istrinya dengan Keanu."Iya, aku akan datang."Jika Abia saja bisa, kenapa Arya tidak, kan?***"Kenapa Biya pulang sendiri?" tanya Neo yang sore ini tengah bersepeda di halaman rumah yang luas.Abia m
Abia terbangun dan menyadari dia ada di kamar. Padahal, semalam perempuan itu yakin bahwa dia masih berada di ruang tengah.Pasti Arya yang membawanya ke sini, kan? Apa pria itu sudah pulang? Meraba pada sisi kasur tempat biasanya Arya tertidur, Abia menghela napas kecewa.Tempat itu terasa dingin. Tanda bahwa Arya memang tidak tidur di sini semalam. Segera bangkit dan berlari keluar kamar, perempuan itu tersenyum senang begitu menemukan suaminya tengah duduk sambil meminum kopi di lantai bawah."Kapan kau pulang, Mas?" tanya Abia senang.Perempuan itu berlari turun dari tangga membuat Arya ingin mengomelinya dan bilang hati-hati, tapi terlalu gengsi. Dia harus bisa menahan diri."Semalam," jawab Arya singkat."Kenapa tidak membangunkanku jika ingin minum kopi?" tanya Abia sambil duduk di samping pria itu.Arya diam. Terlihat tidak berniat menjawab. Pria itu menyesap kopinya lagi. Membuat Abia tersenyum getir karena diabaikan oleh sang suami."Apa kesalahanku sefatal itu sampai sikapm
"Loh, Naya mana, Neo? Bukankah kau pergi menjemputnya tadi?" Abia bertanya bingung begitu melihat putranya pulang tanpa sang istri lagi.Neo menoleh pada sang Mama dengan helaan napas berat. Dia sedang tidak ingin membahas perempuan itu sekarang. Kepalanya terasa hampir meledak karena bimbang."Jangan bilang kau hanya pergi menemui Nara?" tebak Abia lagi begitu teringat kebiasaan putranya.Bukannya menjawab, perempuan itu malah menghela kasar sebelum kemudian beranjak menuju tangga rumah. Tapi, belum sampai tangga pertama, pria itu meringis sakit begitu punggungnya terhantam sesuatu."Argh!" erang pria sipit itu kesakitan sambil memandangi sandal jepit rumahan yang tiba-tiba dilempar Arya."Kau sudah merasa begitu besar sehingga berani mengabaikan pertanyaan Mamamu?" tanya sang ayah dengan wajah mengeras karena amarah.Seketika, Neo bergidik takut. Sadar bahwa kelakuannya memancing emosi pria galak yang begitu menyayangi istrinya tersebut."Maaf, Daddy." Neo menyahut lirih."Minta maa
Neo tidak mengerti apa yang salah dengan dirinya. Tapi, menyadari kekhawatirannya pada Naya justru lebih besar ketimbang pada Nara membuat pria itu kesal luar biasa. Dia merasa buruk. Secara tidak langsung, pikirannya sudah berpaling dan selingkuh dari sang kekasih---Nara. Seharusnya, Neo lebih memikirkan keadaan Nara yang masih berada di rumah sakit sekarang.Bukan malah bertanya-tanya ada di mana Naya sekarang dan apakah perempuan itu sudah makan. Neo ingin mencoba memaklumi dan berpikir bahwa kekhawatirannya tidak lebih karena perempuan itu tengah mengandung anaknya.Hanya saja ... tetap saja semuanya terasa salah. Neo seharusnya tidak perlu peduli seberlebihan ini pada perempuan menyebalkan itu."Nak, kau tidak menjemput istrimu? Dia belum pulang juga sampai sekarang," tanya Abia sambil membuka pintu kamar sang putra pagi ini.Neo menoleh sejenak sebelum kemudian menenggelamkan wajahnya ke dalam lipatan selimut. Tidak ingin mendengar pembahasan apa pun tentang perempuan yang sial
Abia mengernyit heran begitu mendapati putranya pulang sendiri tanpa sang istri. Pria itu juga tampak kesal entah karena apa membuat mulut Abia gatal untuk bertanya.“Mana istrimu? Kenapa kau hanya pulang sendiri?” tanya Arya yang malah mewakili pertanyaan di dalam hatinya.“Kutinggal di rumah sakit bersama Om Bintang,” jawab Neo santai sambil segera duduk di samping sang Mama yang juga duduk di sofa ruang tengah.Pria sipit itu mengambil tempat di antara Daddy dan Mamanya. Membuat Arya yang kesal karena makhluk itu menghalanginya berdekatan dengan sang istri, segera menggeplak lengan Neo.“Kenapa kau tidak mengajaknya pulang bersamamu?” tanya Abia cepat.“Istri kurang ajar seperti dia seharusnya memang dibiarkan saja. Kenapa aku harus repot-repot membawanya pulang?” jawab Neo sensi yang kontan saja membuat Abia melotot tidak terima.Baru saja akan melayangkan pukulan pada punggung putranya, rupanya lagi-lagi sang suami lebih dulu mendaratkan pukulan pada punggung pria sipit itu. Sua
Neo kembali ke rumah sakit dengan perasaan kesal yang tergambar jelas di raut wajahnya. Pria itu terus mendengkus sebal sambil menendang bangku besi di lorong sesekali. Hal itu tentu saja langsung disadari oleh Arya yang juga duduk menunggu di luar. Membiarkan sang istri dan besannya sibuk dengan Nara yang baru saja sadar di dalam ruang rawat.“Kau kenapa? Bertengkar dengan Naya? Kendalikan dirimu! Jangan sampai Ayah mertuamu melihat kelakuanmu!” tegur Arya yang hanya dibalas Neo dengan dengkusan.“Bagaimana aku tidak kesal, Daddy?! Tadi sebenarnya dia menelepon dan bilang sakit perut, makanya aku segera pulang. Tapi karena takut membuat kalian khawatir, aku tidak memberitahu lebih dulu. Saat sampai rumah, aku memberikannya obat dan makanan. Tapi setelah itu dia malah marah-marah dan malah mengusirku. Apa yang salah dengan pemikirannya? Kenapa dia begitu sensitif?!” Neo mengomel panjang lebar yang anehnya malah dibalas Arya dengan kekehan geli.“Jangan terlalu marah. Para perempuan, a
Begitu mendapati panggilan telepon dari sang istri, Neo segera bergegas pulang ke rumah. Begitu ditanya oleh Arya dan Bintang, pria itu hanya bilang ingin mengabari Naya bahwa mereka semua ada di sana.Tentu saja Neo tidak ingin membuat sang mertua juga orang tuanya bertambah panik. Berita tentang kecelakaan yang dialami Nara tadi saja sudah cukup menggemparkan mereka.Sambil menjalankan mobil lumayan cepat, Neo kembali menghubungi Naya lewat telepon. Tapi, hingga percobaan panggilan kelima sekali pun, perempuan itu tidak juga mengangkat teleponnya.Membuat Neo bertambah panik dan kembali menambah laju kendaraan roda empatnya. Dia tidak tahu kenapa dia sepanik ini. Tapi yang jelas, dia uanya ingin memastikan keadaan sang istri sekarang.Perasaan Neo benar-benar tidak tenang. Pria itu bahkan sejenak melupakan Nara yang tadi masih berada di rumah sakit dengan tubuh dipenuhi luka akibat kecelakaan."Apa susahnya mengangkat teleponku sekali saja? Ck ... dia memang sangat menyebalkan! Ken
Begitu terbangun dari tidurnya, Naya segera beranjak menuju dapur guna mengambil minum. Entah sudah berapa lama dia tertidur. Yang jelas, rupanya hari sudah gelap dan rumah sudah sepi tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Entah kemana semua saja orang itu pergi. Atau mungkin, mereka malah sudah masuk tidur ke kamar? Tapi, kenapa tadi dia tidak menemukan Neo di kamar mereka?Begitu melirik jam dinding, rupanya sudah pukul 12 malam. Perempuan itu lupa menaruh hp-nya di mana, jadi Naya memilih duduk sejenak di sofa ruang tengah.Sejenak, perempuan itu menghela berat begitu teringat tadi siang Ayahnya sempat ke sini. Tapi, bisa-bisanya Naya malah tidur bukannya berbincang banyak dengan sang Ayah. Padahal, ada banyak sekali hal yang sangat ingin Naya ceritakan pada pria itu seperti biasanya."Eh, Non Naya sudah bangun?" Bi Wati---salah satu pembantu di rumah itu, menyapa Naya yang dibalas perempuan itu dengan senyum ramah."Iya, Bi. Aku sepertinya tidur terlalu lama, hehe." Naya menjawab kikuk
Setelah menidurkan Naya di kamar mereka, Neo segera turun menuju lantai bawah. Begitu tidak menemukan kehadiran Nara di sana, pria itu mengernyit bingung."Nara ke mana?" tanya pria sipit itu yang dibalas Abia dengan gendikan bahu tidak peduli."Dia tiba-tiba bilang ingin pulang tadi. Tapi karena Ayah ingin bertemu Naya dulu, jadi Ayah tidak ikut dan membiarkan saja dia pulang duluan." Bintang menjawab yang diangguki Neo mengerti.Seingatnya, tadi perempuan itu lah yang paling semangat ke sini. Kenapa tiba-tiba Nara malah meminta pulang begini? Bahkan tanpa pamit lebih dulu pada Neo."Kalau begitu ... ayo kita makan!" ajak Abia pada sang suami, anak juga besannya.Neo dan Bintang menggeleng bersamaan. "Nanti saja, kita tunggu Naya bangun tidur. Lagipula, ini juga masih belum jam makan siang, kan?" sahut Neo yang diangguki Bintang setuju."Aku juga akan makan bersama Naya saja. Sudah lama aku tidak makan bersamanya," gumam Bintang sedikit berlebihan.Karena biasanya, Naya bahkan hanya
Setelah membantu Neo bersiap-siap tadi, Naya kembali masuk ke kamar. Perempuan itu ingin ikut membantu Abia membereskan rumah sebenarnya. Tapi, entah kenapa, tubuhnya terasa letih luar biasa.Padahal, dia hanya melakukan sedikit olahraga bersama Arya tadi. Iya, bagi Naya yang seorang atlet bulutangkis nasional, itu adalah latihan paling sederhana yang pernah ia lakukan.Naya bahkan tidak pernah melompat karena takut. Dia juga tidak terlalu banyak berlari karena Neo terus berteriak dan memperingatinya untuk hati-hati. Rasanya menyebalkan begitu menyadari gerakannya terlalu banyak dibatasi.Tapi kali ini, dia sadar kemampuannya memang sudah tidak seperti dulu lagi. Naya merasa lelah terlalu cepat. Hanya karena beberapa aktivitas ringan, perempuan itu mulai letih dan ingin segera beristirahat sekarang."Kenapa para perempuan begitu mendambakan hamil? Padahal ... ini sangat tidak menyenangkan," gumam Naya tidak habis pikir.Perempuan itu sudah akan berbaring kalau saja suara Abia yang mem
Selesai beristirahat sebentar, Naya memutuskan untuk bermain bulutangkis lagi. Tentu saja setelah perdebatan panjang lebar dengan si cerewet Neo."Kau tidak mau berhenti? Lihat wajah suamimu sudah semenyeramkan itu," tanya Arya di sela permainan seru mereka.Sedari tadi, pria sipit itu memang duduk menunggu di sisi area permainan sambil terus melotot pada sang istri. Naya yang dipelototi tentu saja tidak merasa sama sekali. Sebab jika sudah terlalu fokus pada permainannya, perempuan itu tidak akan memperhatikan hal lain lagi."Biarkan saja, Yah. Dia memang selebay itu," jawab Naya santai yang hanya dibalas Arya dengan kekehan kecil.Pria itu juga bermain dengan kelewat fokus melawan sang menantu. Meski hanya mengeluarkan sebagian kecil kemampuan bermainnya, pukulan yang dilayangkan Naya begitu berbahaya.Perempuan itu juga jarang sekali 'error'. Bidikan-bidikannya pun tepat dan cepat membuat Arya tidak bisa menjangkau dan menebak ke mana bola tersebut diarahkan.Sejujurnya, bermain de