Sekonyong-konyong Aldino melepas topeng hias yang membingkai wajah Malati. Ia melempar begitu saja topeng itu ke sembarang tempat.“Topeng tak ada guna!” umpatnya dengan penuh penekanan. Kemudian ia memasangkan helm pada gadis itu.“Saya capek! Jadi jangan banyak tingkah!” ucap Aldino membuat Malati merasa seperti seorang gadis yang tengah kelayapan malam hari dan dimarahi bapaknya karena ketahuan.Malati hanya pasrah saja. Di luar dugaan, pernikahan itu tak semudah yang ia bayangkan. Apalagi pernikahan yang didasari rasa saling mencintai. Pernikahan di atas kertas saja cukup rumit saat dijalani.Malati kembali dibonceng motor sport Aldino tanpa membantah sama sekali. Mereka tiba di rumah sekitar pukul satu malam.Seorang security yang berjaga di rumahAldino langsung menyambut kedatangan mereka. Mereka masuk beriringan, Aldino berjalan lebih dulu menuju kamar utama diikuti Malati yang berada di belakangnya.Sebelum tidur Malati mandi air hangat dan langsung memakai piyama tidur. Ia p
Beberapa kali Malati mengusap dadanya yang berdebar kencang. Ia merasa lega akhirnya Erlangga bisa pergi dari kediaman Aldino setelah dibujuk. Entah terbawa angin dari mana Erlangga bisa tiba-tiba terdampar di sana, mengajaknya pergi ke car free day pagi itu.Tentu saja, Malati tak ingin Aldino bertemu dengannya. Setiap berpapasan dengannya, Aldino senantiasa menampakkan ekspresi tak suka padanya dan menganggap jika Malati memiliki hubungan spesial dengannya. Aldino selalu beralasan bahwa Malati harus menghormati pernikahan mereka dengan cara tidak berdekatan dengan lawan jenis.Daripada terjadi keributan dan huru-hara, Malati lebih baik mencari aman dengan membujuk Erlangga untuk pergi dari sana sebelum bertemu dengan Aldino.Usai kepergiannya, Malati buru-buru masuk rumah dan pergi ke kamar utama. Hari itu ia memutuskan untuk pergi ke suatu tempat mumpung hari libur kuliah. Ia mengatakan pada Aldino bahwa ia akan pergi ke rumah kawannya yang berada di Tanah Abang.Padahal pada kenya
Nia memang sosok wanita yang tak mudah terintimidasi. Penampilannya saja seorang wanita namun jiwanya seorang pria. Keputusan-keputusan yang diambil tegas dan sangat berani. Sama sekali tidak ada rasa takut dan gentar!Nia tidak peduli ketika Malati mengancamnya atas tuduhan KDRT dan prostitusi yang dilakukan oleh anak-anaknya. Sebaliknya, ia malah menantang Malati dengan mengancam balik dirinya untuk mengumumkan pernikahan Malati dan Aldino ke publik.Padahal itu adalah poin utama perjanjian di antara Malati dan Aldino. Fakta sebenarnya ialah Aldino tak ingin jika pernikahannya sampai diketahui oleh keluarga Ana, kekasihnya. Jika Nia dan keluarganya hancur maka Malati pun harus ikut hancur bersama mereka. Namun Malati tak kehabisan akal, ia kembali menyanggah ancaman Nia. Saat ini ia akan melawan siapapun yang berusaha mengusik hidupnya.“Baik, Tante. Bagi saya tak masalah jika pernikahan kami bocor ke publik. Mas Aldino sama sekali tak keberatan. Bahkan, kami akan mengadakan acara
Kini Malati sudah berdiri tegap di depan pintu sebuah unit penthouse. Sebuah unit apartemen yang berlokasi di lantai tertinggi. Dengan perasaan gelisah, ia menekan tombol pintu penthouse itu. Tak ada sahutan sama sekali. Ia nyaris menyerah. Ia tak boleh pulang dengan tangan hampa. Ia harus membawa sesuatu, minimal menemukan setitik sinar, sebuah informasi mengenai siapa wanita yang seringkali muncul di mimpinya-wanita misterius yang tak menampakan wajahnya. Hanya nama itu terus muncul di kepalanya. Rasa penasaran tentang wanita bernama Xie Mei Ling bisa meledakkan kepalanya. Dan, pria penghuni penthouse itu mengenalnya. Menurut informasi yang diperoleh dari seorang security, penghuni lantai penthouse itu ada di sana. Mengingat kendaraannya masih terparkir di area parkir. Biasanya, para penghuni apartemen sepi saat malam minggu karena sebagian besar mereka pergi liburan, paling tidak pergi ke klub malam dan akan pulang keesokan harinya. Tepatnya pada sore hari. Oleh karena itu Mala
Suasana di sebuah meja cafe tampak canggung beberapa saat. Malati berusaha keras untuk menormalkan kembali detak jantungnya yang tak beraturan. Rasa takut, cemas dan marah itu masih bersemayam dalam dadanya.Hidup tak semudah yang ia bayangkan. Itulah pelajaran berharga yang harus Malati terima. Seringkali rencana tak sesuai ekspektasi kendati sudah dirancang sangat baik dengan sebuah pemikiran yang matang dan hati-hati. Malati berdehem lalu berkata,“makasih, Kak,” Malati bersyukur saat ia tengah mengalami kesulitan, Erlangga datang menolongnya. Padahal sejak dari pagi, ia berusaha mengusirnya. Namun takdir malah mempertemukannya dalam situasi yang lain.Ke dua security Draco Bar berusaha menyeretnya dan membawanya ke kantor keamanan, bukan lagi mengusirnya. Mereka menaruh curiga jika Malati dikirim oleh seseorang. Penampilannya yang agamis dan serba hitam membuat siapapun justru berspekulasi yang tidak-tidak.Saat itulah Erlangga datang tepat waktu dan membawa Malati bersamanya. Ke
“Bukan ide bagus, Er! Yang bener aja, gilak tuh anak! Ngapain datang ke klub malam, mana pake jilbab! Bisa-bisa viral nih klub malam didatangi jamaah tabligh akbar!” bisik Satria pada telinga kawannya, Erlangga. Erlangga hanya mengulum senyum mendengar bibir Satria yang merepet mirip emak-emak kompleks.Erlangga mengambil soda lalu meneguknya perlahan dan menaruhnya lagi di atas meja.“Mau bagaimana lagi? Malati meminta bantuan! Sebagai seorang teman seharusnya sudah kewajiban kita membantunya. Lagipula dia bukan mau clubbing, tapi mencari seseorang. Hanya saja, aku juga tidak tahu apa urusannya dengan pemilik klub ini. Malati belum mau cerita,”Erlangga menjawab pasrah.Setelah melihat kemarahan Malati di kafe, ia mengiyakan permintaannya tanpa pikir panjang. Malati sempat tersinggung ketika Erlangga mengatakan padanya bahwa Malati menemui sosok Dominic untuk menjual diri. Kini Malati berada di Draco Bar bersama tiga sekawan, Erlangga, Satria dan Reynaldi yang baru datang. Bersama me
Malam itu Malati bisa merasakan kepalanya berdenyut sakit saat menghantam lantai. Tak hanya itu, sisi kepalanya terkena serpihan gelas kaca yang dilemparkan oleh pemabuk di klub itu.Dalam hitungan detik, kepalanya terasa berputar-putar dan pandangannya mulai buram. Ia merasa ruhnya terlepas dari jasadnya. Beberapa saat kemudian, ia sudah kehilangan orientasi tubuhnya.Brugh,Gadis bermata sipit itu ambruk ke lantai. Seorang wanita berseragam office girl berteriak panik kala melihat Malati tumbang ke lantai. Suaranya yang memekik terdengar oleh Erlangga yang pada saat itu menyusul Malati. “Malati?” gumam Erlangga saat mendengar jeritan seorang wanita. Jeritan itu mengingatkannya pada Malati. Sebab ia baru saja mendapat informasi dari karyawan klub bahwa Malati sudah keluar dari ruangan Dominic. Erlangga terkejut saat menemukan Malati di sebuah ruangan yang paling pojok. “Mala? Apa yang terjadi?” pekik Erlangga, menundukan tubuhnya dan menatap nanar gadis itu.Tatapannya lalu berali
Usai sholat subuh, Malati memejamkan matanya kembali. Ia terbangun kala merasa sentuhan lembut pada punggung tangannya. Seorang perawat tengah memeriksa cairan infus dengan pelan-pelan dan hati-hati. Ia tak ingin mengusik Malati yang tengah tertidur pulas sebetulnya. Ia merasa tak tega saja. Ia berencana akan membangunkannya beberapa saat kemudian saat sarapan. Sejak semalam gadis itu muntah dan mual akibat asam lambung yang naik.“Dek, maaf Ibu mengganggu tidurnya,” imbuh perawat paruh baya itu ketika melihat mata Malati membeliak. Ia memang perawat senior yang sabar dan hangat pada pasien yang ditanganinya. Ia juga bersikap sopan dan keibuan.Malati masih mengerjapkan matanya, menyesuaikan intensitas cahaya yang menembus matanya. Pun, ia masih mengumpulkan kesadarannya. Memang sudah seharusnya ia bangun tidur.“Bu, saya bisa pulang sekarang?” tanya Malati bangun dari posisi rebahan menjadi duduk sembari memegangi kepalanya yang terasa berdenyut sakit akibat luka robek pada kepalany
Di tempat berbeda, kini pasangan lain pun tengah diberkati kebahagiaan yang luar biasa. Akhirnya setelah hampir setahun lamanya, Aldino kini bisa kembali berjalan. Setelah mengikuti terapi dan pengobatan hingga berbulan-bulan lamanya di Singapura, pria berwajah tampan dan bertubuh bak binaragawan itu akhirnya bisa berjalan normal kembali. Ia sangat bekerja keras selama berada di Singapura.Ia akan pulang dengan memberikan kejutan pada istri tercinta dan putra tampannya yang kini sudah berusia setahun.Hari itu, Malati tengah mengasuh Manggala bermain di ruang bermain yang dibuat khusus, di ruang keluarga kediaman Eyang Waluyo. Cicit tersayang selalu mendapat perhatian lebih dari Eyang buyutnya. Malati dan putra tampannya mendapatkan privilege luar biasa dari Eyang Waluyo hingga keluarga besar lainnya.“Gala! Sini Nak!”Kakek tua yang masih berdiri tegap itu memanggil cicitnya. Meskipun Manggala baru berusia setahun namun anak itu sangat cerdas. Ia sudah bisa berjalan dengan baik dan bi
Ali pun menarik handle pintu kamar pengàntin hingga terbuka. Sulis langsung antusias melihat untuk pertama kali kamar pengàntin yang sangat indah karena dihias sedemikian rupa. “Aa, bagus banget!” Sulis mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar berukuran presidential suit tersebut. Kamarnya didominasi warna putih dan warna-warna pastel sesuai keinginannya. Matanya berbinar mengamati setiap detail hiasan bebungaan yang berada di atas ranjang. Seketika ia tertawa melihat ada dua ekor angsa yang tergolek di atas ranjang. Angsa yang dibentuk dari selimut berwarna putih. Tangannya terulur mengusap angsa tersebut. “Lucunya! Aku mau foto dulu,”Seketika Sulis mengambil ponselnya lalu memotret ranjang pengàntin yang begitu indah itu dengan senyum yang berseri-seri.“Sini, Aa yang fotoin!” imbuh Ali dari belakang tubuh gadis itu. Sulis mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia senang mendengar usulan Ali. Sulis pun duduk dengan posisi anggun di atas ranjang. Ali pun mengambil ponsel is
Ali berusaha menormalkan perasaannya dalam menyikapi Sulis. Sulis memàng sedang sakit, penyakitnya yang dideritanya juga tidak main-main. Oleh karena itu mungkin ia mulai merasa frustasi.Sulis tidak menyadari jika calon suaminya bertopeng dingin dari luar, padahal hatinya begitu hangat. Pada adiknya saja Ali begitu mengkhawatirkannya saat ia sakit. Tak jauh berbeda pada kekasih hatinya, ia merasakan kekhawatiran yang sama. “Sulis, stop overthinking! Kita akan tetap pada rencana awal kita. Kita akan menikah! Kau juga akan ikut pengobatan.”Ali berbicara tegas. Ia tidak suka sikap Sulis yang mendadak melankolis.Sulis terdiam dengan isak yang tertahan dan menggigit bibir bawahnya, “Ali, aku takut gak bisa hamil! Aku perokok berat. Argh, Shit! Aku mungkin tak subur!”Kini Sulis berkata hal lain yang malah memperkeruh suasana. Ali semakin jengkel mendengarnya, “Terus kau mau hubungan kita berakhir begitu saja? Kita batalkan tunangan begitu?”Sulis mengangguk dengan air mata yang bercucu
Ali tertegun saat mendengar kabar dari dokter bahwa kekasihnya harus menjalani beberapa tes kesehatan di antaranya tes darah dan rontgen. Sebelum jatuh pingsan Sulis sempat muntah darah penyebabnya. Kesimpulannya ada bagian organ dalamnya yang terluka dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.Ali merasa bersalah, telah mengabaikan kekasihnya karena masalah sepele. Sederhananya, mungkin jika tidak ada drama cemburu tadi sore mungkin Sulis akan baik-baik saja. Sungguh, Ali menyesali sikapnya yang tidak dewasa. “Argh, maafkan aku Sulis. Aku kadang egois.”Ali bergumam dengan helaan nafas berat. Pria itu berjalan lesu dari ruangan dokter dan pergi menuju ruangan di mana kekasihnya dirawat malam itu. Perlahan Ali membuka pintu ruang rawat inap gadis itu. Tampak Sulis sedang tertidur pulas mungkin karena pengaruh obat. Untuk sementara ia dirawat karena kurang darah. Namun penyebab yang lebih serius belum diketahui. Ali berjalan mendekati kekasihnya. Ia berdiri di depan ranjang hidrolik s
Dua orang pemuda tampan tengah menahan kesal menunggu kekasih mereka yang sibuk memilih gaun. Sudah lebih dari dua jam lamanya mereka berusaha memanjangkan sumbu kesabaran. Rasa panas menjalari punggung mereka karena terlalu lama duduk di sofa.Meskipun pelayan butik itu melayani mereka dengan istimewa, memberikan minuman hingga camilan, tetap saja tak bisa mengusir rasa jenuh mereka. Mereka bahkan sudah memainkan ponsel masing-masing, men scroll media sosial tak jelas untuk membunuh waktu. Nihil! “Lama banget! Mereka ngapain aja sih?” ucap pemuda berhidung bangir yang tak lain Mustafa Ali Basalamah pada pemuda tampan bermata sipit yang tengah duduk di sampingnya, dr Zain. Ali beringsut berdiri lalu merenggangkan tubuhnya beberapa saat karena rasa pegal akibat duduk lumayan lama di sofa berbentuk letter U. Ia pun memutar lehernya hingga menimbulkan bunyi kretek yang membuat dr Zain meringis mendengarnya. dr Zain hanya mendesah pelan mendengar keluhan calon iparnya. Dokter muda itu
“Mala, sini Bude yang gendong Gala!”Bude Ratna menghampiri Malati yang baru saja menyusui bayi tampannya. Malati gegas mengancingkan kancing bajunya kemudian melepas apron menyusui saat Gala terlihat sudah kenyang menyusu. Biasanya bayi yang memiliki garis wajah mirip sekali ayahnya itu tertidur saat merasa perutnya penuh, namun kali ini ia terjaga seakan ingin bermain dengan neneknya.Malati pun menyerahkan Gala pada pangkuan Bude Ratna. Bayi itu tersenyum dan menatap neneknya dengan mata yang bening. Sungguh terlihat menggemaskan.Bude Ratna menyematkan senyuman yang lebar menatap cucunya itu dengan penuh haru. Bukan tanpa alasan, Gala terlahir saat ke dua orang tuanya mengalami kecelakaan yang mengerikan.Atas kehendakNya, mereka semua selamat kendati ayahnya kini harus menjalani pengobatan di luar negeri. Seminggu sudah kepergian Aldino ke Singapura. Terpaksa, Malati mengikhlaskan kepergian suaminya bersama Bude Gendhis, suaminya dan beberapa pengawal pribadi utusan Eyang Waluyo.
“Bulan depan!”Ali menjawab dengan penuh keyakinan pertanyaan ayah Sulis. Setelah acara lamaran selesai, Hendi-Ayah Sulis bertanya pada Ali tentang hubungan putrinya dan Ali sudah sampai sejauh mana. Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab Hendi mengira jika kedatangan keluarga Basalamah itu untuk acara pertunangan. Bukan lamaran menuju pernikahan.Nyatanya, sebelum mereka benar-benar pergi dari kediaman Sulis, Ali memberanikan dirinya, secara langsung ia mengungkapkan rencananya ingin menikahi Sulis sesegera mungkin. Ali berusaha bernegosiasi dengan calon ayah mertuanya, bahwasanya meskipun hubungan mereka belum lama, namun mereka sudah bisa saling memahami karakter masing-masing sehingga ingin segera melangsungkan hubungan mereka ke arah yang serius. Terlebih usia ke duanya telah matang. Sudah sama-sama dewasa.Hendi menatap Sulis sejenak kemudian kembali menggerakan bibirnya. “Nak Ali, Bapak sebagai orang tua sangat bahagia mendengar rencana baik Nak Ali dengan melamar Sulis untuk d
“Ali, kenapa kau belum datang juga? Kenapa juga kau tidak mengangkat telepon dariku? Argh, awas kalau kabur dari acara pertunangan! Aku tak segan memberi perhitungan padamu!” gumam Sulis dengan perasaan yang teramat gelisah. Saat ini Sulis berada di rumahnya di kota Bandung.Hari itu adalah hari bersejarah baginya. Akhirnya Sulis akan dilamar oleh pria tampan dan kaya raya seperti angan-angannya selama ini. Gadis bertubuh jangkung itu berdiri mematung di taman depan rumahnya, menunggu detik-detik kehadiran Ali bersama keluarga besarnya.Ternyata Ali tidak main-main dengan hubungan yang terjalin di antara mereka. Ia serius ingin meminang Sulis. Lamaran Ali sebetulnya ialah waktu yang tepat untuk menentukan kapan waktu pernikahan mereka akan berlangsung. Sebaliknya, Sulis hanya mengira jika lamaran Ali hanyalah pengikat atau tanda keseriusan Ali atas hubungan percintaan mereka. Atau pertunangan biasa.“Sulis, diam bisa gak?” Dari dalam rumah, sang Ibu memanggil putrinya itu dengan suar
Aldino hanya menghela nafas pelan. Ia sebetulnya tak tega jika harus meninggalkan istri dan bayi tampannya yang baru lahir. Namun niatnya sudah bulat. Ia ingin segera sembuh dan tak ingin merepotkan istrinya atau siapapun. Aldino yakin pengobatan medis di luar negeri lebih baik. Oleh karena itu ia menyetujui usulan Eyang Waluyo untuk berobat di Singapura. Aldino akan mengikuti prosedur operasi di sana dan mengikuti terapi hingga kakinya sembuh seperti sedia kala.“Sayang, udah dong! Ini demi kebaikan kita semua.”Aldino mengusap-usap punggung istrinya yang tenggelam di balik dada bidangnya. Mendengar Aldino akan pergi jauh, Putri Melati terlihat murung. Bahkan ia menangis tersedu sedan.Malati bukan tidak ingin suaminya mengikuti pengobatan di rumah sakit luar negeri. Namun ia ingin ikut bersamanya ke negeri yang terkenal dengan patung Merlionnya.Malati dan baby Gala belum bisa berangkat mengingat usia bayi mereka masih belum siap untuk berpergian jauh. Begitupula dengan Malati yang