Di tempat berbeda, kini pasangan lain pun tengah diberkati kebahagiaan yang luar biasa. Akhirnya setelah hampir setahun lamanya, Aldino kini bisa kembali berjalan. Setelah mengikuti terapi dan pengobatan hingga berbulan-bulan lamanya di Singapura, pria berwajah tampan dan bertubuh bak binaragawan itu akhirnya bisa berjalan normal kembali. Ia sangat bekerja keras selama berada di Singapura.
Ia akan pulang dengan memberikan kejutan pada istri tercinta dan putra tampannya yang kini sudah berusia setahun.
Hari itu, Malati tengah mengasuh Manggala bermain di ruang bermain yang dibuat khusus, di ruang keluarga kediaman Eyang Waluyo. Cicit tersayang selalu mendapat perhatian lebih dari Eyang buyutnya. Malati dan putra tampannya mendapatkan privilege luar biasa dari Eyang Waluyo hingga keluarga besar lainnya.
“Gala! Sini Nak!”
Kakek tua yang masih berdiri tegap itu memanggil cicitnya. Meskipun Manggala baru berusia setahun namun anak itu sangat cerdas. Ia sudah bisa berjalan dengan baik dan bisa bicara meskipun masih terbata-bata.
Ketika sang Eyang buyut memanggil, Manggala langsung menoleh dan berjalan ke arahnya.
“Yang!”serunya dengan memperlihatkan gigi atasnya yang baru tumbuh tiga dan gigi bawahnya yang baru tumbuh dua.
Seketika Eyang Waluyo tertawa mendengar celotehan Manggala yang cerdas itu. Ia yakin jika kecerdasan anak itu diwarisi oleh kecerdasan ayah dan ibunya.
Malati justru penasaran apakah Manggala akan mengalami sindrom yang sama seperti dirinya? Hyperthymesia. Semoga saja tidak!
Eyang Waluyo memangku begitu saja Manggala. “Cicit Eyang sudah besar! Kau mirip sekali si Al!” katanya dengan tawa ceria.
Malati pun mengangguk mengiyakan. Memang betul Manggala mirip sekali Aldino. Mungkin hanya berapa persen mirip ibunya.
“Eyang, biar Gala berjalan saja! Berat soalnya badannya,” kata Malati merasa tak tega melihat pria renta itu menggendong Gala.
Bagas hanya tersenyum melihat interaksi mereka. Memang betul Eyang Waluyo sudah sepuh namun ia masih bersemangat dalam menjalani hidupnya. Apalagi Aldino kini sudah resign sebagai kepala Sekolah dan bersedia melanjutkan perusahaan miliknya.
Eyang Waluyo pun menundukan tubuhnya dan membiarkan Gala berjalan di ruangan itu dengan bebas. Anak itu berjalan sembari mengoceh tak karuan.
Seketika ia menudingkan telunjuknya ke arah pintu. Kemudian Gala berkata. “ Pa-pa! Papa!” seru anak lelaki yang menggemaskan itu ke arah pintu penghubung ruang tamu dan ruang keluarga.
“Apa Sayang? Papa masih di Singapura!” timpal Malati tersenyum menatap putranya yang tak bisa diam.
Meskipun terpisah dengan ayahnya, Malati seringkali mengajak putranya untuk melakukan video call dengannya. Sehingga tak ayal, jika Gala memang sudah mengenal wajah ayahnya.
“Ma-ma, Pa-pa!” seru Gala kembali menudingkan jarinya ke arah ruang tamu yang memang berjarak jauh. Namun anak itu bisa melihat sang ayah memang telah pulang dari Singapura tanpa memberi kabar.
Tap, tap, tap
Suara langkah kaki pria terdengar. Sontak, membuat Malati, Eyang Waluyo hingga Bagas-asisten Eyang Waluyo terkejut dan menoleh ke arah sumber suara.
“Mas!”
Malati seketika berderai air mata melihat suaminya berdiri di sana sembari merentangkan tangannya ke arah putranya. “Mas, sudah bisa jalan?”
Malati langsung menghambur menghampiri suaminya. Aldino langsung memangku putranya dengan sebelah tangannya dan tangan yang lain merangkul istrinya. Kini keluarga kecil itu bahagia karena tangisan rindu dan haru. Betapa tidak, mereka terpisah lumayan lama.
“Mas, kau .. kau sudah bisa berjalan lagi?” imbuh Malati dengan terbata-bata.
“Berkat doamu dan keluarga, Sayang.”
Aldino menghujani istrinya dengan ciuman di wajahnya.
Eyang Waluyo dan Bagas justru tidak terlihat kaget. Rupanya mereka sudah lebih tahu kondisi Aldino sebelumnya dan rencana kepulangannya.
Aldino pun memeluk Eyang tersayang dan Bagas bergantian. Kini mereka duduk bersama di ruang tamu. Aldino tidak banyak bicara karena masih jetlag. Malati membawakan teh hangat dan camilan untuk suaminya.
Mereka terdiam karena mendengar celotehan Manggala. Aldino masih tak terpercaya melihat pertumbuhan anak tampannya. Manggala tumbuh begitu cepat dan sehat selama dirinya tak berada di sisi mereka.
“Ini siapa Nak?”
Aldino menaruh Manggala dalam pangkuannya. Alih-alih menjawab pertanyaan ayahnya, Gala mengamati ayahnya dengan tatapan penuh telisik. Ia mengusap wajah Aldino lalu menatapnya.
“Gala kau menggemaskan sekali, Nak?” imbuh Aldino seraya menatap putra tampannya kemudian menoleh pada istrinya. “Makasih, Sayang! Kau sudah memberikan kebahagiaan yang utuh untuk Mas.”
Malati hanya tersenyum mendengar perkataan suaminya. Kemudian ia memeluk suaminya dari samping. “Seharusnya aku yang berterima kasih padamu, Mas.”
-the end-
Noted;
Assalamu'alaikum!
Halo Fellas, my lovely Goodreaders,
Makasih banyak sudah mengikuti novel ini hingga akhir. Tanpa kalian author bukanlah siapa-siapa. Terima kasih atas support, gem dan hadiah dari kalian untuk novel Piemar “ISTRI RAHASIA KEPALA SEKOLAH”. Semoga rezeki kalian melimpah karena sudah berkenan membeli koin dan membuka kunci novel ini demi menikmati ceritanya.
Jujur, sebetulnya Pie seorang yang emosional. Untuk mengakhiri sebuah novel saja harus bergulat dengan perasaan. Berat untuk mengakhiri cerita novel begitu saja. Namun karena ada regulasi maksimal novel di sini enam bulan, maka Pie akhiri novel ini hari ini, 08 September 2024. Selain itu Konflik dalam novel juga sudah habis. Kecuali performa novel Pie naik mungkin ceritanya bisa terus berlanjut. Namun ternyata performa novel tiap hari viewnya makin menurun, oleh karena itu Pie akan meneruskan ceritanya di novel baru.
Mohon maaf sebelumnya ada banyak begitu kekurangan di dalamnya. Semoga ke depannya Pie bisa menyajikan karya yang lebih baik dan seru lagi.
Nah, ada kejutan, doakan Pie ya agar novel berikutnya lolos kontrak. Saat ini Pie akan submit novel tentang kelanjutan dari novel ini. Novel yang mengisahkan tentang Manggala Putra Aldino yang ternyata jatuh hati pada anak siapa? Coba tebak? Nanti lihat spoilernya ya. Info @pie_mar2023
Saat ini Pie akan berfokus menyelesaikan novel Dinodai Sebelum Malam Pertama season terakhir. Untuk extra bab selanjutnya, tunggu ya! Nanti ada spoiler tentang kehidupan anak-anak Aldino-Malati dan Dr Zain-Ana.
Wassalam, love you semuanya.
“Bagus! Utangmu lunas dan aku takkan mengambil rumah ini setelah Malati jadi istri keempatku!” Tawa langsung memenuhi ruangan. Paman dan Bibi dari Malati bahkan tampak bahagia sekali mendengar penuturan dari lintah darat itu.Mereka mengabaikan gadis berhijab itu yang terus menunduk–menahan pedih di hati karena dijadikan penebus utang.Sungguh, Malati benar-benar tak menyangka Paman dan Bibinya itu begitu kejam!Seusai pulang kampus, dia mendadak didandani. Kerudungnya bahkan sempat dipaksa untuk ditanggalkan, hanya untuk menyambut lintah darat ini.Untungnya, Malati dapat mempertahankannya meski harus meronta-ronta.Andai saja orang tuanya masih hidup, dia pasti tak akan bisa diperlakukan seperti ini!“Hey, Cantik! Aku ingin melihat wajahmu yang cantik itu!”Tiba-tiba saja, Hanan Jagal sudah berada di sampingnya. Tangannya mengangkat dagu Malati kemudian menilik dengan seksama wajah cantiknya yang mirip dengan wanita yang dulu ia kejar, tapi selalu mengabaikannya.Malati spontan m
Kini Malati menggigit bibir bawahnya. “Dia Pak Aldino, Tante. Kepala sekolah di Madrasah Aliyah Al Fatma,” jawabnya–memberanikan diri.Nia menatap nyalang Aldino. “Jadi, ada urusan apa kau datang ke mari?”Dihampirinya pria itu dengan pongah.Namun, Aldino tampak tak terpengaruh dengan “tekanan” Nia.“Dengar, Nyonya. Putri Melati ini adalah calon istri saya! Jadi, jangan coba-coba menyentuhnya seujung kuku sekalipun apalagi melukainya!” peringat pria itu.“Cih! Berani sekali kau!” Nia mendecih dengan tatapan jijik pada Aldino. Ia memindai penampilan Aldino yang rapi dengan tubuh mirip binaragawan.Tanpa sadar, Nia yang pecinta sinetron ini menyusun skenario aneh di kepalanya.Wanita paruh baya itu berpikir jika Aldino adalah seorang mafia. Mungkin, kepala sekolah hanyalah profesi samarannya? Dan Malati … anak itu diam-diam telah menjadi sugar baby pria itu! Toh, zaman sekarang apapun bisa terjadi, kan? Tangan Nia mengepal, marah. Ia tak terima Malati bermain di belakang mereka. “
Karena merasa letih, Malati ketiduran dan terbangun saat mendengar suara azan magrib. Ia bangun dan berjalan tertatih-tatih menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Kemudian ia menunaikan sholat magrib dan mendaras beberapa ayat alquran. Setelah merasa tenang, Malati ingin menemui paman dan bibinya. Ia akan meminta maaf atas kekisruhan yang telah ia buat. “Om,” panggil Malati pada adik ayahnya tersebut. Hanya saja, Junaedi tak menyahut. Ia melemparkan pandangannya pada bunga anggrek layu-yang tumbuh bertengger di pohon jambu air.Pria paruh baya itu terlihat semrawut. Sesekali ia menghisap sebatang rokok dan mengepulkan asapnya ke udara.“Om Jun, aku mau minta maaf.”Malati mengatakan kalimat itu dengan perasaan campur-aduk, antara sedih, kecewa dan marah pada keadaan. Sayangnya, Junaedi justru mendengus. “ “Dulu, Bapakku juragan sapi seperti Hanan Jagal. Lima anaknya hidup berkecukupan dan bisa bersekolah hingga perguruan tinggi.” “Bahkan, Bapak mengangkat Kang Gunawan, y
Sesuai kesepakatan Malati dan Aldino, keluarga Waluyo pun mendatangi keluarga Malati. Setelah melihat siapa yang datang, barulah Junaedi dan Nia sadar jika apa yang tempo hari Aldino katakan benar--pria itu akan meminang keponakan satu-satunya. Dengan pongah, Nia pun meminta uang lebih sebagai bentuk kompensasi karena telah mengambil keponakannya.Hanya saja, ia tak menyangka dengan ucapan Aldino selanjutnya. "Jika demikian, kami akan memberikan satu miliar," ucap pria tampan itu tanpa keraguan."Satu Miliar?" pekik Nia dan Junaedi. Keduanya lalu tersenyum. Mereka jelas dengan senang hati menyerahkan Malati setelah dijanjikan uang yang melebihi nominal utang mereka!Aldino pun mengangguk. "Hanya saja, pernikahan kami tidak boleh bocor ke publik," ucap Aldino tegas, "dan sertifikat rumah juga harus dipegang oleh Malati."Kali ini, mata Nia membelalak. Jelas, dia tak setuju. Namun, seolah tahu apa yang hendak dilakukan keduanya, Aldino tiba-tiba berkata, "Tenang saja, kalian boleh
Seingat Malati dalam surat perjanjian dikatakan bahwa mereka akan tinggal di rumah kakek Aldino-Eyang Waluyo di mana hanya ditinggali oleh Aldino seorang dan pekerja rumah tangga, karena Eyang Waluyo menetap di Salatiga, Jawa tengah. Sehingga mereka bisa tidur terpisah di kamar masing-masing. “Maaf, Pak. Bukankah kamar kita terpisah?” hardik Malati yang berusaha mengalihkan matanya dari atas kepala ranjang berukuran king size. Ada sebuah foto raksasa Aldino yang menampilkan otot-otot tubuh bagian atasnya. Setahu Malati, Aldino memang penggemar olahraga gym dan senang membentuk otot-otot tubuhnya. Tapi, sampai memajang foto...? “Dengar! Eyang Waluyo akan datang kemari. Dia sedang berada di perjalanan. Kau tahu, bagaimana nanti reaksinya ketika dia mengetahui jika kita menikah tetapi tidak tinggal sekamar? Sandiwara kita akan ketahuan!” jelas Aldino menyadarkan gadis itu dari lamunan. “Sekalipun kau tidur telanjang di atas ranjangku, aku tak tertarik padamu! Kau bukan seleraku.” Ald
Malati bisa merasakan aura tak sedap yang menguar dari air muka Eyang Waluyo saat menatapnya. Sepertinya keberadaan dirinya tak dikehendaki. Barangkali karena perbedaan status sosial menjadi masalahnya. Apalagi Malati hanyalah seorang gadis yatim piatu dan berasal dari keluarga strata sosial menengah ke bawah. Ternyata alasan dicantumkannya ‘Malati harus bersikap baik dan ramah pada Eyang Waluyo’ adalah ini.Sepertinya, pria tua ini memang ketus, keras dan dingin. Tak ada manis-manisnya. Rupanya watak Aldino menurun dari eyangnya ini. Bahkan ... masih mending Aldino, setidaknya ia memiliki jiwa seorang guru alias kebapakan yang sedikit hangat. Hanya sedikit! Khusus untuk anak didik yang penurut saja. “Eyang, saya Malati,” ucap Malati lagi. Ia yang tak pandai berbasa-basi, mengerahkan seluruh keberaniannya hanya sekedar untuk memperkenalkan diri.“Saya sudah tahu, baru saja Aldino mengatakannya.” Eyang Waluyo menjawab dengan nada dingin kembali. “Oalah, siapa Cah Ayu ini? Pilihan
Sementara percakapan ketiganya berlangsung, Eyang Waluyo tengah terbaring lemah di atas ranjang.Perjalanan lewat udara cukup membuatnya merasa letih karena usianya yang sudah renta dan penyakit kronis yang dideritanya. Seorang pengawal setianya hendak memeriksa ke dalam kamar di mana ia istirahat. Ia ingin memastikan kondisi majikannya apakah baik-baik saja atau tidak. Sengaja, ia membawakan secangkir teh melati favoritnya. Tok tok tok!Mendengar pintu diketuk, pria dengan rambut dipenuhi uban itu pun mempersilakannya masuk. “Masuklah!” “Tuan, apa Anda butuh sesuatu?” tanya sang pengawal yang sudah setia menemaninya bertahun-tahun. Melihat kedatangan pengawalnya, terbesit ide di kepala Eyang Waluyo. Ia bangun dan duduk bersandar pada kepala ranjang. “Bagas, tolong kau cari tahu semua hal tentang istri Aldino!” titah pria tua berwatak keras tersebut bernada serius. Ia mencium gelagat yang aneh pada pernikahan cucu kesayangannya. Terlalu mendadak dan wanita yang ia nikahi ...
Malam ini Malati tidur dengan begitu pulas hingga dengkuran halus terdengar. Tak pernah merasakan begitu nikmat menjemput mimpi seperti malam-malam sebelumnya yang senantiasa dipenuhi mimpi buruk yang menyiksa.Tidur di atas kasur yang empuk tanpa ada yang mengusiknya merupakan sebuah berkah luar biasa bagi gadis yang disibukan dengan segudang aktifitasnya seharian. Kini indera pendengarannya selamat dari suara sopran bibinya yang senang sekali mengganggu waktu istirahatnya, menyuruh ini dan itu seperti pada pelayan. Suhu pendingin ruangan semakin menenggelamkan tubuh mungil Malati di balik selimut wol yang hangat. Ia tersenyum dalam tidurnya.Sayup-sayup suara azan subuh menggelitik telinga Malati. Ia sudah terbiasa bangun dini hari, namun hari itu, ia baru bisa bangun menjelang subuh. Perlahan ia membelakan matanya yang terasa berat, berusaha beradaptasi dengan intensitas cahaya yang menerobos masuk melalui retina matanya.Malati tersentak ketika terbangun di kamar asing.“Aku di m
Di tempat berbeda, kini pasangan lain pun tengah diberkati kebahagiaan yang luar biasa. Akhirnya setelah hampir setahun lamanya, Aldino kini bisa kembali berjalan. Setelah mengikuti terapi dan pengobatan hingga berbulan-bulan lamanya di Singapura, pria berwajah tampan dan bertubuh bak binaragawan itu akhirnya bisa berjalan normal kembali. Ia sangat bekerja keras selama berada di Singapura.Ia akan pulang dengan memberikan kejutan pada istri tercinta dan putra tampannya yang kini sudah berusia setahun.Hari itu, Malati tengah mengasuh Manggala bermain di ruang bermain yang dibuat khusus, di ruang keluarga kediaman Eyang Waluyo. Cicit tersayang selalu mendapat perhatian lebih dari Eyang buyutnya. Malati dan putra tampannya mendapatkan privilege luar biasa dari Eyang Waluyo hingga keluarga besar lainnya.“Gala! Sini Nak!”Kakek tua yang masih berdiri tegap itu memanggil cicitnya. Meskipun Manggala baru berusia setahun namun anak itu sangat cerdas. Ia sudah bisa berjalan dengan baik dan bi
Ali pun menarik handle pintu kamar pengàntin hingga terbuka. Sulis langsung antusias melihat untuk pertama kali kamar pengàntin yang sangat indah karena dihias sedemikian rupa. “Aa, bagus banget!” Sulis mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar berukuran presidential suit tersebut. Kamarnya didominasi warna putih dan warna-warna pastel sesuai keinginannya. Matanya berbinar mengamati setiap detail hiasan bebungaan yang berada di atas ranjang. Seketika ia tertawa melihat ada dua ekor angsa yang tergolek di atas ranjang. Angsa yang dibentuk dari selimut berwarna putih. Tangannya terulur mengusap angsa tersebut. “Lucunya! Aku mau foto dulu,”Seketika Sulis mengambil ponselnya lalu memotret ranjang pengàntin yang begitu indah itu dengan senyum yang berseri-seri.“Sini, Aa yang fotoin!” imbuh Ali dari belakang tubuh gadis itu. Sulis mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia senang mendengar usulan Ali. Sulis pun duduk dengan posisi anggun di atas ranjang. Ali pun mengambil ponsel is
Ali berusaha menormalkan perasaannya dalam menyikapi Sulis. Sulis memàng sedang sakit, penyakitnya yang dideritanya juga tidak main-main. Oleh karena itu mungkin ia mulai merasa frustasi.Sulis tidak menyadari jika calon suaminya bertopeng dingin dari luar, padahal hatinya begitu hangat. Pada adiknya saja Ali begitu mengkhawatirkannya saat ia sakit. Tak jauh berbeda pada kekasih hatinya, ia merasakan kekhawatiran yang sama. “Sulis, stop overthinking! Kita akan tetap pada rencana awal kita. Kita akan menikah! Kau juga akan ikut pengobatan.”Ali berbicara tegas. Ia tidak suka sikap Sulis yang mendadak melankolis.Sulis terdiam dengan isak yang tertahan dan menggigit bibir bawahnya, “Ali, aku takut gak bisa hamil! Aku perokok berat. Argh, Shit! Aku mungkin tak subur!”Kini Sulis berkata hal lain yang malah memperkeruh suasana. Ali semakin jengkel mendengarnya, “Terus kau mau hubungan kita berakhir begitu saja? Kita batalkan tunangan begitu?”Sulis mengangguk dengan air mata yang bercucu
Ali tertegun saat mendengar kabar dari dokter bahwa kekasihnya harus menjalani beberapa tes kesehatan di antaranya tes darah dan rontgen. Sebelum jatuh pingsan Sulis sempat muntah darah penyebabnya. Kesimpulannya ada bagian organ dalamnya yang terluka dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.Ali merasa bersalah, telah mengabaikan kekasihnya karena masalah sepele. Sederhananya, mungkin jika tidak ada drama cemburu tadi sore mungkin Sulis akan baik-baik saja. Sungguh, Ali menyesali sikapnya yang tidak dewasa. “Argh, maafkan aku Sulis. Aku kadang egois.”Ali bergumam dengan helaan nafas berat. Pria itu berjalan lesu dari ruangan dokter dan pergi menuju ruangan di mana kekasihnya dirawat malam itu. Perlahan Ali membuka pintu ruang rawat inap gadis itu. Tampak Sulis sedang tertidur pulas mungkin karena pengaruh obat. Untuk sementara ia dirawat karena kurang darah. Namun penyebab yang lebih serius belum diketahui. Ali berjalan mendekati kekasihnya. Ia berdiri di depan ranjang hidrolik s
Dua orang pemuda tampan tengah menahan kesal menunggu kekasih mereka yang sibuk memilih gaun. Sudah lebih dari dua jam lamanya mereka berusaha memanjangkan sumbu kesabaran. Rasa panas menjalari punggung mereka karena terlalu lama duduk di sofa.Meskipun pelayan butik itu melayani mereka dengan istimewa, memberikan minuman hingga camilan, tetap saja tak bisa mengusir rasa jenuh mereka. Mereka bahkan sudah memainkan ponsel masing-masing, men scroll media sosial tak jelas untuk membunuh waktu. Nihil! “Lama banget! Mereka ngapain aja sih?” ucap pemuda berhidung bangir yang tak lain Mustafa Ali Basalamah pada pemuda tampan bermata sipit yang tengah duduk di sampingnya, dr Zain. Ali beringsut berdiri lalu merenggangkan tubuhnya beberapa saat karena rasa pegal akibat duduk lumayan lama di sofa berbentuk letter U. Ia pun memutar lehernya hingga menimbulkan bunyi kretek yang membuat dr Zain meringis mendengarnya. dr Zain hanya mendesah pelan mendengar keluhan calon iparnya. Dokter muda itu
“Mala, sini Bude yang gendong Gala!”Bude Ratna menghampiri Malati yang baru saja menyusui bayi tampannya. Malati gegas mengancingkan kancing bajunya kemudian melepas apron menyusui saat Gala terlihat sudah kenyang menyusu. Biasanya bayi yang memiliki garis wajah mirip sekali ayahnya itu tertidur saat merasa perutnya penuh, namun kali ini ia terjaga seakan ingin bermain dengan neneknya.Malati pun menyerahkan Gala pada pangkuan Bude Ratna. Bayi itu tersenyum dan menatap neneknya dengan mata yang bening. Sungguh terlihat menggemaskan.Bude Ratna menyematkan senyuman yang lebar menatap cucunya itu dengan penuh haru. Bukan tanpa alasan, Gala terlahir saat ke dua orang tuanya mengalami kecelakaan yang mengerikan.Atas kehendakNya, mereka semua selamat kendati ayahnya kini harus menjalani pengobatan di luar negeri. Seminggu sudah kepergian Aldino ke Singapura. Terpaksa, Malati mengikhlaskan kepergian suaminya bersama Bude Gendhis, suaminya dan beberapa pengawal pribadi utusan Eyang Waluyo.
“Bulan depan!”Ali menjawab dengan penuh keyakinan pertanyaan ayah Sulis. Setelah acara lamaran selesai, Hendi-Ayah Sulis bertanya pada Ali tentang hubungan putrinya dan Ali sudah sampai sejauh mana. Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab Hendi mengira jika kedatangan keluarga Basalamah itu untuk acara pertunangan. Bukan lamaran menuju pernikahan.Nyatanya, sebelum mereka benar-benar pergi dari kediaman Sulis, Ali memberanikan dirinya, secara langsung ia mengungkapkan rencananya ingin menikahi Sulis sesegera mungkin. Ali berusaha bernegosiasi dengan calon ayah mertuanya, bahwasanya meskipun hubungan mereka belum lama, namun mereka sudah bisa saling memahami karakter masing-masing sehingga ingin segera melangsungkan hubungan mereka ke arah yang serius. Terlebih usia ke duanya telah matang. Sudah sama-sama dewasa.Hendi menatap Sulis sejenak kemudian kembali menggerakan bibirnya. “Nak Ali, Bapak sebagai orang tua sangat bahagia mendengar rencana baik Nak Ali dengan melamar Sulis untuk d
“Ali, kenapa kau belum datang juga? Kenapa juga kau tidak mengangkat telepon dariku? Argh, awas kalau kabur dari acara pertunangan! Aku tak segan memberi perhitungan padamu!” gumam Sulis dengan perasaan yang teramat gelisah. Saat ini Sulis berada di rumahnya di kota Bandung.Hari itu adalah hari bersejarah baginya. Akhirnya Sulis akan dilamar oleh pria tampan dan kaya raya seperti angan-angannya selama ini. Gadis bertubuh jangkung itu berdiri mematung di taman depan rumahnya, menunggu detik-detik kehadiran Ali bersama keluarga besarnya.Ternyata Ali tidak main-main dengan hubungan yang terjalin di antara mereka. Ia serius ingin meminang Sulis. Lamaran Ali sebetulnya ialah waktu yang tepat untuk menentukan kapan waktu pernikahan mereka akan berlangsung. Sebaliknya, Sulis hanya mengira jika lamaran Ali hanyalah pengikat atau tanda keseriusan Ali atas hubungan percintaan mereka. Atau pertunangan biasa.“Sulis, diam bisa gak?” Dari dalam rumah, sang Ibu memanggil putrinya itu dengan suar
Aldino hanya menghela nafas pelan. Ia sebetulnya tak tega jika harus meninggalkan istri dan bayi tampannya yang baru lahir. Namun niatnya sudah bulat. Ia ingin segera sembuh dan tak ingin merepotkan istrinya atau siapapun. Aldino yakin pengobatan medis di luar negeri lebih baik. Oleh karena itu ia menyetujui usulan Eyang Waluyo untuk berobat di Singapura. Aldino akan mengikuti prosedur operasi di sana dan mengikuti terapi hingga kakinya sembuh seperti sedia kala.“Sayang, udah dong! Ini demi kebaikan kita semua.”Aldino mengusap-usap punggung istrinya yang tenggelam di balik dada bidangnya. Mendengar Aldino akan pergi jauh, Putri Melati terlihat murung. Bahkan ia menangis tersedu sedan.Malati bukan tidak ingin suaminya mengikuti pengobatan di rumah sakit luar negeri. Namun ia ingin ikut bersamanya ke negeri yang terkenal dengan patung Merlionnya.Malati dan baby Gala belum bisa berangkat mengingat usia bayi mereka masih belum siap untuk berpergian jauh. Begitupula dengan Malati yang