Sesuai kesepakatan Malati dan Aldino, keluarga Waluyo pun mendatangi keluarga Malati.
Setelah melihat siapa yang datang, barulah Junaedi dan Nia sadar jika apa yang tempo hari Aldino katakan benar--pria itu akan meminang keponakan satu-satunya.
Dengan pongah, Nia pun meminta uang lebih sebagai bentuk kompensasi karena telah mengambil keponakannya.
Hanya saja, ia tak menyangka dengan ucapan Aldino selanjutnya.
"Jika demikian, kami akan memberikan satu miliar," ucap pria tampan itu tanpa keraguan.
"Satu Miliar?" pekik Nia dan Junaedi. Keduanya lalu tersenyum. Mereka jelas dengan senang hati menyerahkan Malati setelah dijanjikan uang yang melebihi nominal utang mereka!
Aldino pun mengangguk. "Hanya saja, pernikahan kami tidak boleh bocor ke publik," ucap Aldino tegas, "dan sertifikat rumah juga harus dipegang oleh Malati."
Kali ini, mata Nia membelalak. Jelas, dia tak setuju.
Namun, seolah tahu apa yang hendak dilakukan keduanya, Aldino tiba-tiba berkata, "Tenang saja, kalian boleh tinggal di sini sebelum menemukan tempat tinggal baru."
"Kalau tidak, KDRT yang kalian lakukan pada Malati selama ini akan kami bongkar dan diproses ke pihak berwajib," ancamnya.
Mendengar itu, Nia dan Junaedi sontak bungkam. Mereka pun menyetujui permintaan Aldino.
Toh, mereka sudah mendapatkan uang banyak walaupun harus kehilangan sapi perah seperti Melati.
"Baiklah. Kami setuju," ucap Junaedi menahan senyum culasnya.
****Dua hari kemudian, pernikahan sederhana pun digelar di kediaman Malati.
Hanya ada keluarga inti dan perwakilan dari ketua RT sebagai pejabat setempat.
Ijab kabul bahkan dilaksanakan di ruang tamu.
Sementara itu, sang mempelai wanita yang sudah terlihat cantik menggunakan kebaya berwarna putih gading lengkap dengan hijab sutra berwarna senada menunggu di ruangan lain di sebelahnya.
“Saya terima nikah dan kawinnya Putri Melati binti Gunawan dengan seperangkat alat sholat dan dua puluh gram emas putih dibayar tunai!” ucap Aldino dengan lantang dan lancar.
“Sah!”
Mendengar teriakan para saksi, Malati pun dipapah oleh ke dua sepupunya, Ariana dan Nadira untuk menghampiri pengantin pria.
“Silahkan acara sungkeman Mas Aldino!” ucap sang penghulu menggoda Aldino yang sibuk dengan pikirannya.
Setelah mendengar seruan sang penghulu, Aldino baru sadar jika istri kecilnya kini sudah berada di hadapannya duduk dengan menunduk.
Aldino menatap Malati yang terlihat gugup dengan tanpa berkedip.
Dalam diam, Aldino menilai penampilan gadis itu yang menurutnya lebih cocok disebut menggemaskan daripada cantik.
Malati pun merengkuh tangan besar Aldino dan mengecupnya tidak dengan menggunakan bibirnya namun hanya menempelkannya pada keningnya.
Bagi Aldino, tak masalah sebab gadis itu mungkin menganggapnya sebagai gurunya.
Pria itu pun memasangkan cincin pernikahan pada jari manis Malati.
Sayangnya, cincin tersebut terlalu besar di jari manis Malati sehingga tak indah ketika dipasang. Kedodoran!
"Sial," batin Aldino dalam hati.
Ia pun mencoba seluruh jari Malati. Hasilnya nihil dan tetap sama.
Aldino pun menyerah. Disematkannya cincin itu di jari manis Malati yang mungil, lalu berbisik, “Untuk sementara kau bisa pakai plester agar cincinnya pas di jarimu.”
Malati sempat terkejut. Namun, gadis itu hanya mengangguk pelan.
Selepas itu, giliran Malati menyematkan cincin pada jari manis suaminya.
Tak butuh waktu lama, usai melangsungkan pernikahan secara khidmat, sepasang pengantin dan keluarga besar mengabadikan momen penting mereka dengan berfoto.
Kemudian mereka menikmati hidangan sebelum diboyong ke kediaman Aldino Tama Waluyo.
Sebelum benar-benar meninggalkan kediamannya, Malati izin seberntar.
Dia melihat kamar ke dua orang tuanya dengan pedih.
Kamar kosong itu selalu Malati rawat sehingga tetap bersih dan rapi. Tapi, terpaksa ia harus meninggalkan rumah masa kecilnya tersebut karena dipersunting orang asing.
Malati menatap dipan terbuat dari kayu mahoni yang masih utuh sejak sembilan tahun yang lalu.
Ia tidak akan pernah melupakan, saat terakhir kali melihat ibunya, di atas dipan tersebut tergolek lemah.
Hanya secarik kertas yang ia temukan. Sebuah pesan terakhir yang menyatakan bahwa Dewi, sang ibu sudah tidak kuat menanggung hidup yang begitu berat. Ia mengakhiri hidupnya dengan meminum racun arsenik.
Para warga pun bergunjing.
Hanya saja, ada sebuah fakta mengejutkan yang Malati temukan dan tak diketahui yang lain.
Sang ibu sebetulnya tidak mengakhiri hidupnya! Ada seseorang berusaha menghabisi nyawanya.
Malati pun menutup pintu kamar ke dua orang tuanya dan menguncinya. "Malati janji akan terus mencari tahu pembunuh ibu, sehingga nama baik ibu bisa kembali," lirihnya pelan.
******
“Ayo Malati!” seru Aldino begitu Malati keluar.
Pria itu memintanya untuk segera menaiki kendaraan mewah Aldino.
Terlihat seorang supir pribadi sudah memasukan koper berisi pakaian milik Malati ke dalam bagasi mobil.
Sementara itu, rombongan keluarga Aldino sepertinya sudah lebih dulu pulang.
Malati terdiam. Tak ada seorang pun yang mengantarkan kepergiannya.
DiSekelebat bayangan kedua orang tuanya terlihat. Gunawan dan Dewi melambaikan tangannya padanya dan mengucapkan kata-kata perpisahan yang menyejukan.
“Kami akan merindukanmu, Sayang!” seru kedua orang tuanya bersamaan ketika Malati ikut kegiatan camping PRAMUKA di Cibubur.
Malati memang memiliki ingatan begitu kuat sejak kecil. Jadi, ia pun masih mengingat momen-momen berharga bersama ke dua orang tuanya.
“Halo! Malati! Sampean kesambet setan?”
Aldino tiba-tiba melambaikan tangannya di hadapan wajah Malati-membuyarkan lamunannya.
Gadis itu pun mengerjapkan matanya dan segera sadar dari kenangan indahnya.
"Maaf," ucap Malati. Dia pun gegas memasuki mobil Aldino dan duduk di bangku belakang.
Hanya saja, ia merasa nyaman dalam kendaraan mewah itu.
Saking nyamannya, Malati bahkan tertidur pulas!
“Malati, bangun! Kita sudah sampai di rumah.”
Aldino menyentil kening gadis itu hingga terkejut.
Malati benar-benar terperenyak. 'Bisakah membangunkan dengan cara yang lebih lembut?' batinnya dalam hati.
“Kita di mana?” ucap Malati setelah mengumpulkan nyawa.
Aldino mendecak kesal pada gadis itu, padahal ia sudah menjelaskan bahwasanya mereka sudah tiba di kediamannya.
“Dengarkan baik-baik! Saya tidak suka mengulangi kata-kata! Cukup sekali! Kita sudah tiba di rumah Eyang Waluyo. Kau mengerti ‘kan maksudku? Kau sudah pelajari apa saja yang harus diucapkan saat berhadapan dengannya?”
Malati mengangguk.
Dalam diam, ia pun mengekori langkah kaki lebar Aldino yang cepat saat masuk rumah.
Tampak, seorang pelayan memakai seragam khusus menyambut kedatangan Aldino.
“Eyang sudah tiba?” tanya Aldino pada pelayan tersebut.
“Belum, Mas. Eyang masih di perjalanan.”
Pelayan tersebut menjawab kemudian membawakan koper milik Malati.
Aldino mengangguk, lalu menoleh pada Malati. “Kita ke lantai dua!” ucapnya.
Tanpa basa-basi, pria itu berjalan terlebih dahulu diikuti pelayan tadi.
Dalam diam, Malati mengikuti langkah kaki Aldino hingga mereka melewati anak tangga yang banyak menuju sebuah kamar besar dengan pintu berukiran khas Jepara.
Ceklek!
Aldino membuka pintu kamarnya.
“Ini kamar kita!” serunya membuat Malati tak bisa menyembunyikan rasa keterkejutannya.
Malati sontak terkagum-kagum melihat isinya yang mirip kamar hotel bintang lima.
Warna kamar tersebut didominasi abu-abu dan hitam. Sebuah kamar yang menunjukan sisi maskulin penghuninya. Furniture di dalamnya pun mewah, terdiri dari lemari jati dengan ornamen ukiran khas Jepara.
Hanya saja, Malati tiba-tiba sadar.
Bukankah mereka sepakat menjalani pernikahan kontrak namun mengapa harus tinggal sekamar?"Hah?" pekik perempuan itu kaget.
Seingat Malati dalam surat perjanjian dikatakan bahwa mereka akan tinggal di rumah kakek Aldino-Eyang Waluyo di mana hanya ditinggali oleh Aldino seorang dan pekerja rumah tangga, karena Eyang Waluyo menetap di Salatiga, Jawa tengah. Sehingga mereka bisa tidur terpisah di kamar masing-masing. “Maaf, Pak. Bukankah kamar kita terpisah?” hardik Malati yang berusaha mengalihkan matanya dari atas kepala ranjang berukuran king size. Ada sebuah foto raksasa Aldino yang menampilkan otot-otot tubuh bagian atasnya. Setahu Malati, Aldino memang penggemar olahraga gym dan senang membentuk otot-otot tubuhnya. Tapi, sampai memajang foto...? “Dengar! Eyang Waluyo akan datang kemari. Dia sedang berada di perjalanan. Kau tahu, bagaimana nanti reaksinya ketika dia mengetahui jika kita menikah tetapi tidak tinggal sekamar? Sandiwara kita akan ketahuan!” jelas Aldino menyadarkan gadis itu dari lamunan. “Sekalipun kau tidur telanjang di atas ranjangku, aku tak tertarik padamu! Kau bukan seleraku.” Ald
Malati bisa merasakan aura tak sedap yang menguar dari air muka Eyang Waluyo saat menatapnya. Sepertinya keberadaan dirinya tak dikehendaki. Barangkali karena perbedaan status sosial menjadi masalahnya. Apalagi Malati hanyalah seorang gadis yatim piatu dan berasal dari keluarga strata sosial menengah ke bawah. Ternyata alasan dicantumkannya ‘Malati harus bersikap baik dan ramah pada Eyang Waluyo’ adalah ini.Sepertinya, pria tua ini memang ketus, keras dan dingin. Tak ada manis-manisnya. Rupanya watak Aldino menurun dari eyangnya ini. Bahkan ... masih mending Aldino, setidaknya ia memiliki jiwa seorang guru alias kebapakan yang sedikit hangat. Hanya sedikit! Khusus untuk anak didik yang penurut saja. “Eyang, saya Malati,” ucap Malati lagi. Ia yang tak pandai berbasa-basi, mengerahkan seluruh keberaniannya hanya sekedar untuk memperkenalkan diri.“Saya sudah tahu, baru saja Aldino mengatakannya.” Eyang Waluyo menjawab dengan nada dingin kembali. “Oalah, siapa Cah Ayu ini? Pilihan
Sementara percakapan ketiganya berlangsung, Eyang Waluyo tengah terbaring lemah di atas ranjang.Perjalanan lewat udara cukup membuatnya merasa letih karena usianya yang sudah renta dan penyakit kronis yang dideritanya. Seorang pengawal setianya hendak memeriksa ke dalam kamar di mana ia istirahat. Ia ingin memastikan kondisi majikannya apakah baik-baik saja atau tidak. Sengaja, ia membawakan secangkir teh melati favoritnya. Tok tok tok!Mendengar pintu diketuk, pria dengan rambut dipenuhi uban itu pun mempersilakannya masuk. “Masuklah!” “Tuan, apa Anda butuh sesuatu?” tanya sang pengawal yang sudah setia menemaninya bertahun-tahun. Melihat kedatangan pengawalnya, terbesit ide di kepala Eyang Waluyo. Ia bangun dan duduk bersandar pada kepala ranjang. “Bagas, tolong kau cari tahu semua hal tentang istri Aldino!” titah pria tua berwatak keras tersebut bernada serius. Ia mencium gelagat yang aneh pada pernikahan cucu kesayangannya. Terlalu mendadak dan wanita yang ia nikahi ...
Malam ini Malati tidur dengan begitu pulas hingga dengkuran halus terdengar. Tak pernah merasakan begitu nikmat menjemput mimpi seperti malam-malam sebelumnya yang senantiasa dipenuhi mimpi buruk yang menyiksa.Tidur di atas kasur yang empuk tanpa ada yang mengusiknya merupakan sebuah berkah luar biasa bagi gadis yang disibukan dengan segudang aktifitasnya seharian. Kini indera pendengarannya selamat dari suara sopran bibinya yang senang sekali mengganggu waktu istirahatnya, menyuruh ini dan itu seperti pada pelayan. Suhu pendingin ruangan semakin menenggelamkan tubuh mungil Malati di balik selimut wol yang hangat. Ia tersenyum dalam tidurnya.Sayup-sayup suara azan subuh menggelitik telinga Malati. Ia sudah terbiasa bangun dini hari, namun hari itu, ia baru bisa bangun menjelang subuh. Perlahan ia membelakan matanya yang terasa berat, berusaha beradaptasi dengan intensitas cahaya yang menerobos masuk melalui retina matanya.Malati tersentak ketika terbangun di kamar asing.“Aku di m
Hari ini usai sarapan pagi yang sedikit dramatis, Aldino mengantarkan Malati berangkat ke kampus. Jika pernikahan yang terjadi normal, seharusnya mereka saat ini tengah menikmati Honeymoon. Sayangnya, mereka menikah secara diam-diam sehingga tidak ada orang lain yang tahu soal status pernikahan mereka kecuali keluarga terdekat.Jarak kediaman Aldino dan kampus Prabu Agung Cakrabuana cukup jauh.Namun sepanjang perjalanan, atmosfer terasa hening mirip pemakaman.Aldino mengira jika Malati masih marah soal morning kiss yang ia lakukan pagi tadi di hadapan Eyang Waluyo dan Bude Ratna. Pasalnya, setelah pagi tadi Malati berwajah muram, meski sebelumnya selalu muram. Namun kini semakin muram. Begitulah pikiran yang berseliweran di kepala Aldino.Ragu-ragu, Aldino ingin membahas soal perkara tadi, namun ia gengsi. Toh, dalam perjanjian tertulis Malati harus bisa bersandiwara dengan baik sebagai istrinya.Sebaliknya, meski Malati kesal ia tak mau membahas masalah morning kiss tadi. Ia tahu,
Sejenak Malati mengabaikan pesan yang masuk pada ponselnya. Ia memasuki ruang kelas dan mengikuti perkuliahan hari itu. Hingga tak terasa waktu sudah siang. Malati harus bersiap-siap pergi ke sekolah SMA nya dulu untuk mengajar para calon peserta Olimpiade Matematika.Malati memesan ojek online agar tiba di sana. Jarak universitas Prabu Agung Cakrabuana menuju MA Al Fatma cukup jauh, membutuhkan waktu hingga setengah jam dengan kendaraan beroda dua jika jalan lengang.Kebetulan hari itu jalan mulus tanpa hambatan sehingga Malati bisa tiba di sekolah di mana dulu ia mengenyam pendidikan saat SMA tepat waktu.Aldino orang yang disiplin maka jika Malati datang terlambat, ia pasti akan kena marah.“Makasih Teh!” ucap Malati pada driver onjol perempuan seraya memberikan ongkosnya.“Sama-sama, Neng!” sahutnya.Malati menghela nafas. Karena wajahnya baby face sehingga ia masih dikira anak SMA. Padahal ia sudah menjadi anak mahasiswi tingkat tiga. Ia belajar lebih cepat sebab pernah mengikuti
Tak terasa petang beranjak. Setelah membeli buket bunga, Aldino mengajak Malati pergi ke sebuah rumah sakit kota yang elit. Namun sebelumnya mereka memutuskan sholat magrib di masjid agung.Ia akan mengunjungi kekasihnya yang sedang dirawat di rumah sakit. Hampir setiap minggu ia membesuknya demi mengobati rasa rindu yang meradang.Kakinya mengayun lesu setiap kali datang ke sana. Sejujurnya ia tak tega melihatnya namun ia selalu ingin mengetahui kondisinya. Apakah ada perkembangan atau tidak. Ia berharap ada sebuah keajaiban yang hadir! Karena doa-doa Aldino senantiasa melangit untuk kekasihnya!Aldino memarkirkan kendaraannya di area parkir rumah sakit dan meminta Malati untuk menunggu di mobil.“Mala, kau tunggu di sini! Jangan kemana-mana!” Begitulah Aldino memperingati Malati seperti pada anak kecil.Seperti biasa Malati hanya akan mengangguk untuk menjawab, namun ketika teringat Aldino yang selalu marah melihat responnya maka kini Malati mulai bersuara.“Iya, Pak! Saya akan m
Malati mulai merasa jenuh dan letih menunggu Aldino yang keluar meninggalkannya selama lebih dari tiga puluh menit. Beberapa kali Malati menengok jam pada arloji yang melingkari di pergelangan tangan kanannya. Namun Aldino tak urung datang.Bukan tanpa alasan, hari ini jadwal kegiatan Malati sangatlah padat. Pagi hari ia mengikuti jadwal kuliah. Sore hari ia harus mengajar adik kelasnya di MA Al Fatma.Perutnya sudah keroncongan karena tak sempat makan siang. Rasanya ia ingin segera pulang bersantap malam dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Untuk mengusir rasa suntuk dan lapar, Malati membaca buku. Sudah tiga buku berjilid tebal yang ia baca. Malati yang diberkati daya ingat yang kuat tak butuh waktu lama dalam membaca sebuah buku. Hanya dengan membaca sekilas, ia bisa memahami isi buku. Tiba-tiba merasa ada panggilan alam. Ia ingin buang air kecil. Namun ia khawatir jika Aldino datang saat ia tak menunggunya. Ia takut Aldino marah karena sifat aslinya temperamen. Oleh karena
Di tempat berbeda, kini pasangan lain pun tengah diberkati kebahagiaan yang luar biasa. Akhirnya setelah hampir setahun lamanya, Aldino kini bisa kembali berjalan. Setelah mengikuti terapi dan pengobatan hingga berbulan-bulan lamanya di Singapura, pria berwajah tampan dan bertubuh bak binaragawan itu akhirnya bisa berjalan normal kembali. Ia sangat bekerja keras selama berada di Singapura.Ia akan pulang dengan memberikan kejutan pada istri tercinta dan putra tampannya yang kini sudah berusia setahun.Hari itu, Malati tengah mengasuh Manggala bermain di ruang bermain yang dibuat khusus, di ruang keluarga kediaman Eyang Waluyo. Cicit tersayang selalu mendapat perhatian lebih dari Eyang buyutnya. Malati dan putra tampannya mendapatkan privilege luar biasa dari Eyang Waluyo hingga keluarga besar lainnya.“Gala! Sini Nak!”Kakek tua yang masih berdiri tegap itu memanggil cicitnya. Meskipun Manggala baru berusia setahun namun anak itu sangat cerdas. Ia sudah bisa berjalan dengan baik dan bi
Ali pun menarik handle pintu kamar pengàntin hingga terbuka. Sulis langsung antusias melihat untuk pertama kali kamar pengàntin yang sangat indah karena dihias sedemikian rupa. “Aa, bagus banget!” Sulis mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar berukuran presidential suit tersebut. Kamarnya didominasi warna putih dan warna-warna pastel sesuai keinginannya. Matanya berbinar mengamati setiap detail hiasan bebungaan yang berada di atas ranjang. Seketika ia tertawa melihat ada dua ekor angsa yang tergolek di atas ranjang. Angsa yang dibentuk dari selimut berwarna putih. Tangannya terulur mengusap angsa tersebut. “Lucunya! Aku mau foto dulu,”Seketika Sulis mengambil ponselnya lalu memotret ranjang pengàntin yang begitu indah itu dengan senyum yang berseri-seri.“Sini, Aa yang fotoin!” imbuh Ali dari belakang tubuh gadis itu. Sulis mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia senang mendengar usulan Ali. Sulis pun duduk dengan posisi anggun di atas ranjang. Ali pun mengambil ponsel is
Ali berusaha menormalkan perasaannya dalam menyikapi Sulis. Sulis memàng sedang sakit, penyakitnya yang dideritanya juga tidak main-main. Oleh karena itu mungkin ia mulai merasa frustasi.Sulis tidak menyadari jika calon suaminya bertopeng dingin dari luar, padahal hatinya begitu hangat. Pada adiknya saja Ali begitu mengkhawatirkannya saat ia sakit. Tak jauh berbeda pada kekasih hatinya, ia merasakan kekhawatiran yang sama. “Sulis, stop overthinking! Kita akan tetap pada rencana awal kita. Kita akan menikah! Kau juga akan ikut pengobatan.”Ali berbicara tegas. Ia tidak suka sikap Sulis yang mendadak melankolis.Sulis terdiam dengan isak yang tertahan dan menggigit bibir bawahnya, “Ali, aku takut gak bisa hamil! Aku perokok berat. Argh, Shit! Aku mungkin tak subur!”Kini Sulis berkata hal lain yang malah memperkeruh suasana. Ali semakin jengkel mendengarnya, “Terus kau mau hubungan kita berakhir begitu saja? Kita batalkan tunangan begitu?”Sulis mengangguk dengan air mata yang bercucu
Ali tertegun saat mendengar kabar dari dokter bahwa kekasihnya harus menjalani beberapa tes kesehatan di antaranya tes darah dan rontgen. Sebelum jatuh pingsan Sulis sempat muntah darah penyebabnya. Kesimpulannya ada bagian organ dalamnya yang terluka dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.Ali merasa bersalah, telah mengabaikan kekasihnya karena masalah sepele. Sederhananya, mungkin jika tidak ada drama cemburu tadi sore mungkin Sulis akan baik-baik saja. Sungguh, Ali menyesali sikapnya yang tidak dewasa. “Argh, maafkan aku Sulis. Aku kadang egois.”Ali bergumam dengan helaan nafas berat. Pria itu berjalan lesu dari ruangan dokter dan pergi menuju ruangan di mana kekasihnya dirawat malam itu. Perlahan Ali membuka pintu ruang rawat inap gadis itu. Tampak Sulis sedang tertidur pulas mungkin karena pengaruh obat. Untuk sementara ia dirawat karena kurang darah. Namun penyebab yang lebih serius belum diketahui. Ali berjalan mendekati kekasihnya. Ia berdiri di depan ranjang hidrolik s
Dua orang pemuda tampan tengah menahan kesal menunggu kekasih mereka yang sibuk memilih gaun. Sudah lebih dari dua jam lamanya mereka berusaha memanjangkan sumbu kesabaran. Rasa panas menjalari punggung mereka karena terlalu lama duduk di sofa.Meskipun pelayan butik itu melayani mereka dengan istimewa, memberikan minuman hingga camilan, tetap saja tak bisa mengusir rasa jenuh mereka. Mereka bahkan sudah memainkan ponsel masing-masing, men scroll media sosial tak jelas untuk membunuh waktu. Nihil! “Lama banget! Mereka ngapain aja sih?” ucap pemuda berhidung bangir yang tak lain Mustafa Ali Basalamah pada pemuda tampan bermata sipit yang tengah duduk di sampingnya, dr Zain. Ali beringsut berdiri lalu merenggangkan tubuhnya beberapa saat karena rasa pegal akibat duduk lumayan lama di sofa berbentuk letter U. Ia pun memutar lehernya hingga menimbulkan bunyi kretek yang membuat dr Zain meringis mendengarnya. dr Zain hanya mendesah pelan mendengar keluhan calon iparnya. Dokter muda itu
“Mala, sini Bude yang gendong Gala!”Bude Ratna menghampiri Malati yang baru saja menyusui bayi tampannya. Malati gegas mengancingkan kancing bajunya kemudian melepas apron menyusui saat Gala terlihat sudah kenyang menyusu. Biasanya bayi yang memiliki garis wajah mirip sekali ayahnya itu tertidur saat merasa perutnya penuh, namun kali ini ia terjaga seakan ingin bermain dengan neneknya.Malati pun menyerahkan Gala pada pangkuan Bude Ratna. Bayi itu tersenyum dan menatap neneknya dengan mata yang bening. Sungguh terlihat menggemaskan.Bude Ratna menyematkan senyuman yang lebar menatap cucunya itu dengan penuh haru. Bukan tanpa alasan, Gala terlahir saat ke dua orang tuanya mengalami kecelakaan yang mengerikan.Atas kehendakNya, mereka semua selamat kendati ayahnya kini harus menjalani pengobatan di luar negeri. Seminggu sudah kepergian Aldino ke Singapura. Terpaksa, Malati mengikhlaskan kepergian suaminya bersama Bude Gendhis, suaminya dan beberapa pengawal pribadi utusan Eyang Waluyo.
“Bulan depan!”Ali menjawab dengan penuh keyakinan pertanyaan ayah Sulis. Setelah acara lamaran selesai, Hendi-Ayah Sulis bertanya pada Ali tentang hubungan putrinya dan Ali sudah sampai sejauh mana. Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab Hendi mengira jika kedatangan keluarga Basalamah itu untuk acara pertunangan. Bukan lamaran menuju pernikahan.Nyatanya, sebelum mereka benar-benar pergi dari kediaman Sulis, Ali memberanikan dirinya, secara langsung ia mengungkapkan rencananya ingin menikahi Sulis sesegera mungkin. Ali berusaha bernegosiasi dengan calon ayah mertuanya, bahwasanya meskipun hubungan mereka belum lama, namun mereka sudah bisa saling memahami karakter masing-masing sehingga ingin segera melangsungkan hubungan mereka ke arah yang serius. Terlebih usia ke duanya telah matang. Sudah sama-sama dewasa.Hendi menatap Sulis sejenak kemudian kembali menggerakan bibirnya. “Nak Ali, Bapak sebagai orang tua sangat bahagia mendengar rencana baik Nak Ali dengan melamar Sulis untuk d
“Ali, kenapa kau belum datang juga? Kenapa juga kau tidak mengangkat telepon dariku? Argh, awas kalau kabur dari acara pertunangan! Aku tak segan memberi perhitungan padamu!” gumam Sulis dengan perasaan yang teramat gelisah. Saat ini Sulis berada di rumahnya di kota Bandung.Hari itu adalah hari bersejarah baginya. Akhirnya Sulis akan dilamar oleh pria tampan dan kaya raya seperti angan-angannya selama ini. Gadis bertubuh jangkung itu berdiri mematung di taman depan rumahnya, menunggu detik-detik kehadiran Ali bersama keluarga besarnya.Ternyata Ali tidak main-main dengan hubungan yang terjalin di antara mereka. Ia serius ingin meminang Sulis. Lamaran Ali sebetulnya ialah waktu yang tepat untuk menentukan kapan waktu pernikahan mereka akan berlangsung. Sebaliknya, Sulis hanya mengira jika lamaran Ali hanyalah pengikat atau tanda keseriusan Ali atas hubungan percintaan mereka. Atau pertunangan biasa.“Sulis, diam bisa gak?” Dari dalam rumah, sang Ibu memanggil putrinya itu dengan suar
Aldino hanya menghela nafas pelan. Ia sebetulnya tak tega jika harus meninggalkan istri dan bayi tampannya yang baru lahir. Namun niatnya sudah bulat. Ia ingin segera sembuh dan tak ingin merepotkan istrinya atau siapapun. Aldino yakin pengobatan medis di luar negeri lebih baik. Oleh karena itu ia menyetujui usulan Eyang Waluyo untuk berobat di Singapura. Aldino akan mengikuti prosedur operasi di sana dan mengikuti terapi hingga kakinya sembuh seperti sedia kala.“Sayang, udah dong! Ini demi kebaikan kita semua.”Aldino mengusap-usap punggung istrinya yang tenggelam di balik dada bidangnya. Mendengar Aldino akan pergi jauh, Putri Melati terlihat murung. Bahkan ia menangis tersedu sedan.Malati bukan tidak ingin suaminya mengikuti pengobatan di rumah sakit luar negeri. Namun ia ingin ikut bersamanya ke negeri yang terkenal dengan patung Merlionnya.Malati dan baby Gala belum bisa berangkat mengingat usia bayi mereka masih belum siap untuk berpergian jauh. Begitupula dengan Malati yang