Sementara percakapan ketiganya berlangsung, Eyang Waluyo tengah terbaring lemah di atas ranjang.Perjalanan lewat udara cukup membuatnya merasa letih karena usianya yang sudah renta dan penyakit kronis yang dideritanya. Seorang pengawal setianya hendak memeriksa ke dalam kamar di mana ia istirahat. Ia ingin memastikan kondisi majikannya apakah baik-baik saja atau tidak. Sengaja, ia membawakan secangkir teh melati favoritnya. Tok tok tok!Mendengar pintu diketuk, pria dengan rambut dipenuhi uban itu pun mempersilakannya masuk. “Masuklah!” “Tuan, apa Anda butuh sesuatu?” tanya sang pengawal yang sudah setia menemaninya bertahun-tahun. Melihat kedatangan pengawalnya, terbesit ide di kepala Eyang Waluyo. Ia bangun dan duduk bersandar pada kepala ranjang. “Bagas, tolong kau cari tahu semua hal tentang istri Aldino!” titah pria tua berwatak keras tersebut bernada serius. Ia mencium gelagat yang aneh pada pernikahan cucu kesayangannya. Terlalu mendadak dan wanita yang ia nikahi ...
Malam ini Malati tidur dengan begitu pulas hingga dengkuran halus terdengar. Tak pernah merasakan begitu nikmat menjemput mimpi seperti malam-malam sebelumnya yang senantiasa dipenuhi mimpi buruk yang menyiksa.Tidur di atas kasur yang empuk tanpa ada yang mengusiknya merupakan sebuah berkah luar biasa bagi gadis yang disibukan dengan segudang aktifitasnya seharian. Kini indera pendengarannya selamat dari suara sopran bibinya yang senang sekali mengganggu waktu istirahatnya, menyuruh ini dan itu seperti pada pelayan. Suhu pendingin ruangan semakin menenggelamkan tubuh mungil Malati di balik selimut wol yang hangat. Ia tersenyum dalam tidurnya.Sayup-sayup suara azan subuh menggelitik telinga Malati. Ia sudah terbiasa bangun dini hari, namun hari itu, ia baru bisa bangun menjelang subuh. Perlahan ia membelakan matanya yang terasa berat, berusaha beradaptasi dengan intensitas cahaya yang menerobos masuk melalui retina matanya.Malati tersentak ketika terbangun di kamar asing.“Aku di m
Hari ini usai sarapan pagi yang sedikit dramatis, Aldino mengantarkan Malati berangkat ke kampus. Jika pernikahan yang terjadi normal, seharusnya mereka saat ini tengah menikmati Honeymoon. Sayangnya, mereka menikah secara diam-diam sehingga tidak ada orang lain yang tahu soal status pernikahan mereka kecuali keluarga terdekat.Jarak kediaman Aldino dan kampus Prabu Agung Cakrabuana cukup jauh.Namun sepanjang perjalanan, atmosfer terasa hening mirip pemakaman.Aldino mengira jika Malati masih marah soal morning kiss yang ia lakukan pagi tadi di hadapan Eyang Waluyo dan Bude Ratna. Pasalnya, setelah pagi tadi Malati berwajah muram, meski sebelumnya selalu muram. Namun kini semakin muram. Begitulah pikiran yang berseliweran di kepala Aldino.Ragu-ragu, Aldino ingin membahas soal perkara tadi, namun ia gengsi. Toh, dalam perjanjian tertulis Malati harus bisa bersandiwara dengan baik sebagai istrinya.Sebaliknya, meski Malati kesal ia tak mau membahas masalah morning kiss tadi. Ia tahu,
Sejenak Malati mengabaikan pesan yang masuk pada ponselnya. Ia memasuki ruang kelas dan mengikuti perkuliahan hari itu. Hingga tak terasa waktu sudah siang. Malati harus bersiap-siap pergi ke sekolah SMA nya dulu untuk mengajar para calon peserta Olimpiade Matematika.Malati memesan ojek online agar tiba di sana. Jarak universitas Prabu Agung Cakrabuana menuju MA Al Fatma cukup jauh, membutuhkan waktu hingga setengah jam dengan kendaraan beroda dua jika jalan lengang.Kebetulan hari itu jalan mulus tanpa hambatan sehingga Malati bisa tiba di sekolah di mana dulu ia mengenyam pendidikan saat SMA tepat waktu.Aldino orang yang disiplin maka jika Malati datang terlambat, ia pasti akan kena marah.“Makasih Teh!” ucap Malati pada driver onjol perempuan seraya memberikan ongkosnya.“Sama-sama, Neng!” sahutnya.Malati menghela nafas. Karena wajahnya baby face sehingga ia masih dikira anak SMA. Padahal ia sudah menjadi anak mahasiswi tingkat tiga. Ia belajar lebih cepat sebab pernah mengikuti
Tak terasa petang beranjak. Setelah membeli buket bunga, Aldino mengajak Malati pergi ke sebuah rumah sakit kota yang elit. Namun sebelumnya mereka memutuskan sholat magrib di masjid agung.Ia akan mengunjungi kekasihnya yang sedang dirawat di rumah sakit. Hampir setiap minggu ia membesuknya demi mengobati rasa rindu yang meradang.Kakinya mengayun lesu setiap kali datang ke sana. Sejujurnya ia tak tega melihatnya namun ia selalu ingin mengetahui kondisinya. Apakah ada perkembangan atau tidak. Ia berharap ada sebuah keajaiban yang hadir! Karena doa-doa Aldino senantiasa melangit untuk kekasihnya!Aldino memarkirkan kendaraannya di area parkir rumah sakit dan meminta Malati untuk menunggu di mobil.“Mala, kau tunggu di sini! Jangan kemana-mana!” Begitulah Aldino memperingati Malati seperti pada anak kecil.Seperti biasa Malati hanya akan mengangguk untuk menjawab, namun ketika teringat Aldino yang selalu marah melihat responnya maka kini Malati mulai bersuara.“Iya, Pak! Saya akan m
Malati mulai merasa jenuh dan letih menunggu Aldino yang keluar meninggalkannya selama lebih dari tiga puluh menit. Beberapa kali Malati menengok jam pada arloji yang melingkari di pergelangan tangan kanannya. Namun Aldino tak urung datang.Bukan tanpa alasan, hari ini jadwal kegiatan Malati sangatlah padat. Pagi hari ia mengikuti jadwal kuliah. Sore hari ia harus mengajar adik kelasnya di MA Al Fatma.Perutnya sudah keroncongan karena tak sempat makan siang. Rasanya ia ingin segera pulang bersantap malam dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Untuk mengusir rasa suntuk dan lapar, Malati membaca buku. Sudah tiga buku berjilid tebal yang ia baca. Malati yang diberkati daya ingat yang kuat tak butuh waktu lama dalam membaca sebuah buku. Hanya dengan membaca sekilas, ia bisa memahami isi buku. Tiba-tiba merasa ada panggilan alam. Ia ingin buang air kecil. Namun ia khawatir jika Aldino datang saat ia tak menunggunya. Ia takut Aldino marah karena sifat aslinya temperamen. Oleh karena
Malati tersentak kaget ketika tubuhnya tiba-tiba melayang ke udara. Tanpa seijinnya, ke dua tangan kekar Aldino membopong tubuhnya. Tatapannya yang tajam kini berubah menjadi teduh.Karena khawatir jatuh, reflek, tangan Malati mencengkram baju Aldino, berpegangan.“Pssttt! Jangan berisik! Apa kau tak lihat Bude Ratna sedang memperhatikan kita,” lirih Aldino.Malati pun menutup bibirnya rapat-rapat. Ia masih berupaya keras menormalkan debaran jantungnya yang tiba-tiba jedag-jedug. Ekor mata Malati menangkap sosok wanita tengah berdiri mematung dekat lemari pendingin. Mungkin Bude Ratna kehausan sehingga mengambil air dingin di sana.Namun Malati seringkali dibuat pening tiada ampun dengan tindakan Aldino yang berada di luar nalar. Penuh kejutan dan tak bisa ditebak!Mengapa harus ada adegan menggendong. Lama kelamaan Malati mulai berpikir jika Aldino diam-diam merupakan penggemar drakor. Pikirannya mungkin dipenuhi oleh adegan-adegan roman picisan. Usia boleh tua tetapi jiwa masih mu
Malati tersenyum mendengar pertanyaan Bude Ratna. Ia pun menjawab dengan penuh keyakinan.“Biasa Bude. Kami menghabiskan waktu jalan-jalan di luar. Kami makan malam dan berhenti di masjid agung untuk menunaikan sholat.”Tangan Aldino menggapai lemon tea tanpa gula dan meneguknya perlahan.Ia merasa tenang dengan jawaban Malati. Untung saja sebelumnya Malati sudah dibreafing terlebih dahulu. Aldino seorang guru yang berwibawa dan pemaksa sedangkan Malati murid yang cerdas namun penurut sehingga menjadikan mereka kombinasi yang cocok.“Bude dan Eyang, kami berangkat,” ujar Aldino tampak masam, tak seperti biasanya. Ia langsung menggamit tangan Malati untuk ikut bersamanya.Eyang Waluyo hanya menatap dingin cucunya. Ia memang tak pandai berbasa-basi.“Al, Bude mau menginap di rumah Mas Dirga!” seru Bude Ratna sesaat mereka pergi. Malati masih bisa mendengar perkataan Bude Ratna. Ia merasa tak enak hati karena meninggalkan meja makan begitu saja. Namun hidupnya kini tergadaikan pada so
Di tempat berbeda, kini pasangan lain pun tengah diberkati kebahagiaan yang luar biasa. Akhirnya setelah hampir setahun lamanya, Aldino kini bisa kembali berjalan. Setelah mengikuti terapi dan pengobatan hingga berbulan-bulan lamanya di Singapura, pria berwajah tampan dan bertubuh bak binaragawan itu akhirnya bisa berjalan normal kembali. Ia sangat bekerja keras selama berada di Singapura.Ia akan pulang dengan memberikan kejutan pada istri tercinta dan putra tampannya yang kini sudah berusia setahun.Hari itu, Malati tengah mengasuh Manggala bermain di ruang bermain yang dibuat khusus, di ruang keluarga kediaman Eyang Waluyo. Cicit tersayang selalu mendapat perhatian lebih dari Eyang buyutnya. Malati dan putra tampannya mendapatkan privilege luar biasa dari Eyang Waluyo hingga keluarga besar lainnya.“Gala! Sini Nak!”Kakek tua yang masih berdiri tegap itu memanggil cicitnya. Meskipun Manggala baru berusia setahun namun anak itu sangat cerdas. Ia sudah bisa berjalan dengan baik dan bi
Ali pun menarik handle pintu kamar pengàntin hingga terbuka. Sulis langsung antusias melihat untuk pertama kali kamar pengàntin yang sangat indah karena dihias sedemikian rupa. “Aa, bagus banget!” Sulis mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar berukuran presidential suit tersebut. Kamarnya didominasi warna putih dan warna-warna pastel sesuai keinginannya. Matanya berbinar mengamati setiap detail hiasan bebungaan yang berada di atas ranjang. Seketika ia tertawa melihat ada dua ekor angsa yang tergolek di atas ranjang. Angsa yang dibentuk dari selimut berwarna putih. Tangannya terulur mengusap angsa tersebut. “Lucunya! Aku mau foto dulu,”Seketika Sulis mengambil ponselnya lalu memotret ranjang pengàntin yang begitu indah itu dengan senyum yang berseri-seri.“Sini, Aa yang fotoin!” imbuh Ali dari belakang tubuh gadis itu. Sulis mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia senang mendengar usulan Ali. Sulis pun duduk dengan posisi anggun di atas ranjang. Ali pun mengambil ponsel is
Ali berusaha menormalkan perasaannya dalam menyikapi Sulis. Sulis memàng sedang sakit, penyakitnya yang dideritanya juga tidak main-main. Oleh karena itu mungkin ia mulai merasa frustasi.Sulis tidak menyadari jika calon suaminya bertopeng dingin dari luar, padahal hatinya begitu hangat. Pada adiknya saja Ali begitu mengkhawatirkannya saat ia sakit. Tak jauh berbeda pada kekasih hatinya, ia merasakan kekhawatiran yang sama. “Sulis, stop overthinking! Kita akan tetap pada rencana awal kita. Kita akan menikah! Kau juga akan ikut pengobatan.”Ali berbicara tegas. Ia tidak suka sikap Sulis yang mendadak melankolis.Sulis terdiam dengan isak yang tertahan dan menggigit bibir bawahnya, “Ali, aku takut gak bisa hamil! Aku perokok berat. Argh, Shit! Aku mungkin tak subur!”Kini Sulis berkata hal lain yang malah memperkeruh suasana. Ali semakin jengkel mendengarnya, “Terus kau mau hubungan kita berakhir begitu saja? Kita batalkan tunangan begitu?”Sulis mengangguk dengan air mata yang bercucu
Ali tertegun saat mendengar kabar dari dokter bahwa kekasihnya harus menjalani beberapa tes kesehatan di antaranya tes darah dan rontgen. Sebelum jatuh pingsan Sulis sempat muntah darah penyebabnya. Kesimpulannya ada bagian organ dalamnya yang terluka dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.Ali merasa bersalah, telah mengabaikan kekasihnya karena masalah sepele. Sederhananya, mungkin jika tidak ada drama cemburu tadi sore mungkin Sulis akan baik-baik saja. Sungguh, Ali menyesali sikapnya yang tidak dewasa. “Argh, maafkan aku Sulis. Aku kadang egois.”Ali bergumam dengan helaan nafas berat. Pria itu berjalan lesu dari ruangan dokter dan pergi menuju ruangan di mana kekasihnya dirawat malam itu. Perlahan Ali membuka pintu ruang rawat inap gadis itu. Tampak Sulis sedang tertidur pulas mungkin karena pengaruh obat. Untuk sementara ia dirawat karena kurang darah. Namun penyebab yang lebih serius belum diketahui. Ali berjalan mendekati kekasihnya. Ia berdiri di depan ranjang hidrolik s
Dua orang pemuda tampan tengah menahan kesal menunggu kekasih mereka yang sibuk memilih gaun. Sudah lebih dari dua jam lamanya mereka berusaha memanjangkan sumbu kesabaran. Rasa panas menjalari punggung mereka karena terlalu lama duduk di sofa.Meskipun pelayan butik itu melayani mereka dengan istimewa, memberikan minuman hingga camilan, tetap saja tak bisa mengusir rasa jenuh mereka. Mereka bahkan sudah memainkan ponsel masing-masing, men scroll media sosial tak jelas untuk membunuh waktu. Nihil! “Lama banget! Mereka ngapain aja sih?” ucap pemuda berhidung bangir yang tak lain Mustafa Ali Basalamah pada pemuda tampan bermata sipit yang tengah duduk di sampingnya, dr Zain. Ali beringsut berdiri lalu merenggangkan tubuhnya beberapa saat karena rasa pegal akibat duduk lumayan lama di sofa berbentuk letter U. Ia pun memutar lehernya hingga menimbulkan bunyi kretek yang membuat dr Zain meringis mendengarnya. dr Zain hanya mendesah pelan mendengar keluhan calon iparnya. Dokter muda itu
“Mala, sini Bude yang gendong Gala!”Bude Ratna menghampiri Malati yang baru saja menyusui bayi tampannya. Malati gegas mengancingkan kancing bajunya kemudian melepas apron menyusui saat Gala terlihat sudah kenyang menyusu. Biasanya bayi yang memiliki garis wajah mirip sekali ayahnya itu tertidur saat merasa perutnya penuh, namun kali ini ia terjaga seakan ingin bermain dengan neneknya.Malati pun menyerahkan Gala pada pangkuan Bude Ratna. Bayi itu tersenyum dan menatap neneknya dengan mata yang bening. Sungguh terlihat menggemaskan.Bude Ratna menyematkan senyuman yang lebar menatap cucunya itu dengan penuh haru. Bukan tanpa alasan, Gala terlahir saat ke dua orang tuanya mengalami kecelakaan yang mengerikan.Atas kehendakNya, mereka semua selamat kendati ayahnya kini harus menjalani pengobatan di luar negeri. Seminggu sudah kepergian Aldino ke Singapura. Terpaksa, Malati mengikhlaskan kepergian suaminya bersama Bude Gendhis, suaminya dan beberapa pengawal pribadi utusan Eyang Waluyo.
“Bulan depan!”Ali menjawab dengan penuh keyakinan pertanyaan ayah Sulis. Setelah acara lamaran selesai, Hendi-Ayah Sulis bertanya pada Ali tentang hubungan putrinya dan Ali sudah sampai sejauh mana. Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab Hendi mengira jika kedatangan keluarga Basalamah itu untuk acara pertunangan. Bukan lamaran menuju pernikahan.Nyatanya, sebelum mereka benar-benar pergi dari kediaman Sulis, Ali memberanikan dirinya, secara langsung ia mengungkapkan rencananya ingin menikahi Sulis sesegera mungkin. Ali berusaha bernegosiasi dengan calon ayah mertuanya, bahwasanya meskipun hubungan mereka belum lama, namun mereka sudah bisa saling memahami karakter masing-masing sehingga ingin segera melangsungkan hubungan mereka ke arah yang serius. Terlebih usia ke duanya telah matang. Sudah sama-sama dewasa.Hendi menatap Sulis sejenak kemudian kembali menggerakan bibirnya. “Nak Ali, Bapak sebagai orang tua sangat bahagia mendengar rencana baik Nak Ali dengan melamar Sulis untuk d
“Ali, kenapa kau belum datang juga? Kenapa juga kau tidak mengangkat telepon dariku? Argh, awas kalau kabur dari acara pertunangan! Aku tak segan memberi perhitungan padamu!” gumam Sulis dengan perasaan yang teramat gelisah. Saat ini Sulis berada di rumahnya di kota Bandung.Hari itu adalah hari bersejarah baginya. Akhirnya Sulis akan dilamar oleh pria tampan dan kaya raya seperti angan-angannya selama ini. Gadis bertubuh jangkung itu berdiri mematung di taman depan rumahnya, menunggu detik-detik kehadiran Ali bersama keluarga besarnya.Ternyata Ali tidak main-main dengan hubungan yang terjalin di antara mereka. Ia serius ingin meminang Sulis. Lamaran Ali sebetulnya ialah waktu yang tepat untuk menentukan kapan waktu pernikahan mereka akan berlangsung. Sebaliknya, Sulis hanya mengira jika lamaran Ali hanyalah pengikat atau tanda keseriusan Ali atas hubungan percintaan mereka. Atau pertunangan biasa.“Sulis, diam bisa gak?” Dari dalam rumah, sang Ibu memanggil putrinya itu dengan suar
Aldino hanya menghela nafas pelan. Ia sebetulnya tak tega jika harus meninggalkan istri dan bayi tampannya yang baru lahir. Namun niatnya sudah bulat. Ia ingin segera sembuh dan tak ingin merepotkan istrinya atau siapapun. Aldino yakin pengobatan medis di luar negeri lebih baik. Oleh karena itu ia menyetujui usulan Eyang Waluyo untuk berobat di Singapura. Aldino akan mengikuti prosedur operasi di sana dan mengikuti terapi hingga kakinya sembuh seperti sedia kala.“Sayang, udah dong! Ini demi kebaikan kita semua.”Aldino mengusap-usap punggung istrinya yang tenggelam di balik dada bidangnya. Mendengar Aldino akan pergi jauh, Putri Melati terlihat murung. Bahkan ia menangis tersedu sedan.Malati bukan tidak ingin suaminya mengikuti pengobatan di rumah sakit luar negeri. Namun ia ingin ikut bersamanya ke negeri yang terkenal dengan patung Merlionnya.Malati dan baby Gala belum bisa berangkat mengingat usia bayi mereka masih belum siap untuk berpergian jauh. Begitupula dengan Malati yang