“Hei, beraninya kau ikut campur urusan orang?” seru salah satu teman Siska menatap Malati yang berdiri di hadapan mereka.Malati mencari mati.Leni-wanita yang dianggap mencuri kalung sampai menoleh padanya dengan tatapan yang berbinar. Ia lantas meminta teman yang lain untuk tidak meninggalkan kedai terburu-buru. “Tunggu! Mungkin anak ini melihat siapa pelaku yang menaruh kalung dalam tasku.”Leni berusaha membujuk kawan-kawannya, terutama Siska yang sudah ia anggap bestie. “Siska, please!” Ia mengatupkan ke dua tangannya di dada. Berharap semua percaya padanya.Siska dan teman-temannya yang lain lantas mengerumuni Malati seperti pasukan semut yang tengah mengerumuni gula merah.Keringat dingin mulai menetes dari pelipisnya. Untuk pertama kalinya Malati merasa diserbu kegugupan yang tinggi karena menjadi pusat atensi. Jantungnya juga berpacu kencang. Namun ini adalah kesempatan perdana baginya untuk menguak sebuah kasus sederhana. Bukankah Malati ingin sekali menguak kasus kematian
Tunggu?!Malati menyadari seseorang tengah menguntitnya. Dengan keahliannya berlari, Malati mengubah arah tujuan kepergiannya. Menyeret tubuh mungilnya, Malati memilih berbelok dan bersembunyi di balik salah satu rumah yang belum layak ditinggali. Rumah baru itu sudah berdiri kokoh tetapi belum dicat dan dipagari.Ia menundukan tubuhnya di balik gundukan pasir, sisa bangunan. Batinnya berisik, merapal doa. Semoga Aldino tak menyusulnya hingga menemukannya di sana.Meskipun sejujurnya ia agak gamang.Hidung Aldino yang mancung seolah bisa mencium aib para murid. Ia bisa mengendus sesuatu yang tak beres-terjadi pada anak didiknya tanpa harus berusaha sangat keras apalagi mencak-mencak!“Ya Allah, semoga Pak Aldino tidak bisa menemukanku. Amin,” ucap Malati menyandarkan punggungnya pada balok kayu yang tersusun rapi di balik gundukan pasir.Sisi lain, Aldino terus melebarkan matanya, mencari istri kecilnya yang menghilang begitu cepat.“Hem, Malati, awas kau! Aku akan mencari tahu siapa
Atmosfer di sekitar ruangan Mr Bon hening. Helaan nafas halus sekalipun bisa terdengar.Malati sibuk memperhatikan berkas yang ia pegang dengan tangan yang mendadak tremor, sedangkan Mr Bon memperhatikan gadis mungil itu dengan pikiran liarnya.“Malati, jaga pandanganmu! Kau kini telah menjadi wanita bersuami meski belum terpublikasi!”Mr Bon berdiri dan ia menjentikkan jarinya di depan kening Malati.“Oough!”Malati tak terima tuduhan kejinya. Sontak, ia mencebikkan bibirnya kesal.Mr Bon telah salah paham padanya. Malati tidak sedang mengagumi foto pria dewasa itu yang memiliki tubuh atletis nan ideal serta berwajah tampan, namun ia tengah berusaha meyakinkan dirinya sendiri apakah pria di foto dengan biodata yang tercantum di berkas itu Aldino Tama Waluyo yang sama dengan pria yang baru dua hari menikahinya.Malati menajamkan indera penglihatannya, ia membaca ulang hingga tiga kali. Tertera nama biodata dan foto jelas tak mungkin berdusta.Aldino Tama Waluyo ternyata bukan orang se
“Mala!” panggil seseorang dari arah belakang.Leher Malati terasa berat namun dipaksakan menoleh, “eh, Pak, sudah lama? Menunggu?”“Baru, saya barusan ketemu teman lama saya yang ternyata tinggal di perumahan ini,” jawab Aldino dengan santai namun suaranya tetap terdengar intimidatif di telinganya.Malati lekas mengekori langkah Aldino, masuk ke dalam mobil. Dengan kecepatan sedang, Aldino menjalankan mobilnya menuju Komplek Perumahan Spring Hills.Rumah terlihat sepi setiba mereka menginjakkan kaki di sana. Malati baru teringat jika Eyang Waluyo dan Bude Ratna menginap di kediaman Dirgantara, anak angkatnya Eyang Waluyo.Mereka memasuki rumah tanpa basa-basi. Namun Malati teringat soal belanjaannya yang ditaruh di bagasi mobil. Lekas ia menghampiri Aldino yang sudah berjalan lebih dulu menaiki anak tangga menuju kamar.“Pak, eh, Mas, pinjam kunci mobil. Aku mau bawa belanjaanku di dalam bagasi.”Malati mengatakan itu dengan sungkan. Di dalam rumah ia harus memanggil Mas dan di luar r
Eyang Waluyo lebih banyak diam ketika berada di dalam pesawat. Tatapannya kosong, padahal ke dua netra yang sudah lamur itu terpancang pada layar persegi yang menayangkan acara favoritnya: berita harian market, saham dan investasi.“Mau minum?” Di sampingnya Bude Ratna terus mengawasi gerak-gerik ayahnya. Karena usia ayahnya yang sudah terlampau tua, ia menjadi lebih waspada dan memberikan perhatian yang lebih padanya.Eyang Waluyo masih bergeming. Jika demikian, ia sedang berpikir keras. Di antaranya pemicu bisa dari masalah perusahaan dan cucu kesayangannya.Bude Ratna dengan sigap menyematkan selimut pada ayahnya yang terlihat ingin tidur beberapa detik kemudian. Eyang Waluyo masih tetap bergeming. Hingga guncangan turbulensi di atas lapisan stratosfer, tepatnya 35000 kaki di atas bumi mengusik lamunannya.Beberapa penumpang pesawat menjerit ketakutan dan sisanya berdzikir mengingat Tuhan. Ya, terkadang saat-saat genting dan darurat menyebut namaNya.Beruntung mereka berada di kel
Bab 20Malam itu sekitar pukul satu malam, suasana kompleks perumahan Spring Hills terlihat sepi. Semua penghuninya tampaknya sudah terjerembab dalam bunga tidur.Hanya terdengar suara hembusan angin yang berdesak-desakan menggoyangkan pohon ketapang-yang sebagian besar menghuni perumahan di sisi kanan dan kiri jalan.Jarak satu rumah dengan rumah yang lain cukup jauh sehingga andaikata ada orang yang karaoke sekalipun takkan terdengar ke rumah yang lain.Rumah mewah bergaya mediterania merupakan rumah yang berlokasi paling ujung. Terlihat sepi dan minim penghuni. Setelah melakukan observasi selama dua minggu, para perampok yang menjadi bromocorah incaran polisi itu kini memutuskan target mereka pada rumah milik Eyang Waluyo, setelah sebelumnya mereka melakukan aksi mereka di perumahan elit lainnya. Mereka melakukannya dengan random, tak bisa ditebak namun dengan pola yang sama.Komplotan itu bahkan sudah mengetahui seluk beluk rumah itu dari orang dalam yang kemudian diajak kerja sa
Kraaak, Ranting pohon terinjak oleh sepasang sepatu boots berbahan kulit penuh lumpur. Tangannya yang besar menyingkirkan tanaman pakis hias yang menghalangi jalannya. Pria bertubuh besar itu terus berjalan hingga melintasi curug sembari memanggul karung berisi sosok wanita yang disumpal mulutnya. Setelah tiba di tempat eksekusi, sebuah pondok yang berada di tengah hutan pinus yang menembus langit. Ia pun mengeluarkan wanita itu dan mulai mendudukannya layaknya tahanan. Wanita berparas cantik itu didudukan di atas kursi seperti tahanan psikopat. Tangannya diikat ke belakang kursi dan kakinya juga diikat dengan tali. Ia sudah terlihat lemah karena sudah tiga hari tidak makan dan minum. Tubuhnya nyaris tak bertenaga. Namun wanita itu tetap teguh pada pendiriannya, ia memilih bergeming karena memberontak pun sia-sia. Ia sudah menghabiskan waktunya dengan memukul, menendang hingga mencakar. Namun tetap saja pria itu tak dapat dilawan. Bukan tanding seorang wanita meski wanita itu
Tubuh yang lemah akibat demam yang naik turun membuat Malati seketika tumbang. Ia pasrah ketika ia harus tidur kembali satu ranjang dengan pria yang kini menjadi suaminya.Suara hembusan angin terasa menggelitik bulu romanya. Pun, sayup-sayup suara merpati yang berdekut tertangkap telinga.Mata Malati terasa berat sekedar terbuka. Sinar matahari dengan lancang menyusup melalui celah jendela balkon dan menggoyangkan tirai vitrase. Menghalau rasa dingin yang menusuk-nusuk, tubuhnya semakin tenggelam ke dalam selimut tebal padahal pendingin ruangan sejak semalam dimatikan.Malati merasa hangat namun ia harus bangun karena teringat ia harus pergi kuliah. Namun kepalanya berat luar biasa dan matanya sulit terbuka.Perlahan mata karamel Malati menyesuaikan dengan cahaya, seketika ia terkesiap ketika ia saat ini berada dalam pelukan pria besar.Aldino entah sejak kapan memeluknya dengan erat. Matanya terpejam rapat dengan suara dengkuran yang halus. Perlahan, Malati menyingkirkan ke dua ta
Di tempat berbeda, kini pasangan lain pun tengah diberkati kebahagiaan yang luar biasa. Akhirnya setelah hampir setahun lamanya, Aldino kini bisa kembali berjalan. Setelah mengikuti terapi dan pengobatan hingga berbulan-bulan lamanya di Singapura, pria berwajah tampan dan bertubuh bak binaragawan itu akhirnya bisa berjalan normal kembali. Ia sangat bekerja keras selama berada di Singapura.Ia akan pulang dengan memberikan kejutan pada istri tercinta dan putra tampannya yang kini sudah berusia setahun.Hari itu, Malati tengah mengasuh Manggala bermain di ruang bermain yang dibuat khusus, di ruang keluarga kediaman Eyang Waluyo. Cicit tersayang selalu mendapat perhatian lebih dari Eyang buyutnya. Malati dan putra tampannya mendapatkan privilege luar biasa dari Eyang Waluyo hingga keluarga besar lainnya.“Gala! Sini Nak!”Kakek tua yang masih berdiri tegap itu memanggil cicitnya. Meskipun Manggala baru berusia setahun namun anak itu sangat cerdas. Ia sudah bisa berjalan dengan baik dan bi
Ali pun menarik handle pintu kamar pengàntin hingga terbuka. Sulis langsung antusias melihat untuk pertama kali kamar pengàntin yang sangat indah karena dihias sedemikian rupa. “Aa, bagus banget!” Sulis mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar berukuran presidential suit tersebut. Kamarnya didominasi warna putih dan warna-warna pastel sesuai keinginannya. Matanya berbinar mengamati setiap detail hiasan bebungaan yang berada di atas ranjang. Seketika ia tertawa melihat ada dua ekor angsa yang tergolek di atas ranjang. Angsa yang dibentuk dari selimut berwarna putih. Tangannya terulur mengusap angsa tersebut. “Lucunya! Aku mau foto dulu,”Seketika Sulis mengambil ponselnya lalu memotret ranjang pengàntin yang begitu indah itu dengan senyum yang berseri-seri.“Sini, Aa yang fotoin!” imbuh Ali dari belakang tubuh gadis itu. Sulis mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia senang mendengar usulan Ali. Sulis pun duduk dengan posisi anggun di atas ranjang. Ali pun mengambil ponsel is
Ali berusaha menormalkan perasaannya dalam menyikapi Sulis. Sulis memàng sedang sakit, penyakitnya yang dideritanya juga tidak main-main. Oleh karena itu mungkin ia mulai merasa frustasi.Sulis tidak menyadari jika calon suaminya bertopeng dingin dari luar, padahal hatinya begitu hangat. Pada adiknya saja Ali begitu mengkhawatirkannya saat ia sakit. Tak jauh berbeda pada kekasih hatinya, ia merasakan kekhawatiran yang sama. “Sulis, stop overthinking! Kita akan tetap pada rencana awal kita. Kita akan menikah! Kau juga akan ikut pengobatan.”Ali berbicara tegas. Ia tidak suka sikap Sulis yang mendadak melankolis.Sulis terdiam dengan isak yang tertahan dan menggigit bibir bawahnya, “Ali, aku takut gak bisa hamil! Aku perokok berat. Argh, Shit! Aku mungkin tak subur!”Kini Sulis berkata hal lain yang malah memperkeruh suasana. Ali semakin jengkel mendengarnya, “Terus kau mau hubungan kita berakhir begitu saja? Kita batalkan tunangan begitu?”Sulis mengangguk dengan air mata yang bercucu
Ali tertegun saat mendengar kabar dari dokter bahwa kekasihnya harus menjalani beberapa tes kesehatan di antaranya tes darah dan rontgen. Sebelum jatuh pingsan Sulis sempat muntah darah penyebabnya. Kesimpulannya ada bagian organ dalamnya yang terluka dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.Ali merasa bersalah, telah mengabaikan kekasihnya karena masalah sepele. Sederhananya, mungkin jika tidak ada drama cemburu tadi sore mungkin Sulis akan baik-baik saja. Sungguh, Ali menyesali sikapnya yang tidak dewasa. “Argh, maafkan aku Sulis. Aku kadang egois.”Ali bergumam dengan helaan nafas berat. Pria itu berjalan lesu dari ruangan dokter dan pergi menuju ruangan di mana kekasihnya dirawat malam itu. Perlahan Ali membuka pintu ruang rawat inap gadis itu. Tampak Sulis sedang tertidur pulas mungkin karena pengaruh obat. Untuk sementara ia dirawat karena kurang darah. Namun penyebab yang lebih serius belum diketahui. Ali berjalan mendekati kekasihnya. Ia berdiri di depan ranjang hidrolik s
Dua orang pemuda tampan tengah menahan kesal menunggu kekasih mereka yang sibuk memilih gaun. Sudah lebih dari dua jam lamanya mereka berusaha memanjangkan sumbu kesabaran. Rasa panas menjalari punggung mereka karena terlalu lama duduk di sofa.Meskipun pelayan butik itu melayani mereka dengan istimewa, memberikan minuman hingga camilan, tetap saja tak bisa mengusir rasa jenuh mereka. Mereka bahkan sudah memainkan ponsel masing-masing, men scroll media sosial tak jelas untuk membunuh waktu. Nihil! “Lama banget! Mereka ngapain aja sih?” ucap pemuda berhidung bangir yang tak lain Mustafa Ali Basalamah pada pemuda tampan bermata sipit yang tengah duduk di sampingnya, dr Zain. Ali beringsut berdiri lalu merenggangkan tubuhnya beberapa saat karena rasa pegal akibat duduk lumayan lama di sofa berbentuk letter U. Ia pun memutar lehernya hingga menimbulkan bunyi kretek yang membuat dr Zain meringis mendengarnya. dr Zain hanya mendesah pelan mendengar keluhan calon iparnya. Dokter muda itu
“Mala, sini Bude yang gendong Gala!”Bude Ratna menghampiri Malati yang baru saja menyusui bayi tampannya. Malati gegas mengancingkan kancing bajunya kemudian melepas apron menyusui saat Gala terlihat sudah kenyang menyusu. Biasanya bayi yang memiliki garis wajah mirip sekali ayahnya itu tertidur saat merasa perutnya penuh, namun kali ini ia terjaga seakan ingin bermain dengan neneknya.Malati pun menyerahkan Gala pada pangkuan Bude Ratna. Bayi itu tersenyum dan menatap neneknya dengan mata yang bening. Sungguh terlihat menggemaskan.Bude Ratna menyematkan senyuman yang lebar menatap cucunya itu dengan penuh haru. Bukan tanpa alasan, Gala terlahir saat ke dua orang tuanya mengalami kecelakaan yang mengerikan.Atas kehendakNya, mereka semua selamat kendati ayahnya kini harus menjalani pengobatan di luar negeri. Seminggu sudah kepergian Aldino ke Singapura. Terpaksa, Malati mengikhlaskan kepergian suaminya bersama Bude Gendhis, suaminya dan beberapa pengawal pribadi utusan Eyang Waluyo.
“Bulan depan!”Ali menjawab dengan penuh keyakinan pertanyaan ayah Sulis. Setelah acara lamaran selesai, Hendi-Ayah Sulis bertanya pada Ali tentang hubungan putrinya dan Ali sudah sampai sejauh mana. Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab Hendi mengira jika kedatangan keluarga Basalamah itu untuk acara pertunangan. Bukan lamaran menuju pernikahan.Nyatanya, sebelum mereka benar-benar pergi dari kediaman Sulis, Ali memberanikan dirinya, secara langsung ia mengungkapkan rencananya ingin menikahi Sulis sesegera mungkin. Ali berusaha bernegosiasi dengan calon ayah mertuanya, bahwasanya meskipun hubungan mereka belum lama, namun mereka sudah bisa saling memahami karakter masing-masing sehingga ingin segera melangsungkan hubungan mereka ke arah yang serius. Terlebih usia ke duanya telah matang. Sudah sama-sama dewasa.Hendi menatap Sulis sejenak kemudian kembali menggerakan bibirnya. “Nak Ali, Bapak sebagai orang tua sangat bahagia mendengar rencana baik Nak Ali dengan melamar Sulis untuk d
“Ali, kenapa kau belum datang juga? Kenapa juga kau tidak mengangkat telepon dariku? Argh, awas kalau kabur dari acara pertunangan! Aku tak segan memberi perhitungan padamu!” gumam Sulis dengan perasaan yang teramat gelisah. Saat ini Sulis berada di rumahnya di kota Bandung.Hari itu adalah hari bersejarah baginya. Akhirnya Sulis akan dilamar oleh pria tampan dan kaya raya seperti angan-angannya selama ini. Gadis bertubuh jangkung itu berdiri mematung di taman depan rumahnya, menunggu detik-detik kehadiran Ali bersama keluarga besarnya.Ternyata Ali tidak main-main dengan hubungan yang terjalin di antara mereka. Ia serius ingin meminang Sulis. Lamaran Ali sebetulnya ialah waktu yang tepat untuk menentukan kapan waktu pernikahan mereka akan berlangsung. Sebaliknya, Sulis hanya mengira jika lamaran Ali hanyalah pengikat atau tanda keseriusan Ali atas hubungan percintaan mereka. Atau pertunangan biasa.“Sulis, diam bisa gak?” Dari dalam rumah, sang Ibu memanggil putrinya itu dengan suar
Aldino hanya menghela nafas pelan. Ia sebetulnya tak tega jika harus meninggalkan istri dan bayi tampannya yang baru lahir. Namun niatnya sudah bulat. Ia ingin segera sembuh dan tak ingin merepotkan istrinya atau siapapun. Aldino yakin pengobatan medis di luar negeri lebih baik. Oleh karena itu ia menyetujui usulan Eyang Waluyo untuk berobat di Singapura. Aldino akan mengikuti prosedur operasi di sana dan mengikuti terapi hingga kakinya sembuh seperti sedia kala.“Sayang, udah dong! Ini demi kebaikan kita semua.”Aldino mengusap-usap punggung istrinya yang tenggelam di balik dada bidangnya. Mendengar Aldino akan pergi jauh, Putri Melati terlihat murung. Bahkan ia menangis tersedu sedan.Malati bukan tidak ingin suaminya mengikuti pengobatan di rumah sakit luar negeri. Namun ia ingin ikut bersamanya ke negeri yang terkenal dengan patung Merlionnya.Malati dan baby Gala belum bisa berangkat mengingat usia bayi mereka masih belum siap untuk berpergian jauh. Begitupula dengan Malati yang