Sore itu, Malati tengah duduk dan melihat-lihat katalog desain interior rumah dan kamar. Ia sedang memilih desain kamar yang cocok untuk anak mereka. Sebelum berangkat honeymoon, ia ingin merenovasi kamar calon bayinya tersebut terlebih dahulu.Sebelumnya kamar calon bayinya hanya baru dicat. Ia memiliki ide untuk mengecat ulang dengan tema kekinian. Selain itu, mereka bersepakat untuk menaruh beberapa furniture yang langsung dirakit di sana dan membuat arena bermain di dalamnya.Sembari membuka helai demi helai katalog, Malati berkata pada suaminya. “Mas, aku mau yang ini model kamarnya? Biru, ada awan, laut. Mas suka kan??”Malati menunjukan salah satu foto kamar bernuansa biru laut dan konsep bajak laut.Pada
[Bang, serius, aku sakit. Aku masuk rumah sakit, Bang. Aku malah baru mau pindahan dari apartemen, Bang!!! Sendirian!!! Sabar kenapa, nanti aku kirim uangnya.]Sulis berbincang di telepon dengan kakaknya sembari menangis. Ia merasa kesal pada kakaknya karena ia tidak mau tahu dan hanya menginginkan dirinya mengirim uang saat itu juga.Telepon pun segera dimatikan oleh Sulis secara sepihak. Percuma saja ia menjelaskan pada kakaknya yang tidak berempati padanya. Tangisan pun mulai reda. Namun ia tak berhenti mengoceh. “Ini semua gara-gara si Arab!! Aku dipecat dari kampus dan aku harus pindah ke kosan,”Sulis tak menyadari sedari tadi Ali berdiri di sana, tak melewatkan satupun percakapan Sulis dengan kakaknya.En
“Ough, bukan, Mala. Sebelah kanan! Kanan dikit!! Atas ya … ya itu,”Aldino sedang berbaring telungkup di atas ranjang karena ia baru saja mengalami kecelakaan sewaktu membantu pekerjanya melukis kamar calon anaknya.Ia jatuh dari tangga saat berniat menggambar awan di langit-langit kamar itu. Alhasil punggung dan bokongnya terbentur lantai. Beruntung kepalanya tidak ikut terbentur karena ia menahannya dengan ke dua tangannya.Pria itu meminta istrinya untuk mengompres punggungnya yang kesakitan dengan air es. Dengan sabar dan telaten, Malati berusaha mengobati suaminya. Ia merasa cemas takut sekali jika terjadi sesuatu pada suaminya. Ia bahkan menyarankan suaminya untuk pergi ke rumah sakit. Khawatir andaikata ada cidera bagian dala
“Jim!!” seru Sulis pada Jimmy yang sudah bersedia mengantarnya menuju kosannya yang berada di sebuah gang kecil. Jimmy hanya menurunkannya di depan gang. Tentu saja, jarak antara gang menuju kosan lumayan jauh.Sulis kembali menoleh dan menatap nyalang Jimmy yang masih berada di dalam mobil. Pria itu hanya tersenyum culas menatap Sulis. “Gue masih ada kerjaan ya Ceu Li-lis. Lo bisa nyuruh pacar lo lain kali,”Sulis hanya mendecak sebal. “Gue udah putus tau!! Lagian lo tega ya, gue baru sembuh!! Awas lo ya!!! Bilangin Mr Bon!”Sulis mengomel karena ia baru sàdar jika tubuhnya masih terasa lemah kendati ia berusaha menguatkan diri. Tubuhnya tak selaras dengan pikirannya.Jimmy menjawab dengan kekehan kecil. “Gue pergi juga ada job dari Om lo! Bye, Sulis!”Pria itu langsung pergi meninggalkan Sulis yang kerepotan dengan barang bawaannya. Pada akhirnya, Sulis harus membawa barang milik pribadinya sendiri. Helaan nafas berat lolos dari bibirnya.Sulis pun pulang ke kosan baru sendiri. Sebua
Baik Malati dan Aldino sangat terkejut ketika mereka melihat kamar calon bayi mereka yang sudah selesai direnovasi dan dilukis. Kamar tersebut selesai dalam waktu singkat sesuai rencana dan keinginan mereka.Pagi itu Malati sudah dikejutkan oleh sebuah pemandangan luar biasa indah. “Woahh!!! Indahnya!!!”Malati melesak masuk ke dalam kamar dan menganga saat melihat betapa indahnya calon kamar anak mereka. Lukisan pada dinding tersebut telah selesai dengan sangat sempurna! Begitupula dengan semua furniture telah tersusun dengan rapi dan siap dipakai.Di dalam kamar bayi yang sangat luas itu sudah ada sebuah ranjang dan sofa single untuk sang ibu ketika ia menyusui, sebuah boks bayi dan lemari pakaian. Semua perabot untuk keperluan Ibu dan anak lengkap tersedia di sa
Mendengar suara Mustafa Ali Basalamah, Sulis menundukan wajahnya agar tidak dikenali olehnya, berpura-pura merapikan peralatan maintenance. Jika ia ketahuan bekerja di sana sebagai jasa service maintenance komputer, sungguh membuat harga dirinya hancur. Oleh karena itu ia harus bermain cantik agar tidak dikenali. Sulis kemudian buru-buru memakai masker dan menarik topinya agar menutupi keningnya.Bahkan pria bertubuh jangkung itu belum menyadari kehadirannya. Ia melesak masuk begitu saja ke dalam ruangan tersebut. Profesi utama Ali memang dosen sekaligus dekan. Namun karena keluarganya notabene keluarga pebisnis mengharuskannya mengelola perusahaan meskipun secara tidak langsung. Ali tidak datang setiap hari ke kantornya. Ia hanya datang dua hingga tiga kali melakukan cek berkala perusahaan.“Pak Ali, semua sudah selesai,” lapor Dodi dengan perasaan yang lega.“Makasih, Pak Dodi. Kau memang selalu bisa diandalkan,” tukas Ali memandang lurus Dodi yang berdiri di hadapannya. Ali baru sàd
Sulis menganga saat mendengar perkataan Ali yang menurutnya tidak masuk akal!!Kepala Ali sepertinya terbentur sesuatu hingga membuatnya berpikir dangkal.Beberapa kali Sulis menyelipkan beberapa helai anak rambut yang berantakan, menandakan sebuah bahasa tubuh ketika ia merasa gugup. Masalahnya, Ali terus menatapnya dengan intens. Entah apa arti dari tatapan itu! Ada banyak sebuah pesan dari ekspresi wajahnya. Ia tak bisa membacanya.“Kau akan menggantikan Diva.”Ali mengulangi kalimatnya namun masih tetap bernada dingin. Sulis seringkali meremang saat mendengar seorang pria yang bicara dengan jenis suara seperti itu. Dominan, dingin dan temperamen.“Maksudmu,
“Mas Aldino, kenapa kau? Mana bunga kesukaanku? Biasanya kau membawanya,” seru Ana menatap Aldino dengan tatapan yang sendu. Tatapan yang tak biasa. Tatapan yang membuat hati Aldino merasa tersayat. Mungkin tak hanya dirinya yang merasa iba padanya. Siapapun pasti akan merasakan hal yang sama padanya. Aldino terpaku di tempatnya saat baru menyadari jika ternyata wanita yang memeluknya ialah Ana, bukan istrinya.Ana merangkul lengan Aldino begitu kuat seakan-akan tak ingin melepaskannya lagi. Aldino bukan tidak diam, ia berusaha melepaskan tangan Ana dengan perlahan.Alih-alih merespon perkataan Aldino, Ana justru memanggil psikiater yang mengobatinya, psikiater yang sama dengan Nia. “Dokter Wini! Dia Mas Aldino yang selalu kubicarakan padamu. Dia kekasihku, Dok!!” kata Ana dengan perasaan ceria. Saat itu Dr Wi
Di tempat berbeda, kini pasangan lain pun tengah diberkati kebahagiaan yang luar biasa. Akhirnya setelah hampir setahun lamanya, Aldino kini bisa kembali berjalan. Setelah mengikuti terapi dan pengobatan hingga berbulan-bulan lamanya di Singapura, pria berwajah tampan dan bertubuh bak binaragawan itu akhirnya bisa berjalan normal kembali. Ia sangat bekerja keras selama berada di Singapura.Ia akan pulang dengan memberikan kejutan pada istri tercinta dan putra tampannya yang kini sudah berusia setahun.Hari itu, Malati tengah mengasuh Manggala bermain di ruang bermain yang dibuat khusus, di ruang keluarga kediaman Eyang Waluyo. Cicit tersayang selalu mendapat perhatian lebih dari Eyang buyutnya. Malati dan putra tampannya mendapatkan privilege luar biasa dari Eyang Waluyo hingga keluarga besar lainnya.“Gala! Sini Nak!”Kakek tua yang masih berdiri tegap itu memanggil cicitnya. Meskipun Manggala baru berusia setahun namun anak itu sangat cerdas. Ia sudah bisa berjalan dengan baik dan bi
Ali pun menarik handle pintu kamar pengàntin hingga terbuka. Sulis langsung antusias melihat untuk pertama kali kamar pengàntin yang sangat indah karena dihias sedemikian rupa. “Aa, bagus banget!” Sulis mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar berukuran presidential suit tersebut. Kamarnya didominasi warna putih dan warna-warna pastel sesuai keinginannya. Matanya berbinar mengamati setiap detail hiasan bebungaan yang berada di atas ranjang. Seketika ia tertawa melihat ada dua ekor angsa yang tergolek di atas ranjang. Angsa yang dibentuk dari selimut berwarna putih. Tangannya terulur mengusap angsa tersebut. “Lucunya! Aku mau foto dulu,”Seketika Sulis mengambil ponselnya lalu memotret ranjang pengàntin yang begitu indah itu dengan senyum yang berseri-seri.“Sini, Aa yang fotoin!” imbuh Ali dari belakang tubuh gadis itu. Sulis mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia senang mendengar usulan Ali. Sulis pun duduk dengan posisi anggun di atas ranjang. Ali pun mengambil ponsel is
Ali berusaha menormalkan perasaannya dalam menyikapi Sulis. Sulis memàng sedang sakit, penyakitnya yang dideritanya juga tidak main-main. Oleh karena itu mungkin ia mulai merasa frustasi.Sulis tidak menyadari jika calon suaminya bertopeng dingin dari luar, padahal hatinya begitu hangat. Pada adiknya saja Ali begitu mengkhawatirkannya saat ia sakit. Tak jauh berbeda pada kekasih hatinya, ia merasakan kekhawatiran yang sama. “Sulis, stop overthinking! Kita akan tetap pada rencana awal kita. Kita akan menikah! Kau juga akan ikut pengobatan.”Ali berbicara tegas. Ia tidak suka sikap Sulis yang mendadak melankolis.Sulis terdiam dengan isak yang tertahan dan menggigit bibir bawahnya, “Ali, aku takut gak bisa hamil! Aku perokok berat. Argh, Shit! Aku mungkin tak subur!”Kini Sulis berkata hal lain yang malah memperkeruh suasana. Ali semakin jengkel mendengarnya, “Terus kau mau hubungan kita berakhir begitu saja? Kita batalkan tunangan begitu?”Sulis mengangguk dengan air mata yang bercucu
Ali tertegun saat mendengar kabar dari dokter bahwa kekasihnya harus menjalani beberapa tes kesehatan di antaranya tes darah dan rontgen. Sebelum jatuh pingsan Sulis sempat muntah darah penyebabnya. Kesimpulannya ada bagian organ dalamnya yang terluka dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.Ali merasa bersalah, telah mengabaikan kekasihnya karena masalah sepele. Sederhananya, mungkin jika tidak ada drama cemburu tadi sore mungkin Sulis akan baik-baik saja. Sungguh, Ali menyesali sikapnya yang tidak dewasa. “Argh, maafkan aku Sulis. Aku kadang egois.”Ali bergumam dengan helaan nafas berat. Pria itu berjalan lesu dari ruangan dokter dan pergi menuju ruangan di mana kekasihnya dirawat malam itu. Perlahan Ali membuka pintu ruang rawat inap gadis itu. Tampak Sulis sedang tertidur pulas mungkin karena pengaruh obat. Untuk sementara ia dirawat karena kurang darah. Namun penyebab yang lebih serius belum diketahui. Ali berjalan mendekati kekasihnya. Ia berdiri di depan ranjang hidrolik s
Dua orang pemuda tampan tengah menahan kesal menunggu kekasih mereka yang sibuk memilih gaun. Sudah lebih dari dua jam lamanya mereka berusaha memanjangkan sumbu kesabaran. Rasa panas menjalari punggung mereka karena terlalu lama duduk di sofa.Meskipun pelayan butik itu melayani mereka dengan istimewa, memberikan minuman hingga camilan, tetap saja tak bisa mengusir rasa jenuh mereka. Mereka bahkan sudah memainkan ponsel masing-masing, men scroll media sosial tak jelas untuk membunuh waktu. Nihil! “Lama banget! Mereka ngapain aja sih?” ucap pemuda berhidung bangir yang tak lain Mustafa Ali Basalamah pada pemuda tampan bermata sipit yang tengah duduk di sampingnya, dr Zain. Ali beringsut berdiri lalu merenggangkan tubuhnya beberapa saat karena rasa pegal akibat duduk lumayan lama di sofa berbentuk letter U. Ia pun memutar lehernya hingga menimbulkan bunyi kretek yang membuat dr Zain meringis mendengarnya. dr Zain hanya mendesah pelan mendengar keluhan calon iparnya. Dokter muda itu
“Mala, sini Bude yang gendong Gala!”Bude Ratna menghampiri Malati yang baru saja menyusui bayi tampannya. Malati gegas mengancingkan kancing bajunya kemudian melepas apron menyusui saat Gala terlihat sudah kenyang menyusu. Biasanya bayi yang memiliki garis wajah mirip sekali ayahnya itu tertidur saat merasa perutnya penuh, namun kali ini ia terjaga seakan ingin bermain dengan neneknya.Malati pun menyerahkan Gala pada pangkuan Bude Ratna. Bayi itu tersenyum dan menatap neneknya dengan mata yang bening. Sungguh terlihat menggemaskan.Bude Ratna menyematkan senyuman yang lebar menatap cucunya itu dengan penuh haru. Bukan tanpa alasan, Gala terlahir saat ke dua orang tuanya mengalami kecelakaan yang mengerikan.Atas kehendakNya, mereka semua selamat kendati ayahnya kini harus menjalani pengobatan di luar negeri. Seminggu sudah kepergian Aldino ke Singapura. Terpaksa, Malati mengikhlaskan kepergian suaminya bersama Bude Gendhis, suaminya dan beberapa pengawal pribadi utusan Eyang Waluyo.
“Bulan depan!”Ali menjawab dengan penuh keyakinan pertanyaan ayah Sulis. Setelah acara lamaran selesai, Hendi-Ayah Sulis bertanya pada Ali tentang hubungan putrinya dan Ali sudah sampai sejauh mana. Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab Hendi mengira jika kedatangan keluarga Basalamah itu untuk acara pertunangan. Bukan lamaran menuju pernikahan.Nyatanya, sebelum mereka benar-benar pergi dari kediaman Sulis, Ali memberanikan dirinya, secara langsung ia mengungkapkan rencananya ingin menikahi Sulis sesegera mungkin. Ali berusaha bernegosiasi dengan calon ayah mertuanya, bahwasanya meskipun hubungan mereka belum lama, namun mereka sudah bisa saling memahami karakter masing-masing sehingga ingin segera melangsungkan hubungan mereka ke arah yang serius. Terlebih usia ke duanya telah matang. Sudah sama-sama dewasa.Hendi menatap Sulis sejenak kemudian kembali menggerakan bibirnya. “Nak Ali, Bapak sebagai orang tua sangat bahagia mendengar rencana baik Nak Ali dengan melamar Sulis untuk d
“Ali, kenapa kau belum datang juga? Kenapa juga kau tidak mengangkat telepon dariku? Argh, awas kalau kabur dari acara pertunangan! Aku tak segan memberi perhitungan padamu!” gumam Sulis dengan perasaan yang teramat gelisah. Saat ini Sulis berada di rumahnya di kota Bandung.Hari itu adalah hari bersejarah baginya. Akhirnya Sulis akan dilamar oleh pria tampan dan kaya raya seperti angan-angannya selama ini. Gadis bertubuh jangkung itu berdiri mematung di taman depan rumahnya, menunggu detik-detik kehadiran Ali bersama keluarga besarnya.Ternyata Ali tidak main-main dengan hubungan yang terjalin di antara mereka. Ia serius ingin meminang Sulis. Lamaran Ali sebetulnya ialah waktu yang tepat untuk menentukan kapan waktu pernikahan mereka akan berlangsung. Sebaliknya, Sulis hanya mengira jika lamaran Ali hanyalah pengikat atau tanda keseriusan Ali atas hubungan percintaan mereka. Atau pertunangan biasa.“Sulis, diam bisa gak?” Dari dalam rumah, sang Ibu memanggil putrinya itu dengan suar
Aldino hanya menghela nafas pelan. Ia sebetulnya tak tega jika harus meninggalkan istri dan bayi tampannya yang baru lahir. Namun niatnya sudah bulat. Ia ingin segera sembuh dan tak ingin merepotkan istrinya atau siapapun. Aldino yakin pengobatan medis di luar negeri lebih baik. Oleh karena itu ia menyetujui usulan Eyang Waluyo untuk berobat di Singapura. Aldino akan mengikuti prosedur operasi di sana dan mengikuti terapi hingga kakinya sembuh seperti sedia kala.“Sayang, udah dong! Ini demi kebaikan kita semua.”Aldino mengusap-usap punggung istrinya yang tenggelam di balik dada bidangnya. Mendengar Aldino akan pergi jauh, Putri Melati terlihat murung. Bahkan ia menangis tersedu sedan.Malati bukan tidak ingin suaminya mengikuti pengobatan di rumah sakit luar negeri. Namun ia ingin ikut bersamanya ke negeri yang terkenal dengan patung Merlionnya.Malati dan baby Gala belum bisa berangkat mengingat usia bayi mereka masih belum siap untuk berpergian jauh. Begitupula dengan Malati yang