“I could stay awake just to hear you breathing. Watch you smile while you are sleeping. While you're far away and dreaming. I could spend my life in this sweet surrender. I could stay lost in this moment forever. Well, every moment spent with you. Is a moment I treasure,”Aldino menyenandungkan lagu romantis legend Milik Aerosmith. Sesekali bergumam ketika liriknya tak hafal. Malati merasa heran melihat tingkah random suaminya. Semenjak mereka masuk mobil, Aldino terlihat sumringah. Wajahnya berseri-seri. Ia pun bersenandung lagu-lagu romansa. Malati baru tahu jika suara Aldino merdu saat bernyanyi. Suaranya mirip suara Bebi Romeo kena pilek. Agak mirip.‘Mas Aldino kenapa ya? Apa tadi dia nongkrong di taman? Tadi dia sempat keluar dari ruangan. Di taman ada pohon beringin besar yang angker. Pasti Mas Aldino kerasukan. Argh, bagaimana mungkin? Masa iya?’ batin Malati berisik.“I don't wanna close my eyes. I don't wanna fall asleep. 'Cause I'd miss you, baby.”Aldino bernyanyi kembal
Jika tidak ingat sedang berada di tempat umum. Malati rasanya ingin menghambur memeluk suaminya. Ia terharu mendengarnya. Resepsi pernikahan ialah impian setiap perempuan termasuk dirinya.Putri Melati sempat skeptis soal pernikahan. Bukan tanpa alasan, ia merasa frustasi akan hidupnya. Ia hidup menderita di bawah tekanan om dan tantenya. Belum usai masalah, ia juga terpaksa harus menerima pernikahan kontrak dengan pria dewasa yang kini berada di depannya, menatapnya dengan lembut. Sangat jauh berbeda saat mereka dulu bertemu.Malati juga menginginkan kehidupan yang normal. Ia menikah dengan pria yang dicintainya dan mengadakan pesta untuk merayakannya. Kini impiannya segera terwujud. Namun sedetik kemudian ia menghela nafas panjang saat menyadari perutnya sudah membesar. Bagaimana nanti penampilannya saat acara pesta. Memalukan …Aldino mengikuti tatapan istrinya dengan senyuman.“Tenang saja, istriku. Tugas Bude Gendhis menyiapkan gaun yang pas untukmu.”Aldino berkata dengan antusi
“Mas hitung dari satu sampai sepuluh ya,” seru Aldino di depan Putri Melati yang terlihat gugup. Tangannya sedang memegangi lingerie yang dipilih olehnya. Sore itu mereka berencana akan kembali mereguk nikmatnya surga dunia. Aldino tengah menagih janjinya.Keringat dingin sudah luruh di sekujur tubuh Malati. Haruskah ia memakai baju haram itu? Tapi baju yang dipegangnya ialah baju terharam yang pernah ia lihat. Sungguh, mengerikan.“Mas, aku …” imbuh Malati dengan suara pelan yang nyaris tak terdengar. Namun Aldino yang memiliki telinga kelelawar masih bisa mendengarnya.“Mala udah janji! Janji adalah kh-hutang!” tukas Aldino dengan suara yang meresahkan. Ia mengerlingkan matanya dengan sensual.“Tapi ini Masih sore. Nanti malam aja,” Malati mencoba bernegosiasi. Ia meringis membayangkan memakai lingerie berbentuk absurd itu saat perutnya besar. Ia membayangkan dirinya akan seperti ikan buntal. Lalu ia berpikir sejenak di manakah letak menarik atau seksinya.'Apa jangan-jangan Mas Ald
Di ruang makan, Putri Melati begitu antusias menyiapkan sarapan untuk Aldino. Dibantu Mbok Darmi ia memasak makanan kesukaannya. Meskipun ia mulai kesulitan berjalan, namun ia tetap bersikukuh ingin melayani suaminya.Sejak dulu Malati sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah tangga oleh karena itu ia merasa tidak kesulitan sama sekali ketika melakukan pekerjaannya.“Mbok, mangkuk salad mana? Tolong ambilkan!” seru Malati berjalan mengitari meja makan saat menata makanan di atas meja. Bunga segar sudah berada di dalam vas kaca di tengah meja. Piring-piring keramik berisi toast sudah tersaji disertai dua gelas susu; susu murni dan susu khusus untuk Ibu hamil.“Ini Mbak,” jawab Mbok Darmi menyerahkan mangkuk itu pada majikannya.“Makasih, Mbok,” imbuh Malati kemudian. Dilap lah mangkuk itu dengan serbet. Lalu Malati mulai menata potongan buah ke dalamnya.“Mbak, sebaiknya Mbok saja yang memasak dan menyiapkan makanan mulai besok. Mbak istirahat saja, kasihan dede bayi di perutnya,” na
Aldino memasuki ruangan rawat inap di mana Ana dirawat. Hanum tidak berdusta soal kondisi Ana. Ana memang benar-benar terbaring lemah. Mendengar curhatan Hanum ditambah foto yang diperlihatkannya, membuat hati Aldino terenyuh.Alhasil, Aldino bersedia datang untuk membesuknya.Aldino nyaris tak mengenali sosok wanita yang dulu pernah ia puja. Wanita yang terbaring lemah itu terlihat hanyalah wanita kurus dengan ke dua mata yang cekung. Kulitnya yang putih tampak sepucat kapas. Pemandangan yang mengingatkannya pada saat ia koma.Sesuatu menusuk jantung Aldino. Aldino menaruh buket bunga mawar yang sempat dibelinya di florist itu di atas nakas yang terletak di sebelah ranjangnya. Helaan nafas berat keluar dari bibirnya. Bagaimanapun, ia prihatin melihat kondisi mantan kekasihnya saat ini.Setelah bertemu dengan Hanum, ia hanya merasa simpatik dan berniat membesuknya untuk memberikan semangat kepadanya.Aldino berdiri dan menatap Ana yang tertidur pulas. Menurut dokter yang menanganinya
“Mala, let’s go!” imbuh Aldino dengan antusias. Ia menunggu istrinya yang tengah bersiap-siap berangkat ke sekolah bersama. Hari itu, Aldino mengajak istrinya ke sekolah. Ia ingin memamerkan istrinya yang saat ini tengah baby bump.“Yeay, baby mau jalan-jalan!” seru Aldino antusias. Ia meraih tas selempang istrinya lalu menyampirkannya pada pundaknya sedangkan tangannya yang satu lagi menggamit tangan lentik istrinya. Malati tersenyum melihat tingkah pria besar itu yang terlihat lebih ceria. Aldino bahkan tidak malu membawakan tas miliknya. Ia menjadi teringat akan cerita Bude Ratna soal para pria di keluarga Eyang Waluyo. Mereka sangat menyayangi dan menghormati istri mereka hingga memperlakukan mereka dengan baik.Maka tidak aneh jika Aldino pun melakukan hal yang serupa padanya. Pria itu bersikap manis dan memanjakan istrinya.Mereka berjalan menaiki lift menuju lantai bawah dengan raut wajah yang bahagia. Malati melupakan sejenak soal glitter yang mengerubuti kepalanya. Ia perca
Satu hal yang Aldino lupa, jika Putri Melati memiliki kemampuan deduksi. Tanpa perlu ia menjelaskan, Malati bisa begitu menebak apa yang dilakukannya. Bahkan hanya dengan clue atau petunjuk kecil sekalipun.Aldino berdehem untuk menormalkan perasaannya. Ia sudah tertangkap basàh masalahnya.“Mala, Mas sebelumnya ingin meminta maaf. Mas sama sekali tak berniat …”Aldino mengungkapkan isi hatinya. Sayang, sebelum kalimatnya rampung, Malati duduk tegak dan melanjutkan kalimatnya.“Semalam, Mas pergi membesuk Mbak Ana yang sedang sakit di rumah sakit.”Malati berkata dengan tenang namun raut wajahnya datar. Tak ada ekspresi apapun yang ditunjukkannya.Aldino merasa tengah ada alarm bahaya. Istrinya pasti cemburu. Sebelum terlambat dan kesalahpahaman terjadi, maka Aldino harus segera mengklarifikasinya.“Mala, dengarkan Mas. Mas bisa jelaskan apa yang terjadi-”Aldino menggenggam ke dua tangan istrinya namun segera ditepisnya. Malati menggeser tubuhnya dan membuat jarak dengan Aldino. Lag
Jam demi jam berlalu. Sungguh, Malati benar-benar mendiamkan Aldino Tama Waluyo hingga pulang ke rumah dan malam menjelang. Kemarahan Malati hanya ditunjukan dengan diam kendati ia masih mengurus segala kebutuhan suaminya.Aldino menghela nafas pelan. Setelah selesai makan malam pun Malati masih berkawan dengan kediamannya. Aldino duduk di atas sofa dengan memegang gelas berisi susu hangat. Dari sana ia memperhatikan tingkah istri kecilnya yang sudah berada di atas ranjang. Tampak Malati tidur dengan memiringkan tubuhnya dengan menarik selimut hingga ke dekat lehernya.Aldino menaruh gelas susu yang sudah tandas itu ke atas nakas. Lantas ia merangkak menaiki ranjang. Ia berbaring di belakang istrinya, memeluk tubuhnya dengan perlahan.Segera, Malati memindahkan tangan besar itu lalu bergeser hingga posisi tubuhnya berada di pinggir ranjang. Satu gerakan saja bisa membuatnya jatuh ke lantai.“Sesak, Mas. Maaf ya …” imbuh Malati beralasan bahkan tanpa menoleh ke arahnya.Padahal Aldino
Di tempat berbeda, kini pasangan lain pun tengah diberkati kebahagiaan yang luar biasa. Akhirnya setelah hampir setahun lamanya, Aldino kini bisa kembali berjalan. Setelah mengikuti terapi dan pengobatan hingga berbulan-bulan lamanya di Singapura, pria berwajah tampan dan bertubuh bak binaragawan itu akhirnya bisa berjalan normal kembali. Ia sangat bekerja keras selama berada di Singapura.Ia akan pulang dengan memberikan kejutan pada istri tercinta dan putra tampannya yang kini sudah berusia setahun.Hari itu, Malati tengah mengasuh Manggala bermain di ruang bermain yang dibuat khusus, di ruang keluarga kediaman Eyang Waluyo. Cicit tersayang selalu mendapat perhatian lebih dari Eyang buyutnya. Malati dan putra tampannya mendapatkan privilege luar biasa dari Eyang Waluyo hingga keluarga besar lainnya.“Gala! Sini Nak!”Kakek tua yang masih berdiri tegap itu memanggil cicitnya. Meskipun Manggala baru berusia setahun namun anak itu sangat cerdas. Ia sudah bisa berjalan dengan baik dan bi
Ali pun menarik handle pintu kamar pengàntin hingga terbuka. Sulis langsung antusias melihat untuk pertama kali kamar pengàntin yang sangat indah karena dihias sedemikian rupa. “Aa, bagus banget!” Sulis mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar berukuran presidential suit tersebut. Kamarnya didominasi warna putih dan warna-warna pastel sesuai keinginannya. Matanya berbinar mengamati setiap detail hiasan bebungaan yang berada di atas ranjang. Seketika ia tertawa melihat ada dua ekor angsa yang tergolek di atas ranjang. Angsa yang dibentuk dari selimut berwarna putih. Tangannya terulur mengusap angsa tersebut. “Lucunya! Aku mau foto dulu,”Seketika Sulis mengambil ponselnya lalu memotret ranjang pengàntin yang begitu indah itu dengan senyum yang berseri-seri.“Sini, Aa yang fotoin!” imbuh Ali dari belakang tubuh gadis itu. Sulis mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia senang mendengar usulan Ali. Sulis pun duduk dengan posisi anggun di atas ranjang. Ali pun mengambil ponsel is
Ali berusaha menormalkan perasaannya dalam menyikapi Sulis. Sulis memàng sedang sakit, penyakitnya yang dideritanya juga tidak main-main. Oleh karena itu mungkin ia mulai merasa frustasi.Sulis tidak menyadari jika calon suaminya bertopeng dingin dari luar, padahal hatinya begitu hangat. Pada adiknya saja Ali begitu mengkhawatirkannya saat ia sakit. Tak jauh berbeda pada kekasih hatinya, ia merasakan kekhawatiran yang sama. “Sulis, stop overthinking! Kita akan tetap pada rencana awal kita. Kita akan menikah! Kau juga akan ikut pengobatan.”Ali berbicara tegas. Ia tidak suka sikap Sulis yang mendadak melankolis.Sulis terdiam dengan isak yang tertahan dan menggigit bibir bawahnya, “Ali, aku takut gak bisa hamil! Aku perokok berat. Argh, Shit! Aku mungkin tak subur!”Kini Sulis berkata hal lain yang malah memperkeruh suasana. Ali semakin jengkel mendengarnya, “Terus kau mau hubungan kita berakhir begitu saja? Kita batalkan tunangan begitu?”Sulis mengangguk dengan air mata yang bercucu
Ali tertegun saat mendengar kabar dari dokter bahwa kekasihnya harus menjalani beberapa tes kesehatan di antaranya tes darah dan rontgen. Sebelum jatuh pingsan Sulis sempat muntah darah penyebabnya. Kesimpulannya ada bagian organ dalamnya yang terluka dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.Ali merasa bersalah, telah mengabaikan kekasihnya karena masalah sepele. Sederhananya, mungkin jika tidak ada drama cemburu tadi sore mungkin Sulis akan baik-baik saja. Sungguh, Ali menyesali sikapnya yang tidak dewasa. “Argh, maafkan aku Sulis. Aku kadang egois.”Ali bergumam dengan helaan nafas berat. Pria itu berjalan lesu dari ruangan dokter dan pergi menuju ruangan di mana kekasihnya dirawat malam itu. Perlahan Ali membuka pintu ruang rawat inap gadis itu. Tampak Sulis sedang tertidur pulas mungkin karena pengaruh obat. Untuk sementara ia dirawat karena kurang darah. Namun penyebab yang lebih serius belum diketahui. Ali berjalan mendekati kekasihnya. Ia berdiri di depan ranjang hidrolik s
Dua orang pemuda tampan tengah menahan kesal menunggu kekasih mereka yang sibuk memilih gaun. Sudah lebih dari dua jam lamanya mereka berusaha memanjangkan sumbu kesabaran. Rasa panas menjalari punggung mereka karena terlalu lama duduk di sofa.Meskipun pelayan butik itu melayani mereka dengan istimewa, memberikan minuman hingga camilan, tetap saja tak bisa mengusir rasa jenuh mereka. Mereka bahkan sudah memainkan ponsel masing-masing, men scroll media sosial tak jelas untuk membunuh waktu. Nihil! “Lama banget! Mereka ngapain aja sih?” ucap pemuda berhidung bangir yang tak lain Mustafa Ali Basalamah pada pemuda tampan bermata sipit yang tengah duduk di sampingnya, dr Zain. Ali beringsut berdiri lalu merenggangkan tubuhnya beberapa saat karena rasa pegal akibat duduk lumayan lama di sofa berbentuk letter U. Ia pun memutar lehernya hingga menimbulkan bunyi kretek yang membuat dr Zain meringis mendengarnya. dr Zain hanya mendesah pelan mendengar keluhan calon iparnya. Dokter muda itu
“Mala, sini Bude yang gendong Gala!”Bude Ratna menghampiri Malati yang baru saja menyusui bayi tampannya. Malati gegas mengancingkan kancing bajunya kemudian melepas apron menyusui saat Gala terlihat sudah kenyang menyusu. Biasanya bayi yang memiliki garis wajah mirip sekali ayahnya itu tertidur saat merasa perutnya penuh, namun kali ini ia terjaga seakan ingin bermain dengan neneknya.Malati pun menyerahkan Gala pada pangkuan Bude Ratna. Bayi itu tersenyum dan menatap neneknya dengan mata yang bening. Sungguh terlihat menggemaskan.Bude Ratna menyematkan senyuman yang lebar menatap cucunya itu dengan penuh haru. Bukan tanpa alasan, Gala terlahir saat ke dua orang tuanya mengalami kecelakaan yang mengerikan.Atas kehendakNya, mereka semua selamat kendati ayahnya kini harus menjalani pengobatan di luar negeri. Seminggu sudah kepergian Aldino ke Singapura. Terpaksa, Malati mengikhlaskan kepergian suaminya bersama Bude Gendhis, suaminya dan beberapa pengawal pribadi utusan Eyang Waluyo.
“Bulan depan!”Ali menjawab dengan penuh keyakinan pertanyaan ayah Sulis. Setelah acara lamaran selesai, Hendi-Ayah Sulis bertanya pada Ali tentang hubungan putrinya dan Ali sudah sampai sejauh mana. Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab Hendi mengira jika kedatangan keluarga Basalamah itu untuk acara pertunangan. Bukan lamaran menuju pernikahan.Nyatanya, sebelum mereka benar-benar pergi dari kediaman Sulis, Ali memberanikan dirinya, secara langsung ia mengungkapkan rencananya ingin menikahi Sulis sesegera mungkin. Ali berusaha bernegosiasi dengan calon ayah mertuanya, bahwasanya meskipun hubungan mereka belum lama, namun mereka sudah bisa saling memahami karakter masing-masing sehingga ingin segera melangsungkan hubungan mereka ke arah yang serius. Terlebih usia ke duanya telah matang. Sudah sama-sama dewasa.Hendi menatap Sulis sejenak kemudian kembali menggerakan bibirnya. “Nak Ali, Bapak sebagai orang tua sangat bahagia mendengar rencana baik Nak Ali dengan melamar Sulis untuk d
“Ali, kenapa kau belum datang juga? Kenapa juga kau tidak mengangkat telepon dariku? Argh, awas kalau kabur dari acara pertunangan! Aku tak segan memberi perhitungan padamu!” gumam Sulis dengan perasaan yang teramat gelisah. Saat ini Sulis berada di rumahnya di kota Bandung.Hari itu adalah hari bersejarah baginya. Akhirnya Sulis akan dilamar oleh pria tampan dan kaya raya seperti angan-angannya selama ini. Gadis bertubuh jangkung itu berdiri mematung di taman depan rumahnya, menunggu detik-detik kehadiran Ali bersama keluarga besarnya.Ternyata Ali tidak main-main dengan hubungan yang terjalin di antara mereka. Ia serius ingin meminang Sulis. Lamaran Ali sebetulnya ialah waktu yang tepat untuk menentukan kapan waktu pernikahan mereka akan berlangsung. Sebaliknya, Sulis hanya mengira jika lamaran Ali hanyalah pengikat atau tanda keseriusan Ali atas hubungan percintaan mereka. Atau pertunangan biasa.“Sulis, diam bisa gak?” Dari dalam rumah, sang Ibu memanggil putrinya itu dengan suar
Aldino hanya menghela nafas pelan. Ia sebetulnya tak tega jika harus meninggalkan istri dan bayi tampannya yang baru lahir. Namun niatnya sudah bulat. Ia ingin segera sembuh dan tak ingin merepotkan istrinya atau siapapun. Aldino yakin pengobatan medis di luar negeri lebih baik. Oleh karena itu ia menyetujui usulan Eyang Waluyo untuk berobat di Singapura. Aldino akan mengikuti prosedur operasi di sana dan mengikuti terapi hingga kakinya sembuh seperti sedia kala.“Sayang, udah dong! Ini demi kebaikan kita semua.”Aldino mengusap-usap punggung istrinya yang tenggelam di balik dada bidangnya. Mendengar Aldino akan pergi jauh, Putri Melati terlihat murung. Bahkan ia menangis tersedu sedan.Malati bukan tidak ingin suaminya mengikuti pengobatan di rumah sakit luar negeri. Namun ia ingin ikut bersamanya ke negeri yang terkenal dengan patung Merlionnya.Malati dan baby Gala belum bisa berangkat mengingat usia bayi mereka masih belum siap untuk berpergian jauh. Begitupula dengan Malati yang