Jam demi jam berlalu. Sungguh, Malati benar-benar mendiamkan Aldino Tama Waluyo hingga pulang ke rumah dan malam menjelang. Kemarahan Malati hanya ditunjukan dengan diam kendati ia masih mengurus segala kebutuhan suaminya.Aldino menghela nafas pelan. Setelah selesai makan malam pun Malati masih berkawan dengan kediamannya. Aldino duduk di atas sofa dengan memegang gelas berisi susu hangat. Dari sana ia memperhatikan tingkah istri kecilnya yang sudah berada di atas ranjang. Tampak Malati tidur dengan memiringkan tubuhnya dengan menarik selimut hingga ke dekat lehernya.Aldino menaruh gelas susu yang sudah tandas itu ke atas nakas. Lantas ia merangkak menaiki ranjang. Ia berbaring di belakang istrinya, memeluk tubuhnya dengan perlahan.Segera, Malati memindahkan tangan besar itu lalu bergeser hingga posisi tubuhnya berada di pinggir ranjang. Satu gerakan saja bisa membuatnya jatuh ke lantai.“Sesak, Mas. Maaf ya …” imbuh Malati beralasan bahkan tanpa menoleh ke arahnya.Padahal Aldino
Hanum duduk dengan anggun dan penuh wibawa setelah dipersilahkan masuk oleh Putri Melati. Tak mungkin Putri Melati mengusirnya kendati ia sudah tahu maksud kedatangannya.Hanum datang saat Aldino pergi ke sekolah. Sudah bisa ditebak alasannya! Malati bisa merekam setiap kejadian dan begitu mudah menarik kesimpulan dari hasil observasinya.Hanum bersikap seperti biasa di hadapan Malati. Ia pandai mengatur ekspresi wajahnya. Sialnya, Malati tak bisa dimanipulasi. Selain membaca mimik wajah ia pula pandai membaca bahasa tubuh.Buku yang dibacanya tak tanggung-tanggung yaitu What Every Body is Saying karangan Joe Navarro, seorang mantan FBI spesialis komunikasi non verbal. Seni bahasa tubuh yang bisa secara tidak langsung mengatakan apa yang ingin disampaikan oleh sang empunya tanpa kata-kata. Tatapan Hanum bergulir dari teh yang disajikan oleh Mbok Darmi lalu pada perut Malati yang buncit kendati terhalang hijabnya.Baru sàdar jika gadis yang telah mencuri kekasih putrinya itu sedang h
Suasana siang itu mendadak menjadi hening. Pertanyaan Sulis membuat Malati kicep. Terlalu cepat Sulis ingin mengetahui masalah pribadinya.Malati melihat Sulis dan Mr Bon bergantian. Kemudian ia menjawab dengan tenang dan helaan nafas pelan. Tatapan dan tangannya turun pada perutnya yang berdenyut. Ada kehidupan calon bayi dalam rahimnya. Kebahagian seorang anak akan bergantung pada kebahagian seorang ibu. “Aku tidak akan berbagi suami dengan wanita itu.”Malati mengatakan kalimat itu dengan lugas. Tak terlihat keraguan dalam nada bicaranya.Mr Bon dan Sulis tersenyum puas mendengar keputusan Putri Melati. Mereka senang melihat Malati yang bersikap tegas dan tak tergoyahkan.“Bagus, Candy! Wanita itu masa lalu suamimu. Sekarang kau adalah masa depannya. Aku mendukung keputusanmu. Seratus persen.”Mr Bon tersenyum penuh kelegaan. Ingatannya masih utuh. Di matanya Putri Melati sosok gadis cerdas namun termasuk pleasure people atau orang yang ‘gak enakan’. Itu karena ia selalu mendapat
Di ruang rapat para guru terlihat kisruh misuh. Mira Gumilar berpura-pura batuk hingga nyaris batuk sungguhan. Ustazah Linda berdehem mirip seorang anak yang keselek permen karet. Tak hanya itu, Yuda Tarumanegara terdengar bersiul tak jelas. Apa yang mereka lakukan adalah untuk mencari perhatian sosok Aldino Tama Waluyo yang tengah melamun di sesi terakhir rapat.Sementara itu pembawa acara dan notulen rapat sudah memberengut kesal karena merasa diabaikan oleh sang kepala sekolah, pemimpin tertinggi di sekolah.“Pak Yuda, sepertinya Pak Aldino kesambet deh. Lihatlah! Dari awal rapat dia hanya diam dengan tatapan kosong melompong. Ih, amit-amit! Pak Yuda tau kan pohon cemara di taman. Bisa jadi Pak Aldino kesambet setan penunggu pohon cemara di sana.”Linda berbisik pada Yuda Tarumanegara yang tengah asik memainkan bolpoin hingga tanpa sàdar bolpoin itu sudah mengotori meja di mana tangannya bertumpu.“Pak Aldino sepertinya memang kesambet setan. Bacain aja ayat-ayat cinta eh … ayat-
Aldino benar-benar geram pada sikap Hanum yang mendatangi istrinya. Apalagi di video yang dilihatnya saat berada di ruang tamu, Hanum terlihat menangis lalu berbicara pada Malati-yang membuatnya ikut menangis seolah Hanum mengatakan sesuatu yang membuat istrinya merasa bersedih.Aldino sangat menyayangkan sikap Hanum pada istrinya. Mengapa pula ia mendatangi istrinya? Mengapa wanita keibuan itu tidak mendatanginya dengan cara baik-baik dan bicara padanya. Pria besar itu keberatan. Tak boleh ada yang mengusik istrinya. Apalagi istrinya berhati lembut dan sedang hamil. Aldino memijat pangkal hidungnya. Ia lantas memikirkan sikap istrinya semalam. Barulah ia sàdar jika cara istrinya menyampaikan keberatannya adalah mengekspresikan rasa cintanya. Ia berusaha melayani suaminya dengan sebaik mungkin. Ia tak ingin kehilangan dirinya. Itu hanya cara komunikasi wanita pendiam itu. Wanita yang ketika datang padanya penuh luka namun sebisa mungkin ia menutupi penderitaannya.Aldino tidak menye
“Gawat! Gawat! Pak Al ngamuk, Bu Lin,”Dari arah berlawanan Mira Gumilar berlari ke arah Linda yang sedang menceramahi anak didiknya yang ketahuan bolos saat jadwal mengajarnya. Anak murid itu malah pergi ke kantin saat pelajaran berlangsung.Melihat kedatangan guru lain, remaja itu senang bukan main. Karena omelan Linda akan segera berhenti. Sakit sekali kupingnya mendengar ocehan Linda yang mirip bebek bleter.“Ngamuk? Gak mungkin. Tadi aja Pak Al baik-baik aja. Dia bahkan kelihatan happy. Kau buat salah?” tukas Linda membantah perkataan Mira Gumilar padanya. Lalu tangannya langsung menarik seragam remaja lelaki yang berusaha kabur darinya. “Tunggu, saya belum selesai!” kata Linda dengan senyum yang sinis pada anak yang sudah bersimbah keringat itu.“Pokoknya siap-siap kena amuk, Pak Aldino. Siang ini dia terlihat bete dan marah pada apapun dan siapapun. Bahkan pada seekor nyamuk yang menggigit lengannya. Serius, dia ngamuk. Aku kira Pak Aldino marah pada guru yang lain. Soalnya aku
Malati terjebak di sebuah rumah mewah di mana telah terjadi aksi bunuh diri massal. Jiwa detektifnya meronta-ronta seakan terpanggil. Ia bersedia mengikuti permintaan Sulis untuk sekedar melihat lokasi kejadian. Kebetulan rumah mewah itu berada sekitar tiga kilometer dari Universitas Prabu Agung Cakrabuana. Tentu saja ia ditemani Mbok Darmi dan ke dua orang pengawal yang setia menemaninya.“Menurut analisamu, apakah mereka bunuh diri atau dibunuh secara masal dengan meracuni minuman mereka?”Sulis menerka-nerka apa yang motif meninggalnya satu keluarga itu. Masalahnya mereka semua meminum jus yang berisi racun sianida.Malati memiliki kemampuan hebat dalam mengamati dan merekam seluruh benda yang dilihatnya. Sehingga hal tersebut tentu saja akan memudahkan dirinya dalam membantu menguak kasus tersebut. Sisi lain, Sulis diberkahi pembaca ekspresi wajah. Ke dua nya bisa menjadi partner yang tepat saat menjalankan tugas mereka.“Di sana, posisi mereka saat minum racun. Di ruang makan.”
Telah terjadi ketegangan di sebuah ruang rawat inap di salah satu rumah sakit elit di kita Bogor. Baik dokter maupun suster kewalahan karena harus menghadapi pasien yang sedang mengamuk di salah satu ruangan.Pasien itu berusaha melarikan diri sedangkan kondisinya Masih buruk. Ia masih harus menjalani perawatan. Bahkan tangannya Masih dipasang selang infus yang mengalirkan obat dan cairan ke dalam tubuhnya.Pasien itu mencabut selang infus dengan paksa bahkan tak peduli rasa sakit yang dideritanya. Tak hanya itu, ia lantas menggulingkan tiang infus dan menghancurkan properti yang berada di ruangan itu. Ia mendorong suster yang berusaha mengamankan dirinya. Namun ternyata suster bertubuh ringkih itu justru yang terjatuh hingga menyebabkan kepalanya berdarah.“Dokter, tolong Suster Marina lihat! Dia jatuh terbentur lantai. Kepalanya berdarah.”Seorang suster senior melapor pada dokter yang merawat pasien itu.Dokter senior itu mendengus pelan. “Cepat, kau bantu dia! Saya akan mengejar
Di tempat berbeda, kini pasangan lain pun tengah diberkati kebahagiaan yang luar biasa. Akhirnya setelah hampir setahun lamanya, Aldino kini bisa kembali berjalan. Setelah mengikuti terapi dan pengobatan hingga berbulan-bulan lamanya di Singapura, pria berwajah tampan dan bertubuh bak binaragawan itu akhirnya bisa berjalan normal kembali. Ia sangat bekerja keras selama berada di Singapura.Ia akan pulang dengan memberikan kejutan pada istri tercinta dan putra tampannya yang kini sudah berusia setahun.Hari itu, Malati tengah mengasuh Manggala bermain di ruang bermain yang dibuat khusus, di ruang keluarga kediaman Eyang Waluyo. Cicit tersayang selalu mendapat perhatian lebih dari Eyang buyutnya. Malati dan putra tampannya mendapatkan privilege luar biasa dari Eyang Waluyo hingga keluarga besar lainnya.“Gala! Sini Nak!”Kakek tua yang masih berdiri tegap itu memanggil cicitnya. Meskipun Manggala baru berusia setahun namun anak itu sangat cerdas. Ia sudah bisa berjalan dengan baik dan bi
Ali pun menarik handle pintu kamar pengàntin hingga terbuka. Sulis langsung antusias melihat untuk pertama kali kamar pengàntin yang sangat indah karena dihias sedemikian rupa. “Aa, bagus banget!” Sulis mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar berukuran presidential suit tersebut. Kamarnya didominasi warna putih dan warna-warna pastel sesuai keinginannya. Matanya berbinar mengamati setiap detail hiasan bebungaan yang berada di atas ranjang. Seketika ia tertawa melihat ada dua ekor angsa yang tergolek di atas ranjang. Angsa yang dibentuk dari selimut berwarna putih. Tangannya terulur mengusap angsa tersebut. “Lucunya! Aku mau foto dulu,”Seketika Sulis mengambil ponselnya lalu memotret ranjang pengàntin yang begitu indah itu dengan senyum yang berseri-seri.“Sini, Aa yang fotoin!” imbuh Ali dari belakang tubuh gadis itu. Sulis mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia senang mendengar usulan Ali. Sulis pun duduk dengan posisi anggun di atas ranjang. Ali pun mengambil ponsel is
Ali berusaha menormalkan perasaannya dalam menyikapi Sulis. Sulis memàng sedang sakit, penyakitnya yang dideritanya juga tidak main-main. Oleh karena itu mungkin ia mulai merasa frustasi.Sulis tidak menyadari jika calon suaminya bertopeng dingin dari luar, padahal hatinya begitu hangat. Pada adiknya saja Ali begitu mengkhawatirkannya saat ia sakit. Tak jauh berbeda pada kekasih hatinya, ia merasakan kekhawatiran yang sama. “Sulis, stop overthinking! Kita akan tetap pada rencana awal kita. Kita akan menikah! Kau juga akan ikut pengobatan.”Ali berbicara tegas. Ia tidak suka sikap Sulis yang mendadak melankolis.Sulis terdiam dengan isak yang tertahan dan menggigit bibir bawahnya, “Ali, aku takut gak bisa hamil! Aku perokok berat. Argh, Shit! Aku mungkin tak subur!”Kini Sulis berkata hal lain yang malah memperkeruh suasana. Ali semakin jengkel mendengarnya, “Terus kau mau hubungan kita berakhir begitu saja? Kita batalkan tunangan begitu?”Sulis mengangguk dengan air mata yang bercucu
Ali tertegun saat mendengar kabar dari dokter bahwa kekasihnya harus menjalani beberapa tes kesehatan di antaranya tes darah dan rontgen. Sebelum jatuh pingsan Sulis sempat muntah darah penyebabnya. Kesimpulannya ada bagian organ dalamnya yang terluka dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.Ali merasa bersalah, telah mengabaikan kekasihnya karena masalah sepele. Sederhananya, mungkin jika tidak ada drama cemburu tadi sore mungkin Sulis akan baik-baik saja. Sungguh, Ali menyesali sikapnya yang tidak dewasa. “Argh, maafkan aku Sulis. Aku kadang egois.”Ali bergumam dengan helaan nafas berat. Pria itu berjalan lesu dari ruangan dokter dan pergi menuju ruangan di mana kekasihnya dirawat malam itu. Perlahan Ali membuka pintu ruang rawat inap gadis itu. Tampak Sulis sedang tertidur pulas mungkin karena pengaruh obat. Untuk sementara ia dirawat karena kurang darah. Namun penyebab yang lebih serius belum diketahui. Ali berjalan mendekati kekasihnya. Ia berdiri di depan ranjang hidrolik s
Dua orang pemuda tampan tengah menahan kesal menunggu kekasih mereka yang sibuk memilih gaun. Sudah lebih dari dua jam lamanya mereka berusaha memanjangkan sumbu kesabaran. Rasa panas menjalari punggung mereka karena terlalu lama duduk di sofa.Meskipun pelayan butik itu melayani mereka dengan istimewa, memberikan minuman hingga camilan, tetap saja tak bisa mengusir rasa jenuh mereka. Mereka bahkan sudah memainkan ponsel masing-masing, men scroll media sosial tak jelas untuk membunuh waktu. Nihil! “Lama banget! Mereka ngapain aja sih?” ucap pemuda berhidung bangir yang tak lain Mustafa Ali Basalamah pada pemuda tampan bermata sipit yang tengah duduk di sampingnya, dr Zain. Ali beringsut berdiri lalu merenggangkan tubuhnya beberapa saat karena rasa pegal akibat duduk lumayan lama di sofa berbentuk letter U. Ia pun memutar lehernya hingga menimbulkan bunyi kretek yang membuat dr Zain meringis mendengarnya. dr Zain hanya mendesah pelan mendengar keluhan calon iparnya. Dokter muda itu
“Mala, sini Bude yang gendong Gala!”Bude Ratna menghampiri Malati yang baru saja menyusui bayi tampannya. Malati gegas mengancingkan kancing bajunya kemudian melepas apron menyusui saat Gala terlihat sudah kenyang menyusu. Biasanya bayi yang memiliki garis wajah mirip sekali ayahnya itu tertidur saat merasa perutnya penuh, namun kali ini ia terjaga seakan ingin bermain dengan neneknya.Malati pun menyerahkan Gala pada pangkuan Bude Ratna. Bayi itu tersenyum dan menatap neneknya dengan mata yang bening. Sungguh terlihat menggemaskan.Bude Ratna menyematkan senyuman yang lebar menatap cucunya itu dengan penuh haru. Bukan tanpa alasan, Gala terlahir saat ke dua orang tuanya mengalami kecelakaan yang mengerikan.Atas kehendakNya, mereka semua selamat kendati ayahnya kini harus menjalani pengobatan di luar negeri. Seminggu sudah kepergian Aldino ke Singapura. Terpaksa, Malati mengikhlaskan kepergian suaminya bersama Bude Gendhis, suaminya dan beberapa pengawal pribadi utusan Eyang Waluyo.
“Bulan depan!”Ali menjawab dengan penuh keyakinan pertanyaan ayah Sulis. Setelah acara lamaran selesai, Hendi-Ayah Sulis bertanya pada Ali tentang hubungan putrinya dan Ali sudah sampai sejauh mana. Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab Hendi mengira jika kedatangan keluarga Basalamah itu untuk acara pertunangan. Bukan lamaran menuju pernikahan.Nyatanya, sebelum mereka benar-benar pergi dari kediaman Sulis, Ali memberanikan dirinya, secara langsung ia mengungkapkan rencananya ingin menikahi Sulis sesegera mungkin. Ali berusaha bernegosiasi dengan calon ayah mertuanya, bahwasanya meskipun hubungan mereka belum lama, namun mereka sudah bisa saling memahami karakter masing-masing sehingga ingin segera melangsungkan hubungan mereka ke arah yang serius. Terlebih usia ke duanya telah matang. Sudah sama-sama dewasa.Hendi menatap Sulis sejenak kemudian kembali menggerakan bibirnya. “Nak Ali, Bapak sebagai orang tua sangat bahagia mendengar rencana baik Nak Ali dengan melamar Sulis untuk d
“Ali, kenapa kau belum datang juga? Kenapa juga kau tidak mengangkat telepon dariku? Argh, awas kalau kabur dari acara pertunangan! Aku tak segan memberi perhitungan padamu!” gumam Sulis dengan perasaan yang teramat gelisah. Saat ini Sulis berada di rumahnya di kota Bandung.Hari itu adalah hari bersejarah baginya. Akhirnya Sulis akan dilamar oleh pria tampan dan kaya raya seperti angan-angannya selama ini. Gadis bertubuh jangkung itu berdiri mematung di taman depan rumahnya, menunggu detik-detik kehadiran Ali bersama keluarga besarnya.Ternyata Ali tidak main-main dengan hubungan yang terjalin di antara mereka. Ia serius ingin meminang Sulis. Lamaran Ali sebetulnya ialah waktu yang tepat untuk menentukan kapan waktu pernikahan mereka akan berlangsung. Sebaliknya, Sulis hanya mengira jika lamaran Ali hanyalah pengikat atau tanda keseriusan Ali atas hubungan percintaan mereka. Atau pertunangan biasa.“Sulis, diam bisa gak?” Dari dalam rumah, sang Ibu memanggil putrinya itu dengan suar
Aldino hanya menghela nafas pelan. Ia sebetulnya tak tega jika harus meninggalkan istri dan bayi tampannya yang baru lahir. Namun niatnya sudah bulat. Ia ingin segera sembuh dan tak ingin merepotkan istrinya atau siapapun. Aldino yakin pengobatan medis di luar negeri lebih baik. Oleh karena itu ia menyetujui usulan Eyang Waluyo untuk berobat di Singapura. Aldino akan mengikuti prosedur operasi di sana dan mengikuti terapi hingga kakinya sembuh seperti sedia kala.“Sayang, udah dong! Ini demi kebaikan kita semua.”Aldino mengusap-usap punggung istrinya yang tenggelam di balik dada bidangnya. Mendengar Aldino akan pergi jauh, Putri Melati terlihat murung. Bahkan ia menangis tersedu sedan.Malati bukan tidak ingin suaminya mengikuti pengobatan di rumah sakit luar negeri. Namun ia ingin ikut bersamanya ke negeri yang terkenal dengan patung Merlionnya.Malati dan baby Gala belum bisa berangkat mengingat usia bayi mereka masih belum siap untuk berpergian jauh. Begitupula dengan Malati yang