Malati cukup syok menatap sepupu angkatnya. Tak pernah mengira bisa dipertemukan hari itu. Ariana tampak berbeda. Ia terlihat kurus sekali dan wajah yang pucat macam begadang tiap malam. Ada dua kantong hitam menggantung di bawah kelopak matanya.Wajahnya yang semula mulus kini terlihat tak terawat. Bahkan pipinya tirus dengan warna kulit yang agak kecoklatan. Gadis itu terlihat seperti seorang wanita pekerja keras. Ariana hanya memakai pakaian setelan kemeja putih dan rok span berwarna hitam selutut. Ia bahkan tak berani bertatap mata dengannya. Ia lebih senang menatap lantai keramik yang mewah. Lalu ia menghela nafas pelan saat menatap bayangan dirinya di balik pantulan keramik yang bening. Ia sudah tak terawat. Berbeda dengan Putri Melati. Ia justru tampak cantik dan mahal. Semua yang dipakainya berbahan bagus.Aldino memang lumayan lama memilih hidup secara frugal. Namun urusan pakaian yang diberikan pada istrinya dari ujung rambut hingga ujung kaki semua berkualitas baik. Sekali
Malati mengurungkan niatnya untuk menceritakan tentang om dan tantenya pada Aldino. Bukan tanpa alasan ia melakukannya. Masalahnya repson Aldino terlihat dingin hanya dengan menyebut nama Ariana-sepupu angkatnya.Apalagi kata-katanya sudah menegaskan bahwa Aldino tidak mau mendengar orang-orang yang pernah melukainya. Terpaksa, Malati memejamkan matanya dan berusaha tidur. Di belakangnya Aldino mengusap-usap punggungnya dengan lembut agar istrinya tidur.Padahal pria itu menguap beberapa kali, menandakan ia pun tengah dilanda kantuk yang begitu hebat.“Mas, sudah, gak apa-apa. Aku akan tidur.”Malati berkata pada suaminya yang berusaha membuatnya nyaman. Pria itu sering bertanya pada seorang suami yang sudah memiliki anak mengenai apa sikap yang harus dilakukannya sebagai calon ayah yang baik. Pria itu belajar menjadi suami yang baik dan siap siaga.“Yakin?” tanya Aldino sembari menguap.“Iya, Mas,” jawab Malati dengan tersenyum simpul. Pria itu memang keras kepala melebihi batu.Akh
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Malati hanya berderai air mata. Ia menangis di balik dada bidang suaminya. Ia begitu bersedih saat mendengar kabar pamannya yang saat ini sedang dirawat ruang ICU karena kritis dan tak sadarkan diri. Bagaimanapun, pamannya pernah merawatnya cukup lama sehingga di hatinya masih tersimpan rasa sayang.Rupanya, Aldino cukup bijak menyikapi kedatangan Ariana. Meskipun ia masih menyimpan dendam dan amarah di hatinya pada gadis itu, namun ia masih punya nurani. Ia mengijinkan istri kecilnya menjenguknya bahkan akan membantu biaya pengobatannya.Mereka pergi ke rumah sakit diantar oleh seorang supir. Aldino memilih duduk di bangku ke dua sembari memeluk istrinya dari samping, membiarkan istrinya mencurahkan kesedihannya. Mereka tiba di rumah sakit setengah jam kemudian. Namun sebelum benar-benar turun, Aldino memasangkan masker pada istrinya. “Ingat, boleh jenguk tapi jangan masuk ke dalam ruangan ya!” peringat Aldino seperti memperingati seorang ana
Malati tak sanggup melihat tantenya saat ini. Setelah sekian lama tak bertemu, Nia tampak berbeda. Tubuhnya sangat kurus. Wajahnya yang biasa terawat kini terlihat mengendur dan pucat. Sungguh, wanita yang terkenal galak itu kini terlihat menyedihkan.Dengan ke dua tangannya, Malati menyuapi Nia dengan makan siang yang sudah disiapkan perawat Nesa untuknya. Malati membujuknya makan karena wanita paruh baya itu menolak makan sementara itu ia harus mengonsumsi beberapa obat antidepresan. Sebelumnya ia tidak meminum obat sebab ia suka mencuri-curi waktu untuk membuangnya. Ia diobati dengan injeksi yang mahal. Namun injeksi tidak dilakukan lagi sebab mereka sudah tidak memiliki uang.Nia senang sekali menyambut kedatangan Malati. Entahlah, saat ini Nia memeluk Malati dengan begitu hangatnya. Ia pun meminta maaf atas apa yang terjadi. Ia menyesali perbuatannya. Namun ia mengungkapkan perasaannya itu dengan minim ekspresi. Menurut dokter yang menanganinya, apa yang terjadi pada Nia adalah
Malati menarik nafas pelan lalu mengembuskannya perlahan. Mengapa ia harus takut menghadapi pria itu? Toh, ia tak jadi dipersunting olehnya.Di titik itulah, Putri Melati bersyukur karena yang mempersuntingnya ialah seorang pria dewasa dan penyayang. Aldino Tama Waluyo telah menyelamatkannya dari pria di hadapannya yang tampak tidak sopan karena memperhatikannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tatapan penuh telisik. Tatapan genit yang dilayangkan seorang pria mesum pada seorang wanita. Tatapan yang menjijikan di mata Malati.Suara kursi berderit terdengar. Sekonyong-konyong, pria itu menarik kursi dan mendudukinya. Ia duduk dengan angkuh sembari menatapnya tanpa berkedip. Rasanya ingin sekali berbincang dengan wanita cantik yang kini terlihat semakin bersinar kendati tubuhnya terlihat berisi. Malati makan makanan yang bergizi, rajin berolahraga dan minum vitamin. Ia menjaga pola hidup yang sehat semenjak menikah dengan Aldino. Jelas saja, ia hidup sehat dan terlihat cantik. Kul
Sebelum Aldino menjawab pertanyaan Malati, Malati menaruh telunjuknya di bibir suaminya. “Maafkan, pertanyaan lancangku.”Aldino tersenyum lalu menggigit telunjuk istrinya pelan. “Nakal ya!”Seketika Malati terkekeh pelan mendengar perkataan suaminya. Malati bergurau soal pertanyaan itu. Ia tahu betul, itu hal baru bagi mereka.“Jadi, kau juga tau itu yang pertama bagi Mas?” tanya Aldino dengan menatapnya dalam. Memperhatikan bulu mata yang lentik dan menaungi matanya yang jernih dan berwarna karamel yang indah.“Udah ah, udah malem. Mas harus tidur. Besok ‘kan kita harus testing food.”Malati menarik diri dan merebahkan tubuhnya. Dengan sigap, Aldino mengambil selimut dan menyematkannya pada istrinya.“Have a nice dream, Sayang!”Aldino membungkukkan badannya untuk mencium kening istrinya lalu turun pada bibirnya. Tak hanya itu, ia pun mengecup beberapa kali perut istrinya dan mendoakannya. Sebuah kebiasaan baru Aldino yaitu selalu mendoakan calon bayinya sebelum tidur. Pria besar it
Hari berganti hari, Ana masih berada di rumah sakit. Ia kesepian dan mulai bosan. Meskipun ia mengikuti beragam aktifitas bersama pasien lainnya, ia ingin segera pulang ke rumah. Ia merindukan keluarganya. Terutama, ia sangat merindukan Aldino.Ana diam termangu setelah mengikuti sesi terapi bersama perawat. Sore hari udara sangat dingin, namun tak membuat Ana kerasan tinggal di sana. Gadis itu memilih jalan-jalan di taman.Ia sudah dipindahkan ke ruang VVIP yang mirip seperti sebuah villa mewah. Di sana ada beberapa kamar luas dengan fasilitas memadai. Seolah kamar itu dibuat senyaman mungkin layaknya berada di dalam rumah. Sebelumnya Ana juga harus melewati ruang isolasi. Ruangan pertama yang dikhususkan untuk pasien yang agresif dan impulsif.“Mas, aku kangen banget sama kamu! Kau sedang apa Mas? Kapan kau menjengukku? Mana bunga mawar putih yang selalu kau persembahkan untukku?”Air mata menetes perlahan di pipi Ana. Setiap kali membayangkan kenangan indah yang dibangun bersama Al
Dokter Cindy mendesah pelan melihat keluarga suami pasien yang agaknya beda dari yang lain. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal. Sejak melihat layar monitor tadi, ia disuguhkan oleh pemandangan yang luar biasa dramatis dan sedikit hiperbolis.Pria besar itu memeluk istrinya dan menghujani wajahnya dengan ciuman hingga membuat siapa saja merasa canggung melihat mereka.Aldino Tama Waluyo tengah merasakan euforia. Pria besar itu merasa sangat senang karena kini bayinya telah menampakkan alat genitalnya. Calon bayi Aldino Tama Waluyo ialah lelaki. Sesuai dengan harapannya. Sang pencipta mendengar doanya. Ralat, doa mereka.“Sayang, makasih!” imbuh Aldino dengan mata yang berbinar terang. Seandainya ada kata yang mewakili sebuah kata kebahagiaan maka ia akan memilihnya.“Alhamdulillah, Mas. Yang terpenting janinnya sehat dan alat kelam*nnya satu.”Malati berkomentar namun membuat dokter Cindy seketika tergelak sedangkan Aldino meringis mendengar jawab istrinya yang memang agak lain, lug
Di tempat berbeda, kini pasangan lain pun tengah diberkati kebahagiaan yang luar biasa. Akhirnya setelah hampir setahun lamanya, Aldino kini bisa kembali berjalan. Setelah mengikuti terapi dan pengobatan hingga berbulan-bulan lamanya di Singapura, pria berwajah tampan dan bertubuh bak binaragawan itu akhirnya bisa berjalan normal kembali. Ia sangat bekerja keras selama berada di Singapura.Ia akan pulang dengan memberikan kejutan pada istri tercinta dan putra tampannya yang kini sudah berusia setahun.Hari itu, Malati tengah mengasuh Manggala bermain di ruang bermain yang dibuat khusus, di ruang keluarga kediaman Eyang Waluyo. Cicit tersayang selalu mendapat perhatian lebih dari Eyang buyutnya. Malati dan putra tampannya mendapatkan privilege luar biasa dari Eyang Waluyo hingga keluarga besar lainnya.“Gala! Sini Nak!”Kakek tua yang masih berdiri tegap itu memanggil cicitnya. Meskipun Manggala baru berusia setahun namun anak itu sangat cerdas. Ia sudah bisa berjalan dengan baik dan bi
Ali pun menarik handle pintu kamar pengàntin hingga terbuka. Sulis langsung antusias melihat untuk pertama kali kamar pengàntin yang sangat indah karena dihias sedemikian rupa. “Aa, bagus banget!” Sulis mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar berukuran presidential suit tersebut. Kamarnya didominasi warna putih dan warna-warna pastel sesuai keinginannya. Matanya berbinar mengamati setiap detail hiasan bebungaan yang berada di atas ranjang. Seketika ia tertawa melihat ada dua ekor angsa yang tergolek di atas ranjang. Angsa yang dibentuk dari selimut berwarna putih. Tangannya terulur mengusap angsa tersebut. “Lucunya! Aku mau foto dulu,”Seketika Sulis mengambil ponselnya lalu memotret ranjang pengàntin yang begitu indah itu dengan senyum yang berseri-seri.“Sini, Aa yang fotoin!” imbuh Ali dari belakang tubuh gadis itu. Sulis mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia senang mendengar usulan Ali. Sulis pun duduk dengan posisi anggun di atas ranjang. Ali pun mengambil ponsel is
Ali berusaha menormalkan perasaannya dalam menyikapi Sulis. Sulis memàng sedang sakit, penyakitnya yang dideritanya juga tidak main-main. Oleh karena itu mungkin ia mulai merasa frustasi.Sulis tidak menyadari jika calon suaminya bertopeng dingin dari luar, padahal hatinya begitu hangat. Pada adiknya saja Ali begitu mengkhawatirkannya saat ia sakit. Tak jauh berbeda pada kekasih hatinya, ia merasakan kekhawatiran yang sama. “Sulis, stop overthinking! Kita akan tetap pada rencana awal kita. Kita akan menikah! Kau juga akan ikut pengobatan.”Ali berbicara tegas. Ia tidak suka sikap Sulis yang mendadak melankolis.Sulis terdiam dengan isak yang tertahan dan menggigit bibir bawahnya, “Ali, aku takut gak bisa hamil! Aku perokok berat. Argh, Shit! Aku mungkin tak subur!”Kini Sulis berkata hal lain yang malah memperkeruh suasana. Ali semakin jengkel mendengarnya, “Terus kau mau hubungan kita berakhir begitu saja? Kita batalkan tunangan begitu?”Sulis mengangguk dengan air mata yang bercucu
Ali tertegun saat mendengar kabar dari dokter bahwa kekasihnya harus menjalani beberapa tes kesehatan di antaranya tes darah dan rontgen. Sebelum jatuh pingsan Sulis sempat muntah darah penyebabnya. Kesimpulannya ada bagian organ dalamnya yang terluka dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.Ali merasa bersalah, telah mengabaikan kekasihnya karena masalah sepele. Sederhananya, mungkin jika tidak ada drama cemburu tadi sore mungkin Sulis akan baik-baik saja. Sungguh, Ali menyesali sikapnya yang tidak dewasa. “Argh, maafkan aku Sulis. Aku kadang egois.”Ali bergumam dengan helaan nafas berat. Pria itu berjalan lesu dari ruangan dokter dan pergi menuju ruangan di mana kekasihnya dirawat malam itu. Perlahan Ali membuka pintu ruang rawat inap gadis itu. Tampak Sulis sedang tertidur pulas mungkin karena pengaruh obat. Untuk sementara ia dirawat karena kurang darah. Namun penyebab yang lebih serius belum diketahui. Ali berjalan mendekati kekasihnya. Ia berdiri di depan ranjang hidrolik s
Dua orang pemuda tampan tengah menahan kesal menunggu kekasih mereka yang sibuk memilih gaun. Sudah lebih dari dua jam lamanya mereka berusaha memanjangkan sumbu kesabaran. Rasa panas menjalari punggung mereka karena terlalu lama duduk di sofa.Meskipun pelayan butik itu melayani mereka dengan istimewa, memberikan minuman hingga camilan, tetap saja tak bisa mengusir rasa jenuh mereka. Mereka bahkan sudah memainkan ponsel masing-masing, men scroll media sosial tak jelas untuk membunuh waktu. Nihil! “Lama banget! Mereka ngapain aja sih?” ucap pemuda berhidung bangir yang tak lain Mustafa Ali Basalamah pada pemuda tampan bermata sipit yang tengah duduk di sampingnya, dr Zain. Ali beringsut berdiri lalu merenggangkan tubuhnya beberapa saat karena rasa pegal akibat duduk lumayan lama di sofa berbentuk letter U. Ia pun memutar lehernya hingga menimbulkan bunyi kretek yang membuat dr Zain meringis mendengarnya. dr Zain hanya mendesah pelan mendengar keluhan calon iparnya. Dokter muda itu
“Mala, sini Bude yang gendong Gala!”Bude Ratna menghampiri Malati yang baru saja menyusui bayi tampannya. Malati gegas mengancingkan kancing bajunya kemudian melepas apron menyusui saat Gala terlihat sudah kenyang menyusu. Biasanya bayi yang memiliki garis wajah mirip sekali ayahnya itu tertidur saat merasa perutnya penuh, namun kali ini ia terjaga seakan ingin bermain dengan neneknya.Malati pun menyerahkan Gala pada pangkuan Bude Ratna. Bayi itu tersenyum dan menatap neneknya dengan mata yang bening. Sungguh terlihat menggemaskan.Bude Ratna menyematkan senyuman yang lebar menatap cucunya itu dengan penuh haru. Bukan tanpa alasan, Gala terlahir saat ke dua orang tuanya mengalami kecelakaan yang mengerikan.Atas kehendakNya, mereka semua selamat kendati ayahnya kini harus menjalani pengobatan di luar negeri. Seminggu sudah kepergian Aldino ke Singapura. Terpaksa, Malati mengikhlaskan kepergian suaminya bersama Bude Gendhis, suaminya dan beberapa pengawal pribadi utusan Eyang Waluyo.
“Bulan depan!”Ali menjawab dengan penuh keyakinan pertanyaan ayah Sulis. Setelah acara lamaran selesai, Hendi-Ayah Sulis bertanya pada Ali tentang hubungan putrinya dan Ali sudah sampai sejauh mana. Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab Hendi mengira jika kedatangan keluarga Basalamah itu untuk acara pertunangan. Bukan lamaran menuju pernikahan.Nyatanya, sebelum mereka benar-benar pergi dari kediaman Sulis, Ali memberanikan dirinya, secara langsung ia mengungkapkan rencananya ingin menikahi Sulis sesegera mungkin. Ali berusaha bernegosiasi dengan calon ayah mertuanya, bahwasanya meskipun hubungan mereka belum lama, namun mereka sudah bisa saling memahami karakter masing-masing sehingga ingin segera melangsungkan hubungan mereka ke arah yang serius. Terlebih usia ke duanya telah matang. Sudah sama-sama dewasa.Hendi menatap Sulis sejenak kemudian kembali menggerakan bibirnya. “Nak Ali, Bapak sebagai orang tua sangat bahagia mendengar rencana baik Nak Ali dengan melamar Sulis untuk d
“Ali, kenapa kau belum datang juga? Kenapa juga kau tidak mengangkat telepon dariku? Argh, awas kalau kabur dari acara pertunangan! Aku tak segan memberi perhitungan padamu!” gumam Sulis dengan perasaan yang teramat gelisah. Saat ini Sulis berada di rumahnya di kota Bandung.Hari itu adalah hari bersejarah baginya. Akhirnya Sulis akan dilamar oleh pria tampan dan kaya raya seperti angan-angannya selama ini. Gadis bertubuh jangkung itu berdiri mematung di taman depan rumahnya, menunggu detik-detik kehadiran Ali bersama keluarga besarnya.Ternyata Ali tidak main-main dengan hubungan yang terjalin di antara mereka. Ia serius ingin meminang Sulis. Lamaran Ali sebetulnya ialah waktu yang tepat untuk menentukan kapan waktu pernikahan mereka akan berlangsung. Sebaliknya, Sulis hanya mengira jika lamaran Ali hanyalah pengikat atau tanda keseriusan Ali atas hubungan percintaan mereka. Atau pertunangan biasa.“Sulis, diam bisa gak?” Dari dalam rumah, sang Ibu memanggil putrinya itu dengan suar
Aldino hanya menghela nafas pelan. Ia sebetulnya tak tega jika harus meninggalkan istri dan bayi tampannya yang baru lahir. Namun niatnya sudah bulat. Ia ingin segera sembuh dan tak ingin merepotkan istrinya atau siapapun. Aldino yakin pengobatan medis di luar negeri lebih baik. Oleh karena itu ia menyetujui usulan Eyang Waluyo untuk berobat di Singapura. Aldino akan mengikuti prosedur operasi di sana dan mengikuti terapi hingga kakinya sembuh seperti sedia kala.“Sayang, udah dong! Ini demi kebaikan kita semua.”Aldino mengusap-usap punggung istrinya yang tenggelam di balik dada bidangnya. Mendengar Aldino akan pergi jauh, Putri Melati terlihat murung. Bahkan ia menangis tersedu sedan.Malati bukan tidak ingin suaminya mengikuti pengobatan di rumah sakit luar negeri. Namun ia ingin ikut bersamanya ke negeri yang terkenal dengan patung Merlionnya.Malati dan baby Gala belum bisa berangkat mengingat usia bayi mereka masih belum siap untuk berpergian jauh. Begitupula dengan Malati yang