“Percuma aku hidup. Mending aku mati saja.”Ana melanjutkan kalimatnya dengan isak yang tertahan, membuat Aldino merasa serba salah menyikapinya.Aldino mendengus kesal. Mereka saat ini berada di area sekolah. Ana menangis karena dirinya. Hal tersebut tidaklah baik sebab bisa menjadi gosip yang tak mengenakan baginya.“Sudah cukup, Ana! Pulanglah!” imbuh Aldino menahan emosi padanya.Ana mengusap mata sembabnya lalu meraih ponselnya.“Baterai ponselku habis. Bisa pesankan taxi online?”Aldino berdecak pelan mendengar gadis itu yang nekad datang ke sana dengan taxi online. “Aku akan mengantarmu,” imbuh Aldino merasa tak tega melihat gadis yang terbiasa diantar-jemput oleh driver pribadi harus menaiki transportasi umum.Ana tersenyum tipis. Perlahan pasti Aldino akan kembali padanya. Terbukti ia iba dan bersedia mengantarnya.Kini mereka berada dalam satu mobil. Ana merasa riang gembira. Ia menatap Aldino dari samping dengan penuh cinta.“Mas, aku lapar. Makan siang dulu yuk?” imbuh An
“Zero seven?”“Ready!”“Zero five?”“Ready! Security system’s off!”“Zero nine?”“Clear!!”Terjadi percakapan di antara beberapa pria yang tengah melakukan simulasi sebuah operasi penculikan. Mereka tengah berlatih di sebuah gedung kosong yang tak terpakai. Namun meskipun gedung itu tak terpakai, gedung itu merupakan gedung bekas hotel di mana memiliki lift dan sistem keamanan yang canggih. Gedung itu disulap menjadi markas sebuah komplotan rahasia.Mereka memiliki panggilan khusus pada rekannya saat operasi penculikan berlangsung. Mereka menggunakan kode dan berkomunikasi lewat walkie talkie yang dilengkapi fitur scan, emergency alarm dan CTCSS DCS.“Bos! Mission has accomplished!!” seru pimpinan operasi. Ia berkata dengan penuh semangat dan antusias. Nafasnya terengah-engah namun aura cerah terpancar dari wajahnya. Jika ia berhasil menjalankan misi kali ini maka ia akan mendapat bayaran yang tinggi.“No! It’s just beginning!” sahut pria berwajah kaukasia itu. Sembari menyelipkan ceru
Saat Malati membelakan matanya perlahan, kepalanya terasa pusing. Ia merasa limbung, masih setengah sadar akibat pengaruh obat bius. Malati tidak sadarkan diri selama lebih dari tujuh jam lamanya.Saat penglihatannya jelas dan kesadarannya terkumpul, Malati terlonjak kaget. Ia baru sadar jika dirinya tidak berada di kediaman Eyang Waluyo. Ia berada di suatu tempat asing, tepatnya kamar asing yang menyerupai kamar hotel.Ia bangun lalu mengguncangkan tubuhnya yang terasa kaku bak rusuk bambu. Tangan dan kakinya tidak bisa bergerak. Jelas saja, tangan dan kakinya diikat oleh tali nilon.“Mas Aldino, aku di mana? Aku takut,” gumam Malati baru pertama kalinya ia merasa takut luar biasa. Ia butuh suaminya saat ini. Matanya sudah berkaca-kaca. Pikirannya sudah berkelana kesana kemari. Yang paling Putri Melati takuti ialah ia dilecehkan oleh para pria hidung belang.“Allah, lindungi aku,” imbuhnya dengan suara yang serak.Perempuan penyuka pelajaran exact itu menarik nafas dalam, berusaha me
‘Ciuman itu rasanya hangat dan lembut. Bagaimana bisa aku menikmatinya. Barulah aku sadar jika aku juga jatuh cinta untuk yang pertama kalinya pada pria itu.’‘Aku telah melaksanakan kewajibanku sebagai seorang istri.’‘Aku sadar ternyata aku merindukanmu … Kepala Sekolah killer.’Aldino membuka helai demi helai lembaran buku diary milik Putri Melati. Rasanya ada sesuatu yang tajam menikam ulu hatinya. Sesuatu meremas jantungnya. Sakit sekali.Dua minggu sudah istrinya menghilang. Ia sudah berusaha mencarinya kemana-mana. Ia pula sudah meminta bantuan pada berbagai pihak untuk mencari keberadaannya. Pun, ia sendiri sudah bolos sekolah demi mencari istrinya dengan tangan dan kakinya.Penemuan kamera spionase sama sekali tidak membantu. Komplotan yang menculik Malati bergerak sangat cepat dan tak terendus oleh pihak manapun.“Mala, kau sedang apa Sayang? Kau sudah makan belum? Maafkan Mas. Mas belum bisa menjemputmu.”Aldino berkata dengan penuh frustasi sembari mencium fotonya. Air mata
Beberapa kali bel berbunyi. Namun tak ada satupun yang membukakan pintu rumah. Seorang pria dalam balutan hem batik bermotif Sogam mendengus kesal. Ia berdiri mematung sudah setengah jam di depan rumah mewah itu. Mengapa rumah sebesar itu tidak ada yang membukakan pintu untuknya. Menurut satpam yang berada di pos depan, ia disuruh menekan bel karena tuan rumah berada di dalam.Apakah tuan rumahnya tuli ataukah sedang menunaikan hajatnya di kamar mandi?? Lalu dimanakah ART?Kesabarannya sudah tak setebal mukanya sehingga ia memutuskan untuk merogoh ponsel yang bersembunyi di balik saku jaketnya. Ia akan menelpon sang punya rumah.Tut … tut … tut..Telepon Aldino Tama Waluyo tidak aktif.“Anjir! Emang si Al lagi hibernasi! Apa lagi boker? Apa jangan-jangan si Aldino Ray lagi bikin rencana buat bundir?? Beneran, si Bos Tubruk sedang tantrum! Bisa-bisa dia depresot!!!”Yuda Tarumanegara mengumpati sahabatnya tanpa ampun. Ia sudah tak sabar ingin bertatap muka dengan pria besar itu. Ketia
“Dasar bedebah kam*ret!!”“Kau bilang apa?”Aldino menudingkan stik es krim ke wajah sahabatnya. Ia berbicara dengan mulut penuh es krim.“Emang aku bilang apa? Aku cuma bilang ban karet,” sahut Yuda dengan meringis melihat sikap sahabatnya yang mirip roller coaster, jungkir balik.Sebelumnya Aldino ceria saat menemukan makanan yang diinginkannya. Sepulang dari rumah sakit, ia meminta Yuda mengantarnya pergi ke sebuah sekolah negeri di mana di sana ada penjual jajanan khas anak sekolah. Tak biasanya Aldino membeli makanan yang tak sehat. Ia membeli cilung, mie jimbabwe, cilor hingga maklor.Sekarang pria besar itu minta diantar ke kedai es krim. Ia ingin makan es krim rasa sirsak. Susah sekali Yuda mencari es krim dengan varian bahan buah lokal itu. Ia sampai menyisiri jalan besar hingga jalan arteri untuk menemukan kedai es krim yang menjual beraneka rasa.“Udah mau sore, Al,” peringat Yuda dengan hati-hati. Ia mendadak cosplay jadi pengasuh Aldino hari itu. Ia merasa tak tega meli
Setiap kali mengunjungi tempat gemerlap sebuah bar, Malati seringkali mendadak pusing. Apalagi mendengar suara-suara dentuman berisik berasal dari musik remix elektronik yang sangat mengganggu indera pendengarannya.“Di sana kita duduk!” tunjuk Ravenscroft pada sebuah kursi kulit di mana di tengahnya ada sebuah meja bundar berbahan kaca dengan diameter empat puluh centi. Malati terkejut saat melihat pemandangan itu. Di kursi yang ditunjukan oleh pria di sampingnya, tampak seorang pria berwajah oriental sedang duduk sembari meneguk wine dan dikelilingi oleh wanita dewasa berpakaian minim bahan.Wanita dewasa itu sedang menggoda pria itu. Ada yang memainkan dasi miliknya sembari berbisik mesra padanya. Ada pula yang menggelendot manja pada lengannya. Pun, ada pula yang sedang meraba-raba bagian pahanya. Benar-benar pemandangan nista. Mata Malati ternoda melihat aksi mereka yang frontal dan mesum.Apalah daya Malati. Wanita muda yang malang itu hanya menuruti semua perintah pria bertubu
“Pak Al sehat? Katanya Bapak sakit ya? Maaf ya Pak saya kira Bapak gak masuk sekolah karena apa ya … ya gitu deh,” imbuh guru Linda dengan menyematkan senyuman lebarnya yang nyaris membelah wajahnya. “Ah, ya, Pak, kapan ya kita liburan? Para guru sudah protes. Pengen liburan kemana gitu. Kalau bisa sebelum ujian. Ya … sebelum guru stress mempersiapkan soal ujian anak-anak.”Aldino mendelik tajam pada bawahannya. Linda terlalu berisik. Padahal Aldino sudah masuk sekolah seperti biasa namun guru itu selalu membahas hal yang sama.Aldino berdehem lalu melambaikan tangannya pada Yuda Tarumanegara yang sedang berjalan menuju mereka.Melihat tak ada respon dari sang kepala sekolah, Linda mendengus kesal dan hendak pergi meninggalkan kepala sekolah itu.“Tunggu, Ustazah Linda.”Aldino menahan kepergian Linda.“Ah, ada apa Pak?”Linda mengerjapkan matanya beberapa kali. Kali ini apa keinginan pria besar itu. Agak susah ditebak memang.“Pak Yuda, tolong urus para guru!” kata Aldino terdengar
Di tempat berbeda, kini pasangan lain pun tengah diberkati kebahagiaan yang luar biasa. Akhirnya setelah hampir setahun lamanya, Aldino kini bisa kembali berjalan. Setelah mengikuti terapi dan pengobatan hingga berbulan-bulan lamanya di Singapura, pria berwajah tampan dan bertubuh bak binaragawan itu akhirnya bisa berjalan normal kembali. Ia sangat bekerja keras selama berada di Singapura.Ia akan pulang dengan memberikan kejutan pada istri tercinta dan putra tampannya yang kini sudah berusia setahun.Hari itu, Malati tengah mengasuh Manggala bermain di ruang bermain yang dibuat khusus, di ruang keluarga kediaman Eyang Waluyo. Cicit tersayang selalu mendapat perhatian lebih dari Eyang buyutnya. Malati dan putra tampannya mendapatkan privilege luar biasa dari Eyang Waluyo hingga keluarga besar lainnya.“Gala! Sini Nak!”Kakek tua yang masih berdiri tegap itu memanggil cicitnya. Meskipun Manggala baru berusia setahun namun anak itu sangat cerdas. Ia sudah bisa berjalan dengan baik dan bi
Ali pun menarik handle pintu kamar pengàntin hingga terbuka. Sulis langsung antusias melihat untuk pertama kali kamar pengàntin yang sangat indah karena dihias sedemikian rupa. “Aa, bagus banget!” Sulis mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar berukuran presidential suit tersebut. Kamarnya didominasi warna putih dan warna-warna pastel sesuai keinginannya. Matanya berbinar mengamati setiap detail hiasan bebungaan yang berada di atas ranjang. Seketika ia tertawa melihat ada dua ekor angsa yang tergolek di atas ranjang. Angsa yang dibentuk dari selimut berwarna putih. Tangannya terulur mengusap angsa tersebut. “Lucunya! Aku mau foto dulu,”Seketika Sulis mengambil ponselnya lalu memotret ranjang pengàntin yang begitu indah itu dengan senyum yang berseri-seri.“Sini, Aa yang fotoin!” imbuh Ali dari belakang tubuh gadis itu. Sulis mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia senang mendengar usulan Ali. Sulis pun duduk dengan posisi anggun di atas ranjang. Ali pun mengambil ponsel is
Ali berusaha menormalkan perasaannya dalam menyikapi Sulis. Sulis memàng sedang sakit, penyakitnya yang dideritanya juga tidak main-main. Oleh karena itu mungkin ia mulai merasa frustasi.Sulis tidak menyadari jika calon suaminya bertopeng dingin dari luar, padahal hatinya begitu hangat. Pada adiknya saja Ali begitu mengkhawatirkannya saat ia sakit. Tak jauh berbeda pada kekasih hatinya, ia merasakan kekhawatiran yang sama. “Sulis, stop overthinking! Kita akan tetap pada rencana awal kita. Kita akan menikah! Kau juga akan ikut pengobatan.”Ali berbicara tegas. Ia tidak suka sikap Sulis yang mendadak melankolis.Sulis terdiam dengan isak yang tertahan dan menggigit bibir bawahnya, “Ali, aku takut gak bisa hamil! Aku perokok berat. Argh, Shit! Aku mungkin tak subur!”Kini Sulis berkata hal lain yang malah memperkeruh suasana. Ali semakin jengkel mendengarnya, “Terus kau mau hubungan kita berakhir begitu saja? Kita batalkan tunangan begitu?”Sulis mengangguk dengan air mata yang bercucu
Ali tertegun saat mendengar kabar dari dokter bahwa kekasihnya harus menjalani beberapa tes kesehatan di antaranya tes darah dan rontgen. Sebelum jatuh pingsan Sulis sempat muntah darah penyebabnya. Kesimpulannya ada bagian organ dalamnya yang terluka dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.Ali merasa bersalah, telah mengabaikan kekasihnya karena masalah sepele. Sederhananya, mungkin jika tidak ada drama cemburu tadi sore mungkin Sulis akan baik-baik saja. Sungguh, Ali menyesali sikapnya yang tidak dewasa. “Argh, maafkan aku Sulis. Aku kadang egois.”Ali bergumam dengan helaan nafas berat. Pria itu berjalan lesu dari ruangan dokter dan pergi menuju ruangan di mana kekasihnya dirawat malam itu. Perlahan Ali membuka pintu ruang rawat inap gadis itu. Tampak Sulis sedang tertidur pulas mungkin karena pengaruh obat. Untuk sementara ia dirawat karena kurang darah. Namun penyebab yang lebih serius belum diketahui. Ali berjalan mendekati kekasihnya. Ia berdiri di depan ranjang hidrolik s
Dua orang pemuda tampan tengah menahan kesal menunggu kekasih mereka yang sibuk memilih gaun. Sudah lebih dari dua jam lamanya mereka berusaha memanjangkan sumbu kesabaran. Rasa panas menjalari punggung mereka karena terlalu lama duduk di sofa.Meskipun pelayan butik itu melayani mereka dengan istimewa, memberikan minuman hingga camilan, tetap saja tak bisa mengusir rasa jenuh mereka. Mereka bahkan sudah memainkan ponsel masing-masing, men scroll media sosial tak jelas untuk membunuh waktu. Nihil! “Lama banget! Mereka ngapain aja sih?” ucap pemuda berhidung bangir yang tak lain Mustafa Ali Basalamah pada pemuda tampan bermata sipit yang tengah duduk di sampingnya, dr Zain. Ali beringsut berdiri lalu merenggangkan tubuhnya beberapa saat karena rasa pegal akibat duduk lumayan lama di sofa berbentuk letter U. Ia pun memutar lehernya hingga menimbulkan bunyi kretek yang membuat dr Zain meringis mendengarnya. dr Zain hanya mendesah pelan mendengar keluhan calon iparnya. Dokter muda itu
“Mala, sini Bude yang gendong Gala!”Bude Ratna menghampiri Malati yang baru saja menyusui bayi tampannya. Malati gegas mengancingkan kancing bajunya kemudian melepas apron menyusui saat Gala terlihat sudah kenyang menyusu. Biasanya bayi yang memiliki garis wajah mirip sekali ayahnya itu tertidur saat merasa perutnya penuh, namun kali ini ia terjaga seakan ingin bermain dengan neneknya.Malati pun menyerahkan Gala pada pangkuan Bude Ratna. Bayi itu tersenyum dan menatap neneknya dengan mata yang bening. Sungguh terlihat menggemaskan.Bude Ratna menyematkan senyuman yang lebar menatap cucunya itu dengan penuh haru. Bukan tanpa alasan, Gala terlahir saat ke dua orang tuanya mengalami kecelakaan yang mengerikan.Atas kehendakNya, mereka semua selamat kendati ayahnya kini harus menjalani pengobatan di luar negeri. Seminggu sudah kepergian Aldino ke Singapura. Terpaksa, Malati mengikhlaskan kepergian suaminya bersama Bude Gendhis, suaminya dan beberapa pengawal pribadi utusan Eyang Waluyo.
“Bulan depan!”Ali menjawab dengan penuh keyakinan pertanyaan ayah Sulis. Setelah acara lamaran selesai, Hendi-Ayah Sulis bertanya pada Ali tentang hubungan putrinya dan Ali sudah sampai sejauh mana. Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab Hendi mengira jika kedatangan keluarga Basalamah itu untuk acara pertunangan. Bukan lamaran menuju pernikahan.Nyatanya, sebelum mereka benar-benar pergi dari kediaman Sulis, Ali memberanikan dirinya, secara langsung ia mengungkapkan rencananya ingin menikahi Sulis sesegera mungkin. Ali berusaha bernegosiasi dengan calon ayah mertuanya, bahwasanya meskipun hubungan mereka belum lama, namun mereka sudah bisa saling memahami karakter masing-masing sehingga ingin segera melangsungkan hubungan mereka ke arah yang serius. Terlebih usia ke duanya telah matang. Sudah sama-sama dewasa.Hendi menatap Sulis sejenak kemudian kembali menggerakan bibirnya. “Nak Ali, Bapak sebagai orang tua sangat bahagia mendengar rencana baik Nak Ali dengan melamar Sulis untuk d
“Ali, kenapa kau belum datang juga? Kenapa juga kau tidak mengangkat telepon dariku? Argh, awas kalau kabur dari acara pertunangan! Aku tak segan memberi perhitungan padamu!” gumam Sulis dengan perasaan yang teramat gelisah. Saat ini Sulis berada di rumahnya di kota Bandung.Hari itu adalah hari bersejarah baginya. Akhirnya Sulis akan dilamar oleh pria tampan dan kaya raya seperti angan-angannya selama ini. Gadis bertubuh jangkung itu berdiri mematung di taman depan rumahnya, menunggu detik-detik kehadiran Ali bersama keluarga besarnya.Ternyata Ali tidak main-main dengan hubungan yang terjalin di antara mereka. Ia serius ingin meminang Sulis. Lamaran Ali sebetulnya ialah waktu yang tepat untuk menentukan kapan waktu pernikahan mereka akan berlangsung. Sebaliknya, Sulis hanya mengira jika lamaran Ali hanyalah pengikat atau tanda keseriusan Ali atas hubungan percintaan mereka. Atau pertunangan biasa.“Sulis, diam bisa gak?” Dari dalam rumah, sang Ibu memanggil putrinya itu dengan suar
Aldino hanya menghela nafas pelan. Ia sebetulnya tak tega jika harus meninggalkan istri dan bayi tampannya yang baru lahir. Namun niatnya sudah bulat. Ia ingin segera sembuh dan tak ingin merepotkan istrinya atau siapapun. Aldino yakin pengobatan medis di luar negeri lebih baik. Oleh karena itu ia menyetujui usulan Eyang Waluyo untuk berobat di Singapura. Aldino akan mengikuti prosedur operasi di sana dan mengikuti terapi hingga kakinya sembuh seperti sedia kala.“Sayang, udah dong! Ini demi kebaikan kita semua.”Aldino mengusap-usap punggung istrinya yang tenggelam di balik dada bidangnya. Mendengar Aldino akan pergi jauh, Putri Melati terlihat murung. Bahkan ia menangis tersedu sedan.Malati bukan tidak ingin suaminya mengikuti pengobatan di rumah sakit luar negeri. Namun ia ingin ikut bersamanya ke negeri yang terkenal dengan patung Merlionnya.Malati dan baby Gala belum bisa berangkat mengingat usia bayi mereka masih belum siap untuk berpergian jauh. Begitupula dengan Malati yang