Share

Bab 3. Surat Perjanjian

Orang tersebut pergi setelah melihat Barra dengan seorang wanita. Walaupun ada satu wanita dan satu pria di sana, tetap saja orang tersebut penasaran dengan wanita cantik dan mungil di depan Barra. Karena pandangan Barra ke wanita tersebut berbeda itulah membuat orang tersebut curiga siapa wanita itu.

Barra berdehem dan kembali duduk, dia tidak begitu memperdulikan wanita yang di kenalkan temannya tersebut. Melihat Barra tidak peduli, Galih hanya menghela napas.

"Barra, kalau mau bicara silahkan. Kalian mungkin butuh waktu untuk bicara. Karena semua ini tergantung kamu. Dan satu lagi, pikirkan yang aku katakan tadi. Ayo, Sayang, kita pergi biarkan mereka berdua!" ajak Galih kepada Cantika.

Cantika menganggukkan kepala dan mendekati Ayang dan membisikkan sesuatu kepada Ayang dengan pelan.

"Semoga ini yang terbaik buat kamu dan ibumu," bisik Cantika dengan pelan agar tidak didengar oleh Barra dan Galih.

Ayang hanya menganggukkan kepala pelan, dia sudah pasrah karena tidak ada cara lain untuk mengobati ibunya. Terlebih lagi, jika dia bisa menyembuhkan sakit jantung sekaligus kanker ovarium yang diidap ibunya.

"Kamu tenang saja, aku sudah putuskan. Dan, aku tidak akan mundur," jawab Ayang dengan raut wajah yang meyakinkan.

Keduanya melepaskan pelukkan dan saling menatap satu sama lain. Ayang ingin menangis namun dia tahan. Sudah tidak perlu lagi air mata, sekarang yang harus dia pikirkan adalah ibunya. Apapun akan dia jalani, suka atau tidak suka dia harus terima.

Cantika dan Galih pergi meninggalkan keduanya. Barra memandang dingin saat Ayang duduk tepat di depannya. Ayang memainkan ujung tasnya.

"Siapa namamu?" tanya Barra singkat.

"Ayang Kalila, Tuan," jawab Ayang dengan suara lembut.

Barra masih mempertahankan wajahnya yang datar, Barra segera berdiri dan menoleh ke arah Ayang

"Ikut saya," ucap Barra meminta Ayang ikut dengan dirinya.

Barra membawa Ayang pergi ke tempat yang aman dan dia segera mengirimkan pesan ke asistennya untuk datang ke tempat yang sudah dia tentukan dan membawa apa yang sudah dia uraikan dipesan tersebut. Tanpa menunggu jawaban dari asistennya mengiyakan apa yang dirinya katakan, Barra melangkah kaki ke parkiran. Ayang tidak banyak bicara, dia hanya mengikuti dari belakang dengan kepala tertunduk.

Saat berada di depan mobil mewah miliknya, Barra berhenti. Ayang yang tidak tahu Barra berhenti tanpa sengaja menabrak punggung gagah milik Barra.

"Ma-maaf," ujarnya dengan pelan.

Ayang mengusap keningnya, dia sedikit merasa sakit karena punggung kokoh Barra. Barra hanya diam, dia menghela napas dan segera masuk ke dalam mobil disusul dengan Ayang.

"Saya bukan supir kamu, duduk depan!" Titah Barra.

Ayang menganggukkan kepala dan segera keluar dari mobil dan pindah ke depan. Tapi, saat hendak dibuka, pintu mobil terkunci. Ayang mengetuk kaca mobil, tanpa menunggu lama Barra segera membuka pintu mobilnya.

"Masuk!" Perintah Barra agar Ayang segera masuk.

Ayang tidak tau kemana dirinya dibawa oleh pria yang di sampingnya ini. Dua puluh menit akhirnya mereka sampai dan keduanya turun. Ayang melihat gedung tinggi dan mewah. Barra membawa Ayang ke apartemen mewah yang hanya orang kaya saja bisa membeli apartemen tersebut.

Barra keluar dari mobil dan melangkahkan kakinya menuju unitnya yang berada di lantai 26 dan saat keluar lift terlihat seseorang berdiri dan menundukkan kepala ke arah Barra.

"Sudah semuanya?" tanya Barra.

"Sudah, sesuai dengan yang Anda inginkan, Tuan," jawab pria tersebut.

Pria tersebut adalah asisten Barra bernama Arya Satya. Arya membuka pintu dan terlihat dari luar suasana di dalam apartemen. Ayang mengangga melihat mewahnya apartemen tersebut. Lagi-lagi Ayang memikirkan ibunya. Apakah dengan cara ini dia mendapatkan uang untuk pengobatan ibunya. Batinnya menolak, tapi saat mengingat kondisi ibunya, dia semakin yakin kalau dia harus melakukan semuanya, asal ibunya sehat dan bisa berkumpul lagi dengan dirinya apapun dia lakukan.

"Silahkan, Nona," ucap Arya mempersilahkan Ayang masuk dan duduk tepat di depan Barra.

Arya meletakkan sebuah map di meja dan pulpen. "Nona, bisa baca dulu, setelah itu tanda tangani semuanya," jawab Arya.

Ayang memandang Barra dengan lekat, wajah pria dingin tersebut membuat bulu kuduk Ayang berdiri. Sorot mata tajam Barra dan gestur tubuhnya yang tenang lagi-lagi membuat dirinya gugup.

Ayang tidak banyak tanya, dia membuka map dan membacanya dari awal sampai akhir. Ayang terdiam dan tidak tau harus apa. Ayang memandang ke arah Barra, dia meminta Barra menjelaskan semuanya. Barra yang tau maksud dari pandangan Ayang akhirnya buka suara.

"Selama kamu menjadi simpananku, tidak ada yang boleh tau, kamu akan tinggal di sini. Tidak boleh keluar dari apartemen ini tanpa izin dariku. Aku akan berikan uang sejumlah yang tertera di sana. Layani aku seperti yang tertera di sana jika kamu melanggar maka kamu aku tuntut. Ingat kamu hanya simpanan tidak lebih dari itu!" tegas Barra.

Ayang terpaku mendengar penjelasan dari Barra. Dia saat ini hanya simpanan dari pria angkuh dan arogan yang ada di depannya ini, tanpa status dan ikatan sama sekali. Bisakah dia menjadi istrinya nanti? Walaupun istri kedua? Tanya Ayang dalam hatinya. Jawabanya, tidak pernah dan tidak akan terjadi. Karena pria di depannya ini sudah mengatakan hanya simpanan, tidak lebih.

"Ap-aakah boleh aku bertanya, Tuan?" tanya Ayang dengan suara pelan dan terbata-bata.

"Hmm," jawab Barra.

Ayang menoleh ke arah Arya, dia sungkan dengan Arya yang berdiri seperti patung manekin tanpa senyum sekalipun. Barra melihat Ayang memandang Arya langsung berdehem ke arah Arya. Mendengar kode Barra, Arya segera pergi dari hadapan keduanya.

"Katakan, aku tidak punya waktu, apa maumu," pinta Barra.

"Ehm, di dalam surat ini aku harus melahirkan anakmu, Tuan. Apakah nanti aku masih tetap menjadi simpanan Anda walaupun aku sudah melahirkan anak Anda atau apakah aku akan di buang nantinya dan satu lagi, apakah Anda tidak kasihan dengan anak ini yang lahir diluar nikah. Apa Anda tidak memikirkan nasib dia ke depannya?" tanya Ayang.

Ayang berharap jika dia melakukan hubungan yang lebih jauh harus ada ikatan. Dia tidak mau jika dia mempunyai anak nantinya dan anaknya akan dikatakan anak haram. Dan, anaknya harus punya ayah dan ibu yang lengkap. Walaupun Barra katakan hanya simpanan tapi dia tidak mau anaknya mempunyai status yang tidak jelas.

"Saya sudah menikah, tidak mungkin menikah lagi. Anak itu nanti istri saya yang asuh. Jadi, saya sudah katakan jangan meminta lebih. Jika tidak mau, silahkan pergi," jawab Barra dengan tegas.

Ayang terpaku mendengar jawaban Barra. Dia sudah menikah. Itu artinya, dia orang ketiga dalam rumah tangga pria yang di depannya. Barra mulai kesal karena Ayang yang lagi-lagi melamun dan dia tidak juga menandatangani kertas itu.

Tanpa pikir panjang, Ayang segera menandatangani surat tersebut, dia tidak lagi memikirkan apapun saat ini selain ibunya. Demi mengobati ibunya, dia akan lakukan semuanya walaupun sebagai simpanan pria di depannya ini atau apapun itu. Lagipula, dia bisa kumpulkan uang nantinya jika tidak bersama pria ini lagi pikirnya. Barra hanya menatap Ayang yang menggoreskan tinta tersebut di atas materai perjanjian mereka.

"Su-sudah, Tuan," jawab Ayang menatap Barra.

Barra mengambil kertas tersebut dan memeriksanya dan semuanya sudah ditandatangani. Tinggal dia yang belum. Setelah dia menandatangani, Barra menghubungi Arya. Arya masuk dan mengambil map tadi dan segera pergi.

Panggilan telepon masuk, seketika raut wajah Barra berubah teduh dan segera menjawab panggilan telpon tersebut.

"Hmm, ada apa?" tanya Barra mendengarkannya apa yang dibicarakan oleh orang tersebut.

"Baiklah, aku akan ke sana sekarang, tunggulah," jawab Barra yang mengakhiri panggilan telpon tersebut.

Barra memandang wanita yang baru saja menjadi simpanannya. Keduanya saling memandang satu sama lain.

"Kamu tetap di sini, jangan keluar tanpa izinku," jawab Barra. "Tapi, aku mau ...." Ayang menghentikan ucapannya saat Barra menatapnya dengan tajam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status