Hari ini, Kirana sudah kembali masuk bekerja Tumpukan pekerjaan yang telah ia tinggal selama sepekan ini cukup membuatnya sangat sibuk. Dia bahkan tak ada waktu untuk sekadar bersantai.
Bahkan, dia hanya meninggalkan kursi dan meja kerjanya untuk salat. Makan siang, ia memilih membawanya ke ruangan. Makan sambil bekerja, cukup mengefisienkan waktu, mungkin.“Ra, kamu dengar rumor enggak kalau Pak Dzaka udah nikah?” tanya Dina yang tiba-tiba datang menarik kursinya di samping Kirana.Kirana diam mendengarkan, tangannya masih lihai menari di atas keyboard. Pandangannya, fokus ke arah layar.“Kira-kira kenapa ya kok tiba-tiba? Nggak ngundang-ngundang lagi. Nggak seru banget jadi direktur.” Mulutnya yang penuh dengan makanan masih terus mengoceh.“Apa jangan-jangan ceweknya jebol duluan ya?” tanyanya sontak membuat Kirana menghentikan aktivitas mengetiknya.“Ah, tapi masa sih Pak Dzaka gitu?” Dina bergumam sendiri.“PKirana masih membisu. Wajahnya pun sedikit demi sedikit memerah karena menahan air mata yang ingin membuncah. Meski sesekali, ia terlihat menghapus buliran bening yang berhasil lolos ke pipinya. “Mungkin kita memang ditakdirkan berjodoh, Na,” ucap Dzaka, ekspresinya datar.“Karena perjodohan orang tua di masa lalu?” Kirana menyunggingkan bibir dan tersenyum sinis. “Atau karena buah dari sandiwara kita?”Dzaka tak langsung menjawab. Wajahnya yang tegas terlihat menahan senyum.“Allah itu selalu punya alasan ketika menciptakan detail kejadian. Pertemuan kita, pertemuan bunda dan ibu lewat kita ... semua punya alasan. Dan boleh jadi, itu juga alasan kita dipertemukan, karena kita berjodoh. Ini bukan suatu yang kebetulan,” tutur Dzaka. “Bukan karena bertemu lalu berjodoh, tapi karena berjodoh kita bertemu," imbuhnya. Kirana kembali bungkam. Kini ia berpikir bahwa yang dikatakan Dzaka memang ada benarnya. Tidak ada kejadian pada se
Kirana kini sudah berdiri di depan lift tetapi ia meraih ponselnya sebelum pergi. Berniat untuk mengabari Dzaka kalau ia akan menunggu di jalan depan. Sejatinya, Kirana masih sangat takut ketahuan. Meski di sisi lain, posisinya tidak salah. Toh, ia sudah sah menjadi istri Dzaka Hakeem secara agama dan negara. Namun, jujur ... ia belum siap jika statusnya sebagai istri menjadi konsumsi publik. Ia merasa mentalnya masih sangat lemah untuk mendengar gunjingan yang mungkin akan memojokkan dirinya. Siapa dirinya ini? Dan siapa suaminya?Tidaklah mungkin matahari mengejar bulan, begitupun bulan mengejar matahari, tapi dengan kuasa Tuhan mereka bisa bertemu dengan adanya gerhana. Ya, mereka juga seperti itu, mungkin. Kirana menyadari, bahwa ucapan Dzaka sebelum mereka menikah itu benar, bukan karena bertemu lalu berjodoh, tapi karena berjodoh jadi bertemu. Ketika Tuhan menakdirkan dua hati untuk bersatu, maka Dia akan menggerakkan keduanya, bukan salah satunya.
Kirana masih mematung, pandangannya menelisik sosok pria yang sudah berdiri di hadapannya.Kirana dapat melihat pancaran kerinduan dari tatapan sayu pria itu, bersamaan dengan setetes buliran bening yang membasahi pipinya tetapi buru-buru dihapus agar tak ketahuan menangis. “Kau di sini, Kiranaku?” tanyanya lembut sembari menelisik sekeliling. Mungkin mencari tahu dengan siapa gadis pujaannya itu di sini?Pedulinya, kekhawatirannya masih sama seperti dulu. Tidak ada yang berubah. Kirana cukup bisa merasakannya. Kilau cinta dari matanya tidak bisa berbohong. Cinta itu masih ada. Benar-benar masih utuh. Rey, dia tidak main-main dengan cintanya, tapi sayangnya karena mereka berbeda, sehingga semesta pun tak membiarkan mereka bersama. Karena itu, di antara mereka berdua harus mengakui kekalahan. Kalah oleh keadaan. Tidak ada cinta yang akan menyatu pada dinding kalbu di antara keduanya. Melainkan cinta itu sendiri harus kembali pada pusaranya, meski
“Selamat ya. Selamat karena telah memenangkan hati perempuan luar biasa seperti Kirana,” ucapnya sembari melepaskan uluran tangannya. Tatapannya yang sendu benar-benar menyiratkan bahwa ia telah kehilangan. Ya. Dia memang telah kehilangan. Kehilangan cintanya.“Cintai dan sayangi Kirana. Kau harus jadi pelindung juga sandaran untuknya. Kau harus bisa menjadi tempat berbagi suka dan luka dan menjadi tempat untuknya mencari solusi tatkala pikirannya tak sejalan dengan hatinya. Dia memilihmu, jadi jangan rusak kepercayaannya padamu,” tutur Rey. Terlihat dia menelan ludahnya begitu susah bersamaan dengan seutas senyum masam yang tercipta di ceruk pipinya. “Jangan sekali-kali membentaknya, karena setahuku dia paling tidak bisa dibentak,” katanya seraya melihat ke arah Kirana. “Jangan kau sakiti hatinya. Melukainya, sama saja kau akan melukai ibumu. Kalian seiman dan kurasa agama kalian juga punya cara untuk memuliakan perempuan.” Rey menam
Kirana dan Dzaka terkesiap mendengar ucapan Fikri. Sekilas, mereka saling berpandangan. Ada ribuan kecemasan yang tercipta di benak Kirana. Terlihat, dari raut wajahnya yang berubah panik seketika. “Kok bisa?” tanya Dzaka. “Ada yang kenal Kirana?”“Soal itu, aku tidak bisa memastikan ada atau tidaknya, Tuan. Karena anak-anak di kantor sepertinya ada yang sempat melihat Tuan dan Nona Kirana masuk dan keluar lift bareng,” ungkap Fikri semakin membuat Kirana panik. “Ya sudah. Cepat atau lambat, mereka akan tau juga. Amankan situasinya dulu, jangan sampai ada wartawan yang sampai ke rumah atau ke kantor.”“Baik, Tuan.” Fikri mengangguk, kemudian berlalu pergi.Namun, baru beberapa saat, dia kembali lagi. “Lain kali kalau Tuan mau apa-apain Nona Kirana pintunya dikunci, biar aku nggak langsung main sosor masuk. Enggak lucu kalau kalian menodai mataku yang suci.”Dzaka mendengkus kesal. “Kamu juga kenapa nggak telepon dulu kalau mau
Raut wajah Dzaka berubah seketika tatkala mendengar pernyataan asistennya. Senyumnya mendadak hilang dari wajahnya yang tegas.“Ada perlu apa dia ke sini?” tanyanya cuek. Reaksi tubuhnya menunjukkan seolah ia tak suka dengan keberadaan pria itu. “Beliau tidak mengatakan apa pun, Tuan. Hanya ingin bertemu dengan Anda,” tutur Fikri. Dzaka diam dengan helaan napas panjang. Lalu, pergi menemui pria itu diikuti Kirana dan Fikri. “Mau apa kau ke sini?!” bentaknya setelah sampai di hadapan Danial. Kilat amarah dan kebencian terlihat jelas dari kedua bola mata Dzaka. Di sisi lain, Kirana sempat tersentak mendengar suara suaminya yang jelas-jelas tak menggambarkan sikap seorang anak pada ayahnya.“Bisakah kau tidak membentakku ketika bertemu? Aku ini Papamu, Dzaka!” Pria berbadan gempal itu berdiri. Berusaha meraih bahu putranya untuk menenangkan, mungkin. Tapi buru-buru ditepis Dzaka. “Aku tidak bisa bersikap lembut pada or
Tak hanya Kirana, semua pasang mata yang berada di sana langsung tertuju ke arah mereka tatkala mendengar suara orang yang sangat dikenali. Terlebih rasa penasaran yang memang menggebu atas rumor pernikahan yang belum terjawab kebenarannya. Namun, melihat fakta di depan mata, membuat mereka berasumsi hingga menyimpulkan sendiri bahwa rumor itu benar adanya. Tak terkecuali Dina yang berada tepat di hadapan mereka melongo keheranan, tak bisa berkata-kata lagi melihat kenyataan di depannya. “Mas, banyak orang,” bisik Kirana.Dzaka tak hirau ucapan istrinya, justru ia langsung duduk di dekat Kirana, lalu tersenyum tanpa rasa bersalah. “Jadi gosip itu benar ... kalian?” tanya Dina sembari menatap dua orang di hadapannya secara bergantian. “Menurutmu?” ketus Dzaka menaikkan alis kanannya. Kali ini, Dina tak bertanya lagi. Ia sudah tahu jawabannya. Dia masih benar-benar tak menyangka akan hal itu. Dina merasa ini terlalu
Hari resepsi pun akhirnya tiba. Kirana tampak cantik dan anggun dengan balutan baju pengantin adat Sunda sesuai dengan daerah asal keluarga suaminya itu. Acara berlangsung meriah berhasil menggugah jiwa Kirana. Ia sendiri sempat tak habis pikir jika konsep pernikahannya demikian menghabiskan dana hingga ratusan juta. Ia tak tahu menahu, sebab yang mengatur keberlangsungan resepsi adalah Bunda Andari. Dia dan Dzaka hanya diajak diskusi perihal undangan. Itu pun sebatas memberikan nama-nama yang akan mereka undang.Kirana sampai tak menyangka jika pernikahannya nyaris seperti pernikahan konglomerat. Disorot sana sini. Tamu undangan dari jajaran perusahaan-perusahaan besar di Indonesia juga tak sedikit. Ia bahkan sampai lelah duduk lalu berdiri untuk menyambut para tamu.Walau demikian, ia harus tetap menebarkan senyuman manis pada tamunya meski kakinya sudah terasa pegal karena sedari tadi pagi berada di atas heel. “Kenapa?” tanya Dzaka
Pelan, Kirana membuka mata sembari menggeliat meregangkan otot-otot tubuhnya. Walau matanya masih berat terbuka, ia meraih ponsel untuk melihat jam. Sudah menunjukkan pukul setengah lima pagi.Sekilas ia menoleh ke samping. Memandangi wajah suaminya yang masih tidur nyenyak dengan dengkuran halus di dekat telinganya. Tangan kekarnya pun berada di atas perut Kirana.“Sayang, bangun. Sudah subuh,” bisik Kirana. Ia menyentuh pipi suaminya. Lantas, menarik menarik pelan hidung mancung Dzaka. Tak butuh waktu lama, Dzaka bergerak karena merasa terganggu, tapi masih enggan membuka mata. Dia tetap betah pada posisinya. Justru meringkuk seolah mencari kehangatan di sisi istrinya dengan mengeratkan pelukan. “Hei ... sudah subuh, Mas. Bangun, yuk.” Lagi, Kirana menyentuh lengan suaminya. Sesekali, mencubit daging yang terasa keras itu. “Biar seperti ini dulu sebentar, Sayang. Aku masih mau menikmati waktu sama kamu. Kalau Baby Dzakir bangun, yang
Baru saja, sepasang kaki Dzaka menjejaki teras, tetapi langkahnya seketika terhenti. Tubuhnya seolah beku di tempat manakala memikirkan Kirana yang tengah hamil. Perasaan bersalah pun menyeruak di hatinya. Mengingat, tadi ia tak sengaja membentak sang istri karena tengah dikuasi amarah yang hendak membalas dendam atas kematian papanya. Padahal, sejatinya balas dendam tak pernah ada dalam kamus kehidupan seorang Dzaka Hakeem.Rasa takut seolah sengaja mencekiknya. Isi kepalanya pun kian berkelana ke masa lampau, saat-saat di mana ia harus kehilangan calon buah hati karena keteledorannya sendiri.Dia tak mau, kehilangan kembali. Sungguh, ia tidak rela. Sebuah helaan napas berat terdengar darinya sembari mengingat kembali pesan-pesan Danial tadi malam. Dzaka menggeleng pelan, menyadari diri telah sangat berlebihan menyingkapi kehilangan yang mencekam batinnya. Detik kemudian, ia kembali melangkah. Bukan untuk melanjutkan misi, melainkan k
Tatapan tajam itu berubah jadi sayu. Seakan di dalam sana terdapat sebuah penyesalan yang tak berujung. Terlebih, butiran bening juga tampak menghiasai pipi yang berisi kini tinggal sedikit daging terlapisi kulit. Tenaga yang kuat juga seolah sudah terkikis. Pria itu berbaring sangat lemah laksana tiada lagi ada daya untuk bergerak lebih banyak. “Maafkan atas semua kesalahan Papa pada kalian,” ucapnya lagi disertai dengan isak pilu mencekam. “Papa sangat jahat,” imbuhnya sembari menghapus air mata. Sesekali tersenyum masam. “Kami teh sudah memaafkan kamu, Danial.” Bunda Andari angkat bicara. Ekspresinya cukup tenang bak terpancar ketulusan yang tak pernah pupus.Dzaka dan Sekar pun ikut mengangguk sekadar memberi keyakinan pada sang papa. Sesaat, Dzaka membungkuk dan menyangga badan dengan kedua tangan di ranjang Danial.“Apa perlu aku mengambil tindakan untuk pelaku penganiayaan Papa?” tanya Dzaka. Terlihat jelas d
Tangan Dzaka dan Kirana saling bertaut menyusuri koridor bangunan berdinding mayoritas putih itu. Cemas dan panik menghiasi wajah keduanya, bersama derap langkah memburu. Sampai di depan sebuah ruangan, sudah ada dua orang berkostum penjaga lapas baru saja selesai mengobrol dengan dokter. “Apa yang sebenarnya terjadi dengan Papa saya, Pak?” tanya Dzaka setelah sang dokter berlalu.Dua pria itu saling berpandangan sebentar.“Mohon maaf, Pak Dzaka. Sebenarnya Pak Danial sering mendapatkan tindak kekerasan dari penghuni lapas lain,” ungkap Pria bertopi hitam itu. “Beberapa penghuni lapas tau kasus Pak Danial sehingga dipenjara. Mereka tak terima dengan Pak Danial yang terlibat dalam kasus pelecehan dan perselingkuhan. Menurut mereka, tindakan itu sama sekali tak bermoral.”Dari ekspresinya, Dzaka terlihat kaget dengan pernyataan pria itu. Selama ini, tak ada tanda-tanda kekerasan ketika dia menjenguk Danial. Papanya pun seakan-akan terliha
Kirana menarik napas panjang barang tiga kali. Dalam genggamannya terdapat sebuah testpack yang sengaja belum dilihat hasilnya setelah melakukan pengecekan beberapa saat lalu.Jantungnya pun berpacu dalam kecepatan tinggi, bersama perasaan was-was yang ikut serta menyeruak membuatnya bimbang akan hasil tes kehamilannya yang pertama kali pasca keguguran.Sepulang dari puncak, Kirana kerap merasa cepat lelah dan sedikit mual. Jadwal tamu bulanannya pun bahkan sudah lewat sepekan. Hal itu membuatnya penasaran sehingga memutuskan untuk membeli testpack tanpa sepengetahuan Dzaka. Ia juga tak pernah mengatakan pada suaminya tentang keadaannya akhir-akhir ini. Kirana tak mau Dzaka terlalu berharap dan akhirnya kecewa jika hasilnya tak sesuai harapan. Pelan, Kirana membuka genggaman. Ia langsung bisa melihat testpack itu sudah memiliki garis dua. Artinya, dia positif?Kirana menutup mulut, lantas tersenyum senang dalam diam. Detik kemudian, ia
“Sayang, aku dengar di Villa sekitar sini, ada acara pertunangan owner-nya 2R Cafe.”Kirana yang menyandarkan dagu di bahu suaminya, lantas menoleh memandang wajah Dzaka sekilas. Ah, lebih tepatnya ia memperhatikan cambang sang suami yang tampak semakin panjang. “Oh, ya? Rey atau Raya?” tanya Kirana penasaran. “Gak tau. Mau liat?” Mata Kirana terpejam sebentar, merasakan sejuknya udara perkebunan teh yang menyapu wajahnya. “Kita gak diundang. Datang tanpa diundang, namanya tamu tak diundang.” “Ngintip aja, kamu kan doyan ngintip.” Dzaka terkekeh, bersama dengan Kirana yang mencubit perutnya. Mereka diam beberapa saat. Sama-sama merasakan angin pagi Puncak menyapa. Pandangan Dzaka pun menyapu ke segala arah. Pemandangan yang cukup indah, tetapi seseorang yang tengah memeluk pinggangnya sembari bersandar di bahu tak kala indah, baginya. “Kenapa liatin terus? Baru tau suamimu punya kegantengan spek
“Din, tunggu!” Fikri menarik paksa lengan Dina yang hendak berlari menghindarinya. Mereka sekarang berada di samping Villa, jalan menuju perkebunan teh. “Apa lagi? Bukankah kemarin sudah cukup jelas jawabanku atas lamaran Mas Fikri?” tanya Dina. Bola matanya yang semula menatap Fikri langsung, seolah dialihkan ke arah lain. Jujur, ia tak sanggup melihat mata Fikri lebih lama lagi. Dia takut, hatinya goyah dan terus menerus berharap tanpa kepastian. Di sudut lain, seseorang tengah mengintip dari balik tembok. Tadinya, ia ingin jalan-jalan. Merasakan udara pagi di perkebunan teh, tetapi drama cinta yang tak sengaja dilihat membuatnya menghentikan langkah. Lantas, memilih diam di pojokan. “Ngapain di situ, Sayang?” Sang suami yang tiba-tiba datang menoel pinggangnya. Membuatnya terlonjak, hampir berteriak. Tetapi, ia justru mendorong tubuh suaminya ke tembok agar tak menyelonong begitu saja. Kirana meletakkan jari telunjuk di
Detik demi detik, Dzaka memutar tubuh dan menarik sang istri ke dalam pelukannya. Ia mengusap punggung Kirana sambil membisikkan kata-kata cinta.“Tiup lilinnya ... tiup lilinnya sekarang juga, sekarang juga ... sekarang juga!”Perlahan, Kirana melepaskan diri dari rengkuhan Dzaka. Sekilas, ia menghapus air mata yang membuat wajahnya basah. Sepersekian detik kemudian, dia meniup lilin disertai dengan tepukan gemuruh.“Ada yang mau disampaikan, Nona?” tanya Fikri. “Untuk suaminya, mungkin.”Fikri menyodorkan mic yang kemudian disambut Kirana.Helaan napas pelan terdengar dari mic saat Kirana hendak berbicara. Ia tersenyum, lantas memejamkan mata sebentar. “Eum ... masyaAllah terima kasih banyak teman-teman semuanya. Sungguh, aku terharu banget karena bertambahnya usia tahun ini diberi kesempatan berada di lingkaran orang-orang hebat.” Kirana meneguk ludah, sembari mengusap pipi yang masih terasa basah.Saat jiwa dan pera
Pukul 10 pagi. Acara dibuka langsung oleh sang direktur, sekaligus memberi sedikit wejangan atau mengingatkan agar selalu menjaga citra perusahaan selama beraktivitas di puncak. Dia juga mengutarakan harapannya agar Family Gathering ini bisa berdampak dengan terjalinnya tali persaudaraan yang baik dalam perusahaan. Terlebih, Fam-Gath ini bisa menjadi wadah bagi karyawan lebih dekat pada pimpinannya.Beberapa rangkaian lomba yang dikhususkan antardivisi juga dilaksanakan untuk mengisi waktu dengan keseruan bersama. Masing-masing divisi mengirimkan peserta terbaiknya untuk unjuk kebolehan di depan petinggi sampai pemilik perusahaan. Keseruan dan kehebohan terus tercipta di tiap menit hingga jam berganti, bersama dengan matahari yang mulai condong ke Barat. Kegiatan yang dilombakan pun beragam. Ada lomba dance yang wajib menggunakan lagu dari daerah di Indonesia, lomba yel-yel menggunakan kostum seunik mungkin, lomba memasukkan pulpen dalam botol,