Kirana masih mematung, pandangannya menelisik sosok pria yang sudah berdiri di hadapannya.
Kirana dapat melihat pancaran kerinduan dari tatapan sayu pria itu, bersamaan dengan setetes buliran bening yang membasahi pipinya tetapi buru-buru dihapus agar tak ketahuan menangis.“Kau di sini, Kiranaku?” tanyanya lembut sembari menelisik sekeliling. Mungkin mencari tahu dengan siapa gadis pujaannya itu di sini?Pedulinya, kekhawatirannya masih sama seperti dulu. Tidak ada yang berubah. Kirana cukup bisa merasakannya. Kilau cinta dari matanya tidak bisa berbohong. Cinta itu masih ada. Benar-benar masih utuh. Rey, dia tidak main-main dengan cintanya, tapi sayangnya karena mereka berbeda, sehingga semesta pun tak membiarkan mereka bersama.Karena itu, di antara mereka berdua harus mengakui kekalahan. Kalah oleh keadaan. Tidak ada cinta yang akan menyatu pada dinding kalbu di antara keduanya. Melainkan cinta itu sendiri harus kembali pada pusaranya, meski“Selamat ya. Selamat karena telah memenangkan hati perempuan luar biasa seperti Kirana,” ucapnya sembari melepaskan uluran tangannya. Tatapannya yang sendu benar-benar menyiratkan bahwa ia telah kehilangan. Ya. Dia memang telah kehilangan. Kehilangan cintanya.“Cintai dan sayangi Kirana. Kau harus jadi pelindung juga sandaran untuknya. Kau harus bisa menjadi tempat berbagi suka dan luka dan menjadi tempat untuknya mencari solusi tatkala pikirannya tak sejalan dengan hatinya. Dia memilihmu, jadi jangan rusak kepercayaannya padamu,” tutur Rey. Terlihat dia menelan ludahnya begitu susah bersamaan dengan seutas senyum masam yang tercipta di ceruk pipinya. “Jangan sekali-kali membentaknya, karena setahuku dia paling tidak bisa dibentak,” katanya seraya melihat ke arah Kirana. “Jangan kau sakiti hatinya. Melukainya, sama saja kau akan melukai ibumu. Kalian seiman dan kurasa agama kalian juga punya cara untuk memuliakan perempuan.” Rey menam
Kirana dan Dzaka terkesiap mendengar ucapan Fikri. Sekilas, mereka saling berpandangan. Ada ribuan kecemasan yang tercipta di benak Kirana. Terlihat, dari raut wajahnya yang berubah panik seketika. “Kok bisa?” tanya Dzaka. “Ada yang kenal Kirana?”“Soal itu, aku tidak bisa memastikan ada atau tidaknya, Tuan. Karena anak-anak di kantor sepertinya ada yang sempat melihat Tuan dan Nona Kirana masuk dan keluar lift bareng,” ungkap Fikri semakin membuat Kirana panik. “Ya sudah. Cepat atau lambat, mereka akan tau juga. Amankan situasinya dulu, jangan sampai ada wartawan yang sampai ke rumah atau ke kantor.”“Baik, Tuan.” Fikri mengangguk, kemudian berlalu pergi.Namun, baru beberapa saat, dia kembali lagi. “Lain kali kalau Tuan mau apa-apain Nona Kirana pintunya dikunci, biar aku nggak langsung main sosor masuk. Enggak lucu kalau kalian menodai mataku yang suci.”Dzaka mendengkus kesal. “Kamu juga kenapa nggak telepon dulu kalau mau
Raut wajah Dzaka berubah seketika tatkala mendengar pernyataan asistennya. Senyumnya mendadak hilang dari wajahnya yang tegas.“Ada perlu apa dia ke sini?” tanyanya cuek. Reaksi tubuhnya menunjukkan seolah ia tak suka dengan keberadaan pria itu. “Beliau tidak mengatakan apa pun, Tuan. Hanya ingin bertemu dengan Anda,” tutur Fikri. Dzaka diam dengan helaan napas panjang. Lalu, pergi menemui pria itu diikuti Kirana dan Fikri. “Mau apa kau ke sini?!” bentaknya setelah sampai di hadapan Danial. Kilat amarah dan kebencian terlihat jelas dari kedua bola mata Dzaka. Di sisi lain, Kirana sempat tersentak mendengar suara suaminya yang jelas-jelas tak menggambarkan sikap seorang anak pada ayahnya.“Bisakah kau tidak membentakku ketika bertemu? Aku ini Papamu, Dzaka!” Pria berbadan gempal itu berdiri. Berusaha meraih bahu putranya untuk menenangkan, mungkin. Tapi buru-buru ditepis Dzaka. “Aku tidak bisa bersikap lembut pada or
Tak hanya Kirana, semua pasang mata yang berada di sana langsung tertuju ke arah mereka tatkala mendengar suara orang yang sangat dikenali. Terlebih rasa penasaran yang memang menggebu atas rumor pernikahan yang belum terjawab kebenarannya. Namun, melihat fakta di depan mata, membuat mereka berasumsi hingga menyimpulkan sendiri bahwa rumor itu benar adanya. Tak terkecuali Dina yang berada tepat di hadapan mereka melongo keheranan, tak bisa berkata-kata lagi melihat kenyataan di depannya. “Mas, banyak orang,” bisik Kirana.Dzaka tak hirau ucapan istrinya, justru ia langsung duduk di dekat Kirana, lalu tersenyum tanpa rasa bersalah. “Jadi gosip itu benar ... kalian?” tanya Dina sembari menatap dua orang di hadapannya secara bergantian. “Menurutmu?” ketus Dzaka menaikkan alis kanannya. Kali ini, Dina tak bertanya lagi. Ia sudah tahu jawabannya. Dia masih benar-benar tak menyangka akan hal itu. Dina merasa ini terlalu
Hari resepsi pun akhirnya tiba. Kirana tampak cantik dan anggun dengan balutan baju pengantin adat Sunda sesuai dengan daerah asal keluarga suaminya itu. Acara berlangsung meriah berhasil menggugah jiwa Kirana. Ia sendiri sempat tak habis pikir jika konsep pernikahannya demikian menghabiskan dana hingga ratusan juta. Ia tak tahu menahu, sebab yang mengatur keberlangsungan resepsi adalah Bunda Andari. Dia dan Dzaka hanya diajak diskusi perihal undangan. Itu pun sebatas memberikan nama-nama yang akan mereka undang.Kirana sampai tak menyangka jika pernikahannya nyaris seperti pernikahan konglomerat. Disorot sana sini. Tamu undangan dari jajaran perusahaan-perusahaan besar di Indonesia juga tak sedikit. Ia bahkan sampai lelah duduk lalu berdiri untuk menyambut para tamu.Walau demikian, ia harus tetap menebarkan senyuman manis pada tamunya meski kakinya sudah terasa pegal karena sedari tadi pagi berada di atas heel. “Kenapa?” tanya Dzaka
Pria yang bisa dikenal adalah petugas hotel itu berlalu setelah menyerahkan sebuah buket bunga pada Dzaka. Setelah menutup pintu, Dzaka kembali masuk dan menyerahkan buket berisi bunga tulip tersebut pada Kirana.“Buat kamu,” ucap Dzaka seraya menyodorkan benda itu dari tangannya. Kirana yang duduk di tepi ranjang sembari mengecek ponsel tampak melongo keheranan. Ia mendongak dan memandang suaminya penuh tanya. “Dari kamu?” tanyanya. Lalu, mengambil alih dari tangan Dzaka. Dzaka menggeleng. “Bukan.”“Terus?” Kirana mengernyit bingung. Bahu Dzaka terangkat menandakan bahwa ia juga tak tahu. “Itu ada kartu ucapannya. Mungkin di situ tertera nama pengirim,” katanya, kemudian berlalu ke kamar mandi. Pada sebuah lipatan kertas itulah pandangan Kirana tertuju. Ia pun membuka dan mulai membacanya dengan saksama. Pada hati yang sempat singgah, tapi tak mampu untuk kumiliki. Aku mencintaimu dan
Dzaka terhenyak tatkala membaca pesan masuk dari Fikri. Dia bergeming dengan jantung yang mulai ikut berdetak tak karuan. Sesaat, ia memandang wajah tenang istrinya yang sudah terbuai dalam lelapnya. Lalu, mengelus pelan rambut Kirana. Sungguh, pada situasi ini Dzaka tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan pada Clarissa tentang Kirana. Tentang pernikahannya yang terbilang mendadak. Ia mesti mencari cara agar bagaimana Clarissa bisa mengerti dan paham kondisinya tanpa tersakiti. Sejatinya, Dzaka takut jika Clarissa tahu semua ini, ia akan berbuat nekat. Gadis itu bisa saja melakukan hal-hal di luar nalar. Dzaka tidak bisa membayangkan jika Clarissa sampai menyakiti istrinya. Ah, gadis itu terlalu keras kepala, keras, dan susah menerima saran. Dzaka tahu, Clarissa akan sulit menerima kenyataan. Jangan sampai dia tahu tentang Kirana dulu. Nanti aku akan pelan-pelan memberi pengertian. Dzaka membalas pesan Fikri. Dia berusaha setenang mungkin mes
Saat hendak melangkah pergi, Fikri sudah berdiri di hadapannya. Rambut pemuda itu terlihat basah. Mungkin habis mengambil air wudu. Kirana mendadak kaku dan salah tingkah.“Nona Kirana ... mau ketemu Tuan Dzaka? Kenapa enggak langsung masuk saja?”Kirana menggeleng seraya tersenyum hambar. “Apa Tuan nggak ada di ruangannya?” tanya Fikri lagi. Kirana bergeming. Entah, dia tidak tahu apa yang harus dikatakan pada Fikri. Ia pun bingung, apa Fikri tahu perihal seseorang yang berada di ruangan Dzaka atau tidak? Kalau tahu, lantas mengapa menyuruhnya masuk begitu saja?Kirana menarik napas panjang. “Enggak, kok, Mas. Aku titip ini aja buat Mas Dzaka.” Menyerahkan paket makanan dan map titipan Bu Hafizah.” “Map ini titipan dari Bu Hafizah. Kalau ini makanan dari aku. Tolong ingatkan dia untuk makan siang ya, Mas. Nanti dia sakit,” titah Kirana. Fikri bingung sendiri tetapi tetap mengangguki permintaan Kirana. “Ken