Pria yang bisa dikenal adalah petugas hotel itu berlalu setelah menyerahkan sebuah buket bunga pada Dzaka.
Setelah menutup pintu, Dzaka kembali masuk dan menyerahkan buket berisi bunga tulip tersebut pada Kirana.“Buat kamu,” ucap Dzaka seraya menyodorkan benda itu dari tangannya.Kirana yang duduk di tepi ranjang sembari mengecek ponsel tampak melongo keheranan. Ia mendongak dan memandang suaminya penuh tanya.“Dari kamu?” tanyanya. Lalu, mengambil alih dari tangan Dzaka.Dzaka menggeleng. “Bukan.”“Terus?” Kirana mengernyit bingung.Bahu Dzaka terangkat menandakan bahwa ia juga tak tahu.“Itu ada kartu ucapannya. Mungkin di situ tertera nama pengirim,” katanya, kemudian berlalu ke kamar mandi.Pada sebuah lipatan kertas itulah pandangan Kirana tertuju. Ia pun membuka dan mulai membacanya dengan saksama.Pada hati yang sempat singgah, tapi tak mampu untuk kumiliki. Aku mencintaimu danDzaka terhenyak tatkala membaca pesan masuk dari Fikri. Dia bergeming dengan jantung yang mulai ikut berdetak tak karuan. Sesaat, ia memandang wajah tenang istrinya yang sudah terbuai dalam lelapnya. Lalu, mengelus pelan rambut Kirana. Sungguh, pada situasi ini Dzaka tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan pada Clarissa tentang Kirana. Tentang pernikahannya yang terbilang mendadak. Ia mesti mencari cara agar bagaimana Clarissa bisa mengerti dan paham kondisinya tanpa tersakiti. Sejatinya, Dzaka takut jika Clarissa tahu semua ini, ia akan berbuat nekat. Gadis itu bisa saja melakukan hal-hal di luar nalar. Dzaka tidak bisa membayangkan jika Clarissa sampai menyakiti istrinya. Ah, gadis itu terlalu keras kepala, keras, dan susah menerima saran. Dzaka tahu, Clarissa akan sulit menerima kenyataan. Jangan sampai dia tahu tentang Kirana dulu. Nanti aku akan pelan-pelan memberi pengertian. Dzaka membalas pesan Fikri. Dia berusaha setenang mungkin mes
Saat hendak melangkah pergi, Fikri sudah berdiri di hadapannya. Rambut pemuda itu terlihat basah. Mungkin habis mengambil air wudu. Kirana mendadak kaku dan salah tingkah.“Nona Kirana ... mau ketemu Tuan Dzaka? Kenapa enggak langsung masuk saja?”Kirana menggeleng seraya tersenyum hambar. “Apa Tuan nggak ada di ruangannya?” tanya Fikri lagi. Kirana bergeming. Entah, dia tidak tahu apa yang harus dikatakan pada Fikri. Ia pun bingung, apa Fikri tahu perihal seseorang yang berada di ruangan Dzaka atau tidak? Kalau tahu, lantas mengapa menyuruhnya masuk begitu saja?Kirana menarik napas panjang. “Enggak, kok, Mas. Aku titip ini aja buat Mas Dzaka.” Menyerahkan paket makanan dan map titipan Bu Hafizah.” “Map ini titipan dari Bu Hafizah. Kalau ini makanan dari aku. Tolong ingatkan dia untuk makan siang ya, Mas. Nanti dia sakit,” titah Kirana. Fikri bingung sendiri tetapi tetap mengangguki permintaan Kirana. “Ken
Sampai di parkiran, Dzaka membukakan pintu mobil untuk Kirana. Tak peduli, wajah sang istri yang sedari tadi manyun. “Niat banget mau hindarin suami ya? Sampai mau pulang sendiri,” sindir Dzaka tepat di telinga Kirana. Tangannya memegang ujung atas pintu mobil. “Masuk,” titahnya tak digubris oleh Kirana. “Aku bukannya mau menghindar, Mas. Tapi, kirain kamu masih ada kerjaan. Jadi, mau pulang sendiri aja,” elak Kirana membela diri.“Ngeles aja kamu, tuh. Matamu nggak pandai bohong, Na.” Dzaka tersenyum sumir. “Masuk sana.”Sebuah helaan napas panjang Kirana mengakhiri perdebatan mereka di ambang pintu mobil. Kirana mengalah dan menuruti perintah suaminya. Beberapa saat, Dzaka juga sudah berada di dalam mobil. Sesekali, dia senyum-senyum sendiri tatkala melirik Kirana yang jelas sekali dari pancaran wajahnya terlihat kesal.“Tadi siang yang kamu bilang sibuk cuma akal-akalanmu saja kan? Biar nggak ketemu aku?” tanya Dzaka yang m
“Kenapa, Mas?” tanya Kirana tatkala melihat Dzaka mendadak menghentikan langkahnya. Kirana mengalihkan pandangannya mengikuti arah pandangan Dzaka. Di sana, pria paruh baya dan wanita berambut panjang tengah keluar dari mobilnya. “Laki-laki ba*in*an,” umpat Dzaka lirih, tetapi tetap didengar oleh Kirana. Sontak, Kirana menoleh menatap suaminya yang diketahui mulai tersulut emosi.“Huss! Jangan ngomong gitu.” Kirana memperingati. “Nggak baik.”“Bahkan, dia tidak pantas untuk mendapatkan perlakuan baik,” cetus Dzaka seraya tersenyum miris. Kirana membulatkan mata mendengar ucapan Dzaka. Dia tak mengerti, ada apa dengan hubungan ayah dan anak itu? Kenapa dari kemarin ia melihat hubungan keluarga suaminya sebenarnya tak sedang baik-baik saja. Satu hal yang Kirana ketahui, orang tua Dzaka memang sudah tak tinggal serumah, tetapi belum berpisah. Menurut informasi yang didapat dari Sekar, Bunda Andari akan segera menggunga
“Aduh, Teh. Ya Allah kangen.” Sekar spontan saja memeluk kakak iparnya. Sejauh ini, Sekar memang bisa dibilang cukup dekat dekat Kirana. Sayangnya, karena kesibukan masing-masing membuat mereka berdua minim waktu untuk bertemu. Kehadiran Kirana di tengah-tengah mereka, membuat Sekar seperti punya kakak kandung perempuan. Tak segan, Kirana membantunya ketika ada masalah pada tugas kuliah. Terlebih, jurusan mereka sama. “Kamu kenapa ngga pernah datang ke rumah?” tanya Kirana memegang bahu Sekar. “Akhir-akhir ini sibuk di kampus, Teh. By the way, Teteh nginap kan?” Sekar menaikkan satu alisnya. Seutas senyum simpul diberikan Kirana sebagai jawaban. Kemudian berkata, “Lain kali baru nginap ya, Sayang.”“Ya ... Teteh mah nggak seru.” Sekar memajukan bibirnya kesal. Kirana mengembuskan napas pelan. “Kan Sekar tau kalau di rumah ada ibunya Teteh yang lagi sakit.”Sekar mengangguk paham. “Lupa, Teh.” Dia terkekeh.
Hari ini Kirana untuk ke sekian kali menemani sang ibu untuk kontrol ke dokter. Walaupun sebenarnya Wulan sudah menolak dengan alasan ada Suster Rina yang menemani, tetapi Kirana tetap pada pendirian. Ia tak tega membiarkan ibunya pergi tanpa dirinya. Minimal dengan ikut, ia bisa tahu detail perkembangan kesehatan kaki sang ibu. Selebihnya, dia bisa meluangkan waktu dengan mengajak ibunya jalan-jalan. Meskipun, Wulan harus menggunakan kursi roda karena masih juga belum bisa berjalan.Hingga, hari menjelang petang. Mereka baru keluar dari pusat perbelanjaan. Kirana meminta pada Suster Rina untuk membawa ibunya pulang ke rumah lebih dulu. Sebab, ia masih akan menunggu suaminya.Ya, sesuai janji Dzaka tadi pagi yang ingin mengajak Kirana malam mingguan ke suatu tempat. Entahlah, Kirana juga tak tahu akan dibawa ke mana, tetapi ia menurut saja. Jarang-jarang juga suaminya mengajaknya keluar malam berdua semenjak mereka sah sebagai suami istri dari dua bulan l
“Sungguh, aku tidak tahu harus mengatakannya mulai dari mana, Nona. Aku takut salah bicara yang nantinya membuat Tuan Dzaka marah,” ujar Fikri lembut. Kirana mengangguk-angguk paham. Dia sangat mengerti posisi Dzaka. Namun, dengan upayanya seperti memang menutupi membuat Kirana semakin yakin bahwa Clarissa dan suaminya memang punya hubungan khusus sebelumnya. Ironisnya, karena sampai saat ini. “Sebaiknya Nona Kirana tanyakan pada Tuan Dzaka. Biar lebih jelas,” pinta Fikri bersamaan dengan mobil yang berhenti tepat di depan rumah atasannya. “Iya, terima kasih sudah diantar pulang, Mas,” ujar Kirana lalu keluar dari mobil. Sesaat kemudian, Fikri kembali berlalu. Sementara Kirana masuk ke rumah dengan kondisi basah. Dia disambut dengan asisten rumah tangga yang senantiasa siap sedia melakukan segala sesuatu menyangkut kebutuhan majikannya. “Ya Allah, Non. Dari mana bisa basah gitu?” tanya Bi Marni yang menelisik tubuh Kirana dari atas s
Setelah percekcokan dan tawar menawar panjang, Kirana mengalah dan terbuai bujuk rayu Dzaka. Sesaat, mereka sudah berada di meja makan karena Kirana menolak untuk dibawakan makan ke kamar. Dia ingin makan di lantai bawah saja.Bukannya makan, Kirana hanya menatap makanan, sesekali menyendoknya, tetapi seperti enggan sampai ke mulutnya. “Dimakan, Na. Jangan cuma diliatin,” protes Dzaka lembut. Kirana menghela napas panjang. Sekejap, ia melirik ke arah Dzaka yang sedari tadi mengawasinya. Sampai pada saat, Dzaka menarik kursi lebih dekat dengan Kirana, kemudian mengambil alih piring istrinya lalu menyuapi. Dzaka berpikir bahwa manusia keras kepala seperti Kirana memang harus dipaksa agar mau. Apalagi jika menyangkut kebaikan dirinya sendiri. Setelah selesai makan, insiden tawar menawar kembali terjadi. Kirana enggan minum obat, tetapi Dzaka memaksanya. Kirana beralibi bahwa sedang baik-baik saja. Namun, Dzaka tak percaya sama sekali.“Huek!” Kirana buru-buru turun dari kursinya men