“Aduh, Teh. Ya Allah kangen.” Sekar spontan saja memeluk kakak iparnya.
Sejauh ini, Sekar memang bisa dibilang cukup dekat dekat Kirana. Sayangnya, karena kesibukan masing-masing membuat mereka berdua minim waktu untuk bertemu.Kehadiran Kirana di tengah-tengah mereka, membuat Sekar seperti punya kakak kandung perempuan. Tak segan, Kirana membantunya ketika ada masalah pada tugas kuliah. Terlebih, jurusan mereka sama.“Kamu kenapa ngga pernah datang ke rumah?” tanya Kirana memegang bahu Sekar.“Akhir-akhir ini sibuk di kampus, Teh. By the way, Teteh nginap kan?” Sekar menaikkan satu alisnya.Seutas senyum simpul diberikan Kirana sebagai jawaban. Kemudian berkata, “Lain kali baru nginap ya, Sayang.”“Ya ... Teteh mah nggak seru.” Sekar memajukan bibirnya kesal.Kirana mengembuskan napas pelan. “Kan Sekar tau kalau di rumah ada ibunya Teteh yang lagi sakit.”Sekar mengangguk paham. “Lupa, Teh.” Dia terkekeh.Hari ini Kirana untuk ke sekian kali menemani sang ibu untuk kontrol ke dokter. Walaupun sebenarnya Wulan sudah menolak dengan alasan ada Suster Rina yang menemani, tetapi Kirana tetap pada pendirian. Ia tak tega membiarkan ibunya pergi tanpa dirinya. Minimal dengan ikut, ia bisa tahu detail perkembangan kesehatan kaki sang ibu. Selebihnya, dia bisa meluangkan waktu dengan mengajak ibunya jalan-jalan. Meskipun, Wulan harus menggunakan kursi roda karena masih juga belum bisa berjalan.Hingga, hari menjelang petang. Mereka baru keluar dari pusat perbelanjaan. Kirana meminta pada Suster Rina untuk membawa ibunya pulang ke rumah lebih dulu. Sebab, ia masih akan menunggu suaminya.Ya, sesuai janji Dzaka tadi pagi yang ingin mengajak Kirana malam mingguan ke suatu tempat. Entahlah, Kirana juga tak tahu akan dibawa ke mana, tetapi ia menurut saja. Jarang-jarang juga suaminya mengajaknya keluar malam berdua semenjak mereka sah sebagai suami istri dari dua bulan l
“Sungguh, aku tidak tahu harus mengatakannya mulai dari mana, Nona. Aku takut salah bicara yang nantinya membuat Tuan Dzaka marah,” ujar Fikri lembut. Kirana mengangguk-angguk paham. Dia sangat mengerti posisi Dzaka. Namun, dengan upayanya seperti memang menutupi membuat Kirana semakin yakin bahwa Clarissa dan suaminya memang punya hubungan khusus sebelumnya. Ironisnya, karena sampai saat ini. “Sebaiknya Nona Kirana tanyakan pada Tuan Dzaka. Biar lebih jelas,” pinta Fikri bersamaan dengan mobil yang berhenti tepat di depan rumah atasannya. “Iya, terima kasih sudah diantar pulang, Mas,” ujar Kirana lalu keluar dari mobil. Sesaat kemudian, Fikri kembali berlalu. Sementara Kirana masuk ke rumah dengan kondisi basah. Dia disambut dengan asisten rumah tangga yang senantiasa siap sedia melakukan segala sesuatu menyangkut kebutuhan majikannya. “Ya Allah, Non. Dari mana bisa basah gitu?” tanya Bi Marni yang menelisik tubuh Kirana dari atas s
Setelah percekcokan dan tawar menawar panjang, Kirana mengalah dan terbuai bujuk rayu Dzaka. Sesaat, mereka sudah berada di meja makan karena Kirana menolak untuk dibawakan makan ke kamar. Dia ingin makan di lantai bawah saja.Bukannya makan, Kirana hanya menatap makanan, sesekali menyendoknya, tetapi seperti enggan sampai ke mulutnya. “Dimakan, Na. Jangan cuma diliatin,” protes Dzaka lembut. Kirana menghela napas panjang. Sekejap, ia melirik ke arah Dzaka yang sedari tadi mengawasinya. Sampai pada saat, Dzaka menarik kursi lebih dekat dengan Kirana, kemudian mengambil alih piring istrinya lalu menyuapi. Dzaka berpikir bahwa manusia keras kepala seperti Kirana memang harus dipaksa agar mau. Apalagi jika menyangkut kebaikan dirinya sendiri. Setelah selesai makan, insiden tawar menawar kembali terjadi. Kirana enggan minum obat, tetapi Dzaka memaksanya. Kirana beralibi bahwa sedang baik-baik saja. Namun, Dzaka tak percaya sama sekali.“Huek!” Kirana buru-buru turun dari kursinya men
Bungkam. Dzaka bak menjelma orang bisu, ia diam seribu bahasa. Tubuhnya tetap tenang, tetapi entah pikirannya. Barangkali mungkin sudah kalut. Lewat tatapan, Dzaka seperti keberatan dengan permintaan Kirana. Seolah tak bisa menyakinkan dirinya sendiri untuk mampu menjauhinya, sementara pikirannya masih terngiang janji di masa lalu. Mereka beradu pandang cukup lama, Kirana mencari sebuah jawaban dari sorot tajam suaminya. Sedang, Dzaka justru sibuk berdamai dengan hati dan isi kepala yang sedari tadi bergumul tak tuntas. Bahkan, mata indah milik istrinya yang senantiasa meneduhkan hatinya selama ini, seakan tak mampu untuk mendamaikan gejolak batinnya. “Kenapa diam, Mas? Apa kamu keberatan?” tanya Kirana karena Dzaka tak kunjung menjawab. Sebuah tarikan napas sebagai ungkapan pasrah diberikan Kirana. Ia memperbaiki posisi selimutnya untuk menutupi badan yang dirasa sangat dingin, tetapi tubuhnya panas. “Minimal, saat aku men
“Kita tidak bisa seperti ini terus, Sa.”“Maksud kamu apa, Ay. Apa kamu sudah memutuskan untuk menikahiku?” Clarissa menyunggingkan bibir tipisnya. Ia mendekati Dzaka yang berdiri di dekat jendela apartemen milik Clarissa. Sejam yang lalu, dia mendapat telepon dari Fikri bahwa traumanya Clarissa kambuh. Dia sempat histeris dan mencari-cari Dzaka. Dzaka memutuskan untuk datang, meski sebenarnya sangat tak enak hati kepada istrinya yang sedang sakit. Namun, beruntung karena Kirana mengizinkan walau sebenarnya Dzaka tahu istrinya sangat berat untuk sekadar mengiyakan, meski Dzaka sudah menjelaskan permasalahannya.“Aku sudah lama menunggu saat itu, Ay.” Clarissa memeluk Dzaka dari belakang. Dzaka yang diperlakukan seperti itu sangat risih. Dia melepaskan tangan Clarissa dari tubuhnya dan berjalan menjauh. “Kamu tau, Sa, kita sama-sama tau bahwa orang tuaku tidak pernah merestuiku bersamamu. Hubungan kita hanya gini-gini saja, bukan?”“Senantiasa kau minta kepastian, sedangkan aku tida
Kirana turun dari ranjang dan membantu suaminya melepas jaket. Namun, lagi ... ia mencium bau parfum wanita yang beberapa hari ini kerap menganggu indra penciumannya ketika Dzaka pulang telat ataupun izin keluar meski malam merangkak. “Ada banyak kerjaan di kantor, Sayang,” ucap Dzaka, tak lupa memberikan kecupan singkat di kening istrinya. Kirana mengernyit, entah kenapa ia merasa ada dusta di antara mereka. Ada sesuatu yang tersembunyi seolah tidak boleh diketahui olehnya. Kirana tak tahu, apakah ini hanya ilusinya karena beberapa hari belakangan ia merasa badannya tak enak? Emosinya tidak stabil, bahkan kerap mual dan pusing, atau mungkin memang suaminya yang menyembunyikan sesuatu darinya?“Yakin?” Kirana menaikkan kedua alisnya. Beberapa saat, ia berjalan ke arah keranjang kotor. “Tapi, bau parfum wanita di bajumu itu seolah menolak semua perkataanmu, Mas.”Dzaka spontan mencium bau badannya sendiri. Benar saja, baunya tercium san
Setelah mendapat telepon dari Fikri, Dzaka langsung bertolak ke apartemen Clarissa. Kabarnya, gadis itu mencoba melukai dirinya sendiri mengunakan silet dan pecahan kaca. Fikri dan Wina tak bisa menenangkan, malah semakin histeris. Mau tidak mau, Dzaka yang harus turun tangan. Pasca Dzaka memutuskan untuk jujur tentang pernikahannya kala itu, Clarissa mulai uring-uringan. Mentalnya kembali down dan kerap menyakiti dirinya sendiri. Ia merasa sudah tak ada yang sayang dengannya lagi. Sebab, Dzaka juga meninggalkan dirinya. Itulah sebab, mengapa Dzaka sering pulang telat, keluar malam, bahkan jika di kantor sekalipun ia akan menyusul Clarissa jika mendapat kabar kalau gadis itu mengamuk sampai histeris. Sebenarnya ia tak enak hati berbohong pada istrinya, tetapi dia juga tak ingin Kirana sakit hati dengan kejujurannya. Namun, ternyata dia salah, kebohongan justru sama saja. Membuat istrinya kecewa dan sakit. Sejujurnya Dzaka merasa bersalah karen
“Mas, tolong jangan katakan apa pun sama Mas Dzaka. Tentang aku ke rumah sakit dan termasuk kalau aku sedang mengandung anaknya.” Raut wajah Kirana penuh permohonan. Ludahnya tertelan sesekali, sorot teduh netranya berkaca-kaca. Laksana seperti orang yang punya terlalu banyak kebimbangan. Semua tampak jelas dari tatapannya. “Tapi kenapa, Nona?” tanya Fikri bingung. Kirana menunduk diam. Ia bahkan sampai lupa bahwa ada seorang kakak di sebelahnya sedang berjuang mengendalikan jiwanya dari rasa takut nan gelisah yang tengah terpontang-panting dengan kehadiran Fikri.“Aku tidak mungkin merahasiakan hal sepenting ini pada Tuan Dzaka, Nona. Dia akan marah besar,” ungkap Fikri semakin membuat Kirana nelangsa.Hatinya yang remuk redam mengantar air mata yang jatuh tanpa diminta. Dengan sigap, Kirana menghapusnya, kemudian membayarnya dengan sebuah senyum palsu. “Aku tidak ingin Mas Dzaka berat menceraikanku jika tau sedang hamil.” Ia menghela napas berat. “Jadi, tolong berjanjilah padaku,