Bungkam. Dzaka bak menjelma orang bisu, ia diam seribu bahasa. Tubuhnya tetap tenang, tetapi entah pikirannya. Barangkali mungkin sudah kalut. Lewat tatapan, Dzaka seperti keberatan dengan permintaan Kirana. Seolah tak bisa menyakinkan dirinya sendiri untuk mampu menjauhinya, sementara pikirannya masih terngiang janji di masa lalu. Mereka beradu pandang cukup lama, Kirana mencari sebuah jawaban dari sorot tajam suaminya. Sedang, Dzaka justru sibuk berdamai dengan hati dan isi kepala yang sedari tadi bergumul tak tuntas. Bahkan, mata indah milik istrinya yang senantiasa meneduhkan hatinya selama ini, seakan tak mampu untuk mendamaikan gejolak batinnya. “Kenapa diam, Mas? Apa kamu keberatan?” tanya Kirana karena Dzaka tak kunjung menjawab. Sebuah tarikan napas sebagai ungkapan pasrah diberikan Kirana. Ia memperbaiki posisi selimutnya untuk menutupi badan yang dirasa sangat dingin, tetapi tubuhnya panas. “Minimal, saat aku men
“Kita tidak bisa seperti ini terus, Sa.”“Maksud kamu apa, Ay. Apa kamu sudah memutuskan untuk menikahiku?” Clarissa menyunggingkan bibir tipisnya. Ia mendekati Dzaka yang berdiri di dekat jendela apartemen milik Clarissa. Sejam yang lalu, dia mendapat telepon dari Fikri bahwa traumanya Clarissa kambuh. Dia sempat histeris dan mencari-cari Dzaka. Dzaka memutuskan untuk datang, meski sebenarnya sangat tak enak hati kepada istrinya yang sedang sakit. Namun, beruntung karena Kirana mengizinkan walau sebenarnya Dzaka tahu istrinya sangat berat untuk sekadar mengiyakan, meski Dzaka sudah menjelaskan permasalahannya.“Aku sudah lama menunggu saat itu, Ay.” Clarissa memeluk Dzaka dari belakang. Dzaka yang diperlakukan seperti itu sangat risih. Dia melepaskan tangan Clarissa dari tubuhnya dan berjalan menjauh. “Kamu tau, Sa, kita sama-sama tau bahwa orang tuaku tidak pernah merestuiku bersamamu. Hubungan kita hanya gini-gini saja, bukan?”“Senantiasa kau minta kepastian, sedangkan aku tida
Kirana turun dari ranjang dan membantu suaminya melepas jaket. Namun, lagi ... ia mencium bau parfum wanita yang beberapa hari ini kerap menganggu indra penciumannya ketika Dzaka pulang telat ataupun izin keluar meski malam merangkak. “Ada banyak kerjaan di kantor, Sayang,” ucap Dzaka, tak lupa memberikan kecupan singkat di kening istrinya. Kirana mengernyit, entah kenapa ia merasa ada dusta di antara mereka. Ada sesuatu yang tersembunyi seolah tidak boleh diketahui olehnya. Kirana tak tahu, apakah ini hanya ilusinya karena beberapa hari belakangan ia merasa badannya tak enak? Emosinya tidak stabil, bahkan kerap mual dan pusing, atau mungkin memang suaminya yang menyembunyikan sesuatu darinya?“Yakin?” Kirana menaikkan kedua alisnya. Beberapa saat, ia berjalan ke arah keranjang kotor. “Tapi, bau parfum wanita di bajumu itu seolah menolak semua perkataanmu, Mas.”Dzaka spontan mencium bau badannya sendiri. Benar saja, baunya tercium san
Setelah mendapat telepon dari Fikri, Dzaka langsung bertolak ke apartemen Clarissa. Kabarnya, gadis itu mencoba melukai dirinya sendiri mengunakan silet dan pecahan kaca. Fikri dan Wina tak bisa menenangkan, malah semakin histeris. Mau tidak mau, Dzaka yang harus turun tangan. Pasca Dzaka memutuskan untuk jujur tentang pernikahannya kala itu, Clarissa mulai uring-uringan. Mentalnya kembali down dan kerap menyakiti dirinya sendiri. Ia merasa sudah tak ada yang sayang dengannya lagi. Sebab, Dzaka juga meninggalkan dirinya. Itulah sebab, mengapa Dzaka sering pulang telat, keluar malam, bahkan jika di kantor sekalipun ia akan menyusul Clarissa jika mendapat kabar kalau gadis itu mengamuk sampai histeris. Sebenarnya ia tak enak hati berbohong pada istrinya, tetapi dia juga tak ingin Kirana sakit hati dengan kejujurannya. Namun, ternyata dia salah, kebohongan justru sama saja. Membuat istrinya kecewa dan sakit. Sejujurnya Dzaka merasa bersalah karen
“Mas, tolong jangan katakan apa pun sama Mas Dzaka. Tentang aku ke rumah sakit dan termasuk kalau aku sedang mengandung anaknya.” Raut wajah Kirana penuh permohonan. Ludahnya tertelan sesekali, sorot teduh netranya berkaca-kaca. Laksana seperti orang yang punya terlalu banyak kebimbangan. Semua tampak jelas dari tatapannya. “Tapi kenapa, Nona?” tanya Fikri bingung. Kirana menunduk diam. Ia bahkan sampai lupa bahwa ada seorang kakak di sebelahnya sedang berjuang mengendalikan jiwanya dari rasa takut nan gelisah yang tengah terpontang-panting dengan kehadiran Fikri.“Aku tidak mungkin merahasiakan hal sepenting ini pada Tuan Dzaka, Nona. Dia akan marah besar,” ungkap Fikri semakin membuat Kirana nelangsa.Hatinya yang remuk redam mengantar air mata yang jatuh tanpa diminta. Dengan sigap, Kirana menghapusnya, kemudian membayarnya dengan sebuah senyum palsu. “Aku tidak ingin Mas Dzaka berat menceraikanku jika tau sedang hamil.” Ia menghela napas berat. “Jadi, tolong berjanjilah padaku,
“Bunda,” sapa Kirana menghampiri Bunda Andari yang Bunda Andari yang sedang duduk di sofa khusus untuk menunggu.Pandangan wanita paruh baya itu yang semula fokus ke layar ponselnya langsung mendongak, memandangi Kirana.“Hei, Neng Geulis.” Ia berdiri, kemudian memeluk wanita itu. Tak lupa mencium pipi kiri, kanan, dan kening menantunya. “Bunda ke sini, kenapa nggak ngomong?” tanya Kirana. Dia memasang wajah cemberutnya. Lalu, mengikuti Bunda Andari, duduk di sampingnya. “Intentional atuh, Sayang. Ada urusan” Andari mencubit pipi Kirana gemes. “Oh, ya? Kamu teh keliatan pale, are you sick?” Andari menelisik setiap inci wajah Kirana. Seketika keringat dingin mulai mengucur, darahnya berdesir hebat. Jantungnya berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Bagaimana ini? Ia belum ingin mertuanya tahu tentang kehamilannya. “Perasaan Bunda aja kali. Aku nggak apa-apa, kok,” ucapnya tersenyum sumir.Andari tak percaya
Plak!Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Dzaka. Kirana yang baru membuka pintu sedikit membulatkan mata. Ia seketika langsung beku di tempat. Tak jadi masuk. Tadi, seharusnya ia datang bersama Dzaka, tetapi pamit ke toilet terlebih dahulu, sementara Dzaka langsung menyusul sang bunda di ruangannya. Kirana meneguk liurnya susah payah, ia sedikit tak percaya dengan apa yang baru saja dilihat. Bunda Andari menampar putranya. “Terang teu, apa kesalahanmu?” tanya Andari pada Dzaka yang memegangi pipinya. Tanpa menunggu jawaban, Andari merogoh ponsel dari tasnya. Ia menunjukkan sebuah foto tepat di depan wajah Dzaka. “Ini naon?” tanya Andari lagi. “Mau ngawadul sama Bunda?”“Bun, ini tidak seperti yang Bunda pikirkan.” Dzaka membela diri. Andari menggeleng. “Sudah sabaraha kali, Bunda teh bilang, jangan berhubungan sama dia, Dzaka. Don't get close to her!” bentak Andari.Kirana yang masih mengintip
Kirana dan Dina saling berpandangan. Mereka ketahuan sedang ngobrol santai di waktu kerja. Dina baru mendongak saat menyadari kalau cctv ada di mana-mana. Ia spontan menutup wajah dengan satu tangan. “Mampus,” lirihnya.“Maaf, Pak Dzaka yang terhormat. Kita lagi ada anu ... e ... itu.” Kirana tak tahu harus beralasan apa. Kini, ia hanya mampu menggigit bibir.Sepersekian detik, layar ponselnya kembali menyala, terlihat Dzaka yang ingin melakukan panggilan video dengannya. Kirana menerima dan menghadapkan ponsel ke wajahnya. “Bunda udah pulang, Mas?” tanya Kirana basa-basi. Ia tahu tadi Dzaka hanya bercanda, tetapi Dina malah kelihatan panik. Ah, mungkin Dina lupa dengan siapa tadi berhadapan. “Udah, kamu kenapa nggak ke ruangan tadi? Bukannya cuma pamit ke toilet?” tanya Dzaka dari balik layar. “Emm ....”“Aku tidak terima alasan, makan siang nanti wajib makan bareng. Oke?”“Iya, deh, iya,” simpul Kirana yang menjadi akhir dari obrolan virtual mereka. Tiba-tiba saja, saat hendak