‘Aish, sial! Pria ini tidak berniat menculikku ‘kan?’ Anais menerka disertai umpatan dalam batin.Irisnya melayap ke luar jendela, coba memastikan kembali pengelihatannya. Dan benar, limosin yang tengah ditumpanginya kini menembus jalanan sepi yang di pagari jajaran pohon. Sungguh berlawanan dengan nuansa perkotaan.Tak mau pusing sendiri, wanita itu pun mengalihkan pandangan pada Jade.“Ke mana kita akan pergi?” sungutnya tanpa unsur ramah.Alisnya menyatu, kerutan samar pun tercetak di keningnya sebab tersengat getir kemurkaan.“Bukankah Anda ingin mengambil rekaman CCTV itu?”Alih-alih menerangkan, Jade malah membalas dengan pertanyaan ambigu. Anais yang belum bisa menaruh kepercayaan, tentu akan curiga padanya.‘Sebenarnya apa yang direncanakan pria ini? Dia tidak mungkin tinggal di dalam hutan, bukan?’ Sang wanita membatin ragu.Melihat air muka Anais yang bingung, Jade malah kian membungkam dan tak ingin menjelaskan apapun. Ekspresi yang tersembunyi di balik wajah datarnya seper
Masih di tempat yang sama, Jade terjaga semalaman dengan Anais yang terlelap di bahunya. Bahkan keram yang menyiksa pundak, sampai diabaikan olehnya. ‘Saat bangun, wanita ini selalu menunjukan wajah angkuh dan ekspresi yang tegang, tapi … mengapa saat menutup mata, dia terlihat cukup manis?’ Pria itu membatin sembari tak lekang memandangi iras muka Anais. Sensasi menggelitik pun mengusik jiwanya. Dan berikutnya Jade segera menampik monolongnya dalam hati. Bibirnya tersungging miring seraya mengumpat, “sial! Apa yang baru saja aku pikirkan? Konyol sekali!” Dengan kesengitan yang menggantung di kepala, Jade pun membuang pandangan ke luar jendela. Namun, tiba-tiba saja dia merasakan sesuatu bergetar di sebelah pahanya. Pria tersebut berpikir ada seseorang yang menghubungi dirinya, tapi ketika melirik ke samping, rupanya ponsel Anais-lah yang mendapat panggilan. “Cih!” Mulutnya seketika berdesis saat mengetahui nama yang terpampang di layar yang mirip dengan miliknya tersebut. Dia m
“Hah? Apa Kak Anais sadar dengan apa yang baru saja Kakak katakan?!” Aretha langsung mendidih seolah dirinya tersiram kuah panas. Sederet ucapan Anais yang terdengar besar kepala, membuat hatinya meringking jijik. Tangannya pun sudah gatal ingin menjambak surai panjang sang kakak dan ingin menyeretnya ke jalanan. “Harusnya kau berkaca sebelum bicara, Kak! Mana mungkin Kak Denver menelan ludahnya sendiri? Mustahil dia menyesal karena membuang mantannya yang seperti sampah!” sungut putri kesayangan Pineti itu lebih keras. Setiap katanya memang mengandung cibiran magma, tapi lawan bincangnya masih memamerkan tampang sedingin gletser. Dengan wajah teramat datar, Anais pun menyambar, “Adikku, bukankah lebih baik kau bertanya langsung pada pria yang kau puja itu? Tanyakan, mengapa dia selalu muncul di hadapanku?! Aku benar-benar muak melihatnya!” Sungguh, auranya yang tersiar tedas, memang menggambarkan amukan yang tertahan. Dirinya tak ingin menurunkan harga diri dengan meladeni adik
‘Kau memang berengsek, Aretha!’ Anais mengumpat dalam benaknya.Hatinya yang remuk berkeping-keping karena ulah Denver, agaknya tak ada waktu untuk sembuh sebab tingkah adiknya.Meski perih, Anais memaksa dirinya untuk mendekat. Dia tak ingin lagi kehilangan bukti bahwa Aretha itu jalang dengan banyak wajah.“Sial, mengapa kau sampai berani berbuat sejauh ini? Bagaimana kalau kau ketahuan?” tutur suara perempuan tadi terdengar lagi.Rupanya dua orang pelayan tengah mengobrol di sudut ruang tengah seraya mengelap meja. Tanpa sepengetahun mereka, Anais pun menyelinap di balik dinding dengan fitur perekam menyala di layar ponselnya.“Hei, bagaimana mungkin aku melawan Nona Aretha? Aku bisa langsung dipecat olehnya.” Pelayan dengan tahi lalat di atas bibirnya itu mengeluh.Ya, Anais sudah tak terkejut. Dia memang orang yang diam-diam masuk kamarnya dengan dalih bersih-bersih.“Saat itu aku hampir dipergoki Nona Anais setelah merusak jahitan gaunnya, tapi aku masih selamat. Beruntungnya No
‘Sialan, berani sekali anak pungut ini berusaha menyingkirkanku!’ sengit Pineti membatin kesal.Dirinya terus mengutuk seiring dengan kepalan tangannya yang kian gemetar. Dia tak menyangka, sekitar 17 tahun berlalu, anak kecil yang selalu diremehkannya kini berlagak mengusirnya dari mansion Devante.“Hei, apa kau sadar dengan apa yang sudah kau katakan, Anais? Apa kau tidak ingat siapa orang yang meraih tanganmu saat kau hanya sebatang kara?! Mungkinkah kau—”“Ibu!” Anais lekas memangkas ucapan Pineti dengan tegas. “Saya belum selesai bicara!”“Apa?”Seketika, istri Tigris Devante itu pun tersentak dengan alis menukik tajam. Dia tak mengira bahwa Anais yang selama ini menampilkan sikap lugu, malah berani membentaknya.“Bagian saya bicara belum selesai. Jika Ibu melempar kata sembilan kali, maka saya pun berhak menjawab sembilan kali juga!” sahut Anais dengan manik terpampang tajam.Sungguh, ekspresinya terjaga teguh. Menampilkan jelas kekesalan yang terkungkung dalam dadanya.“Ibu ter
Anais menelan salivanya getir kala menerima memo dari pegawainya. Dirinya yang nyaris pingsan karena tekanan masalah, harus menguatkan raga untuk menenangkan investornya.“Mungkin kita masih ada kesempatan, tapi ….” Velma meredam ucapnya kala Anais mulai membaca pesan singkat tersebut.Manik hazel sang direktur tampak menyorotkan banyak maksud.“Yah, ini tidak masalah. Saya akan memenuhi permintaan Tuan Feanton,” tukas Anais tanpa basa-basi.Keputusan yang terdengar mendadak itu, malah memicu keraguan di benak Velma.Dia mengerutkan kening, dengan ragu dia pun bertanya, “apa Anda yakin baik-baik saja, Nona? Tempat yang beliau minta agak ….”Ya, lelaki bernama Feanton, seorang investor lama di Dante’s Gallery itu meminta Anais agar mengunjunginya di hotel malam ini.Anais yang memulai perkara karena telat dalam pertemuan pagi ini, tentunya tak bisa bersikap angkuh dengan menolaknya.“Tidak apa, hal ini terjadi karena kesalahan saya yang tidak profesional. Jadi, saya harus segera memper
‘I-ini … ini tidak mungkin ‘kan?’ batin Anais tak percaya.Inderanya terus jatuh, seolah jiwanya sudah setengah jalan meninggalkan raganya.Di dokumen itu jelas tertulis jumlah dengan nominal triliunan, nilai yang teramat mustahil untuk Anais penuhi sekarang.“Saya tahu, mungkin mendiang Ibu Anda tidak pernah menyinggung perkara ini sebelumnya. Itu memang perjanjian kami untuk tidak memberitahu penerusnya. Namun, setelah waktu berlalu, saya pikir saya harus meminta hak saya kembali, Nona Anais,” cetus Feanton yang seakan membuyarkan lamunan Anais.Wanita itu menarik napas sesak. Bahkan jelas, nama peminjam modal yang tertera di sana memanglah sang ibu.“Sa-saya mengerti, Tuan Feanton. Hutang tetaplah hutang, dan harus dibayar,” sahut Anais penuh getir.Tangannya gemetar seakan ingin putus dari sendinya, tapi Anais tak bisa tampak lemah. Dirinya yang tiba-tiba tertimba beton fakta yang mencengangkan, harus melunasi pinjaman itu apapun yang terjadi.“Saya lega, karena Anda bisa mengerti
“Aish!” Jade mendesis kesal seiring dengan lajunya yang terpaksa berhenti. Dia baru menyadari, bahwa Anais tak boleh sampai melihatnya di tempat ini atau seluruh rencananya akan gagal. Sehingga, dirinya yang sudah ingin menendang Eldhan menjauh dari wanitanya, harus berusaha keras menekan hasratnya. ‘Bersenang-senanglah saat bisa. Sebentar lagi, tidak akan ada pria manapun yang bisa mendekati wanitaku!’ decaknya bertekad dalam hati. Benar, Jade yang memiliki ambisi untuk menggenggam segalanya, tentu tak mungkin sudi jika miliknya disentuh orang lain, tidak akan pernah! Dia menyorotkan tatapan tajam pada Eldhan yang berlagak memanjakan Anais. Tak tahan dengan pemandangan itu, akhirnya Jade mangkir menuju mobilnya. Sementara masih di sana, Eldhan pun menumpukan tangannya di sisi kanan dan kiri sang wanita seolah mengungkungnya. ‘A-apa yang dia lakukan?’ batin Anais dengan alis berkedut samar. Sungguh, posisi Eldhan yang ambigu benar-benar tak nyaman bagi dirinya. Meski dengan tem