Ya, anak kecil paham maksud anak kecil, begitupun orang dewasa. Seorang pria pasti mengerti isi pikiran pria lainnya. Jade tahu benar bahwa Eldhan telah memendam perasan sangat lama untuk Anais, wanitanya! Dan itu membuat Jade sangat terganggu. “Sebaiknya simpan saja rasa itu selamanya, jangan sampai Nona Anais mengetahuinya!” sungut pria tersebut yang kini menutup kembali jendela mobilnya. Tanpa menunggu balasan, Jade segera melesat dari tempat tersebut. Menyisakan Eldhan yang tampak menyedihkan dengan segala cintanya yang tak pernah tersampaikan. Suara mesin sedan mewah Jade menjadi satu-satunya bunyi yang kian lama, kian membuat hatinya meringking. “Argh! Dasar, berengsek!” umpatnya penuh kesumat. “Memangnya apa yang diketahuinya? Dia sama sekali tidak tahu apapun tentang Anais!” Kedua tangannya mencengkeram kepala dan lekas menghempasnya keras. Eldhan kacau, tapi bukan pasal dirinya memiliki saingan untuk mendapatkan hati Anais. Melainkan harga dirinya terinjak, sebab Jade m
“Beraninya kau bicara omong kosong tentang Aretha!” Putri kedua Tigris Devante itu memberang dengan kerasnya.Melihat si pelayan yang jatuh tersungkur karena gamparan tangannya, tak membuat kemarahan wanita itu menyusut. “Kapan Aretha memintamu merusak gaun Kak Anais? Kau jangan menyalahkan orang lain untuk perbuatanmu!” dengusnya kian meledak.Lubang hidungnya membara saat pelayan yang cukup lama bekerja untuknya itu menatap dengan wajah tercengang. Bahkan ketika jeramnya mulai merembes melalui sudut matanya, Aretha sama sekali tak peduli.“To-tolong, Nona Aretha. Saya bicara jujur. Saya hanya melakukan perintah Anda! Saat—”“Hei, jangan berbohong dan bicara keras pada Aretha! Berikan bukti jika memang Aretha yang menyuruhmu!” Putri kesayangan Pineti itu langsung menyahut sebelum Pelayannya selesai bercakap.Sangat kentara dirinya ingin mendominasi suasana dengan amukan, hingga menyiutkan nyali bawahannya tersebut. Dan Anais mengetahuinya dengan jelas!‘Ah … lihatlah kelakuanmu untuk
“I-ibu yakin?” Aretha yang tertegun langsung menyahut dengan terbata-bata.Dirinya baru pertama kali melihat Pineti bertekad sekeras ini. Sosok yang biasanya pandai menyembunyikan kedongkolan di balik topeng lembut seorang ibu, nyatanya memiliki sisi lain yang begitu mengerikan.Bahkan kala mendapati sang putri menciut karena ultimatumnya, Pineti tak gentar sedikit pun.“Mengapa? Apa kau meragukan Ibu?” tukas wanita paruh baya tersebut melirik tajam.Kelopak mata Aretha berkedip buncah. “Bu-bukan seperti itu, Ibu. Ibu lihat sendiri, Kak Anais sekarang semakin berani. Bahkan di sampingnya ada cucu pertama Tuan Hans!”Deretan kalimat anaknya sekejap membuat Pineti mengernyitkan keningnya. Tatapannya yang berubah lekat seolah menerka-nerka apa maksud Aretha.Tanpa menunggu sang ibu menguarkan tanya, Aretha lekas berkata, “Ibu tahu ‘kan? Jade-pria yang muncul di acara keluarga dulu, dan pernah berselisih dengan Ibu saat acara pertunanganku? Dia adalah Cucu pertama Tuan Hans!”Sontak iris
Sosok wanita yang tengah membuat Jade gelisah, rupanya tengah dibakar masalah. Ya, pertemuannya dengan sang investor kemarin malam, memacu kepalanya nyaris meledak.‘Mengapa Tuan Feanton baru mengatakan semuanya sekarang? Bahkan di antara para penanam modal, dia-lah yang paling lama mengenal Ibu, bahkan dekat juga dengan Ayah. Aku benar-benar tidak mengira jika ….’Anais menghentikan gemingnya dalam hati, kala mendengar suara ketukan dari pintu ruangannya. Dia buyar dari lamunan peliknya.Dengan iris menggulir ke arah ambang tersebut, dirinya pun berkata, “masuklah.”“Ada apa, Nyonya Velma?” tanya Anais yang melihat wajah gelisah pegawainya tersebut.Lawan bincangnya ragu-ragu, tapi dia tak bisa menyembunyikan laporan ketika sudah beranjak menemui Anais di ruangan tersebut.“Maaf, Nona. Saya baru saja menerima panggilan telepon dari Seniman Cosseno. Beliau bilang ….” Velma sungguh tak kuasa melanjutkan kata-katanya.Dan tingkahnya itu semakin membuat penasaran meluap di benak Anais.“
Velma hanya menanggapi pertanyaan Eldhan dengan senyuman, tapi bibirnya yang tertarik ke atas itu menyiratkan beragam persepsi. “Keputusan ada di tangan Tuan Eldhan. Anda lebih mengenal Nona Anais dibanding saya. Jadi saya yakin Anda tahu yang terbaik untuknya.” Velma yang menjawab ambigu pun berlalu usai menundukan kepalanya dengan hormat. Meninggalkan Eldhan yang kini mematung di tempatnya. Bahkan ketika derap langkah Velma kian menjauh, dia tetap berdiri seperti lelaki bodoh yang tak tahu diri. ‘Apakah aku seegois itu hanya karena menyukaimu, Anais?’ batinnya dalam hati. Namun, tanpa sadar nalurinya membawa kakinya melangkah hingga ke tempat sang wanita. Kebetulan, pintu ruangan tersebut terbuka selebar intipan mata, hingga Eldhan bisa melihat sosok Anais yang tampak berkelit dengan dokumen di mejanya. Saat itu, dirinya mengerti alasan Velma melarangnya menemui Anais. ‘Mungkin semua ucapan Nyonya Velma memang benar.’ Eldhan bergeming dalam diam. Rasa rendah diri membuatnya me
Anais terhuyung dan nyaris jatuh, tapi beruntung tangannya berpegang erat pada dinding hingga dia bisa menyeimbangkan tubuhnya. Akan sangat konyol jika dirinya ambruk ke lantai atau kemungkinan paling buruk ditangkap oleh Denver. “Sialan! Apa yang terjadi di sini?!” sentak Denver memaki-maki. Lampu yang mati pun menjadikan suasana gelap, dan itu membuat napasnya mulai sesak. Dia menggedor-gedor pintu elevator tersebut, tangannya juga ricuh menekan tombol bantuan untuk berkomunikasi dengan petugas. Namun, agaknya semua sia-sia. Listrik yang tak berfungsi hanya menambah kekesalannya semakin membumbung. “Berengsek! Di mana para petugas?! Apa mereka semua tidak tahu jika aku ada di sini, hah?!” berangnya meninju ambang lift tersebut. Emosinya memuncak, jarinya bergerak liar melonggarkan pangkal dasinya yang terasa mencekik. “Dasar, orang-orang tak berguna!” pungkasnya penuh umpatan. Sementara Anais yang melihat tingkah Denver, hanya membungkam jijik di sudut. ‘Haruskah dia bersikap
“Maaf? Anda siapa?” Kening Anais mengerut penasaran.Dirinya belum pernah sekalipun melihat sosok lelaki tinggi besar dengan wajah seberingas itu. Ya, figurnya bukan seperti kebanyakan orang yang sering dia temui.“Mengapa Anda ada di sini?” tukas Anais melanjutkan tanya.Alih-alih memberi penjelasan, lelaki dengan air muka garang itu justru memamerkan seringai mengerikan. Dan reaksi tersebut memacu kabut resah menyelubungi Anais.“Bukankah Anda ke tempat ini untuk bertemu seseorang?” balas lelaki tadi seraya melangkahkan kakinya mendekati Anais.Seketika, sang wanita pun mundur karena tatapan lawan bincangnya bukanlah sorot yang biasa.Dengan wajah tegangnya, Anais pun menyambar, “di mana Tuan Cooper?”Nadanya yang tegas, tiba-tiba memicu gelak tawa lelaki di depannya. Dia terbahak-bahak seakan mengejek Anais yang tampak konyol.Tanpa menguarkan sepatah kata, laki-laki itu terus mengikis jarak dengan sang wanita. Sungguh, gerak-geriknya yang mencurigakan langsung membuat Anais kian m
Suasana dalam lift yang hanya ada Anais dan Jade, terasa sangat canggung. Udara di antara keduanya seperti membeku karena tak ada satu pun yang membuka suara. Akan tetapi, Anais tak bisa bungkam saja usai mengetahui tingkah Jade yang hanya diam menonton seseorang yang nyaris sekarat. “Mengapa Anda melakukannya? Bagaimana bisa Anda begitu tenang saat ada orang yang hampir mati di depan Anda?!” sungut Anais tanpa melihat pria di sampingnya. Jade semula tak ingin membahas perkara ini, tapi agaknya Anais terkejut karena dirinya baru saja menginjak ujung jurang kematian. Walau akhirnya dia selamat, tapi sensasi merinding masih melekat di punggungnya. “Saya hanya akan bertindak untuk orang-orang yang saya inginkan.” Nada Jade terdengar dalam, tapi juga menekan. Anais yang mendengarnya pun otomatis menyernyitkan dahinya. Jika ditilik kembali, bukankah Jade tak segan bergerak setiap kali dirinya dalam situasi sulit? ‘A-apa maksud pria ini sebenarnya?’ Anais membatin getir. Rasa kering m
“Putramu sangat menggemaskan. Lebih baik kau bergabung bersama mereka,” tutur Hans tersenyum saat melihat Jade menggandeng anaknya. “Jade sudah menemaninya, aku akan di sini bersama Kakek.” Anais membalas selaras dengan bibirnya yang tertarik ke atas. Meski dia bilang seperti itu, tapi Hans tahu benar bahwa cicitnya lebih membutuhkan Anais. “Bukankah Kakek sudah bilang, Jade tidak ingin putranya berakhir seperti dirinya. Jadi, kau harus membantu suamimu agar dia bisa memberikan kasih sayang yang berlimpah pada anaknya.” Mendengar nasihat Hans, kali ini Anais tak bisa bersikeras. Usai pamit pada kakek mertuanya, wanita itu pun menghampiri Jade dan sang putra yang sudah rapi dengan pakaian berkuda. “Reins!” tukas Anais menyeru. Ya, River Reiner Herakles-yang akrab disapa Reins oleh Anais itu adalah bocah lelaki kecil yang menawan dan energik. Semakin dia tumbuh besar, rupa wajahnya semakin mirip dengan Jade. “Lihat aku, Mommy! Apa aku sudah mirip Daddy?” tukas River memamerkan pen
***“Sebaiknya Anda berhenti minum, Tuan,” tukas seorang lelaki yang merupakan Asisten Pribadi Denver selama di Asia.“Singkirkan tanganmu, sialan!”Alih-alih menurut, Denver malah menampik tangan asistennya seraya mengumpat geram. Dia justru mengisi gelasnya dengan vodka karena pikirannya sangat semrawut. Akan tetapi, lagi-lagi asistennya menahan saat dirinya hendak meneguk minumannya.“Mengapa? Apa kau akan mengadu pada Kakek?!” decak Cucu kedua Hans tersebut.Dia merengkuh kerah sang asisten hingga wajah mereka lebih dekat. “Katakan pada Kakek, bahwa aku hanya bermain-main di sini. Laporkan saja kerjaku tidak becus dan hanya membuang waktu dengan para wanita penghibur. Bukankah itu sudah cukup untuk memenuhi laporanmu tentangku?!”“Tuan, Anda tidak boleh—”“Berisik!” Denver kembali menyambar dan lantas melepas cekalan tangan dari kerah asistennya.Dia menyabit gelas vodkanya, lantas meneguk minumannya hingga tandas. Begitu cairan memabukkan itu mengaliri tenggorokannya, pria itu m
“Dokter, bicaralah dengan jujur. Istri saya sedang dalam bahaya, tapi bagaimana bisa Anda mengatakan sesuatu yang konyol?!” Jade memberang seiring amarah perih menjalari raganya. “Mohon maaf, Tuan. Kami tidak ada pilihan lain, sebab jika kami memaksa melakukan operasi untuk mengeluarkan pelurunya, bayi dalam kandungan istri Anda bisa dalam bahaya. Namun, apabila peluru itu tidak segera dikeluarkan, nyawa istri Anda bisa terancam,” balas Dokter itu dengan raut wajah gelisah. Memang, dirinya seperti menemui jalan buntu. Dia pun tidak bisa mengambil risiko sebab ini menyangkut hidup dan mati seseorang. “Se-sebab itu, kami menyerahkan keputusan pada Anda, selaku suaminya. Apapun pilihan—” “Pilihan?!” Jade lantas menyahut sebelum ucapan tenaga medis itu tuntas. “Apa yang Anda maksud dengan pilihan, Dokter? Anda sama saja meminta saya untuk membunuh salah satu dari mereka!” Manik abu pria tersebut tampak membesar dengan getir. Dirinya sungguh tak bisa mengambil keputusan mengenai perkar
Netra abu Jade membelalak selebar cakram begitu melihat peluru melesat ke dada kiri Anais. Sensasi terbakar bercampur perih, kini seolah menyobek jantung pria itu.“Tidak, Anais!” Dirinya buru-buru menuju istrinya, tapi tanpa dia tahu, Aretha malah mengarahkan pistol padanya.‘Dasar pasangan sialan! Lebih baik kalian ke neraka bersama!’ decak Adik angkat Anais itu dalam batin.Tangannya bersiap menarik pelatuk senjata apinya, tapi Carlein yang berada di belakang Jade, lebih dulu melesatkan tembakan hingga tepat mengenai lengan Aretha. Suara desingan peluru Cerlein sontak membuat semua orang tertegun, tapi Jade tanpa peduli hanya berlari pada Anais.Pria tersebut merengkuh sang istri yang masih terikat di kursi. Gelenyar merah pun merembes dari balik dress putih gading yang wanita itu kenakan. Dan begitu menyadari sang suami tiba, manik Anais pun bergetar seolah menemukan muaranya.“Jade … a-aku tahu kau akan datang. Kau pasti menemukanku di mana pun aku berada.” Anais bertutur dengan
***Nyaris satu jam, akhirnya Jade baru membuka ponselnya. Dan saat itu juga, keningnya mengernyit sebab ada beberapa panggilan tak terjawab dari sang istri. Dirinya yang kini berangkat menuju mansion Herakles, berupaya menelepon Anais kembali, tapi hasilnya nihil sebab istrinya tak mengangkat.“Mengapa dia tidak menerima panggilanku?” gumam Jade terserang bingung.“Mungkin saja Nyonya Anais saat ini sedang berbincang dengan Pimpinan, Tuan. Jadi Nyonya tidak sempat melihat ponselnya.” Carlein pun menyahut untuk menenangkan.Jika dipikir jernih, bisa saja itu benar, sehingga Jade pun membalas, “ya, mungkin. Terlebih lagi, Kakek sangat menantikan kelahiran bayi kami. Pasti Kakek mengajak Anais bicara banyak hal.”Jade menghela napas sembari merebahkan kepalanya di badan kursi mobilnya.‘Walau begitu, aku sangat cemas karena membiarkan Anais be
*** “Hei, mengapa di sini tidak ada minuman?!” Cedric membanting pintu lemari pendingin dengan emosi. Sepasang matanya yang cekung tampak mengerikan di wajahnya yang berang. Dia lantas menendang kursi, sampai membuat Aretha yang sedari tadi melihat sesuatu di laptopnya menjadi terusik. “Hah, sialan! Rumah macam apa ini?! Benar-benar memuakkan!” Cedric kembali mengumpat kasar. Sang adik yang sudah tidak tahan dengan tabiat kakaknya pun menyambar, “apa Kak Cedric buta? Di sana banyak air, apa susahnya minum air itu?!” “Aku tidak butuh air, berengsek! Tapi alkohol, alkohol, sialan! Aku benar-benar stress, jadi setidaknya berikan aku bir!” Putra sulung Tigris Devante itu kembali mendengus dengan amukan berapi-api. Dia yang merupakan seorang pecandu narkotika sudah kesulitan mendapat obat terlarangnya, hingga setiap hari hanya melampiaskannya pada minuman. “Aish, sial! Ini bukan bar. Jika Kakak ingin bir, pergilah ke bar atau club malam. Jadi berhentilah mengeluh dan mengumpat, karen
‘A-apa aku tidak salah lihat?’ Anais membatin seiring dengan maniknya yang berkedip.Dirinya tercengang mendapati Lariat Anne datang bersama seorang pria. Mungkin di mata publik itu adalah hal biasa, tapi bagi Anais ini sungguh tak terduga sebab pria yang tengah menemani Anne tak lain adalah Eldhan Hermeden.‘Apakah selama ini mereka saling kenal? Mengapa Anne bisa datang bersama Eldhan?’ sambung wanita itu dalam hati.Apa saja yang sudah Anais lewatkan? Dia cukup lama tidak melihat Eldhan sejak tahu bahwa pria tersebut memiliki perasaan padanya. Ya, meski saat itu Anais belum jatuh cinta pada Jade, tapi dirinya merasa aneh dan tak bisa menerima hati Eldhan.Dari lawan arah, Lariat Anne mendekat bersama Eldhan di sebelahnya. Dan seperti biasa, penampilan Anne yang glamor, kini diimbangi Eldhan yang tampil dengan setelan jas berkelas.“Selamat atas pelantikan Anda sebagai Presiden Direktur DV Group, Nona,” tuturnya disertai senyum anggun.Anais dengan santun pun membalas, “terima kasih,
“A-apakah pria yang ada di foto waktu itu adalah ayahmu?” Anais bertanya ragu-ragu, dan itu sekejap membuat Jade menaikkan kedua alisnya. “Foto apa yang kau maksud?” balas sang pria bertanya. Ada jeda beberapa saat sebelum Anais menjawab. Dan ya, wanita itu baru sadar bawah dulu dia masuk ke ruang rahasia penthouse Jade tanpa persetujuan suaminya. ‘Aish, mengapa aku jadi mengungkit masalah itu? Harusnya aku tidak usah membahas tentang ayahnya lagi ‘kan? Dia menyembunyikan foto-foto itu pasti karena suatu alasan. Sekarang dia pasti curiga padaku. Apa yang harus aku katakan?’ geming Anais bingung dalam batin. “Apa kau—” “Ma-maafkan aku, Jade.” Anais segera menyahut ucapan sang pria yang belum tuntas. “Saat itu, ketika kau memergoki diriku di ruang rahasia penthouse milikmu, aku tidak sengaja melihat foto anak laki-laki kecil bersama seorang pria. A-aku pikir, itu adalah dirimu dan ayah mertua.” Mendengar penjelasan sang istri, Jade sekarang ingat. Ya, untuk pertama kalinya, dia mel
Jade segera membuka amplop putih dari Carlein. Irisnya memindai penasaran sebab asistennya bilang dia telah ditipu. Dan ya, di bagian akhir surat hasil tes yang kini dipegangnya, Jade melihat jelas bahwa keterangannya negative! Dia bahkan membaca berkali-kali, khawatir bila matanya salah menilik. Akan tetapi, keterangannya memang menunjukan bahwa hasil tes DNA yang dia lakukan bersama Anais tidak cocok. “Apa arti surat ini, Carlein?” tukasnya menuntut penjelasan. Sang asisten segera menjawab dengan tegas. “Ini adalah hasil tes yang sebenarnya, Tuan. Dokter itu telah menipu Anda dengan memalsukan hasil tes menjadi positif karena permintaan seseorang.” Detik itu juga, manik abu Jade tampak menyorot tajam dengan alis saling mendapuk. Tak bisa dipungkiri bahwa dia sungguh senang jika ternyata dirinya dan Anais bukanlah saudara, tapi di sisi lain, pria tersebut pasti akan murka karena ada orang yang ingin main-main dengannya. Namun, Jade tak bisa langsung girang sebelum memastikan semua