“Hah? Apa Kak Anais sadar dengan apa yang baru saja Kakak katakan?!” Aretha langsung mendidih seolah dirinya tersiram kuah panas. Sederet ucapan Anais yang terdengar besar kepala, membuat hatinya meringking jijik. Tangannya pun sudah gatal ingin menjambak surai panjang sang kakak dan ingin menyeretnya ke jalanan. “Harusnya kau berkaca sebelum bicara, Kak! Mana mungkin Kak Denver menelan ludahnya sendiri? Mustahil dia menyesal karena membuang mantannya yang seperti sampah!” sungut putri kesayangan Pineti itu lebih keras. Setiap katanya memang mengandung cibiran magma, tapi lawan bincangnya masih memamerkan tampang sedingin gletser. Dengan wajah teramat datar, Anais pun menyambar, “Adikku, bukankah lebih baik kau bertanya langsung pada pria yang kau puja itu? Tanyakan, mengapa dia selalu muncul di hadapanku?! Aku benar-benar muak melihatnya!” Sungguh, auranya yang tersiar tedas, memang menggambarkan amukan yang tertahan. Dirinya tak ingin menurunkan harga diri dengan meladeni adik
‘Kau memang berengsek, Aretha!’ Anais mengumpat dalam benaknya.Hatinya yang remuk berkeping-keping karena ulah Denver, agaknya tak ada waktu untuk sembuh sebab tingkah adiknya.Meski perih, Anais memaksa dirinya untuk mendekat. Dia tak ingin lagi kehilangan bukti bahwa Aretha itu jalang dengan banyak wajah.“Sial, mengapa kau sampai berani berbuat sejauh ini? Bagaimana kalau kau ketahuan?” tutur suara perempuan tadi terdengar lagi.Rupanya dua orang pelayan tengah mengobrol di sudut ruang tengah seraya mengelap meja. Tanpa sepengetahun mereka, Anais pun menyelinap di balik dinding dengan fitur perekam menyala di layar ponselnya.“Hei, bagaimana mungkin aku melawan Nona Aretha? Aku bisa langsung dipecat olehnya.” Pelayan dengan tahi lalat di atas bibirnya itu mengeluh.Ya, Anais sudah tak terkejut. Dia memang orang yang diam-diam masuk kamarnya dengan dalih bersih-bersih.“Saat itu aku hampir dipergoki Nona Anais setelah merusak jahitan gaunnya, tapi aku masih selamat. Beruntungnya No
‘Sialan, berani sekali anak pungut ini berusaha menyingkirkanku!’ sengit Pineti membatin kesal.Dirinya terus mengutuk seiring dengan kepalan tangannya yang kian gemetar. Dia tak menyangka, sekitar 17 tahun berlalu, anak kecil yang selalu diremehkannya kini berlagak mengusirnya dari mansion Devante.“Hei, apa kau sadar dengan apa yang sudah kau katakan, Anais? Apa kau tidak ingat siapa orang yang meraih tanganmu saat kau hanya sebatang kara?! Mungkinkah kau—”“Ibu!” Anais lekas memangkas ucapan Pineti dengan tegas. “Saya belum selesai bicara!”“Apa?”Seketika, istri Tigris Devante itu pun tersentak dengan alis menukik tajam. Dia tak mengira bahwa Anais yang selama ini menampilkan sikap lugu, malah berani membentaknya.“Bagian saya bicara belum selesai. Jika Ibu melempar kata sembilan kali, maka saya pun berhak menjawab sembilan kali juga!” sahut Anais dengan manik terpampang tajam.Sungguh, ekspresinya terjaga teguh. Menampilkan jelas kekesalan yang terkungkung dalam dadanya.“Ibu ter
Anais menelan salivanya getir kala menerima memo dari pegawainya. Dirinya yang nyaris pingsan karena tekanan masalah, harus menguatkan raga untuk menenangkan investornya.“Mungkin kita masih ada kesempatan, tapi ….” Velma meredam ucapnya kala Anais mulai membaca pesan singkat tersebut.Manik hazel sang direktur tampak menyorotkan banyak maksud.“Yah, ini tidak masalah. Saya akan memenuhi permintaan Tuan Feanton,” tukas Anais tanpa basa-basi.Keputusan yang terdengar mendadak itu, malah memicu keraguan di benak Velma.Dia mengerutkan kening, dengan ragu dia pun bertanya, “apa Anda yakin baik-baik saja, Nona? Tempat yang beliau minta agak ….”Ya, lelaki bernama Feanton, seorang investor lama di Dante’s Gallery itu meminta Anais agar mengunjunginya di hotel malam ini.Anais yang memulai perkara karena telat dalam pertemuan pagi ini, tentunya tak bisa bersikap angkuh dengan menolaknya.“Tidak apa, hal ini terjadi karena kesalahan saya yang tidak profesional. Jadi, saya harus segera memper
‘I-ini … ini tidak mungkin ‘kan?’ batin Anais tak percaya.Inderanya terus jatuh, seolah jiwanya sudah setengah jalan meninggalkan raganya.Di dokumen itu jelas tertulis jumlah dengan nominal triliunan, nilai yang teramat mustahil untuk Anais penuhi sekarang.“Saya tahu, mungkin mendiang Ibu Anda tidak pernah menyinggung perkara ini sebelumnya. Itu memang perjanjian kami untuk tidak memberitahu penerusnya. Namun, setelah waktu berlalu, saya pikir saya harus meminta hak saya kembali, Nona Anais,” cetus Feanton yang seakan membuyarkan lamunan Anais.Wanita itu menarik napas sesak. Bahkan jelas, nama peminjam modal yang tertera di sana memanglah sang ibu.“Sa-saya mengerti, Tuan Feanton. Hutang tetaplah hutang, dan harus dibayar,” sahut Anais penuh getir.Tangannya gemetar seakan ingin putus dari sendinya, tapi Anais tak bisa tampak lemah. Dirinya yang tiba-tiba tertimba beton fakta yang mencengangkan, harus melunasi pinjaman itu apapun yang terjadi.“Saya lega, karena Anda bisa mengerti
“Aish!” Jade mendesis kesal seiring dengan lajunya yang terpaksa berhenti. Dia baru menyadari, bahwa Anais tak boleh sampai melihatnya di tempat ini atau seluruh rencananya akan gagal. Sehingga, dirinya yang sudah ingin menendang Eldhan menjauh dari wanitanya, harus berusaha keras menekan hasratnya. ‘Bersenang-senanglah saat bisa. Sebentar lagi, tidak akan ada pria manapun yang bisa mendekati wanitaku!’ decaknya bertekad dalam hati. Benar, Jade yang memiliki ambisi untuk menggenggam segalanya, tentu tak mungkin sudi jika miliknya disentuh orang lain, tidak akan pernah! Dia menyorotkan tatapan tajam pada Eldhan yang berlagak memanjakan Anais. Tak tahan dengan pemandangan itu, akhirnya Jade mangkir menuju mobilnya. Sementara masih di sana, Eldhan pun menumpukan tangannya di sisi kanan dan kiri sang wanita seolah mengungkungnya. ‘A-apa yang dia lakukan?’ batin Anais dengan alis berkedut samar. Sungguh, posisi Eldhan yang ambigu benar-benar tak nyaman bagi dirinya. Meski dengan tem
Ya, anak kecil paham maksud anak kecil, begitupun orang dewasa. Seorang pria pasti mengerti isi pikiran pria lainnya. Jade tahu benar bahwa Eldhan telah memendam perasan sangat lama untuk Anais, wanitanya! Dan itu membuat Jade sangat terganggu. “Sebaiknya simpan saja rasa itu selamanya, jangan sampai Nona Anais mengetahuinya!” sungut pria tersebut yang kini menutup kembali jendela mobilnya. Tanpa menunggu balasan, Jade segera melesat dari tempat tersebut. Menyisakan Eldhan yang tampak menyedihkan dengan segala cintanya yang tak pernah tersampaikan. Suara mesin sedan mewah Jade menjadi satu-satunya bunyi yang kian lama, kian membuat hatinya meringking. “Argh! Dasar, berengsek!” umpatnya penuh kesumat. “Memangnya apa yang diketahuinya? Dia sama sekali tidak tahu apapun tentang Anais!” Kedua tangannya mencengkeram kepala dan lekas menghempasnya keras. Eldhan kacau, tapi bukan pasal dirinya memiliki saingan untuk mendapatkan hati Anais. Melainkan harga dirinya terinjak, sebab Jade m
“Beraninya kau bicara omong kosong tentang Aretha!” Putri kedua Tigris Devante itu memberang dengan kerasnya.Melihat si pelayan yang jatuh tersungkur karena gamparan tangannya, tak membuat kemarahan wanita itu menyusut. “Kapan Aretha memintamu merusak gaun Kak Anais? Kau jangan menyalahkan orang lain untuk perbuatanmu!” dengusnya kian meledak.Lubang hidungnya membara saat pelayan yang cukup lama bekerja untuknya itu menatap dengan wajah tercengang. Bahkan ketika jeramnya mulai merembes melalui sudut matanya, Aretha sama sekali tak peduli.“To-tolong, Nona Aretha. Saya bicara jujur. Saya hanya melakukan perintah Anda! Saat—”“Hei, jangan berbohong dan bicara keras pada Aretha! Berikan bukti jika memang Aretha yang menyuruhmu!” Putri kesayangan Pineti itu langsung menyahut sebelum Pelayannya selesai bercakap.Sangat kentara dirinya ingin mendominasi suasana dengan amukan, hingga menyiutkan nyali bawahannya tersebut. Dan Anais mengetahuinya dengan jelas!‘Ah … lihatlah kelakuanmu untuk