“Kapan kau akan memutuskan hubunganmu dengan Kakakku, Denver?” bisik seorang wanita yang terdengar menggoda.
Sosok cantik berbalut mini dress itu tengah menggelayut manja pada sang pria di tengah tangga darurat. Tangan lentiknya membelai leher pasangannya hingga memacu sebuah hasrat liar.Sang pria yang sudah ingin menerkam, seketika merengkuh tangan wanita itu dan mencengkeramnya di dinding. Dirinya mendekat, jari telunjuknya dari hasta yang lain menarik dagu wanitanya ke atas.“Tatap aku dan jangan katakan apapun. Aku sangat muak membahas Anais!” sahut pria itu memerintah.Sontak, langkah Anais Devante terhenti kala mendengar namanya terseret. Kakinya yang baru saja mendarat di pijakan tangga darurat itu, langsung menegang hebat.‘A-apa yang baru saja aku dengar?’ Anais membatin getir.“Apa kau tahu? Saat ini wajahmu tampak sangat bergairah, Denver Herakles!” Nada manja wanita tadi terdengar lagi.Sekujur tubuh Anais luruh dalam derasnya arus pengkhianatan. Meski belum melihat tampangnya, tapi dia sungguh yakin bahwa suara-suara itu berasal dari orang yang dikenalnya.‘Tidak mungkin ‘kan? Ini pasti tidak mungkin! A-aku mohon, semoga dugaanku tidak benar,’ batin Anais seraya beranjak naik.Tangannya mengenggam pinggiran tangga seperti meminta bantuan untuk tetap tegar. Namun, seketika wajahnya membeku saat mendapati sang tunangan tengah bermesraan dengan wanita lain.“Denver!” Manik hazelnya gemetar menyaksikan pemandangan yang begitu menjijikkan.‘Kau benar-benar pria berengsek, Denver Herakles! Kita akan menikah, tapi bagaimana bisa kau mengkhianatiku demi jalang sepertinya?!’ umpat Anais penuh dendam dalam benaknya.Kucuran jeram kini berkumpul di pelupuk matanya, berdemo seakan siap menjebol pertahanannya. Sosok pria yang selama ini dia anggap sebagai sandaran, mengapa tega berselingkuh dengan saudara perempuannya? Ya, adik Anais sendiri!‘Tidak, jangan menangis, Anais. Kau tidak pantas menumpahkan air mata untuk pria sialan itu!’ decaknya membatin.Namun, sekeras apapun Anais mencoba bertahan, ini sangat sulit. Di malam pesta perayaan keberhasilan pameran Dante’s Gallery yang dijalaninya, mengapa dia malah hancur?Wanita itu mundur, tapi bunyi sepatu hak tingginya seketika membuyarkan kegiatan panas dua orang di hadapannya.“Kakak?!” sergah Aretha begitu menyadari kehadiran Anais.Dia pun buru-buru melepas pagutan tangannya dari leher Denver.“Mengapa Kakak ada di sini? Bukankah seharusnya Kakak sibuk dengan para Seniman di ballroom?” sambung Aretha tanpa rasa bersalah.Sungguh, lahar panas kian menjalar di aliran darah Anais. Dia menggulir irisnya ke arah Denver yang hanya menampilkan sorot dingin padanya.“Ah … kalian benar-benar tidak tahu malu. Setidaknya pilihlah tempat yang sedikit berkelas, mengapa harus melakukannya di sini? Apa kalian tidak mampu menyewa kamar hotel?!” cecar Anais dengan sindiran tedasnya.“Apa yang Kakak katakan?!” sambar Aretha melotot tajam.Emosinya tersulut mendengar hardikkan Anais yang terang-terangan merendahkannya. Dirinya hendak beranjak, tapi segera ditahan oleh Denver yang berada di depannya.Pria itu menggeleng samar, memberi kode pada Aretha untuk tetap diam. Dia pun mangkir dari sisi Aretha dan lekas menghampiri Anais.“Ikuti aku,” bisiknya menarik tangan sang tunangan.“Jangan menyentuhku!” sergah Anais menampik keras tangan Denver darinya.“Kau salah paham, kita perlu bicara.”Denver kembali bersikeras, dia mencekal lengan Anais dengan tatapan mendominasi. Alisnya yang menukik tajam sungguh mengisyaratkan bahwa dirinya tak menerima penolakan.“Apa yang ingin kau bicarakan? Katakan saja semuanya di sini!” tantang Anais.Alih-alih langsung menjawab, Denver hanya memamerkan seringai miringnya. Tanpa diduga, dirinya melepas cincin pertunangan yang dua tahun lalu dipasangkan Anais di jari manisnya. Dia meraih telapak Anais, lantas memberikan benda mungil itu padanya.“Kita akhiri saja semuanya. Pertunangan, juga rencana pernikahan kita!” dengus Denver dengan tampang serius.Sekejap, manik Anais berubah selebar cakram. Napasnya menderu seiring dengan genggaman penuh bara pada cincin yang diterimanya.“Apa maksudmu, Denver?!” bentak Anais menuntut penjelasan.“Aku tidak bisa menikah denganmu, Anais. Kita berdua tidak cocok!” sungut Denver yang kian membuat dada sang wanita bergemuruh sesak.Dirinya sungguh tak percaya bahwa pria yang begitu dicintainya berubah dalam sekejap.“Jadi kau membuangku demi wanita sialan itu? Kau benar-benar gila, Denver!” Anais menyergah penuh berang.“Ya, aku memang gila karena bertunangan denganmu. Kau hanya putri angkat Tuan Tigris, Anais. Mana mungkin aku menikahi wanita yang dipungut keluarga Devante?!” sahut Denver yang lantas membuat Anais tertegun.“Ba-bagaimana bisa kau mengatakan semua itu?” Tanpa sadar air mata Anais terjatuh.Ratusan jarum seakan tenggelam dalam jantungnya, sungguh menyakitkan. Sebuah rahasia yang telah ditutup rapat oleh keluarga Devante, kini tersiar terang dari mulut Denver Herakles.“Mengapa terkejut seperti itu? Semuanya kan benar, Kakak memang bukan putri kandung Ayah. Kakak bukan anggota keluarga Devante yang sah!” sahut Aretha ikut menyela.Seketika, Anais pun memicingkan mata saat Aretha berjalan ke arahnya. Adiknya itu memang benar-benar rubah licik. Tanpa ragu dia menguliti Anais di hadapan sang pria.“Tutup mulutmu, Aretha. Aku sedang bicara dengan Denver!” sentak Anais geram.“Kenapa? Apa Kakak malu karena Denver sudah mengetahui rahasia Kakak? Kau memang tidak pantas bersanding dengan Denver, Kak!”Sontak, Anais pun naik pitam. Wanita itu melayangkan gampar tangannya pada wajah Aretha yang sedang girang mencercanya.Bahkan tamparan saja rasanya tidak cukup. Anais tahu benar, karena siapa Denver mengetahui rahasia itu. Dia sangat hafal tingkah Aretha yang menghalalkan segala cara demi membuatnya jatuh ke palung terdalam.“Beraninya Kakak menamparku!” sergah Aretha kesal.“Kau lihat sendiri ‘kan, Denver? Sikap Kak Anais sangat liar. Dia tidak level jika disandingkan denganmu, karena memang seperti itulah kelakuan anak pungut!” lanjutnya kembali mencecar.Mendengar itu, kobaran api dalam dada Anais meledak. Tangannya kembali mengambil ancang-ancang bersiap memukul Aretha. Namun, dengan sigap Denver malah mencekal lengan Anais demi melindungi putri kedua keluarga Devante itu.“Cukup, Anais! Aku sudah muak melihatmu, pergilah selagi aku masih bersikap baik!” dengusnya menahan amarah.Dia pun menghempaskan tangan Anais hingga nyaris saja membuat mantan tunangannya menghantam dinding.Sungguh, Anais hancur tak berbentuk. Bisa-bisanya pria yang pernah memanjakannya, kini malah memperlakukannya seperti sampah?!“Kau tidak pantas disebut manusia. Hah … rasanya aku beruntung bisa melihat wujud aslimu, Denver. Kau memang serasi dengan wanita rendahan seperti Adikku tersayang. Bersenang-senanglah, jangan pernah muncul lagi di hadapanku!” timpal Anais mangkir menuruni tangga.Baru beberapa langkah wanita itu beranjak, dia pun terhenti dan kembali berpaling.“Ingat, akulah yang pergi darimu, Denver!” ujarnya yang lantas beralih memandang Aretha. “Dan kau, selamat menampung pria berengsek sepertinya!”Kepala Anais penuh dengan tekanan, dia pun pergi dengan kesumat yang membara.Di tengah langkahnya, Anais menyambar segelas alkohol dari nampan pelayan yang dilaluinya. Tanpa memeriksa apapun, dia langsung menenggak cairan itu hingga tandas.‘Aish … sial! Kau benar-benar pria biadab, Denver. Aku harap kau membusuk bersama Aretha di neraka!’ Anais terus mengutuk sang mantan dan adiknya dalam hati.Namun, beberapa saat kemudian wanita itu merasakan sesuatu yang aneh. Gemuruh panas seolah menghunjaminya. Darahnya pun berdesir cepat, tetapi begitu merangsang bagian sensitifnya.‘Ah … apa yang terjadi padaku?’ batinnya dengan napas terengah-engah.Tangannya gemetaran, keringat dingin sudah membasahi dahi dan tengkuknya, tapi anehnya Anais malah merasa kepanasan. Dia mengusap lehernya dan lekas beranjak menuju kamar hotelnya.Anais berjalan sempoyongan, pandangannya yang kabur membuatnya tak sadar ketika asal memasuki kamar.Begitu dirinya melangkah ke dalam ruangan, seorang pria tiba-tiba berkata, “Apa yang Anda lakukan, Nona?”“Ugh!”Kepala Anais berdenyut sangat hebat seolah ada tali yang melilitnya. Keningnya mengernyit saat sepasang netranya mulai terbuka.‘Ah … di mana ini?’ batinnya bertanya-tanya.Manik hazelnya mengerjap, berupaya mencapai fokus. Namun, Anais sama sekali tak mengenali tempat ini. Dalam situasi sunyi itu, hanya terdengar deru mesin pendingin ruangan, juga sebuah helaan napas yang terasa menghangatkan tengkuknya.Detik itu juga Anais tersadar, sebuah lengan kekar tampak melingkari pinggangnya. Begitu irisnya bergulir, dia dapat dengan jelas melihat seorang pria asing memeluknya dari belakang.‘Astaga, siapa dia?!’Beruntung ucapan kaget itu berhasil dia redam dalam benaknya. Bisa kacau jika Anais menjerit dan membangunkan sosok tampan nan maskulin tersebut.‘Kau benar-benar gila, Anais. Bagaimana bisa kau tidur dengan pria asing ini?!’ Anais kembali membatin dan coba mengingat kejadian malam itu. Namun, memorinya tidak lebih dari kejadian Denver dan Aretha. Dan sialnya, hal itu malah
'Seniman berinisial AD booking kamar hotel bersama selingkuhan?!’ batin Anais terkejut. Maniknya berubah selebar cakram begitu mengetahui tajuk berita di surat kabar tersebut. Wajahnya semakin tegang kala menemukan potret dirinya tengah bercumbu dengan pria asing di depan pintu kamar hotel. Sungguh sial, semesta benar-benar menumpahkan kemalangan tanpa ampunan pada Anais. Rupanya malam itu ada paparazi yang membuntuti dan mengambil gambar dirinya, kala masuk ke dalam kamar Jade. Namun, bagaimana bisa dia tidak menyadarinya? “I-ini … ini tidak benar!” sungut Anais menelan salivanya dengan getir. Dia tahu betul, bahwa mustahil untuk mengelak. Meski sang pria tampak diburamkan, tapi jelas-jelas wujud dirinya yang tercetak di surat kabar itu. Anais merasa payah, tapi dia tak ingin mengakuinya. “Hah ... apanya yang tidak benar? Kakak tidak buta, jadi jangan menghindarinya. Bahkan semua orang bisa melihatnya jika wanita menjijikkan ini adalah Kak Anais!” sergah Aretha kian memperkeruh
Seluruh pasang mata langsung terbelalak mengetahui keputusan Denver yang tak terduga. Termasuk Aretha yang memang menunggu momen ini.‘Bagus, Denver! Akhirnya kau benar-benar membuang Kak Anais!’ batin adik Anais itu girang.“Apa yang baru saja kau katakan, Denver?” Leah-ibu Denver yang berpenampilan nyentrik dengan model rambut pixie cut silvernya itu mengerutkan kening. Dia seolah tak percaya dengan ucapan sang putra yang masih ingin melanjutkan perjodohan dengan keluarga Devante.“Ibu, kerja sama kita dengan DV Group tidak bisa hancur begitu saja hanya karena rumor ini. Akan lebih baik jika Aretha menggantikan Anais sebagai calon istriku. Bukankah ini solusi yang tepat dan tidak merugikan pihak manapun?” Denver dan otak liciknya itu menyahut dengan mulus.Dirinya yang mendapat tatapan dari berbagai arah, merasakan sorotan lebih tedas dari sisi Anais. Ya, dia yakin bahwa mantan tunangan yang dibuangnya itu tengah terbakar lava amarah.Namun, Denver sengaja dan terang-terangan meman
“Maaf?” Anais menyahut dengan kening mengernyit.Debar jantungnya bergemuruh keras karena Jade ternyata mengenali dirinya. Namun, dia tak bisa langsung membenarkan asumsi pria itu atau suasana akan menjadi kacau, bila semua orang tahu bahwa Jade adalah pria yang tersandung rumor bersama dirinya.“Anda terlihat tidak asing. Di mana kita pernah bertemu?” Jade bertanya seraya mengangkat sebelah alisnya.Sungguh, Anais merasa pria itu sengaja memancingnya. Dia pun memasang air muka sedingin mungkin, agar lawan bincangnya tak bisa melihat sisi dirinya yang gugup.“Saya rasa Anda salah orang, Tuan. Saya belum pernah melihat Anda. Jadi permisi, saya sedang buru-buru!” tukas Anais amat tegas.Dia langsung berlalu melewati Jade yang memasang tatapan lekat. ‘Ah … menarik. Biar aku lihat, mau seberapa jauh kau akan melarikan diri dariku, Nona!’ Pria itu membatin penuh tekad.Jade memang bungkam, tapi telinganya terpampang tajam mendengar arah langkah Anais yang tampaknya bergerak ke sisi kiri.
Anais mengerjap tidak percaya. Dia benar-benar tak menyangka jika Jade akan melontarkan kata-kata yang teramat gila. “Lelucon Anda sangat tidak lucu, Tuan!” sungut wanita itu menahan kesal. Dia berpaling dan ingin segera meninggalkan Jade, tapi mendadak sang pria malah mengeluarkan benda pipih hitam yang sangat membuat Anais tertegun. ‘Ah, ponselku!’ Dirinya membatin dalam benak. Nyaris saja tangannya merebut gawai itu, tapi Anais menahan diri karena tak mau ketahuan langsung oleh Jade bahwa sejak tadi dia berbohong. “Saya menemukan ponsel asing yang ditinggalkan seseorang. Menurut Nona, siapa pemilik yang ceroboh ini?” tutur Jade seraya menekan tombol power pada benda tersebut. Seketika, potret cantik Anais pun terpampang di sana. Kali ini wanita itu tidak bisa mengelak apapun, dirinya hanya bungkam dengan leher menegang. Meski kesal, Anais tak mungkin berdusta atau dia akan tampak semakin konyol. ‘Aish, sial! Mengapa dia harus membawa ponselku?’ batinnya dengan manik gemetar.
“Selamat malam, Ibu,” tutur Jade berhenti sejenak di hadapan Leah.CEO dari Oran Brewery itu akhirnya datang ke mansion besar Herakles untuk memenuhi panggilan sang kakek. Manik tegasnya menatap Leah, tapi ibunya itu sama sekali tak sudi memandangnya. Jangankan menyahut sapaan Jade, bahkan Leah rasanya mual mengetahui putra sulungnya tersebut berada di depan matanya.“Untuk apa kau datang ke sini, hah?” sungut Denver dengan sorot masamnya.Namun, alih-alih menjawab, Jade justru merapikan kancing jasnya dan lekas berlalu menuju ruangan Hans. Dia tak ada niat sama sekali untuk mendengar ocehan adiknya yang tak berotak. “Sialan, berani sekali anjing liar itu mengabaikanku?” Putra kedua Leah tersebut menggerutu sengit.“Tutup mulutmu, Denver. Bukan ini yang harus kau khawatirkan sekarang. Cepat ikuti dia dan cari tahu apa yang Kakekmu bicarakan dengannya!” sambar Leah memicing tajam.Dirinya tak bisa berpangku tangan saat Jade mendapat kesempatan. Meski dia adalah darah dagingnya sendiri
Manik hazel Anais terbelalak melihat sang pria, dia sungguh tak menyangka mendapati sosok itu di sini. Namun, tangannya bergerak otomatis membuka pintu mobilnya seakan terhipnotis arahan orang tersebut.Iris wanita itu melayap buncah saat kilatan cahaya kamera memotret dirinya.Dengan sigap, pria yang membantu Anais itu pun merengkuh bahunya dan lantas menyeru, “Mohon tenang, semuanya. Nona Anais pasti akan memberikan klarifikasi setelah situasinya kondusif!”“Kami sudah lama menunggu, setidaknya tolong jawab satu pertanyaan saja. Mengapa seorang Seniman seperti Nona Anais berselingkuh?!” Dengan entengnya mulut Wartawan itu terbuka.Sontak, pria tadi langsung menghunus tatapan sengitnya pada si juru warta.“Jaga bicara Anda. Kata-kata Anda sangat keterlaluan!” sentaknya dengan air muka mengeras.Tanpa menunggu tanggapan, dia pun lekas membimbing Anais pergi. Keduanya segera masuk ke dalam galeri untuk menghindari para pemburu desas-desus tersebut.Jajaran pegawai di Dante’s Gallery pu
“Ah!” Anais pun seketika terkejut dengan leher menegang.Dia tak mengerti mengapa Jade mendadak bertingkah aneh padanya.Namun, mengingat situasi awal saat Aretha menuduhnya sebagai penguntit, Anais pun mengambil kesempatan ini.“Tidak, aku juga baru datang,” tukasnya seraya mengulas senyum lembut pada Jade.Sungguh, Aretha dan Denver yang sudah tertegun, kini semakin melebarkan bola matanya begitu melihat interaksi dua orang di hadapannya.‘Apa-apaan mereka? Mengapa anjing liar itu bisa dekat dengan Anais? Sejak kapan mereka menjalin hubungan?’ Denver bertanya-tanya dalam batinnya.Gelombang kedongkolan langsung menyapu benaknya. Entah mengapa hatinya terasa risih mendapati sang mantan terlibat dengan kakaknya. Meski sangat penasaran, tapi cucu kedua Tigris Devante itu memilih bungkam sebab egonya yang tinggi.“Apa hubungan Kakak dengan pria ini? Apa kalian berpacaran?” Tanpa ragu Aretha pun menguarkan rasa ingin tahunya.Sungguh berbanding terbalik dengan Denver. Tatapannya yang sen
“Putramu sangat menggemaskan. Lebih baik kau bergabung bersama mereka,” tutur Hans tersenyum saat melihat Jade menggandeng anaknya. “Jade sudah menemaninya, aku akan di sini bersama Kakek.” Anais membalas selaras dengan bibirnya yang tertarik ke atas. Meski dia bilang seperti itu, tapi Hans tahu benar bahwa cicitnya lebih membutuhkan Anais. “Bukankah Kakek sudah bilang, Jade tidak ingin putranya berakhir seperti dirinya. Jadi, kau harus membantu suamimu agar dia bisa memberikan kasih sayang yang berlimpah pada anaknya.” Mendengar nasihat Hans, kali ini Anais tak bisa bersikeras. Usai pamit pada kakek mertuanya, wanita itu pun menghampiri Jade dan sang putra yang sudah rapi dengan pakaian berkuda. “Reins!” tukas Anais menyeru. Ya, River Reiner Herakles-yang akrab disapa Reins oleh Anais itu adalah bocah lelaki kecil yang menawan dan energik. Semakin dia tumbuh besar, rupa wajahnya semakin mirip dengan Jade. “Lihat aku, Mommy! Apa aku sudah mirip Daddy?” tukas River memamerkan pen
***“Sebaiknya Anda berhenti minum, Tuan,” tukas seorang lelaki yang merupakan Asisten Pribadi Denver selama di Asia.“Singkirkan tanganmu, sialan!”Alih-alih menurut, Denver malah menampik tangan asistennya seraya mengumpat geram. Dia justru mengisi gelasnya dengan vodka karena pikirannya sangat semrawut. Akan tetapi, lagi-lagi asistennya menahan saat dirinya hendak meneguk minumannya.“Mengapa? Apa kau akan mengadu pada Kakek?!” decak Cucu kedua Hans tersebut.Dia merengkuh kerah sang asisten hingga wajah mereka lebih dekat. “Katakan pada Kakek, bahwa aku hanya bermain-main di sini. Laporkan saja kerjaku tidak becus dan hanya membuang waktu dengan para wanita penghibur. Bukankah itu sudah cukup untuk memenuhi laporanmu tentangku?!”“Tuan, Anda tidak boleh—”“Berisik!” Denver kembali menyambar dan lantas melepas cekalan tangan dari kerah asistennya.Dia menyabit gelas vodkanya, lantas meneguk minumannya hingga tandas. Begitu cairan memabukkan itu mengaliri tenggorokannya, pria itu m
“Dokter, bicaralah dengan jujur. Istri saya sedang dalam bahaya, tapi bagaimana bisa Anda mengatakan sesuatu yang konyol?!” Jade memberang seiring amarah perih menjalari raganya. “Mohon maaf, Tuan. Kami tidak ada pilihan lain, sebab jika kami memaksa melakukan operasi untuk mengeluarkan pelurunya, bayi dalam kandungan istri Anda bisa dalam bahaya. Namun, apabila peluru itu tidak segera dikeluarkan, nyawa istri Anda bisa terancam,” balas Dokter itu dengan raut wajah gelisah. Memang, dirinya seperti menemui jalan buntu. Dia pun tidak bisa mengambil risiko sebab ini menyangkut hidup dan mati seseorang. “Se-sebab itu, kami menyerahkan keputusan pada Anda, selaku suaminya. Apapun pilihan—” “Pilihan?!” Jade lantas menyahut sebelum ucapan tenaga medis itu tuntas. “Apa yang Anda maksud dengan pilihan, Dokter? Anda sama saja meminta saya untuk membunuh salah satu dari mereka!” Manik abu pria tersebut tampak membesar dengan getir. Dirinya sungguh tak bisa mengambil keputusan mengenai perkar
Netra abu Jade membelalak selebar cakram begitu melihat peluru melesat ke dada kiri Anais. Sensasi terbakar bercampur perih, kini seolah menyobek jantung pria itu.“Tidak, Anais!” Dirinya buru-buru menuju istrinya, tapi tanpa dia tahu, Aretha malah mengarahkan pistol padanya.‘Dasar pasangan sialan! Lebih baik kalian ke neraka bersama!’ decak Adik angkat Anais itu dalam batin.Tangannya bersiap menarik pelatuk senjata apinya, tapi Carlein yang berada di belakang Jade, lebih dulu melesatkan tembakan hingga tepat mengenai lengan Aretha. Suara desingan peluru Cerlein sontak membuat semua orang tertegun, tapi Jade tanpa peduli hanya berlari pada Anais.Pria tersebut merengkuh sang istri yang masih terikat di kursi. Gelenyar merah pun merembes dari balik dress putih gading yang wanita itu kenakan. Dan begitu menyadari sang suami tiba, manik Anais pun bergetar seolah menemukan muaranya.“Jade … a-aku tahu kau akan datang. Kau pasti menemukanku di mana pun aku berada.” Anais bertutur dengan
***Nyaris satu jam, akhirnya Jade baru membuka ponselnya. Dan saat itu juga, keningnya mengernyit sebab ada beberapa panggilan tak terjawab dari sang istri. Dirinya yang kini berangkat menuju mansion Herakles, berupaya menelepon Anais kembali, tapi hasilnya nihil sebab istrinya tak mengangkat.“Mengapa dia tidak menerima panggilanku?” gumam Jade terserang bingung.“Mungkin saja Nyonya Anais saat ini sedang berbincang dengan Pimpinan, Tuan. Jadi Nyonya tidak sempat melihat ponselnya.” Carlein pun menyahut untuk menenangkan.Jika dipikir jernih, bisa saja itu benar, sehingga Jade pun membalas, “ya, mungkin. Terlebih lagi, Kakek sangat menantikan kelahiran bayi kami. Pasti Kakek mengajak Anais bicara banyak hal.”Jade menghela napas sembari merebahkan kepalanya di badan kursi mobilnya.‘Walau begitu, aku sangat cemas karena membiarkan Anais be
*** “Hei, mengapa di sini tidak ada minuman?!” Cedric membanting pintu lemari pendingin dengan emosi. Sepasang matanya yang cekung tampak mengerikan di wajahnya yang berang. Dia lantas menendang kursi, sampai membuat Aretha yang sedari tadi melihat sesuatu di laptopnya menjadi terusik. “Hah, sialan! Rumah macam apa ini?! Benar-benar memuakkan!” Cedric kembali mengumpat kasar. Sang adik yang sudah tidak tahan dengan tabiat kakaknya pun menyambar, “apa Kak Cedric buta? Di sana banyak air, apa susahnya minum air itu?!” “Aku tidak butuh air, berengsek! Tapi alkohol, alkohol, sialan! Aku benar-benar stress, jadi setidaknya berikan aku bir!” Putra sulung Tigris Devante itu kembali mendengus dengan amukan berapi-api. Dia yang merupakan seorang pecandu narkotika sudah kesulitan mendapat obat terlarangnya, hingga setiap hari hanya melampiaskannya pada minuman. “Aish, sial! Ini bukan bar. Jika Kakak ingin bir, pergilah ke bar atau club malam. Jadi berhentilah mengeluh dan mengumpat, karen
‘A-apa aku tidak salah lihat?’ Anais membatin seiring dengan maniknya yang berkedip.Dirinya tercengang mendapati Lariat Anne datang bersama seorang pria. Mungkin di mata publik itu adalah hal biasa, tapi bagi Anais ini sungguh tak terduga sebab pria yang tengah menemani Anne tak lain adalah Eldhan Hermeden.‘Apakah selama ini mereka saling kenal? Mengapa Anne bisa datang bersama Eldhan?’ sambung wanita itu dalam hati.Apa saja yang sudah Anais lewatkan? Dia cukup lama tidak melihat Eldhan sejak tahu bahwa pria tersebut memiliki perasaan padanya. Ya, meski saat itu Anais belum jatuh cinta pada Jade, tapi dirinya merasa aneh dan tak bisa menerima hati Eldhan.Dari lawan arah, Lariat Anne mendekat bersama Eldhan di sebelahnya. Dan seperti biasa, penampilan Anne yang glamor, kini diimbangi Eldhan yang tampil dengan setelan jas berkelas.“Selamat atas pelantikan Anda sebagai Presiden Direktur DV Group, Nona,” tuturnya disertai senyum anggun.Anais dengan santun pun membalas, “terima kasih,
“A-apakah pria yang ada di foto waktu itu adalah ayahmu?” Anais bertanya ragu-ragu, dan itu sekejap membuat Jade menaikkan kedua alisnya. “Foto apa yang kau maksud?” balas sang pria bertanya. Ada jeda beberapa saat sebelum Anais menjawab. Dan ya, wanita itu baru sadar bawah dulu dia masuk ke ruang rahasia penthouse Jade tanpa persetujuan suaminya. ‘Aish, mengapa aku jadi mengungkit masalah itu? Harusnya aku tidak usah membahas tentang ayahnya lagi ‘kan? Dia menyembunyikan foto-foto itu pasti karena suatu alasan. Sekarang dia pasti curiga padaku. Apa yang harus aku katakan?’ geming Anais bingung dalam batin. “Apa kau—” “Ma-maafkan aku, Jade.” Anais segera menyahut ucapan sang pria yang belum tuntas. “Saat itu, ketika kau memergoki diriku di ruang rahasia penthouse milikmu, aku tidak sengaja melihat foto anak laki-laki kecil bersama seorang pria. A-aku pikir, itu adalah dirimu dan ayah mertua.” Mendengar penjelasan sang istri, Jade sekarang ingat. Ya, untuk pertama kalinya, dia mel
Jade segera membuka amplop putih dari Carlein. Irisnya memindai penasaran sebab asistennya bilang dia telah ditipu. Dan ya, di bagian akhir surat hasil tes yang kini dipegangnya, Jade melihat jelas bahwa keterangannya negative! Dia bahkan membaca berkali-kali, khawatir bila matanya salah menilik. Akan tetapi, keterangannya memang menunjukan bahwa hasil tes DNA yang dia lakukan bersama Anais tidak cocok. “Apa arti surat ini, Carlein?” tukasnya menuntut penjelasan. Sang asisten segera menjawab dengan tegas. “Ini adalah hasil tes yang sebenarnya, Tuan. Dokter itu telah menipu Anda dengan memalsukan hasil tes menjadi positif karena permintaan seseorang.” Detik itu juga, manik abu Jade tampak menyorot tajam dengan alis saling mendapuk. Tak bisa dipungkiri bahwa dia sungguh senang jika ternyata dirinya dan Anais bukanlah saudara, tapi di sisi lain, pria tersebut pasti akan murka karena ada orang yang ingin main-main dengannya. Namun, Jade tak bisa langsung girang sebelum memastikan semua