Halo semuanya! Terima kasih sudah membaca. Selamat hari Minggu. Bab hari ini yg happy happy aja, ya. Semoga sukaaa!
"Ed?" Alice cepat-cepat menekan pundak Edmund, berjaga-jaga kalau pria itu menariknya lebih dekat. "Kita sedang di kantor. Jangan macam-macam." "Bukankah semalam, kau yang lebih dulu mengajakku berciuman? Aku ingat betul kau menarik kepalaku dengan penuh semangat." Alice berkedip-kedip tegang. "Tapi kita sedang di kantor. Sky dan Scott bisa masuk ke sini kapan saja, atau mungkin pegawai lain," tegasnya. "Mereka sudah kuberi tugas. Tidak akan ada yang mendadak masuk ke sini karena mereka semua sibuk." "Tapi kau juga harus bekerja. Lihat! Berkas-berkasmu banyak." Alice menunjuk meja dengan ekspresi meyakinkan. Akan tetapi, Edmund tetap menggeleng menolak gagasannya. "Itu bisa menunggu, sedangkan peliharaanku tidak." Edmund melirik ke bawah. Alice mengikuti arahnya. Menyadari sesuatu yang sudah bangkit, ia menelan ludah. "Bagaimana kalau kita berlatih sekarang? Kau bisa menjadi istriku sebentar, sebelum kembali menjadi asisten." Suara Edmund begitu menggelitik. Alice semakin ter
"Karena keharmonisan kalian adalah citra dari perusahaan. Kebanyakan customer memilih jasa travel kita karena kalian. Mereka ingin merasakan petualangan yang terlihat asyik saat kalian lakukan." Alice mengerjap. Pikirannya tertuju pada foto-foto mereka di peta bioma. "Orang-orang berpikir kalau kebahagiaan itu palsu?" simpulnya. Scott mengangguk. "Karena itu, butuh waktu yang cukup lama bagi Edmund untuk bisa meraih kepercayaan publik lagi. Saat ia berusaha mati-matian untuk menemukanmu, orang-orang sempat berpikir kalau itu hanya gimmick. Setelah lewat satu tahun, dengan banyaknya pemberitaan tentang Edmund masih mencarimu, baru mereka mengerti kalau kebahagiaan yang selama ini kalian tunjukkan itu nyata. Mereka akhirnya mulai bersimpati dan menerima kalau masalah kalian hanyalah sebuah kesalahpahaman." Alice mendesah lirih. Ia tidak tahu bahwa kebodohannya ternyata berdampak sebesar itu. "Sekarang karena kau sudah kembali, orang-orang pasti berharap bisa melihat kemesraan kalian
Sambil tersenyum simpul, Alice menunjuk ke arah lampu. "Kamu selama ini terbiasa tidur dalam gelap. Tapi selama di sini, kamu selalu membiarkan lampunya tetap terang." Sky memiringkan kepala. "Tapi sewaktu di hotel, aku bisa tidur dengan lampu menyala." "Itu lampu tidur, Sayang. Berbeda dengan lampu utama." Sambil berkedip-kedip, Sky termenung. " Oke, jadi malam ini, haruskah aku mematikan lampu?" Alice mengangguk. "Ya. Apakah kamu takut?" "Hei, bukankah kamu sudah punya teman yang selalu menemanimu?" Edmund memiringkan kepala, menatap putrinya. Dalam sekejap, mulut Sky membulat. "Oh, iya! Aku baru ingat. Sekarang aku punya banyak teman. Pemimpin mereka adalah yang terkuat!" Ia berlari ke tempat tidur dan memeluk boneka beruang pemberian Edmund. Sambil terkekeh, orang tuanya menyusul. "Dia yang terkuat?" Alice membelai kepala si beruang. "Ya!" Sky mengangkat boneka itu tinggi-tinggi. "Ini adalah Grassy. Dia suka makan rumput. Karena itu warnanya hijau. Kurasa dia beruang veget
"Terima kasih, Nyonya Klein. Menu sarapan pagi ini sangat enak, dan terima kasih atas bekal yang kalian siapkan. Aku, Mama, dan Paman Ed pasti akan memakannya sampai habis," tutur Sky sembari memasukkan kotak bekal miliknya ke dalam tas. Itu sudah sangat penuh, tetapi masih ia paksakan muat. "Sama-sama, Nona Manis. Dan sebagai bonus, saya juga menyiapkan ini." Nyonya Klein menyodorkan tas bekal. Melihat itu, Sky menghela napas lega. "Ini sangat membantu! Terima kasih lagi, Nyonya Klein."Gemas, wanita paruh baya itu terkekeh. Hati Edmund dan Alice juga tergelitik melihat semangat Sky. Setelah selesai mengemas kotak bekal dan menyandang ranselnya, gadis mungil itu berkacak pinggang. "Sky sudah siap berpetualang! Mama, Paman Ed, ayo kita berangkat!" Sambil tersenyum geli, Alice dan Edmund beranjak dari kursi. Namun, belum sempat mereka meninggalkan meja makan, Elizabeth datang dengan koper di tangannya. "Mama? Ada apa Mama datang sepagi ini? Dan kenapa membawa koper sebesar itu?" t
Sepanjang perjalanan, Sky terus berceloteh riang. Semangatnya tidak sedetik pun memudar. Ia sama sekali tidak keberatan jika pohon-pohon di situ berbeda dengan hutan di sekitar rumah lamanya. Semakin banyak hal baru yang ditemuinya, langkah kakinya justru semakin ringan. "Mama, Paman Ed, bagaimana kalau kita beristirahat di situ saja?" Sky menunjuk ke sebidang tanah di bawah pepohonan. "Tidak ada semak-semak di dekat di situ. Kita bisa membentang karpet tanpa takut digigit serangga atau ular." Edmund tersenyum mendengar usul petualang cilik itu. "Ide bagus, Sky." Mereka pun bersiap untuk makan siang. "Hutan ini unik sekali. Warna daunnya cantik," celetuk Sky sebelum melahap hotdog. "Apakah aku salah memilih warna boneka? Haruskah aku membeli satu lagi yang berwarna kuning?" Sky cepat-cepat menoleh ke arah Edmund. Matanya membulat, rahangnya bergerak semakin lincah. "Tidak perlu, Paman Ed," ujarnya setelah menelan. "Warna hijau tetap favoritku. Hanya saja, aku baru menyadari kalau
Malangnya, gadis mungil itu malah bangkit dan meraih ransel. "Tidak, Paman Ed. Perjalanan kita masih jauh, sedangkan langkah kakiku kecil dan lambat. Kita tidak boleh berlama-lama. Kita harus sudah membangun tenda sebelum malam. Oh, Paman Ed? Ada apa dengan bibirmu?" Edmund tersentak. Alisnya tanpa sadar terdesak ke atas. "Ada apa dengan bibirku?" Alice diam-diam menahan napas. "Apakah digigit semut? Bibir Paman Ed merah dan bengkak. Oh? Bibir Mama juga!" Edmund dan Alice sontak bertukar pandang. Mata mereka membulat, saling melempar kesempatan untuk menjawab. Tiba-tiba, Sky berseru, "Nah! Itu semut-semutnya! Pasti mereka yang sudah menggigit bibir Mama dan Paman Ed." Sambil berkacak pinggang, Sky mengentakkan sebelah kaki di atas karpet. Makhluk-makhluk kecil di dekat situ nyaris terpental karena ulahnya. "Dasar semut-semut nakal! Kalian tidak seharusnya menggigit orang tuaku. Mereka bukan makanan. Kalian seharusnya menggigit makanan kalian saja." Edmund dan Alice tertunduk me
Sejak matahari terbenam, Sky tidak diizinkan keluar dari tenda. Padahal, ia juga mau ikut mempersiapkan makan malam. Namun, Alice dan Edmund melarang. Alhasil, ia menyibukkan diri dengan buku jurnalnya. "Tada! Lihat ini, Grassy. Aku sudah menyelesaikan jurnal perjalananku hari ini." Sky menarik boneka beruang hijau ke pangkuan. Bersama-sama, mereka "memperhatikan" buku jurnalnya. "Ini adalah awal perjalanan tadi. Aku sangat gembira. Karena itu, senyumku yang paling lebar." Ia menunjuk lengkung bibir yang digambarnya. Kemudian, telunjuknya bergeser ke gambar sekumpulan orang bertopi seragam. "Kalau ini adalah momen saat kami bertemu dengan rombongan wisatawan yang menggunakan jasa perusahaan Paman Ed. Mereka berbicara dalam bahasa yang tidak kumengerti. Tapi Mama bisa mengobrol dengan mereka. Mama memang hebat!" Tiba-tiba, Sky terkikik. Perhatiannya tertuju pada gambar tiga orang duduk di atas karpet. Dua di antara mereka memiliki bibir yang sangat tebal. Satu lagi tampak seperti
"Paman, jangan menjadi semut nakal! Nanti bibir Mama bengkak lagi!" Edmund dan Alice tersentak. Mereka cepat-cepat mengambil jarak. Bibir mereka kini berkedut, menahan rasa geli yang tersisa dan yang baru bangkit dalam dada. "Maaf, Sky. Bibir ibumu tampak manis. Aku penasaran rasanya." Alice sontak menyikut perut Edmund. Tawa kecil Edmund pun terlepas. Tak ingin mengundang lebih banyak tanya dari Sky, ia cepat-cepat menutupinya. Sementara itu, Sky malah menjilat bibirnya sendiri. Setelah mengecap-ngecap, ia menggeleng cepat. "Bibir tidak punya rasa, Paman. Kenapa Paman berpikir kalau bibir Mama manis? Apakah Mama diam-diam memakan permen?" "Tidak, Sayang. Mama hanya mencicipi spaghetti dan makanan lain yang Mama siapkan tadi." Dalam sekejap, mata Sky membulat. "Mama membuat spaghetti?" Baru satu kali Alice mengangguk, Sky bersorak kegirangan. "Asyik! Makan malam hari ini spesial! Kalau begitu, ayo, Mama, Paman Ed. Cepat berfoto! Jangan sampai semut-semut merebut makanan kita. N
"Sky, kita seharusnya membawa senapan itu juga tadi. Mengapa kita meninggalkannya di dalam tenda? Pemburu itu jadi bisa mengambilnya," bisik Emily sembari mengguncang tangan Sky. Merasa risih, Louis menyikut lengannya. "Sudahlah, Emily. Tidak ada yang perlu disesali. Kita sebaiknya memikirkan cara untuk mengalahkan laki-laki jahat ini." "Kalian pikir kalian bisa mengalahkanku?" Pemburu itu tertawa kasar. "Jangan bermimpi!" Sang pemburu mengangkat senapannya lagi. Namun, ketika ia hendak membidik, suara aneh datang dari atas. Melihat seekor orang utan besar hendak melompat dari dahan, Sky bergegas menarik si Kembar berlari mengikutinya. Ia tidak peduli lagi dengan senapan yang tergeletak di tanah. Ia tahu betul bahwa orang utan yang sedang marah jauh lebih berbahaya dibandingkan musuh mereka. Sementara itu, sang pemburu sudah terlanjur terpaku. Ia hanya bisa berteriak saat mamalia besar itu menimpanya. Pemburu lain yang menyaksikan tidak berani bertindak. Mereka bahkan sama sekali
Si Kembar kembali bungkam. Mereka tidak tahu jawaban apa yang tepat. Mereka tidak ingin kembali ke kurungan sempit itu, tetapi mereka juga tidak mau ditembak. Apalagi, pemburu di hadapan mereka tampak serius dengan ancamannya. "Louis, kurasa kita jangan melawan. Dia tidak akan ragu menembak kita. Lihat, jarinya sudah siap menekan pelatuk," bisik Emily was-was. Louis menelan ludah. Ia sepakat dengan sang adik, tetapi enggan mengakuinya. "Tenang, Emily. Masih ada cara lain untuk selamat." Ia berpikir keras, memaksa otak untuk menelurkan ide spontan. "Tuan, bagaimana kalau kita bernegosiasi?" ucapnya tanpa terduga. Sang pemburu menarik matanya mundur dari lubang pengintai. Sebelah alisnya terdongkrak naik. Ia tidak menduga bisa mendengar kata itu. "Negosiasi apa yang bisa ditawarkan anak kecil sepertimu?" "Kami ini bukan anak-anak biasa. Kami adalah pewaris Savior Group, calon pemimpin hebat di masa depan. Kalau kau bersedia membebaskan kami, kami akan membayarmu dengan jumlah besar
"Papa, kebetulan sekali, GPS milik Louis ada padaku. Aku sedang melihat koordinat lokasinya," ujar Sky sambil berkedip-kedip gusar. "Itu bagus, Sayang. Bisa kau bacakan koordinatnya? Papa akan langsung menuju ke sana." Sky menelan ludah. Keringat dingin membutir di keningnya. "Itulah masalahnya. Aku lupa angka-angka yang sudah kuhafal." Edmund terdiam sejenak. Sky bisa membayangkan sang ayah mendesah kecewa. "Papa, apakah Papa marah? Ganti." "Tidak, Sayang. Papa tidak marah. Papa mengerti kalau kamu terlalu gugup sekarang. Coba tarik napas dalam-dalam, tenangkan pikiran. Kamu sudah berhasil mengingat semua angka dan bahkan huruf, Sayang. Pelan-pelan, kamu pasti bisa membacanya." Sky menuruti saran Edmund. Setelah terpejam sejenak, ia memperhatikan koordinat dengan saksama. "Ada garis kecil yang sedang tidur di sini, Papa." "Oke. Itu tanda negatif. Artinya kalian sedang berada di selatan garis khatulistiwa. Lalu?" "Ada bulat. Ini nol, kan?" "Ya. Kamu melakukannya dengan baik s
"Apakah aku tidak salah lihat? Ada anak manusia di tengah hutan?" Pria itu berbicara dengan bahasa yang tidak Louis dan Emily mengerti.Decak kesal terlontar dari pria yang satu lagi. "Sial! Menambah pekerjaan kita saja." "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" "Apa lagi? Kita tidak mungkin membiarkan mereka lepas. Mereka bisa melapor kepada orang-orang. Rencana kita bisa berantakan. Ayo tangkap mereka!" Si Kembar mengerjap melihat senapan yang ditodongkan ke arah mereka. Emily langsung bersembunyi di balik punggung Louis, sedangkan Louis dengan berani melangkah maju dan merentangkan tangan di depan Mimi. "Jangan sakiti orang utan ini! Mereka adalah hewan langka yang dilindungi oleh seluruh dunia. Mereka tidak boleh diburu dan diperdagangkan!" seru Louis lantang. Dari balik pundak Louis, Emily mengintip. "Ya! Orang utan harus dilestarikan, bukan diburu. Memangnya kalian tidak kasihan kepada mereka? Lihat! Anaknya sampai ketakutan!" Di luar dugaan, dua pemburu itu malah tertawa. T
"Tidak, Louis." Emily mengernyitkan dahi. "Kita tidak boleh meninggalkan Mimi sendirian di sini. Dia bisa mati.""Tapi itu yang dia mau. Dia ingin anaknya selamat. Dia pasti bertahan. Kita hanya perlu menyelamatkan anak Mimi dengan cepat. Menurutku, kita bisa melakukannya. Kita ini anak-anak terlatih, kau ingat?" Alih-alih setuju, Emily menggeleng tegas. "Tidak, Louis. Itu terlalu berisiko. Kita tidak boleh egois dan memikirkan kesenangan kita sendiri. Bagaimana kalau kita hubungi rumah hutan saja? Ini masalah serius."Sementara Louis menghela napas berat, Sky menautkan alis. Ia terlihat sangat serius dengan bibir terlipat ke dalam."Kurasa Emily benar. Kita tidak bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. Kita butuh bantuan orang dewasa. Papa Mama kita dan orang-orang yayasan. Kita harus melaporkan hal ini kepada mereka. Mimi butuh bantuan medis, sedangkan para pemburu liar itu harus ditangkap." Louis termenung sebentar. Ia sebetulnya enggan menghubungi orang tuanya. Ia ingin mandiri.
"Sky, bunyi apa itu?" bisik Emily dengan suara tersekat. "Apakah itu suara ledakan?" "Kurasa itu suara senapan," potong Louis sebelum menggenggam lengan gadis yang paling kecil. "Sky, mungkinkah itu pemburu liar?" Sky berkedip-kedip gusar. "Mungkin iya. Daerah ini sudah berada di luar lingkup yayasan. Tim patroli hanya sesekali memeriksanya. Itu pun kalau mereka sempat." "Bukankah perburuan liar itu dilarang? Kenapa masih ada saja orang-orang jahat yang membunuh satwa? Kira-kira, apa yang baru saja mereka tembak? Apakah orang utan?" tanya Louis dengan ekspresi serius. Emily langsung bergidik ngeri. "Oh, kalau memang para pemburu itu mengincar orang utan, kuharap dia berhasil lolos dan selamat. Orang utan itu hewan langka. Kasihan kalau mereka punah." "Dan kuharap itu bukan Mimi," lanjut Sky sembari mengentakkan kaki. "Dia selalu membawa anaknya ke mana-mana. Dia pasti susah bergerak dan rentan terhadap serangan." "Bagaimana kalau kita memeriksanya? Kalau memang itu ulah pemburu l
"Sayang, apakah kamu melihat anak-anak?" tanya Alice sembari menghampiri Edmund. "Anak-anak?" Edmund mengalihkan pandangan dari laptopnya. Kedua alisnya terdongkrak. "Bukankah mereka masih tidur? Aku tidak melihat mereka keluar tenda." "Kupikir juga begitu. Tapi setelah kuperiksa, mereka tidak ada." Edmund pun menoleh ke sekeliling. Mata dan telinganya menajam. Akan tetapi, tidak ada jejak anak-anak yang terdeteksi. "Mungkinkah mereka bermain di kebun belakang?" Alice menggeleng. "Aku sudah mencari mereka di sana. Tidak ada." "Kandang ayam? Siapa tahu, Sky mengajak si Kembar dan Russell melihat anak ayam." "Tidak ada juga." Edmund menjentikkan jari. "Kandang angsa! Mereka pasti sedang bermain dengan Gigi dan Gusi." Alice menghela napas berat. Guratan di keningnya tampak lebih jelas. "Tidak ada, Ed. Aku sudah mencari mereka ke mana-mana. Mereka tidak ada." "Apakah kau sudah mencari di dalam rumah? Siapa tahu mereka sedang bermain petak umpet. Mereka mungkin saja sedang bersemb
Alis Louis berkerut mendengar pertanyaan Edmund. "Kenapa Anda bertanya begitu, Tuan? Tentu saja aku menyayangi Sky. Dia temanku. Dia sudah seperti seorang adik bagiku." Edmund berkedip kaku. "Begitukah? Kau menganggapnya sebagai seorang adik?" Louis mengangguk mantap. "Ya, kurasa Emily juga begitu. Dulu dia menginginkan adik perempuan. Ternyata, Russell yang keluar. Dia sempat sedih. Kehadiran Sky membantu mengobati kekecewaannya." Bibir Edmund perlahan mengerucut. Tangannya disempal ke dalam saku. "Jadi, kau menganggap putriku sebagai adikmu?" gumamnya. Entah mengapa, perasaan lega timbul dalam hatinya. "Apakah itu berarti kau akan menjaganya seperti adik-adikmu?" "Ya, aku akan berusaha untuk menjaga Sky dengan baik. Aku tidak akan membuatnya menangis." Alis Edmund kembali tertaut. "Tapi tadi, aku melihatmu mengusili Emily. Apakah kau bisa dipercaya untuk menjaga adik-adikmu?" Tiba-tiba saja, bibir Louis berkedut. Sambil menggaruk pelipis, ia terkekeh. "Soal itu, aku memang suk
Semua orang bertepuk tangan saat Sky dan teman-teman hewannya selesai melakukan pertunjukan. Bukan hanya anak-anak Harper yang terkesima, tetapi orang tua mereka juga. "Terima kasih, Sky. Ini adalah sambutan paling manis yang pernah kami terima," tutur Kara dengan senyum lebar. "Ya, ini sambutan yang luar biasa. Bagaimana caramu melatih hewan-hewan itu? Bukan hanya kucing dan anjing, kamu juga berhasil melatih dua ekor angsa." Frank mengacungkan jempolnya. Sky terkekeh bangga. "Itu karena mereka bukan sembarang hewan, Tuan. Mereka adalah teman-temanku dan mereka pintar. Kurasa mereka mau mengikuti aba-aba dariku karena kami akrab." "Mereka teman-temanmu?" Frank menaikkan alis. Si Kembar langsung berebut menjelaskan. "Tidak ada anak-anak lain di sini, Papa. Karena itu, Sky hanya bermain dengan teman-teman hewannya." "Sky bilang dia selalu memberi mereka makan yang banyak. Kurasa, karena itu juga hewan-hewan itu patuh padanya. Mereka suka pada Sky!" Sky melompat antusias. "Louis