Sepanjang perjalanan, Sky terus berceloteh riang. Semangatnya tidak sedetik pun memudar. Ia sama sekali tidak keberatan jika pohon-pohon di situ berbeda dengan hutan di sekitar rumah lamanya. Semakin banyak hal baru yang ditemuinya, langkah kakinya justru semakin ringan. "Mama, Paman Ed, bagaimana kalau kita beristirahat di situ saja?" Sky menunjuk ke sebidang tanah di bawah pepohonan. "Tidak ada semak-semak di dekat di situ. Kita bisa membentang karpet tanpa takut digigit serangga atau ular." Edmund tersenyum mendengar usul petualang cilik itu. "Ide bagus, Sky." Mereka pun bersiap untuk makan siang. "Hutan ini unik sekali. Warna daunnya cantik," celetuk Sky sebelum melahap hotdog. "Apakah aku salah memilih warna boneka? Haruskah aku membeli satu lagi yang berwarna kuning?" Sky cepat-cepat menoleh ke arah Edmund. Matanya membulat, rahangnya bergerak semakin lincah. "Tidak perlu, Paman Ed," ujarnya setelah menelan. "Warna hijau tetap favoritku. Hanya saja, aku baru menyadari kalau
Malangnya, gadis mungil itu malah bangkit dan meraih ransel. "Tidak, Paman Ed. Perjalanan kita masih jauh, sedangkan langkah kakiku kecil dan lambat. Kita tidak boleh berlama-lama. Kita harus sudah membangun tenda sebelum malam. Oh, Paman Ed? Ada apa dengan bibirmu?" Edmund tersentak. Alisnya tanpa sadar terdesak ke atas. "Ada apa dengan bibirku?" Alice diam-diam menahan napas. "Apakah digigit semut? Bibir Paman Ed merah dan bengkak. Oh? Bibir Mama juga!" Edmund dan Alice sontak bertukar pandang. Mata mereka membulat, saling melempar kesempatan untuk menjawab. Tiba-tiba, Sky berseru, "Nah! Itu semut-semutnya! Pasti mereka yang sudah menggigit bibir Mama dan Paman Ed." Sambil berkacak pinggang, Sky mengentakkan sebelah kaki di atas karpet. Makhluk-makhluk kecil di dekat situ nyaris terpental karena ulahnya. "Dasar semut-semut nakal! Kalian tidak seharusnya menggigit orang tuaku. Mereka bukan makanan. Kalian seharusnya menggigit makanan kalian saja." Edmund dan Alice tertunduk me
Sejak matahari terbenam, Sky tidak diizinkan keluar dari tenda. Padahal, ia juga mau ikut mempersiapkan makan malam. Namun, Alice dan Edmund melarang. Alhasil, ia menyibukkan diri dengan buku jurnalnya. "Tada! Lihat ini, Grassy. Aku sudah menyelesaikan jurnal perjalananku hari ini." Sky menarik boneka beruang hijau ke pangkuan. Bersama-sama, mereka "memperhatikan" buku jurnalnya. "Ini adalah awal perjalanan tadi. Aku sangat gembira. Karena itu, senyumku yang paling lebar." Ia menunjuk lengkung bibir yang digambarnya. Kemudian, telunjuknya bergeser ke gambar sekumpulan orang bertopi seragam. "Kalau ini adalah momen saat kami bertemu dengan rombongan wisatawan yang menggunakan jasa perusahaan Paman Ed. Mereka berbicara dalam bahasa yang tidak kumengerti. Tapi Mama bisa mengobrol dengan mereka. Mama memang hebat!" Tiba-tiba, Sky terkikik. Perhatiannya tertuju pada gambar tiga orang duduk di atas karpet. Dua di antara mereka memiliki bibir yang sangat tebal. Satu lagi tampak seperti
"Paman, jangan menjadi semut nakal! Nanti bibir Mama bengkak lagi!" Edmund dan Alice tersentak. Mereka cepat-cepat mengambil jarak. Bibir mereka kini berkedut, menahan rasa geli yang tersisa dan yang baru bangkit dalam dada. "Maaf, Sky. Bibir ibumu tampak manis. Aku penasaran rasanya." Alice sontak menyikut perut Edmund. Tawa kecil Edmund pun terlepas. Tak ingin mengundang lebih banyak tanya dari Sky, ia cepat-cepat menutupinya. Sementara itu, Sky malah menjilat bibirnya sendiri. Setelah mengecap-ngecap, ia menggeleng cepat. "Bibir tidak punya rasa, Paman. Kenapa Paman berpikir kalau bibir Mama manis? Apakah Mama diam-diam memakan permen?" "Tidak, Sayang. Mama hanya mencicipi spaghetti dan makanan lain yang Mama siapkan tadi." Dalam sekejap, mata Sky membulat. "Mama membuat spaghetti?" Baru satu kali Alice mengangguk, Sky bersorak kegirangan. "Asyik! Makan malam hari ini spesial! Kalau begitu, ayo, Mama, Paman Ed. Cepat berfoto! Jangan sampai semut-semut merebut makanan kita. N
"Sayang, kamu tidak boleh menasihati Nenek. Itu tidak sopan. Sakit kepalanya bisa bertambah parah," Alice menggeleng tipis. "Nenek tidak seharusnya mengganggu perjalanan kita, Mama. Tunggu saja nanti. Aku akan memberinya peringatan." Sementara Alice kehabisan kata-kata, Edmund diam-diam tersenyum bangga. "Baiklah, kamu boleh menasihati Nenek, tapi jangan menggunakan kata-kata kasar." "Tenang saja, Paman Ed. Aku mengerti batasannya. Aku ini anak kecil yang bijaksana." Usai mengusap kepala Sky, Edmund berdiri memberikan aba-aba. "Kalau begitu, ayo sarapan lalu berkemas. Minggu depan, kita kunjungi tempat yang lebih indah." "Setuju! Tapi sebelum Paman Scott pergi, bolehkah aku mencoba duduk di motornya? Aku memang belum tinggi, tapi aku mau tahu seperti apa rasanya. Siapa tahu saat aku sudah besar nanti, aku pengendara motor yang andal." Edmund tercengang melihat binar mata Sky. Ia salut pada seberapa cepat putrinya mampu mengatasi kekecewaan. Ia rasa Sky tidak akan menemui kesulit
"Alice, kau akhirnya datang!" sapa Elizabeth membuat semua orang terbelalak. Alice yang hendak bicara sontak kehilangan suara. "Kau tahu? Aku sejak kemarin merenung. Aku merasa kalau selama ini perlakuanku terhadapmu memang keterlaluan. Aku ingin kita berdamai. Aku ingin kita akrab seperti ibu mertua dan menantu pada umumnya. Kamu mau kan berdamai denganku?"Alice melirik Edmund. Sang suami menggeleng samar, menandakan bahwa pernyataan tersebut tidak benar. Namun, Alice tetap ingin menghargai Elizabeth sebagai mertuanya."Ya—""Kalau begitu, apakah kamu bersedia merawatku? Kita bisa punya banyak waktu bersama.""Apa tujuan Mama yang sebenarnya?" sela Edmund dengan sebelah alis terdongkrak. "Kalau memang Mama bisa berubah, Mama pasti sudah melakukannya sejak dulu. Kenapa baru sekarang dan begitu mendadak? Mama pasti punya maksud lain di balik permintaan itu." Elizabeth menghela napas cepat. "Apa yang salah denganmu, Edmund? Kenapa kau terus mencurigai ibumu? Tidak bolehkah aku menguba
"Alice, apa yang kau berikan kepadaku ini?" Elizabeth meraih tisu lalu melepeh apa yang baru saja dikunyahnya. Mendengar itu, Sky berhenti mewarnai buku. Ia menegakkan kepala. Sang ibu sedang menunjukkan isi mangkuk kepada Elizabeth. "Ini Moroccan Chicken and Sweet Potato Soup, menu yang bagus untuk penderita hipertensi. Kelihatannya enak. Mama tidak suka?" "Kau coba saja sendiri. Rasanya hambar. Apakah mereka kehabisan garam?" "Nenek?" Sky meletakkan pensil warnanya di atas meja. "Kamu sedang sakit karena tekanan darahmu tinggi. Kamu tidak boleh makan garam." Elizabeth terperanjat. Ia lupa kalau di ruangan itu ada orang lain selain dirinya dan Alice. "Tapi ini sama sekali tidak enak. Bagaimana aku mau makan? Nafsu makanku langsung hilang begitu mencoba kuahnya." "Bagaimana kalau Mama memakan ayamnya saja?" Alice menyiapkan suapan selanjutnya. Elizabeth langsung menutup mulut dengan sebelah tangan. "Tidak. Aku tidak mau memakan masakan aneh itu. Kau tidak diam-diam berencana un
"Ya, kamu benar, Sayang. Ketika menyayangi seseorang, memang lebih baik untuk tidak mengharapkan balasan. Itu akan menjadi kasih sayang tulus yang tidak akan pernah mengecewakan, seperti rasa sayang Mama terhadapmu." Alice mengecup pipi gembul putrinya. Sky terkekeh samar. "Tapi aku juga sayang pada Mama. Mama tidak perlu takut sekalipun Mama berharap padaku." Ia mendekap Alice erat-erat. Mendapat serangan manis itu, Alice tertawa pelan. "Terima kasih, Sayang." Mendengar suara cekikikan sang cucu, Elizabeth akhirnya menoleh. Dalam sekejap, wajahnya berubah manyun. Alice seharusnya terusik oleh keberadaan Giselle, bukan malah asyik sendiri. "Alice, bisakah kau membuatkan secangkir teh? Giselle adalah tamu istimewaku. Kau tidak mungkin tega membiarkan dia haus, kan?" "Baiklah, akan segera kubuatkan. Mohon tunggu sebentar." Alice pergi dengan langkah ringan. Lagi-lagi, Elizabeth gagal mendapatkan apa yang ia harapkan. Kesal, ia menargetkan gadis kecil yang sudah kembali asyik menco