"Alah kamu ini lama-lama seperti istri mu ya Fik. Sekarang selalu membantah apa kata Ibu. Awas durhaka dan kualat kamu."
"Aku tidak durhaka Bu. Masalahnya ibu menyuruh ku untuk sesuatu yang tidak bisa ku turuti." "Apa susahnya sih Fik, kamu tinggal menikah saja. Beruntung kamu dapet si Indah dia rela jadi istri kedua, masih muda, cantik dan baik lagi." Tidak pernah terbayangkan olehku sampai memiliki ibu mertua seperti ini. Apa dosaku sehingga ujianku seberat ini. Air mataku rasanya tidak tahan lagi ku bendung. Kalau biasanya aku bisa berusaha kuat dan tegar, tapi aku juga tetap wanita biasa yang mempunyai sisi lemah, jika batin dan mentalnya di serang terus-terusan. Rasanya aku lelah setiap hari selalu ada keributan antara ibu dan anak atau mertua dan menantu. Sunggu tidak ada kehangatan di keluarga ini. Apa memang Mas Fikri bukan jodohku. Kenapa rasanya seberat ini ya Allah. Bahkan usia pernikahan ku baru satu bulan, tapi aku benar-benar tidak kuat jika setiap hari harus mendengar ibu mertua ku memaksa suamiku untuk menikah lagi. Aku hanya bisa menangis dan mengadukan semuanya pada Yang Maha Kuasa. "Assalamualaikum," ucap salam dari Mas Fikri. Aku yang masih berbalut mukena menghampiri dan mencium punggung tangannya. Aku tidak mampu menatap wajahnya, sebab aku tidak mau dia melihatku habis menangis. Namun sepertinya dia sadar, dan menahan tanganku. "Aku mau buatkan Mas minum,"lirihku mencoba melepaskan tangannya. "Tunggu sebentar," Mas Fikri mengangkat daguku sehingga dia bisa menatap wajah ku "Kamu habis menangis?" tanyanya lembut ,mengusap sisa air mata yang masih mengembun di pelupuk mata. Sentuhan lembut itu, semakin membuatku larut dalam kesedihan. Mas Fikri menarikku dalam pelukannya, hingga tangisku pecah kembali di pelukannya. "Tidak apa-apa menangis lah, kamu perlu meluapkan segalanya," Dengan lembut Mas Fikri mengusap kepala dan punggungku, berusaha menenangkanku. Sangat hangat dan sangat menenangkan. Perlakuan seperti ini semakin membuat aku takut, jika aku benar-benar akan kehilangan Mas Fikri. "Jangan menangis lagi ya. Aku semakin merasa bersalah jika melihat kamu menangis seperti ini." "Aku takut Mas." "Apa yang kamu takutkan." "Aku takut jika benar-benar aku tidak bisa memiliki anak, dan kamu harus menikah lagi." Sstt... Mas Fikri menempel jari telunjuknya ke depan bibirku. "Jangan berbicara sembarangan, kita pasti akan memiliki anak, kamu pasti akan segera hamil. Sudah jangan di fikirkan ucapan Ibu." Sungguh kalimat itu tidak berefek sama sekali. Tapi aku tetap menghargai Mas Fikri yang berusaha menenangkanku. "Jika aku benar-benar tidak bisa hamil, apa kamu akan menikah lagi?" Aku menatap lekat sepasang mata hitam itu. Ingin melihat kejujuran di sana. "Jangan mendahului takdir, kita berdoa saja untuk selalu di berikan takdir yang terbaik. Jangan berprasangka buruk pada Allah,itu tidak baik." Mas Fikri tidak pernah menjawab jika aku bertanya tentang dia akan poligami atau tidak, dia selalu bisa mengalihkan fokus ku dengan sesuatu yang membuat ku tenang dan sejenak melupakan tentang poligami. Perempuan yang akan di jodohkan dengan Mas Fikri mulai sekarang lebih sering datang kerumah. Padahal dia masih muda , kenapa dia rela menjadi istri kedua fikirku. "Mba Yumna, Ibu ada?" "Tadi lagi keluar sebentar, tunggu aja di dalam." jawabku malas meladeni perempuan ini. "Mba," panggilan perempuan itu menghentikan langkah ku untuk ke kamar. Sebenarnya aku sangat malas berhadapan apalagi berbicara dengannya. Tapi mau bagaimana juga dia adalah tamu, maka aku harus menghargainya. "Aku berharap kamu bisa menerima ku dengan baik nantinya. Aku tidak akan merebut Mas Fikri dari mu, kita hanya berbagi ranjang saja." Plak! Sebuah tamparan kulayangkan keras di pipi wanita itu. Berani sekali dia berkata seperti itu padaku. Selama ini aku masih bisa menahan segala bentuk sikap dan kata dari ibu mertua ku karena aku menghormati dan menghargai suami. Tapi jika perempuan ini juga ikut-ikutan, aku tidak akan segan-segan memberikan nya pelajaran. "Apa-apaan kamu Yumna!" Pekik ibu memarahi ku "Tolong ajarkan tamu ibu ini sopan santun. Saya tidak akan pernah rela dimadu dan harus berbagi suami dengannya." "Jaga ucapanmu perempuan tua! Kamu jangan egois jadi istri, suami kamu juga berhak memiliki keturunan kamu juga akan berdosa jika menghalangi suami kamu di saat kamu tidak bisa memberikannya anak," Ibu mencaci dan menghinaku di hadapan wanita yang akan dia jodohkan dengan Mas Fikri. Sakit sekali rasanya. "AKU BISA HAMIL BU! Usiaku tidak setua itu, dan aku masih bisa hamil!. Jantungku rasanya di tusuk bertubi-tubi dengan belati. Ucapan tajam ibu seperti mencekik leherku. Sesak rasanya dan sangat sakit. "Mana buktinya, bahkan sampai sekarang kamu belum hamil " "Aku baru menikah 1bulan dengan Mas Fikri Bu. Bagaimana mungkin secepat itu aku langsung hamil." Jelaskan omonganku tidak akan ada artinya bagi Ibu. Tapi bodohnya aku tetap saja membela diri di hadapan orang yang tidak punya hati. Walau sia-sia memang, tapi paling tidak aku bisa mengeluarkan sedikit emosi yang menekan di dada. "Alah....banyak orang disana jika usianya masih muda pasti 2 Minggu menikah juga mereka langsung hamil." Orang yang egois dan keras kepala, memang tidak akan mudah di nasehati selain dia sadar dengan keegoisanannya sendiri. Dan melihat hasil dari keegoisanannya. "Ada apa ini?" Aku langsung pergi ke kamar, saat melihat Mas Fikri baru saja pulang. Saat ini aku sedang kacau, terserah jika dia mau marah karena aku tidak menyambut atau melayani nya sepulang kerja. "Istri kamu itu, sudah nampar Indah. Padahal dia tidak ngapa-ngapain." "Tidak mungkin Yumna sampai menampar jika tanpa sebab. Yumna bukan orang yang seperti itu." "Tuh kamu lihat aja buktinya, pipi Indah masih merah." "Tidak apa-apa Bu, sepertinya Mba Yumna kurang suka jika saya sering kesini." "Memangnya kenapa, kan ibu yang mengundang kamu kesini." Fikri mendesah melihat perlakuan ibunya pada wanita lain. Padahal jelas-jelas yang menjadi menantunya adalah Yumna tapi dia kekeh menginginkan menantu lain. Padahal Yumna tidak memiliki kesalahan atau kekurangan apapun sebagai menantu. "Duduk dulu Mas, maaf kedatangan saya jadi buat keributan, padahal Mas lagi capek pulang kerja," ucap manis Indah pada Fikri. "Kamu memang sangat baik sayang, kenapa buka kamu yang jadi menantu Ibu." "Ah Ibu," Indah tersenyum malu "Mas Fikri ke kamar aja,mungkin Mba Yumna perlu di tenang kan. Sekali lagi saya minta maaf." Indah seperti wanita bermuka dua. Dia tahu cara memainkan peran sesuai dengan keadaan yang menguntungkan baginya. "Kenapa kamu yang minta maaf, harusnya Yumna yang minta maaf sama kamu, karena dia sudah menampar kamu." "Tidak apa-apa Bu. Mba Yumna jangan di marahi ya Mas," ucap manis Indah pada Fikri. Fikri hanya diam dan mengangguk kecil, mendengar ucapan Indah. ************ "Pokoknya ibu mau kamu segera menikah dengan Indah Fikri. Ibu malu jika di tanya teman-teman ibu, punya mantu yang sudah tua dan tidak hamil," Salma memohon dengan penuh paksa pada Fikri, bahkan ia sampai mengancam akan bunuh diri, Jik Fikri tidak menuruti keinginannya. "Jangan aneh-aneh permintaan nya Bu. Bunuh diri itu dosanya sangat besar dan tidak di terima Allah Bu." "Apanya yang aneh sih Fik, ibu hanya minta kamu menikah dengan Indah, dan di agama juga di perbolehkan memiliki istri lebih dari satu. Aneh dari mananya? Ibu tidak pernah meminta apapun dari kamu, tapi kenapa sesekali ibu meminta ini saja kamu tidak mau mengabulkan." "Aku bukan tidak mau mengabulkan, permintaan ibu yang berlebihan Bu. Aku mencintai Yumna Bu, dan aku tidak ingin membuatnya sakit hati." "Alah cinta. Percuma saja jika tidak bisa memberikan anak. Kamu tidak mau membuat Yumna yang bukan siapa-siapa sakit hati, tapi kamu tega membuat ibu kandung yang melahirkan kamu bertaruh nyawa sakit hati." "Yumna istriku Bu, dia siapa-siapa ku sekarang, orang yang juga harus ku tanggung jawapi bukan hanya materi tapi juga batin dan kebahagiaan nya." "Kamu juga harus bertanggung jawab atas ibu kamu Fikri. Jangan kamu lupakan itu, apa kamu ingin menjadi anak durhaka! Lebih baik ibu mati dari sekarang saja, dari pada hidup lama juga tidak bisa melihat punya cucu." "Cukup Bu, jangan bicara seperti itu. Hatiku rasanya sakit Bu." "Kalau hatimu sakit, bagaimana dengan hati ibu? Ibu juga sakit kamu perlakuan seperti ini," ungkapan hati ibu pada Mas Fikri mampu menghipnotis sampai ke relung hatinya yang lembut. Hingga Mas Fikri merasa tak tega dan iba dengan ke adaan ibunya. "Aku mohon beri aku waktu Bu. Ini terlalu cepat jika aku harus menikah lagi." "Berarti kamu setuju akan menikah lagi?" Dengan antusias Ibu bertanya, wajahnya terlihat sangat bahagia. Fikri hanya mengangguk pasrah. karena dia sangat takut berdosa jika sering membuat ibunya menangis.Pagi-pagi aku sudah mendengar cekikikan dua wanita beda generasi itu bercengkrama di meja makan. Perempuan ini semakin hari, semakin tidak malu saja bahkan pagi-pagi sudah berada di sini."Eh Mba Yumna, baru bangun ya," sapa ramah Indah kepadaku. Aku hanya mengangguk malas merespon lebih. Perempuan ini juga harus di waspadai sepertinya dia juga ngebet ingin di nikahi Mas Fikri."Biasalah, jam segini baru bangun enak banget ya, bangun siang, ongkang-ongkang kaki di rumah nikmati gaji suami," Astaghfirullah ibu mertuaku ini kenapa mulutnya tajam sekali. Setiap pagi ada saja yang di bahas untuk menyudutkan ku. "Aku kan sudah masak dari subuh Bu. Badanku kurang enak, makanya selesai masak aku tiduran sebentar tadi,""Memangnya ini makanan bisa jalan sendiri kemeja makan, kalau gak di siapin. Mau sombong karena kamu sudah masak dan bangun subuh gitu? Kalau kerja itu jangan setengah-setengah, keliatan banget gak ikhlas nya, sengaja biar saya kerjain kan,""Jangan suudzon terus Bu. Coba se
"Yum, bagaimana keadaan Bu Salma, apa baik-baik saja?"pertanyaan para tetangga itu, membuat ku bingung. Memangnya apa yang terjadi pada ibu? "Maksudnya bagaimana Bu, saya gak ngerti?" jawabku jujur "Loh kamu ini gimana sih jadi menantu, masa gak tau kondisi mertuanya, tadikan ibu kamu pingsan di bawa ke rumah sakit sama Fikri pakai mobil si Indah," mataku membulat penuh, mendengar penuturan ibu tetangga. "Oh iya tadi saya lagi gak enak badan Bu, makanya gak ikut Mas Fikri," elakku, menutupi ketidaktahuan ku, aku tak ingin memperkeruh suasana jika mereka tau bahwa aku tidak di beri tahu saat Mas Fikri membawa ibu ke rumah sakit dengan Indah. Yang ada mereka semua semakin menceritakan ku. "Owalah, ya masa kamu biarin suami kamu pergi sama perempuan lain sih, gak takut apa?"sahut ibu yang lain. Aku hanya bisa tersenyum canggung "Saya percaya Mas Fikri Bu," "Jangan percaya-percaya banget atuh sama laki neng, kelihatan nya aja lugu kalem. Tapi kalau sudah khilaf mau bilang apa!
"Kamu gak papa?" panik Mas Fikri membawa ku untuk duduk di sofa. Aku menggelengkan kepala lemah. Memang aku masih merasa lemah dan kemas belum lagi kepala kadang suka kliengan"Wajah kamu terlihat pucat, kita ke dokter ya?""Tidak usah Mas, aku cuma butuh istirahat aja. Terus nanti minum obat juga sembuh," aku masih penasaran dengan apa yang terjadi pada Ibu."Ibu kenapa bisa masuk rumah sakit Mas?" terdengar helaan nafas kasar dari Mas Fikri."Ibu nekat minum cairan pencuci piring," manik hitam mataku membulat penuh, bahkan hamoir copot dari tempatnya mungkin sangking aku terkejutnya. "Maksudnya ibu mau bunuh diri?" "Iya. Mungkin seperti itu," "Apa ini semua salahku? Tapi kenapa harus menikah lagi? Bahkan pernikahan kita seumur jagung jugabelum ada. Aku yakin aku bisa hamil," suasana menjadi emosional saat ini. Aku tidak bisa mengontrol perasaan emosi yang mulai menguasai diriku."Mas juga sudah berulang kali meyakinkan ibu untuk bersabar tapi ibu tidak mau mengerti juga," keputus
Aku memandang wajah suamiku dengan lekat. Di matanya, aku masih menemukan cinta, tapi juga keputusasaan yang membuatku semakin membenci keadaan. Air mataku jatuh tanpa suara, seperti jantung yang telah luruh sejak lama.Mas Fikri berdiri mematung, seolah-olah kata-kata ku menghancurkan nyawanya. Tangannya terulur, tapi ia tidak cukup kuat untuk menahan rasa duka seseorang yang ia cintai, seseorang yang ia tahu pantas mendapatkan lebih dari ini. Aku merasakan bahwa ia sangat tertekan, sama seperti ku.Aku mencoba memejamkan mata, tapi bayangan wajah wanita lain itu terus menghantuiku. Kata-kata Mas Fikri barusan berputar di kepalaku, seperti belati yang mengiris jantung perlahan.'ijinkan aku untuk menikahi Indah'Lima kata itu menggema, menyayat lebih dalam setiap kali terulang. Nafasku berat, dada terasa penuh. Aku terus menuntut penjelasan darinya, tapi sepanjang penjelasan nya tidak ada satupun yang mampu ku terima. Wajah tampan itu aku tatap dengan nanar, bukan lagi dengan cinta
Kalau biasanya meja makan sebagai tempat perdebatan kali ini sebagai tempat perbandingan antara menantu tua dan menantu muda. Aku pun bingung sebenarnya apa yang ku pertahankan dari rumah tangga yang sudah tak ada lagi kepercayaan dan cinta yang utuh ini.Kenapa aku tiba-tiba menyesali keputusan ku untuk rela berbagi? Besarnya cintaku pada Mas Fikri memang tak mampu membuat ku untuk membenci nya terlalu besar. Bahkan aku seperti nya tak akan bisa tertawa bahagia lagi di pernikahan ini. Tapi entah kenapa, setiap tekad ku bulat ingin pergi dari Mas Fikri ada setitik keraguan di hati kecil ku.Aku belum mengerti tentang perasaan ku sendiri, terang-terangan aku mengatakan membenci Mas Fikri, bahkan aku bisa memperlihatkan rasa ketidaksukaanku padanya.Tapi setiap dia tak lagi terlihat di pandangan ku aku merindukan nya, aku ingin memeluknya dan saat dia ada di dekatku mati-matian aku menolak dan membencinya, bahkan rasanya di sentuh olehnya membuat tubuh ku sangat kotor.“Wah, sup ini ena
Di dalam toilet yang sempit, aku duduk di atas closet dengan lutut bergetar. Tanganku menggenggam alat tes kehamilan, sementara tangan kiriku menutupi mulut, seolah berusaha menahan napas yang semakin cepat. Dua garis merah.Jelas sekali. Aku hamil.Detik itu juga, duniaku terasa berhenti. Air mataku jatuh, tapi entah karena apa. Tangis bahagia? Mungkin. Tangis binasa? Lebih mungkin lagi. Di antara isakan kecil, aku menyentuh perut, tempat kehidupan baru mulai tumbuh. "Ya Allah,” bisikku parau, penuh rasa haru bercampur pedih. “Ini anugerah-Mu kan?”Namun, bayangan wajah suamiku muncul. Suamiku yang baru saja menikah lagi. Jantungku mencelos. Apakah suamiku akan bahagia dengan kabar ini? Ataukah kehadiran anak ini hanya akan menjadi bagian kecil dari dunia suamiku yang kini terbagi dua? Ah aku yakin suami ku pasti sangat bahagia, tapi entah mengapa rasanya aku tidak ingin membagi kebahagiaan ku ini.Aku tidak suka melihatnya bahagia berkali-kali lipat, sementara aku masih sangat kecew
"Apa in... " Deg ! Aku lupa menyimpannya di tempat aman, alat tes kehamilan itu hampir saja di sentuh Mas Fikri. Karena aku fikir Mas Fikri tidak akan masuk kekamar kami, sebab ini masih jatahnya bersama Indah. Ceroboh sekali aku, untungnya aku bisa bersikap tenang dan menyimpan benda itu sebelum Mas Fikri menyentuhnya."Bukan apa-apa, ini thermometer buat tau suhu tubuh aku, karena tadi aku merasa demam," elakku dengan sedikit senyum, agar Mas Fikri tak curiga.Mas Fikri menaikkan sebelah alisnya, mungkin dia sedikit merasa penasaran. Namun akhirnya dia bisa menerima alasanku."Boleh masuk?" suara di depan pintu mengalihkan pembicaraan kami. Alhamdulillah lirihku pelan, Indah datang di waktu yang tepat.Aku tersenyum mempersilahkan Indah untuk masuk."Mba Yumna gak papa?" tanyanya penuh perhatian, tapi apalah arti perhatian kalau status maduku sudah melekat padanya. Demi menghargai Mas Fikri dan perhatian nya aku harus tetap bersikap baik padanya."Tidak apa-apa, hanya sedikit lel
"Kamu pasti lelahkan Mas, ayo kamu istirahat dulu." ajak Indah .Sementara Fikri masih menatap punggung Yumna istri pertamanya yang hilang di balik pintu. Ia sangat lelah hari ini, padahal sejak di kantor wajah istri pertamanya lah yang paling ia rindukan.Pikirannya sudah membayangkan ingin segera merebahkan diri, menikmati ketenangan di rumah. Tapi sayangnya semuanya tak sesuai ekspektasi nya, sungguh menyesal pun tiada arti nya. Memiliki dua istri bukan hanya soal kemampuan materi, tetapi juga tanggung jawab besar yang menuntut keadilan, kebijaksanaan, dan pengelolaan emosi yang matang. Materi memang penting untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka secara adil, namun itu hanyalah salah satu aspek.Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan, seperti keadilan dalam sikap dan keputusan, Keseimbangan emosi, Komunikasi yang baik, kesehatan mental dan fisik terlebih dalam tanggung jawab moral dan agama. Diperlukan pemikiran yang matang, kesabaran, dan kesadaran bahwa keputusan ini tidak ha
indah menoleh ke arah Yumna, merasa Fikri tiba-tiba saja menurunkan tangannya. Ia mencebik kesal, ternyata karena Yumna. Padahal ia tengah menikmati sentuhan lembut suaminya. "Kenapasih Mas, kamu kalau ada Mba Yumna selalu begitu, bagaimana juga aku kan istri kamu?" protes Indah akhirnya, sebab ia merasa kesal kegiatan romantis nya selalu terganggu bila ada Yumna, berbeda lagi saat di kamar, ia juga harus lebih aktif untuk menggoda Fikri terlebih dahulu, baru ia mau menyentuh nya."Bagaimana juga, aku harus menjaga perasaan istri ku. Saat aku bersama Yumna aku harus menjaga perasaan mu agar tidak bermesraan di depan mu, begitu pun sebaliknya. Aku hanya berusaha tidak menzolimi kalian," jujur Fikri bukan orang yang paham agama, tapi dia berusaha adil walaupun tak akan mudah. "Ya sama ngerti ajalah, kan sudah ada jatahnya masing-masing juga Mas," Indah masih tidak paham juga, sama saja mereka tidak ada yang paham tentang poligami,di fikiran mereka yang penting di beri nafkah dan berba
Aku menoleh sebentar menatap Mas Fikri yang berada di belakang ku, berusaha tak terkejut dan panik. "Memangnya kenapa harus ke dokter kandungan?"Aku penasaran, apa Mas Fikri menyarankan ku karena merasa curiga aku hamil atau hanya ingin aku segera hamil.Tapi mas Fikri menggeleng-gelengkan kepalanya kecil."Engga, Mas hanya merasa kamu akhir-akhir ini berbeda, tapi gak tahu apa."Mas Fikri tersenyum ragu, menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal"Mas cuma takut kamu sakit," ucapnya akhirnya Aku keluar dari toilet dan diikuti Mas Fikri di belakang"Kalau sakit, kenapa suruh ke dokter kandungan?"Jawabku sedikit kecewa. Aku takut jika kehamilan ku ini di ketahui tapi entah mengapa aku kecewa mendengar jawaban Mas Fikri.Sebab aku fikir Mas Fikri akan yakin aku bisa hamil secepat ini. Tapi dengan jawaban seperti itu berarti dia memang tak mengharapkan aku segera cepat hamil. Mungkin selama ini diapun percaya bahwa wanita yang terlambat menikah sepertiku akan sulit hamil dan memilik
"Kamu pasti lelahkan Mas, ayo kamu istirahat dulu." ajak Indah .Sementara Fikri masih menatap punggung Yumna istri pertamanya yang hilang di balik pintu. Ia sangat lelah hari ini, padahal sejak di kantor wajah istri pertamanya lah yang paling ia rindukan.Pikirannya sudah membayangkan ingin segera merebahkan diri, menikmati ketenangan di rumah. Tapi sayangnya semuanya tak sesuai ekspektasi nya, sungguh menyesal pun tiada arti nya. Memiliki dua istri bukan hanya soal kemampuan materi, tetapi juga tanggung jawab besar yang menuntut keadilan, kebijaksanaan, dan pengelolaan emosi yang matang. Materi memang penting untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka secara adil, namun itu hanyalah salah satu aspek.Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan, seperti keadilan dalam sikap dan keputusan, Keseimbangan emosi, Komunikasi yang baik, kesehatan mental dan fisik terlebih dalam tanggung jawab moral dan agama. Diperlukan pemikiran yang matang, kesabaran, dan kesadaran bahwa keputusan ini tidak ha
"Apa in... " Deg ! Aku lupa menyimpannya di tempat aman, alat tes kehamilan itu hampir saja di sentuh Mas Fikri. Karena aku fikir Mas Fikri tidak akan masuk kekamar kami, sebab ini masih jatahnya bersama Indah. Ceroboh sekali aku, untungnya aku bisa bersikap tenang dan menyimpan benda itu sebelum Mas Fikri menyentuhnya."Bukan apa-apa, ini thermometer buat tau suhu tubuh aku, karena tadi aku merasa demam," elakku dengan sedikit senyum, agar Mas Fikri tak curiga.Mas Fikri menaikkan sebelah alisnya, mungkin dia sedikit merasa penasaran. Namun akhirnya dia bisa menerima alasanku."Boleh masuk?" suara di depan pintu mengalihkan pembicaraan kami. Alhamdulillah lirihku pelan, Indah datang di waktu yang tepat.Aku tersenyum mempersilahkan Indah untuk masuk."Mba Yumna gak papa?" tanyanya penuh perhatian, tapi apalah arti perhatian kalau status maduku sudah melekat padanya. Demi menghargai Mas Fikri dan perhatian nya aku harus tetap bersikap baik padanya."Tidak apa-apa, hanya sedikit lel
Di dalam toilet yang sempit, aku duduk di atas closet dengan lutut bergetar. Tanganku menggenggam alat tes kehamilan, sementara tangan kiriku menutupi mulut, seolah berusaha menahan napas yang semakin cepat. Dua garis merah.Jelas sekali. Aku hamil.Detik itu juga, duniaku terasa berhenti. Air mataku jatuh, tapi entah karena apa. Tangis bahagia? Mungkin. Tangis binasa? Lebih mungkin lagi. Di antara isakan kecil, aku menyentuh perut, tempat kehidupan baru mulai tumbuh. "Ya Allah,” bisikku parau, penuh rasa haru bercampur pedih. “Ini anugerah-Mu kan?”Namun, bayangan wajah suamiku muncul. Suamiku yang baru saja menikah lagi. Jantungku mencelos. Apakah suamiku akan bahagia dengan kabar ini? Ataukah kehadiran anak ini hanya akan menjadi bagian kecil dari dunia suamiku yang kini terbagi dua? Ah aku yakin suami ku pasti sangat bahagia, tapi entah mengapa rasanya aku tidak ingin membagi kebahagiaan ku ini.Aku tidak suka melihatnya bahagia berkali-kali lipat, sementara aku masih sangat kecew
Kalau biasanya meja makan sebagai tempat perdebatan kali ini sebagai tempat perbandingan antara menantu tua dan menantu muda. Aku pun bingung sebenarnya apa yang ku pertahankan dari rumah tangga yang sudah tak ada lagi kepercayaan dan cinta yang utuh ini.Kenapa aku tiba-tiba menyesali keputusan ku untuk rela berbagi? Besarnya cintaku pada Mas Fikri memang tak mampu membuat ku untuk membenci nya terlalu besar. Bahkan aku seperti nya tak akan bisa tertawa bahagia lagi di pernikahan ini. Tapi entah kenapa, setiap tekad ku bulat ingin pergi dari Mas Fikri ada setitik keraguan di hati kecil ku.Aku belum mengerti tentang perasaan ku sendiri, terang-terangan aku mengatakan membenci Mas Fikri, bahkan aku bisa memperlihatkan rasa ketidaksukaanku padanya.Tapi setiap dia tak lagi terlihat di pandangan ku aku merindukan nya, aku ingin memeluknya dan saat dia ada di dekatku mati-matian aku menolak dan membencinya, bahkan rasanya di sentuh olehnya membuat tubuh ku sangat kotor.“Wah, sup ini ena
Aku memandang wajah suamiku dengan lekat. Di matanya, aku masih menemukan cinta, tapi juga keputusasaan yang membuatku semakin membenci keadaan. Air mataku jatuh tanpa suara, seperti jantung yang telah luruh sejak lama.Mas Fikri berdiri mematung, seolah-olah kata-kata ku menghancurkan nyawanya. Tangannya terulur, tapi ia tidak cukup kuat untuk menahan rasa duka seseorang yang ia cintai, seseorang yang ia tahu pantas mendapatkan lebih dari ini. Aku merasakan bahwa ia sangat tertekan, sama seperti ku.Aku mencoba memejamkan mata, tapi bayangan wajah wanita lain itu terus menghantuiku. Kata-kata Mas Fikri barusan berputar di kepalaku, seperti belati yang mengiris jantung perlahan.'ijinkan aku untuk menikahi Indah'Lima kata itu menggema, menyayat lebih dalam setiap kali terulang. Nafasku berat, dada terasa penuh. Aku terus menuntut penjelasan darinya, tapi sepanjang penjelasan nya tidak ada satupun yang mampu ku terima. Wajah tampan itu aku tatap dengan nanar, bukan lagi dengan cinta
"Kamu gak papa?" panik Mas Fikri membawa ku untuk duduk di sofa. Aku menggelengkan kepala lemah. Memang aku masih merasa lemah dan kemas belum lagi kepala kadang suka kliengan"Wajah kamu terlihat pucat, kita ke dokter ya?""Tidak usah Mas, aku cuma butuh istirahat aja. Terus nanti minum obat juga sembuh," aku masih penasaran dengan apa yang terjadi pada Ibu."Ibu kenapa bisa masuk rumah sakit Mas?" terdengar helaan nafas kasar dari Mas Fikri."Ibu nekat minum cairan pencuci piring," manik hitam mataku membulat penuh, bahkan hamoir copot dari tempatnya mungkin sangking aku terkejutnya. "Maksudnya ibu mau bunuh diri?" "Iya. Mungkin seperti itu," "Apa ini semua salahku? Tapi kenapa harus menikah lagi? Bahkan pernikahan kita seumur jagung jugabelum ada. Aku yakin aku bisa hamil," suasana menjadi emosional saat ini. Aku tidak bisa mengontrol perasaan emosi yang mulai menguasai diriku."Mas juga sudah berulang kali meyakinkan ibu untuk bersabar tapi ibu tidak mau mengerti juga," keputus
"Yum, bagaimana keadaan Bu Salma, apa baik-baik saja?"pertanyaan para tetangga itu, membuat ku bingung. Memangnya apa yang terjadi pada ibu? "Maksudnya bagaimana Bu, saya gak ngerti?" jawabku jujur "Loh kamu ini gimana sih jadi menantu, masa gak tau kondisi mertuanya, tadikan ibu kamu pingsan di bawa ke rumah sakit sama Fikri pakai mobil si Indah," mataku membulat penuh, mendengar penuturan ibu tetangga. "Oh iya tadi saya lagi gak enak badan Bu, makanya gak ikut Mas Fikri," elakku, menutupi ketidaktahuan ku, aku tak ingin memperkeruh suasana jika mereka tau bahwa aku tidak di beri tahu saat Mas Fikri membawa ibu ke rumah sakit dengan Indah. Yang ada mereka semua semakin menceritakan ku. "Owalah, ya masa kamu biarin suami kamu pergi sama perempuan lain sih, gak takut apa?"sahut ibu yang lain. Aku hanya bisa tersenyum canggung "Saya percaya Mas Fikri Bu," "Jangan percaya-percaya banget atuh sama laki neng, kelihatan nya aja lugu kalem. Tapi kalau sudah khilaf mau bilang apa!