Raven membawa Kanya pulang.Perdebatan panjang mereka berakhir setelah Raven menutupnya dengan satu kecupan singkat. Lalu keduanya menghabiskan sisa perjalanan dalam hening yang panjang.Sungguh, perjalanan hidup bagaikan misteri. Setelah liku-liku kehidupan yang tak berujung pada akhirnya takdir membawa Kanya kembali pada Raven.Kanya yang sejak tadi diam saja dan menghabiskan waktu menegakkan duduknya ketika merasa ada sesuatu yang janggal. Kanya baru menyadari jika Raven membawanya ke arah yang berbeda. Ini bukanlah jalan menuju rumah mereka. Akan tetapi ke Nirvana Residence, kediaman Aline serta Marissa.“Kenapa kita ke sini?” Kanya menyuarakan keheranan di kepalanya.“Ray ada di rumah.” Raven menjawab setelah memandang pada Kanya.Kanya tidak bertanya lagi. Mungkin nanti setelah menjemput Ray Raven akan membawa Kanya ke rumah yang mereka tempati dulu. Senyum tipis terbit di bibir Kanya sebagai refleksi dari perasaan bahagianya. Sebentar lagi ia akan bersama anaknya, memeluk hanga
Raven memandang intens pada layar monitor di hadapannya. Layar tersebut menampilkan rekaman adegan sebulan belakangan. Raven ingin tahu apa saja yang terjadi dalam rentang tiga puluh hari ini. Tanpa terasa satu bulan sudah mereka tinggal bersama. Raven, Aline serta Kanya. Sejauh ini yang tertangkap oleh Raven secara kasat mata adalah hubungan kedua istrinya yang begitu akur. Aline kerap mengajak Kanya belanja bersama, menghabiskan waktu berempat dengan Lavanya serta hal-hal kecil lainnya. Keharmonisan mereka membuat Raven bersyukur. Meski dulu Aline dan Marissa sempat sentimen pada Kanya namun kehadiran Ray mengubah segalanya. Anak itu membawa berkah buat semuanya. Tidak hanya menghadirkan rezeki namun juga mendatangkan kedamaian.Raven memajukan duduk menatap lebih lekat layar monitor yang sedang memutar adegan di kamar. Saat itu Ray menangis sedang sang ibu sedang mandi dan tidak mengetahuinya. Aline datang menggendong Ray dan mendiamkannya. Lalu pada adegan lainnya tampak Kanya
Acara yang diselenggarakan dengan meriah dan dihadiri oleh banyak tamu tersebut pun berakhir, membuat Kanya merasa lega karena ia bisa pulang dan berhenti menjadi pajangan.Dan saat ini mereka bertiga sudah berada di mobil. Sama seperti saat akan berangkat tadi, Kanya kembali duduk sendiri di belakang. Sementara anaknya yang sudah tidur berada dalam dekapan Aline yang duduk di sebelah Raven.Kanya larut dalam lamunan panjang yang sangat menyedihkan. Tadi, tepatnya sekian jam yang lalu saat ada yang bertanya padanya dan Kanya mengatakan bahwa ia adalah seorang pengasuh yang bekerja pada Raven, orang itu tidak memercayainya. Malah mengatakan bahwa Kanya dan Ray lebih terlihat seperti kakak adik. Sepanjang acara berlangsung Kanya duduk sendiri, sedangkan Raven dan Aline mengabaikannya. Kanya hanya dipanggil ketika dibutuhkan, yaitu ketika Aline ingin mengenalkan Ray pada orang-orang sebagai anaknya. Dan Kanya hanya bisa diam membiarkan. Ini memang nasibnya.Tidak ada yang bisa Kanya laku
Kanya termangu menggenggam ponselnya dengan tangan gemetar. Semua rangkaian kata yang baru saja dibacanya membuat tubuhnya menggigil hebat.Bukan. Ini bukanlah berita buruk yang mengejutkan. Akan tetapi sebaliknya. Kabar yang baru saja diterimanya membuat Kanya luar biasa bahagia. Saking bahagianya Kanya kesulitan untuk memercayai berita yang baru saja diterimanya.Sebelah tangan Kanya menutup mulut, menahan agar tidak berteriak. Sedangkan sebelahnya lagi menahan ponsel dalam genggaman. Kanya baru saja menerima kabar bahwa gaun hasil rancangannnya memenangkan sayembara. Kanya menjadi pemenang utama di samping dua pemenang lainnya. Maka Kanya berhak menerima hadiah kemenangan yang berjumlah dua ratus juta rupiah. Selain itu ia juga menerima pendidikan gratis selama enam bulan sampai satu tahun. Ada dua pilihan yang ditawarkan di negara yang berbeda. Semua terserah Kanya mau memilih yang mana.“Astaga … ini semua nggak mungkin. Kenapa aku yang menang?” Kanya menggumam pelan. Bukan ing
Berita tentang Kanya yang memenangkan sayembara sudah diketahui oleh seisi rumah dan menuai berbagai reaksi.Aline dan Marissa menyampaikan selamat padanya. Tapi bukannya bahagia Kanya malah bertambah sedih. Pasalnya email tersebut sudah dihapus Raven sedangkan Kanya sama sekali belum mencatat contact person dan sejumlah informasi penting lain yang dibutuhkan.“Jadi rencanamu apa?” tanya Aline pada Kanya. Saat itu mereka tinggal bertiga. Sedangkan yang lain sibuk dengan aktivitas masing-masing.“Saya belum tahu. Raven nggak kasih izin,” jawab Kanya lirih.“Kamu jangan pasrah aja dong! Jangan buang kesempatan ini. Ini satu-satunya cara agar kamu bisa berkembang. Kamu harus bujuk Raven bagaimanapun caranya,” kata Aline mengompori dengan berapi-api.“Jadi kamu mendukung saya?” Kanya menatap lekat wajah Aline, mencari kejujuran di paras cantik perempuan itu.Dan Kanya melihat Aline tampak bersungguh-sungguh. “Ya iya dong, Kanya. Aku juga mau kamu maju dan berkembang. Apalagi sebagai sesa
“Kamu yakin ngizinin dia pergi?” tanya Aline ragu saat Raven memberitahu tentang keputusannya mengizinkan Kanya.Raven menganggukkan kepalanya pelan tanpa berkata apa-apa. Raven terpaksa mengizinkan Kanya setelah berperang dengan batinnya sendiri. Andai saja bisa Raven tidak akan membiarkan Kanya ke mana-mana. Namun air mata perempuan itu dan ungkapan isi hatinya yang disampaikan dengan sesenggukan membuat batin Raven pilu. Meski selama ini Raven egois dan keterlaluan pada Kanya, namun ia masih memiliki hati nurani.“Kalau Kanya pergi Ray gimana? Ray masih dua bulan lho, Rav! Dia masih ASI! Masih butuh banget perhatian dan kasih sayang dari ibunya.” Aline terus mengemukakan alasan demi alasan untuk membuat Raven membatalkan keputusannya.“Kanya pergi hanya enam bulan. Aku rasa waktu segitu nggak terlalu lama. Tentang Ray terpaksa diurus baby sitter dulu. Lagian kan ada aku, ada kamu, ada Mama juga. Kita bisa sama-sama mengurus dan merawat Ray,” ucap Raven bijaksana.Aline menyembunyik
Kanya menatap ke sekelilingnya begitu membuka pintu apartemen. Mereka baru saja tiba di sana setelah perwakilan pihak yayasan mengantar lalu menjelaskan dengan detail setiap bagian apartemen. Terdapat dua buah kamar di sana dengan dua kamar mandi yang masing-masing berada di dalam. Selain ruang tamu ada juga ruang keluarga serta ruang belakang yang langsung terhubung dengan dapur. Apartemen tersebut tidak terlalu luas untuk dipakai bersama. Namun cukup besar bagi mereka berdua.Apartemen yang Kanya tempati dengan Dita berlokasi di salah satu area strategis di Manhattan yang merupakan salah satu dari lima bagian kota di New York.Membuka pintu kamarnya, Kanya langsung menuju jendela. Ia berdiri di sana. Dari balik tirai pandangannya menembus jendela. Segalanya tampak kecil dari lantai tujuh belas tempatnya berada sekarang. Kendaraan aneka rupa yang berada jauh di jalan raya di bawahnya tampak bagai kotak-kotak kecil tak berguna yang dikelilingi oleh berbagai gedung pencakar langit.Tib
“Mama nggak percaya kalau itu isi surat warisannya.” Marissa menatap curiga pada Raven setelah mereka keluar dari ruangan pengacara. Tadi di ruangan tersebut mereka juga sempat bersitegang. Marissa merasa tidak terima karena tidak mendapat bagian.Raven yang mengerti maksud perkataan ibunya langsung membalas saat itu juga. “Jadi Mama curiga sama aku? Mama pikir aku yang mengubah isi surat warisan itu?”“Boleh jadi, agar kamu bisa menguasai semua harta papamu.”“Astaga, Ma! Setega itu Mama menuduhku.” Raven geleng-geleng kepala. Uang dan harta memang membuat manusia gelap mata. Bahkan seringkali menimbulkan pertikaian sesama keluarga.“Mama cuma heran, bagaimana mungkin papamu melewatkan Mama. Padahal Mama ini istrinya!” Marissa yang sakit hati melampiaskan kekesalannya pada Raven.“Ma, seharusnya dari awal Mama sadar kalau almarhum papa itu aneh. Masa untuk mengklaim warisan harus punya anak dulu. Tapi setelah aku merenung aku jadi tahu papa pasti punya beberapa pertimbangan. Dan me
Raven dan Aline serentak memandang ke arah Davva. Air muka Raven berubah seketika setelah mendengar ucapan laki-laki itu. Jadi mereka ke sini untuk membeli cincin nikah? Apa mereka akan menikah?Raven yang selama ini selalu tenang tidak kuasa menyembunyikan kegelisahan yang terlukis jelas di raut gagahnya.“Wedding ring untuk siapa? Siapa yang akan menikah?” Entah bagaimana tapi pertanyaan itu terlontar dari bibir Raven.“Kami yang akan menikah, aku dan Kanya.” Masih Davva yang menjawab.Raven memindahkan arah pandangnya pada Kanya seakan ingin meminta langsung penjelasan dari mantan istrinya itu. Raven ingin Kanya berbicara. Ia berharap Kanya menidakkan dan yang tadi didengarnya tadi hanyalah lanturan Davva saja.Kanya menundukkan kepala, tidak sanggup membalas tatapan Raven yang menghujamnya begitu dalam.“Kanya, apa itu benar? Apa kamu akan menikah?” Raven mengulangi pertanyaannya yang belum sempat Kanya jawab.“Kami memang akan menikah,” jawab Davva mewakili Kanya.“Aku bicara pad
Setelah keluar dari rumah, Davva langsung mengajak Kanya pergi. Kanya diam membeku di sebelah Davva. Peristiwa yang dialaminya barusan sangat mengguncangnya. Tuduhan keluarga Davva membuatnya lebih dari terhina.“Kanya …”Kanya diam saja saat Davva menyentuh pundaknya.“Jangan dimasukin ke hati ya kata-kata Mama tadi.”Larangan Davva sangat mengusik Kanya. Bagaimana mungkin Kanya tidak memasukkan ke hati? Toh Kanya adalah manusia yang memiki perasaan. Jika yang dulu-dulu Kanya masih bisa menahannya, tapi sekarang tidak lagi. Mereka sudah kelewatan. “Aku bukan robot, Dav. Aku punya hati. Nggak mungkin aku nggak tersinggung sedangkan keluarga kamu menuduhku yang bukan-bukan,” lirih Kanya sembari menaikkan tangan mengusap matanya. Bulir-bulir air bening itu kembali meluncur.Merasa masalah ini tidak bisa dibicarakan sambil menyetir, Davva menepi lalu berhenti di tepi jalan. Davva beringsut memiringkan duduknya mengarah pada Kanya.“Aku tahu kata-kata Mama sangat keterlaluan dan membuat
Rupanya dugaan Kanya terbukti benar. Tidak salah lagi. Ia akan mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari keluarga Davva. Sejujurnya Kanya merasa sangat sedih atas hinaan yang diterimanya. Tapi Davva yang mencintainya membuat Kanya memiliki keberanian untuk maju. Jika Davva saja tidak mempermasalahkan keadaannya, kenapa ia harus ambil pusing pada perkataan orang lain?Berdeham, Kanya membuka suaranya. “Maaf, Bu, mungkin saya akan terkesan tidak sopan di mata Ibu. Tapi saya tahu diri. Saya sadar kondisi dan keadaan saya. Menurut Ibu saya tidak pantas untuk Davva. Tapi tentang uang dan harta saya sama sekali tidak menginginkannya dari Davva. Saya punya pekerjaan dan saya cukup mapan. Masalahnya, Davva yang mengejar-ngejar saya. Saya sudah tolak berulang kali, tapi Davva tidak mengerti. Davva tetap ingin saya menerima cintanya. Jadi menurut Ibu apa ini adalah kesalahan saya?” Kanya tidak tahu entah dari mana memiliki keberanian untuk bicara selugas itu. Namun ia berhasil membuat perempua
Ada yang mengatakan bahwa cinta akan datang karena terbiasa. Itu pula yang kini ditanamkan Kanya pada dirinya. Ia mencoba untuk percaya bahwa nanti setelah terbiasa bersama maka cinta akan tumbuh dengan sendirinya. Oleh sebab itulah Kanya mencoba membuka pintu hatinya yang tertutup untuk Davva. Mungkin jika bukan sekarang, cinta akan tumbuh di hatinya suatu saat nanti.“Lagi ngelamunin apa, Nya?” Suara yang baru saja didengarnya membuat Kanya menoleh ke sebelah. Lensa matanya mendapati Davva sedang menyetir di sampingnya. Saat ini Davva dan Kanya sedang berada di dalam perjalanan menuju rumah orang tua Davva.Davva mengajak Kanya ke sana. Mereka akan berbicara face to face bertiga. Davva bermaksud menyampaikan niatnya untuk menata hubungan yang lebih serius dengan Kanya.Kanya tersenyum lalu menggelengkan kepalanya pelan. “Nggak ngelamunin apa-apa.”“Yakin? Kalau nggak ngelamun kenapa dari tadi kamu hanya diam?”“Aku agak grogi,” jawab Kanya berterus terang. Mendatangi rumah orang t
“Rav, aku kepikiran deh buat jodohin Ray dan Lavanya.”Celetukan yang berasal dari mulut Aline itu sontak membuat Raven mengangkat mukanya lalu memindahkan pandangannya pada istrinya itu. “Jodohin apa maksud kamu?” Alis Raven bertaut..“Ya dijodohin. Mereka kan nggak ada hubungan darah apa-apa. Daripada sama orang lain mending Ray sama Lavanya. Dia kan anak kita juga. Lagian aku lihat kalau kecilnya aja udah cantik gimana gedenya.”Raven geleng-geleng kepala mendengar ide Aline. Ray belum berumur dua tahun tapi pikiran Aline sudah ke mana-mana.“Mereka masih kecil tapi kamu mikirnya udah kejauhan.”“Sekarang mereka memang masih kecil tapi anak-anak gedenya nggak berasa lho, Rav. Tau-tau udah SMU, tau-tau udah kuliah, tau-tau udah tiga puluh tahun.”Raven diam saja, tidak menanggapi ocehan Aline. Ia kembali menekuri english breakfast-nya.“Aku pikir nggak ada salahnya kita rencanakan masa depan mereka sejak sekarang. Kita jodohin mereka dari kecil jadi dewasanya nggak akan ke mana-man
Kanya mulai berpikir untuk mencari pekerja baru di butiknya mengingat makin ke sini Monique semakin ramai sehingga ia dan Dita juga semakin kewalahan. Belum lagi Kanya juga harus mengasuh Monic yang sedang aktif-aktifnya.Kanya juga sedang mempertimbangkan rencananya untuk pindah ke butik dan memberikan kembali apartemen yang ditempatinya selama ini pada Davva. Pelan-pelan ia akan mengembalikan segala pemberian Davva padanya. Bukan sekaligus tapi bertahap. Karena Kanya juga tidak akan mampu mengembalikan semuanya secara langsung.Dan tentang Davva sendiri sudah beberapa hari ini Kanya tidak pernah lagi bertemu dengannya. Lebih tepatnya sejak di rumah sakit. Entah karena Davva masih sibuk mengurus mamanya atau mungkin karena pelan-pelan pikirannya mulai terbuka dan menyadari bahwa hubungan mereka tidak mungkin dilanjutkan. Apapun itu Kanya mensyukurinya.Beralih pikiran dari Davva, pandangan Kanya lalu tertuju pada Monic yang sedang main sendiri. Perasaan sedih terbersit di hatinya men
“Kanya! Tunggu dulu, Nya!” Davva berseru keras memanggil Kanya yang berjalan beberapa meter di depannya sambil menggendong Monic.Semakin dipanggil Kanya melangkah semakin cepat hingga Davva terpaksa mengejarnya agar tidak ketinggalan terlalu jauh.Davva akhirnya berhasil menangkap lengan Kanya, lalu mensejajarkan langkah dengan perempuan itu.“Eh, Dav,” kata Kanya seakan tidak terjadi apa-apa. Ia terpaksa menahan kakinya demi meladeni Davva bicara dengannya.“Kamu jangan salah paham dulu, Nya, kasih aku kesempatan untuk menjelaskannya.”“Apa yang mau dijelaskan, Dav?” Kanya masih menjaga ketenangan sikap meski ada sebagian diri yang terluka.“Tentang yang kamu dengar tadi, Nya. Aku harap kamu nggak salah paham.” Sungguh, Davva tidak ingin jika Kanya jadi salah mengartikannya. Ingin marah pada Wanda tapi wanita itu adalah ibu kandung tempat dirinya berasal.“Yang mana ya, Dav?”“Tentang Shella. Dia sama sekali nggak ada hubungan apa-apa sama aku. Dia anak sahabatnya Mama.” Davva berus
“Lagi sibuk banget ya, Dav?”Kanya menatap lekat layar gawainya sampai menggelap sendiri. Ia baru saja mengirim pesan pada Davva. Sudah beberapa hari ini Davva menghilang tanpa berkabar pada Kanya. Sikap Davva tersebut tentu saja membuat Kanya cemas. Dulu Davva juga pernah hilang-hilang timbul seperti ini. Hal itu terjadi cukup lama sebelum akhirnya Davva kembali muncul ke kehidupan Kanya.Ting!Denting dari notifikasi ponselnya membuat Kanya terkesiap. Pandangannya lalu turun pada ponsel yang berada dalam genggamannya. Ada balasan pesan dari Davva yang sejak tadi dinantinya.“Sorry baru ngabarin sekarang, aku lagi di rumah sakit, Nya. Mama sakit.” Tidak ada emoji atau emoticon dalam pesan yang Davva kirim. Tapi Kanya bisa merasakan getar kekhawatiran di sana. “Mama sakit apa, Dav?” tanyanya kemudian membalas pesan tersebut.Lama Kanya menanti balasannya sampai pesan kedua dari Davva kembali masuk ke ponselnya.“Hipertensi.”“Mama dirawat di rumah sakit mana, Dav?”Davva membalasny
“Hueek … hueeek ... hueeek ..."Suara itu menggema di kamar. Kanya terhuyung. Tidak hanya merasa pusing tapi ia juga muntah sekarang. Melihat Kanya hampir saja terjatuh, Davva dengan sigap menangkap tubuh Kanya. Di saat yang sama Kanya mengeluarkan lagi muntahan dari perutnya dan mengenai baju Davva.“Sorry, Dav,” ucap Kanya tidak enak hati.“Nggak apa-apa,” jawab Davva pengertian. Ia membuka bajunya yang ternoda kemudian menuntun Kanya ke kamar mandi untuk muntah di sana.Kanya memuntahkan isi perutnya sedangkan Davva memijit tengkuknya, memperlakukan perempuan itu sebagaimana yang dilakukan orang-orang pada biasanya.Setelah tidak ada lagi yang bisa dikeluarkannya Kanya membersihkan mulut dan mukanya dengan nafas sedikit sesak.“Hamilnya nggak akan seekspres ini kan, Dav?” celetuk Kanya ketika Davva menggandengnya keluar dari kamar mandi.Tawa Davva berderai. “Iya kali, Nya, bikinnya baru tadi malam tapi paginya udah langsung jadi.”“Terus kenapa aku jadi muntah-muntah begini?”“It