Kanya termangu menggenggam ponselnya dengan tangan gemetar. Semua rangkaian kata yang baru saja dibacanya membuat tubuhnya menggigil hebat.Bukan. Ini bukanlah berita buruk yang mengejutkan. Akan tetapi sebaliknya. Kabar yang baru saja diterimanya membuat Kanya luar biasa bahagia. Saking bahagianya Kanya kesulitan untuk memercayai berita yang baru saja diterimanya.Sebelah tangan Kanya menutup mulut, menahan agar tidak berteriak. Sedangkan sebelahnya lagi menahan ponsel dalam genggaman. Kanya baru saja menerima kabar bahwa gaun hasil rancangannnya memenangkan sayembara. Kanya menjadi pemenang utama di samping dua pemenang lainnya. Maka Kanya berhak menerima hadiah kemenangan yang berjumlah dua ratus juta rupiah. Selain itu ia juga menerima pendidikan gratis selama enam bulan sampai satu tahun. Ada dua pilihan yang ditawarkan di negara yang berbeda. Semua terserah Kanya mau memilih yang mana.“Astaga … ini semua nggak mungkin. Kenapa aku yang menang?” Kanya menggumam pelan. Bukan ing
Berita tentang Kanya yang memenangkan sayembara sudah diketahui oleh seisi rumah dan menuai berbagai reaksi.Aline dan Marissa menyampaikan selamat padanya. Tapi bukannya bahagia Kanya malah bertambah sedih. Pasalnya email tersebut sudah dihapus Raven sedangkan Kanya sama sekali belum mencatat contact person dan sejumlah informasi penting lain yang dibutuhkan.“Jadi rencanamu apa?” tanya Aline pada Kanya. Saat itu mereka tinggal bertiga. Sedangkan yang lain sibuk dengan aktivitas masing-masing.“Saya belum tahu. Raven nggak kasih izin,” jawab Kanya lirih.“Kamu jangan pasrah aja dong! Jangan buang kesempatan ini. Ini satu-satunya cara agar kamu bisa berkembang. Kamu harus bujuk Raven bagaimanapun caranya,” kata Aline mengompori dengan berapi-api.“Jadi kamu mendukung saya?” Kanya menatap lekat wajah Aline, mencari kejujuran di paras cantik perempuan itu.Dan Kanya melihat Aline tampak bersungguh-sungguh. “Ya iya dong, Kanya. Aku juga mau kamu maju dan berkembang. Apalagi sebagai sesa
“Kamu yakin ngizinin dia pergi?” tanya Aline ragu saat Raven memberitahu tentang keputusannya mengizinkan Kanya.Raven menganggukkan kepalanya pelan tanpa berkata apa-apa. Raven terpaksa mengizinkan Kanya setelah berperang dengan batinnya sendiri. Andai saja bisa Raven tidak akan membiarkan Kanya ke mana-mana. Namun air mata perempuan itu dan ungkapan isi hatinya yang disampaikan dengan sesenggukan membuat batin Raven pilu. Meski selama ini Raven egois dan keterlaluan pada Kanya, namun ia masih memiliki hati nurani.“Kalau Kanya pergi Ray gimana? Ray masih dua bulan lho, Rav! Dia masih ASI! Masih butuh banget perhatian dan kasih sayang dari ibunya.” Aline terus mengemukakan alasan demi alasan untuk membuat Raven membatalkan keputusannya.“Kanya pergi hanya enam bulan. Aku rasa waktu segitu nggak terlalu lama. Tentang Ray terpaksa diurus baby sitter dulu. Lagian kan ada aku, ada kamu, ada Mama juga. Kita bisa sama-sama mengurus dan merawat Ray,” ucap Raven bijaksana.Aline menyembunyik
Kanya menatap ke sekelilingnya begitu membuka pintu apartemen. Mereka baru saja tiba di sana setelah perwakilan pihak yayasan mengantar lalu menjelaskan dengan detail setiap bagian apartemen. Terdapat dua buah kamar di sana dengan dua kamar mandi yang masing-masing berada di dalam. Selain ruang tamu ada juga ruang keluarga serta ruang belakang yang langsung terhubung dengan dapur. Apartemen tersebut tidak terlalu luas untuk dipakai bersama. Namun cukup besar bagi mereka berdua.Apartemen yang Kanya tempati dengan Dita berlokasi di salah satu area strategis di Manhattan yang merupakan salah satu dari lima bagian kota di New York.Membuka pintu kamarnya, Kanya langsung menuju jendela. Ia berdiri di sana. Dari balik tirai pandangannya menembus jendela. Segalanya tampak kecil dari lantai tujuh belas tempatnya berada sekarang. Kendaraan aneka rupa yang berada jauh di jalan raya di bawahnya tampak bagai kotak-kotak kecil tak berguna yang dikelilingi oleh berbagai gedung pencakar langit.Tib
“Mama nggak percaya kalau itu isi surat warisannya.” Marissa menatap curiga pada Raven setelah mereka keluar dari ruangan pengacara. Tadi di ruangan tersebut mereka juga sempat bersitegang. Marissa merasa tidak terima karena tidak mendapat bagian.Raven yang mengerti maksud perkataan ibunya langsung membalas saat itu juga. “Jadi Mama curiga sama aku? Mama pikir aku yang mengubah isi surat warisan itu?”“Boleh jadi, agar kamu bisa menguasai semua harta papamu.”“Astaga, Ma! Setega itu Mama menuduhku.” Raven geleng-geleng kepala. Uang dan harta memang membuat manusia gelap mata. Bahkan seringkali menimbulkan pertikaian sesama keluarga.“Mama cuma heran, bagaimana mungkin papamu melewatkan Mama. Padahal Mama ini istrinya!” Marissa yang sakit hati melampiaskan kekesalannya pada Raven.“Ma, seharusnya dari awal Mama sadar kalau almarhum papa itu aneh. Masa untuk mengklaim warisan harus punya anak dulu. Tapi setelah aku merenung aku jadi tahu papa pasti punya beberapa pertimbangan. Dan me
Kanya menolehkan kepalanya ke belakang mencari sosok pemilik suara yang menarik perhatiannya.Kanya hampir saja ternganga saat matanya bertemu dengan sosok itu. Begitu pun dengan lelaki yang sedang menelepon. Ia langsung mengakhiri panggilan dan menyimpan ponselnya.“Kanya!”“Davva!”Keduanya serentak saling memanggil dengan raut heran yang sama.Dua orang penumpang lift yang keluar membuat kotak itu terasa lebih lapang. Davva bergerak memajukan langkahnya kemudian berdiri di dekat Kanya.“Kenapa kamu bisa ada di sini?” tanya lelaki itu ingin tahu. Ia masih ingat saat terakhir bertemu dengan Kanya adalah di toko buku di Indonesia.“Ceritanya panjang. Tapi intinya Aku memenangkan lomba merancang busana untuk peserta kontes kecantikan. Dan sebagai hadiahnya aku dikirim ke sini untuk sekolah di Manhattan College of Fashion.” Kanya menjelaskan secara garis besar pada Davva.“Wah, congrats, Kanya. Kamu hebat,” puji Davva tulus sembari mengulurkan tangan pada Kanya.Kanya menyambut uluran
Kanya sedang berbaring di tempat tidurnya dengan mata terpaku intens ke layar gawai yang sedang berada di dalam genggamannya. Kanya sedang melihat-lihat foto Ray. Padahal baru beberapa menit yang lalu ia selesai menghubungi Raven tapi Kanya merasa belum puas. Saat ditelepon tadi Ray baru akan tidur. Padahal baru jam delapan malam. Tadi Raven mengatakan padanya jika Ray tidur jam segini maka biasanya akan bangun tengah malam dan begadang sampai hampir subuh. Dari cerita Raven lagi Ravenlah yang mengurus Ray sendiri karena tidak tega membangunkan baby sitter mereka. Terbersit rasa bersalah di hati Kanya kala mengetahui ternyata kepergiannya menimbulkan banyak hal-hal yang tidak menyenangkan bagi orang yang ditinggalkannya. Seharusnya Kanyalah yang mengurus Ray dan menemaninya begadang, bukan Raven. Kanya jadi membayangkan pasti Raven terkantuk-kantuk keesokan paginya setelah semalaman tidak tidur. Kasihan juga Raven.Suara bel di depan sana membuat Kanya terkesiap. Mungkin Dita yang pu
Sejak pagi itu Kanya dan Davva bertambah dekat. Saat ada waktu luang Davva sering mengajak Kanya mengunjungi tempat-tempat wisata, pusat perbelanjaan, serta tempat makan ternama di New York. Seperti hari ini contohnya. Davva mengajak Kanya ke Central Park. Ini bukanlah kunjungan pertama Kanya ke sana. Sebelumnya Davva sudah mengajaknya dua kali ke sana. Dua bulan di New York Kanya sudah mengunjungi banyak tempat. Iya sudah dua bulan Kanya di sana. Selama itu pula Kanya sudah merasakan yang namanya hangout di Times Square, melihat patung Liberty, atau hanya sekadar mondar-mandir di Grand Central.Dari semua hal tersebut yang menjadi bagian favorit Kanya adalah bersepeda berdua dengan Davva melintasi Queensboro Bridge. Jembatan tersebut menghubungkan Long Island City di wilayah Queens dengan Upper East Side di Manhattan yang sama persis seperti kota Buda dan Pest di Hungaria yang dipisahkan oleh sungai Danube.Kanya sibuk memotret apapun objek yang tertangkap oleh lensa matanya ketika
Raven termangu sekian lama sambil memandang nanar cincin yang diberikan Kanya langsung ke telapak tangannya.“Nggak bisa begitu, Nya. Kamu nggak bisa membatalkan pernikahan kita hanya karena Qiandra terbukti sebagai anak Davva. Kita sudah merencanakan semua ini dengan matang. Undangan sudah dicetak, gedung sudah di-booking, belum lagi yang lainnya,” tukas Raven tidak terima. Ini bukan hanya semata-mata perihal persiapan pernikahan, melainkan tentang perasaannya pada Kanya. Ia tidak rela melepas Kanya justru setelah perempuan itu berada di genggamannya.“Rav, mengertilah, aku nggak bisa,” jawab Kanya putus asa. Entah bagaimana lagi caranya menjelaskan pada Raven bahwa dirinya benar-benar tidak bisa melanjutkan hubungan mereka.“Kamu minta aku untuk mengerti kamu, tapi apa kamu mengerti aku? Alasan kamu nggak jelas. Kenapa baru sekarang kamu bilang nggak bisa menikah denganku? Kenapa bukan dari sebelum-sebelumnya? Kenapa setelah kedatangan Davva? Semua ini terlalu lucu untuk disebut hany
Waktu saat ini menunjukkan pukul satu malam waktu Indonesia bagian barat, tapi tidak sepicing pun Kanya mampu memejamkan matanya. Adegan demi adegan tadi siang terus membayang. Saat ia bertemu dengan Davva, bicara berdua dari hati ke hati, serta mengungkapkan langsung kegalauannya pada laki-laki itu. Dan Davva dengan begitu bijak menjawab saat Kanya menanyakan apa ia harus memikirkan lagi hubungannya dengan Raven.“Aku rasa aku butuh waktu untuk mengkaji ulang hubungan dengan Raven. Aku nggak mau gagal lagi seperti dulu. Menurut kamu gimana kalau misalnya aku menunda atau membatalkan pernikahan itu?”Davva terlihat kaget mendengar pertanyaan Kanya. Ia memindai raut Kanya dengan seksama demi meyakinkan jika Kanya sungguh-sungguh bertanya padanya. Dan hasilnya adalah Davva melihat keraguan yang begitu kentara di wajah Kanya.“Aku bingung, aku nggak mau gagal lagi.” Kanya mengucapkannya sekali lagi sambil menatap Davva dengan intens.“Follow your heart, Nya. Ikuti apa kata hatimu. Dan ja
Kanya tersentak ketika mendengar ketukan di depan pintu. Pasti itu Raven yang datang, pikirnya. Beberapa hari ini memang tidak bertemu dengan laki-laki itu. Bukan karena mereka ada masalah, tapi karena Kanya sedang butuh waktu untuk sendiri.Mengayunkan langkah ke depan, Kanya membuka pintu. Tubuhnya membeku seketika begitu mengetahui siapa yang saat ini berdiri tegak di hadapannya. Bukan Raven seperti yang tadi menjadi dugaannya, tapi ...“Dav ...”Davva membalas gumaman Kanya dengan membawa perempuan itu ke dalam pelukannya.“Aku baru tahu semuanya dari Raven. Aku minta maaf karena waktu itu ninggalin kamu. Aku nggak tahu kalau kamu hamil anak kita,” bisik Davva pelan penuh penyesalan.“Kamu nggak salah, Dav, aku yang salah. Aku pikir Qiandra anak Raven,” isak Kanya dalam dekapan laki-laki itu.Kenyataan bahwa Qiandra adalah darah daging Davva membuat Kanya begitu terpukul. Beberapa hari ini ia merenungi diri dan menyesali betapa bodoh dirinya yang tidak tahu mengenai hal tersebut.
Davva menegakkan duduknya lalu memfokuskan pendengarannya pada Raven yang menelepon dari benua yang berbeda dengannya.“Sorry, Rav, ini kita lagi membicarakan siapa? Baby girl apa maksudnya?” Davva ingin Raven memperjelas maksud ucapannya. Apa mungkin Raven salah orang? “Ini aku Davva. Kamu yakin yang mau ditelepon Davva aku? Atau mungkin Davva yang lain tapi salah dial?”“Aku nggak salah orang. Hanya ada satu Davva yang berhubungan dengan hidupku dan Kanya, yaitu kamu," tegas Raven.Perasaaan Davva semakin tegang mendengarnya, apalagi mendengar nada serius dari nada suara Raven.“Jadi maksudnya baby girl apa? Kenapa kasih selamat sama aku?” tanya Davva tidak mengerti. Justru seharusnya Davvalah yang menyampaikan ucapan tersebut pada Raven karena dialah yang berada di posisi itu.“Aku tahu semua ini nggak akan cukup kalau hanya disampaikan melalui telepon. Ceritanya panjang. Tapi aku harus bilang sekarang kalau Qiandra adalah anak kandung kamu, Dav. Dia bukan darah dagingku. Hasil tes
Kanya mengajak Raven keluar dari ruangan dokter. Mereka tidak mungkin berdebat apalagi sampai bertengkar di sana.“Jawab pertanyaanku, Nya, siapa bapak anak itu?” Raven kembali mendesak setelah mereka tiba di luar.Kanya menggelengkan kepala. Bukan karena tidak tahu, tapi juga akibat syok mendapati kenyataan yang tidak disangka-sangka.“Jadi kamu nggak tahu siapa bapak anak itu? Memangnya berapa banyak lelaki yang meniduri kamu, Nya?” Kanya membuat Raven hampir saja terpancing emosi.“Jangan pernah menuduhkku sembarangan, Rav! Aku bukan perempuan murahan yang akan tidur dengan laki-laki sembarangan! Aku masih punya harga diri,” bantah Kanya membela diri.“Tapi hasil tes itu nggak mungkin berbohong, Kanya!” ucap Raven gregetan. “Ini rumah sakit internasional, tenaga medis di sini juga profesional. Mereka nggak akan mungkin salah menentukan hasil tes. Jangan kamu pikir mamaku yang mengacaukan agar hasilnya berbeda. Ini kehidupan nyata, Kanya, bukan adegan sinetron!”Suara tinggi Raven m
“Kanya, aku rasa sudah saatnya kita lakukan tes DNA. Aku nggak mau menunggu lagi. Aku nggak bisa melihat kamu mengurus anak-anak kita sendiri.”Kanya menolehkan kepalanya kala mendengar ucapan Raven.Hari ini baby Qiandra berumur satu bulan. Kanya sudah sejak lama pulang dari rumah sakit. Kondisinya pasca persalinan juga sangat baik.Setelah saat itu Raven datang ke rumah sakit, Davva pergi tiba-tiba. Padahal Raven ingin mengucapkan terima kasih padanya.“Siang ini aku harus pulang ke NY, Nya.” Itu alasan Davva saat Kanya menelepon menanyakan keberadaannya.“Tapi kenapa kamu pergi nggak bilang aku dulu?”“Maaf banget ya, Nya, aku ada panggilan mendadak dan nggak sempat bilang ke kamu.”Setelah hari itu Kanya tidak pernah lagi berkomunikasi dengan Davva. Davva sibuk dengan pekerjaannya, Kanya juga sedang menikmati hari-harinya memiliki buah hati yang baru.“Kanya! Gimana?” tegur Raven meminta jawaban lantaran Kanya tidak menjawab.“Harus banget ya tes DNA itu?” Kanya masih merasa keber
Pria itu baru saja keluar dari mobil lalu menarik langkah cepat. Ia mengangguk sepintas pada seseorang saat berpapasan. Entah siapa orang itu tidak terekam di benaknya. Ia hanya ingin segera tiba secepatnya di kamar lalu beristirahat sepuasnya.Smart lock kamarnya berbunyi kecil saat mendeteksi kesesuaian. Pintu kamar pun terbuka.Raven—lelaki itu langsung masuk. Begitu melihat hamparan kasur ia langsung menghambur. Hari ini begitu melelahkan. Pertemuan serta dengar pendapat dengan pemerintah daerah tadi siang berlangsung dengan alot. Pemerintah setempat memberi banyak tuntutan yang kurang masuk akal kepada para pengusaha yang sebagian besar tidak bisa mereka penuhi.Tatapan Raven berlabuh pada benda seukuran telapak tangan yang terselip di antara bantal. Ternyata Raven lupa membawa ponselnya yang ternyata berada dalam keadaan mati.Sambil berbaring Raven menyalakannya. Beberapa detik kemudian setelah mendapat sinyal, notifikasinya berdenting. Raven terkesiap ketika membaca pesan dari
Sedikit pun tidak terlintas di pikiran Kanya bahwa dirinya akan menghadapi hal menakjubkan di dalam hidupnya, yaitu melakukan persalinan sendiri tanpa bantuan tenaga medis dan terjadi di tempat yang sama sekali tidak disangka-sangka.Setelah melahirkan di toilet SPBU ditemani Davva, Kanya mendapat pertolongan dan dibawa ke rumah sakit terdekat. Cerita tentang persalinan di toilet tersebut menjadi buah bibir di sekitar tempat itu, tapi untung tidak sampai viral, karena Kanya tidak ingin populer dengan cara tersebut.Setelah proses observasi, saat ini Kanya berada di ruang rawat. Kondisi Kanya masih terlihat lemah karena kehilangan banyak energi. Tapi perasaan bahagia yang begitu dalam menyelimuti hatinya melihat bayi perempuan yang dilahirkannya begitu sehat, normal, serta lengkap seluruh organ tubuhnya. Bayi mungil itu saat ini berada di dalam box yang diletakkan di samping tempat tidur Kanya.Monic begitu gembira karena pada akhirnya keinginan anak itu untuk memiliki adik perempuan m
“Kanya, maaf sekali, aku nggak bisa menemani kamu lahiran.”Kanya yang saat itu sedang menyesap juice apel refleks memandang ke arah Raven kala mendengar ucapan laki-laki itu. Bagaimana tidak, mereka sudah merencanakannya jauh-jauh hari. Bahkan Raven sudah mem-booking rumah sakit terbaik untuk proses persalinan Kanya. Lalu dengan seenaknya sekarang Raven mengatakan tidak bisa.Raven mengangkat tangan sebagai isyarat bahwa ia akan menjelaskan alasannya pada Kanya sebelum perempuan itu mengajukan aksi protes.“Aku baru mendapat telepon dari asistenku di daerah. Dia bilang ada undangan untuk pertemuan dari pemerintah daerah setempat, dan itu nggak bisa diwakilkan. Bukan hanya aku tapi semua pengusaha sawit yang berada di sana,” jelas Raven menyampaikan alasannya.Kanya memahami argumen Raven. Dalam hal ini ia tidak boleh egois dengan memikirkan dirinya sendiri. Ia juga harus mendukung karir Raven.“Nggak apa-apa, Rav, pergilah,” jawab Kanya merelakan.Raven memindai wajah Kanya, mencoba