Sejak pagi itu Kanya dan Davva bertambah dekat. Saat ada waktu luang Davva sering mengajak Kanya mengunjungi tempat-tempat wisata, pusat perbelanjaan, serta tempat makan ternama di New York. Seperti hari ini contohnya. Davva mengajak Kanya ke Central Park. Ini bukanlah kunjungan pertama Kanya ke sana. Sebelumnya Davva sudah mengajaknya dua kali ke sana. Dua bulan di New York Kanya sudah mengunjungi banyak tempat. Iya sudah dua bulan Kanya di sana. Selama itu pula Kanya sudah merasakan yang namanya hangout di Times Square, melihat patung Liberty, atau hanya sekadar mondar-mandir di Grand Central.Dari semua hal tersebut yang menjadi bagian favorit Kanya adalah bersepeda berdua dengan Davva melintasi Queensboro Bridge. Jembatan tersebut menghubungkan Long Island City di wilayah Queens dengan Upper East Side di Manhattan yang sama persis seperti kota Buda dan Pest di Hungaria yang dipisahkan oleh sungai Danube.Kanya sibuk memotret apapun objek yang tertangkap oleh lensa matanya ketika
Bulan ketiga di Manhattan.Pagi ini Kanya memaksakan diri untuk mengikuti kelas meskipun merasa badannya tidak terlalu sehat. Kanya mengingat kata-kata Davva dengan baik. Ia akan rugi jika tidak masuk sehari saja. Atas alasan itulah Kanya berada di kampusnya.Sudah sejak kemarin Kanya merasakan kondisinya kurang fit, namun seperti yang sudah-sudah Kanya menganggapnya biasa saja. Cukup dengan meminum pereda nyari biasanya semua rasa mengganggu itu akan menghilang dengan sendirinya. Tapi sepertinya hal tersebut tidak berlaku pagi ini. Kepala Kanya tetap terasa pusing dan berat.“Mending nanti kita ke rumah sakit, Nya,” kata Dita menyarankan begitu menyaksikan Kanya duduk dengan gelisah di sebelahnya.“Nggak usah,” jawab Kanya pelan dengan suara berbisik, khawatir jika akan terdengar oleh yang lain.“Tapi ini nggak bisa dibiarin lagi. Udah berapa hari coba kamu minum obat tapi nggak ada hasilnya. Tuh obat nggak ngefek apa-apa. Itu tandanya kamu harus berobat ke dokter, Nya.”“Ya udah, na
Kanya dan Davva refleks memandang ke arah pintu. Ia refleks terduduk untuk kemudian berdiri ketika tahu siapa yang datang. Begitu pun dengan Davva seketika bangkit dari lantai dan berdiri seperti Kanya.Kanya menggerakkan kakinya yang terasa begitu berat untuk menghampiri pintu. Tanpa perlu berkaca Kanya tahu sepucat apa wajahnya saat ini. Sedikit pun Kanya tidak menduga jika akan mendapat tamu yang tidak diundang di waktu dan tempat yang salah.***Seperti biasa jika sedang suntuk atau karena ada yang harus dikerjakannya Raven melarikan diri ke ruang kerjanya yang terletak di bagian sudut rumah dan agak tersembunyi.Raven sedang memeriksa laporan keuangannya, di mana pengeluarannya terlalu besar dibandingkan pemasukan.Uang warisannya sudah cair. Dan dengan uang itulah Raven mengaplikasikan ke setiap pos-pos pengeluaran. Dimulai dari kebutuhan perusahaan sampai untuk kebutuhan pribadi.Raven juga memenuhi keinginan Aline. Salah satunya adalah untuk pergi liburan ke luar negeri. Dari
Hal pertama yang tertangkap oleh lensa mata Kanya setelah terjatuh tadi adalah sosok Davva yang sedang memandanginya dengan tatapan khawatir.Kanya mengernyit. Seingatnya tadi ia jatuh di lorong apartemen saat mengejar Raven. Tapi kenapa ia bisa berada di kamarnya?Kanya buru-buru bangkit dari berbaring. Ia harus segera bertemu dengan Raven dan meluruskan kepalahpahaman ini. Tapi belum sempat Kanya bergerak Davva menahannya.“Lepasin aku, Dav, aku harus ketemu Raven. Aku kangen sama Ray, aku pengen gendong Ray sebentar.” Davva menggelang tegas. “Jangan pergi.”“Kenapa aku nggak boleh pergi?” Kanya tidak tahu bagaimana ceritanya Raven, Ray dan Aline bisa berada di bawah langit yang sama dengannya. Tapi yang jelas mereka harus berjumpa.“Apa kamu nggak dengar tadi dia sudah menghina kamu? Apa masih belum cukup juga? Mau sampai kapan kamu membiarkan harga dirimu diinjak-injak?”“Raven hanya salah pengertian, Dav, jadi wajar kalau dia bersikap begitu. Dia hanya salah paham,” jawab Kanya
Kanya menahan air bening agar tidak berlinangan dari sudut-sudut matanya yang menghangat.Davva benar. Tidak seharusnya Kanya datang menemui Raven meskipun dengan alasan menemui Ray. Karena yang ia terima hanyalah kekecewaan. Namun bagaimana lagi, yang namanya seorang ibu merindukan anaknya. Rasa itu tidak sanggup Kanya bendung.“Baik, karena tugasku sudah selesai aku akan pergi,” lirih Kanya menjawab lalu memutar tubuh meninggalkan Raven.“Eh, udah, Nya?” tanya Dita keheranan ketika Kanya menarik tangannya pergi. “Nggak jadi ketemu Ray?”Kanya tidak menjawab. Tapi Kanya yang menarik tangannya semakin kuat membungkam mulut Dita agar tidak bertanya lagi. Dita bertahan dalam diam sampai mereka masuk ke dalam taksi dan melihat Kanya menangis.“Ada apa, Nya? Kenapa nangis? Suamimu nyakitin kamu?”“Dia bukan suamiku lagi, Dit,” jawab Kanya sesenggukan.“Maksudnya?” Dita menatap muka basah Kanya penuh tanda tanya.“Dia bilang hubungan kami sudah selesai.”“Jadi maksudnya kalian bercerai?” D
Hari-hari berlalu dengan begitu cepat. Tanpa terasa ini adalah bulan terakhir pendidikan Kanya. Seiring dengan hal tersebut usia kehamilan Kanya yang semakin bertambah membuat perutnya juga semakin membesar.Selama tiga bulan ini Kanya putus komunikasi dengan Raven. Saat perasaan rindu pada Ray datang terbersit keinginan di hati Kanya untuk menelepon Raven. Tapi Raven tidak pernah mau sekali pun menerima panggilan darinya. Pria itu menutup akses komunikasi dari Kanya. Sejak itu Kanya berhenti menghubungi Raven.“Nggak berasa udah enam bulan. Habis ini apa rencanamu, Nya?”Suara Davva menghalau pergi lamunan Kanya. Saat ini mereka sedang berada di atas Pacific Wheel di Santa Monica. Kanya terdiam. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya setelah masa pendidikan berakhir. Menurut kesepakatan yayasan hanya membiayainya selama enam bulan. Jika Kanya ingin tetap bertahan di New York itu artinya ia harus menggunakan biaya sendiri. Untuk saat ini Kanya memang memiliki uang hasil dari had
Pesawat yang membawa Kanya dan Davva baru saja mendarat dengan selamat setelah penerbangan panjang yang memakan waktu lebih dari dua puluh empat jam termasuk untuk transit.Tidak mudah terbang selama itu apalagi dengan membawa bayi yang baru berumur tiga bulan. Beberapa kali Monica rewel di pesawat, tapi untung ada Davva yang membantu Kanya mengatasinya. Jika saja Kanya sendiri pasti sudah bingung menghadapinya.Sekilas kalau dilihat Kanya dan Davva terkesan bagaikan pasangan suami istri sungguhan. Tidak ada yang menyangka jika keduanya tidak memiliki hubungan apapun.Dari bandara Davva mengantar Kanya ke hotel. Davva meminta Kanya untuk stay di sana dulu sampai Davva berhasil mendapatkan tempat tinggal yang tepat untuk Kanya.“Aku bakal pulang sebentar sekalian nyari apartemen buat kamu,” kata Davva begitu mereka masuk ke kamar hotel.Kanya memandangi kamar tempatnya berada sekarang. Cukup luas dan terkesan begitu nyaman. Ia yakin betah berada di sana. Hanya saja sesuatu mengganggu p
Tatapan Kanya masih bertahan di titik yang sama sejak bermenit-menit yang lalu. Seolah terhipnotis Kanya terpukau pada pemandangan yang begitu nyata di hadapannya. Dari balik tatapannya yang buram oleh air mata hatinya pilu menyaksikan interaksi antara ayah dan anak itu.Tanpa terasa Kanya sudah melewatkan sangat banyak hal, terutama perkembangan Ray. Anak itu tumbuh tanpa dirinya. Bahkan Kanya tidak yakin jika Ray mengenalnya sebagai ibu kandungnya setelah besar nanti. Kanya hanyalah penggalan bayangan yang sekadar lewat pada dua bulan pertama kehidupannya di dunia.“Ayo, Ray, tendangnya yang kuat!” Raven berseru keras menyuruh Ray agar menendang bola ke arahnya.Mengerti instruksi Raven, anak itu melakukannya. Untuk menyenangkan Ray Raven berpura-pura jatuh dan gagal menangkap bola.“Duh, Papa jatuh nih. Ray bantu Papa ambil bolanya ya!”Patuh, Ray berjalan pelan menuju arah bola. Anak itu tertegun di tempatnya tatkala menyaksikan taksi yang sedang berhenti di depan rumah.Kanya ter
Kanya dan Raven sudah berada di mobil Raven. Raven menutup rapat-rapat pintunya setelah menyalakan mesin.Raven tidak langsung menyampaikan maksudnya. Yang dilakukannya saat ini adalah memandangi Kanya selama hitungan detik.“Rav, kamu mau bicara apa?” tuntut Kanya karena Raven bergeming dan tidak melepaskan Kanya dari tatapannya.“Aku mau kamu klarifikasi soal tadi.”Kanya mengernyit. “Yang tadi mana?”“Soal pernikahan. Kamu yakin akan menikah lagi?”Jadi hanya untuk itu Raven datang dan mengajaknya bicara berdua?“Aku nggak pernah seyakin dari sekarang, Rav.” Kanya memberi jawaban yang membuat hati Raven patah.“Aku masih nggak percaya kalau kamu mengambil keputusan secepat ini. Aku yakin ini hanya keputusan emosional kamu,” vonis Raven yang masih berharap Kanya akan mengkaji ulang keputusannya lalu membatalkan rencana pernikahannya dengan Davva.“Tahu apa kamu tentang aku?” balas Kanya. Raven bersikap seolah sangat mengenal Kanya lalu dengan mudahnya mengatakan keputusan Kanya adal
Raven dan Aline serentak memandang ke arah Davva. Air muka Raven berubah seketika setelah mendengar ucapan laki-laki itu. Jadi mereka ke sini untuk membeli cincin nikah? Apa mereka akan menikah?Raven yang selama ini selalu tenang tidak kuasa menyembunyikan kegelisahan yang terlukis jelas di raut gagahnya.“Wedding ring untuk siapa? Siapa yang akan menikah?” Entah bagaimana tapi pertanyaan itu terlontar dari bibir Raven.“Kami yang akan menikah, aku dan Kanya.” Masih Davva yang menjawab.Raven memindahkan arah pandangnya pada Kanya seakan ingin meminta langsung penjelasan dari mantan istrinya itu. Raven ingin Kanya berbicara. Ia berharap Kanya menidakkan dan yang tadi didengarnya tadi hanyalah lanturan Davva saja.Kanya menundukkan kepala, tidak sanggup membalas tatapan Raven yang menghujamnya begitu dalam.“Kanya, apa itu benar? Apa kamu akan menikah?” Raven mengulangi pertanyaannya yang belum sempat Kanya jawab.“Kami memang akan menikah,” jawab Davva mewakili Kanya.“Aku bicara pad
Setelah keluar dari rumah, Davva langsung mengajak Kanya pergi. Kanya diam membeku di sebelah Davva. Peristiwa yang dialaminya barusan sangat mengguncangnya. Tuduhan keluarga Davva membuatnya lebih dari terhina.“Kanya …”Kanya diam saja saat Davva menyentuh pundaknya.“Jangan dimasukin ke hati ya kata-kata Mama tadi.”Larangan Davva sangat mengusik Kanya. Bagaimana mungkin Kanya tidak memasukkan ke hati? Toh Kanya adalah manusia yang memiki perasaan. Jika yang dulu-dulu Kanya masih bisa menahannya, tapi sekarang tidak lagi. Mereka sudah kelewatan. “Aku bukan robot, Dav. Aku punya hati. Nggak mungkin aku nggak tersinggung sedangkan keluarga kamu menuduhku yang bukan-bukan,” lirih Kanya sembari menaikkan tangan mengusap matanya. Bulir-bulir air bening itu kembali meluncur.Merasa masalah ini tidak bisa dibicarakan sambil menyetir, Davva menepi lalu berhenti di tepi jalan. Davva beringsut memiringkan duduknya mengarah pada Kanya.“Aku tahu kata-kata Mama sangat keterlaluan dan membuat
Rupanya dugaan Kanya terbukti benar. Tidak salah lagi. Ia akan mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari keluarga Davva. Sejujurnya Kanya merasa sangat sedih atas hinaan yang diterimanya. Tapi Davva yang mencintainya membuat Kanya memiliki keberanian untuk maju. Jika Davva saja tidak mempermasalahkan keadaannya, kenapa ia harus ambil pusing pada perkataan orang lain?Berdeham, Kanya membuka suaranya. “Maaf, Bu, mungkin saya akan terkesan tidak sopan di mata Ibu. Tapi saya tahu diri. Saya sadar kondisi dan keadaan saya. Menurut Ibu saya tidak pantas untuk Davva. Tapi tentang uang dan harta saya sama sekali tidak menginginkannya dari Davva. Saya punya pekerjaan dan saya cukup mapan. Masalahnya, Davva yang mengejar-ngejar saya. Saya sudah tolak berulang kali, tapi Davva tidak mengerti. Davva tetap ingin saya menerima cintanya. Jadi menurut Ibu apa ini adalah kesalahan saya?” Kanya tidak tahu entah dari mana memiliki keberanian untuk bicara selugas itu. Namun ia berhasil membuat perempua
Ada yang mengatakan bahwa cinta akan datang karena terbiasa. Itu pula yang kini ditanamkan Kanya pada dirinya. Ia mencoba untuk percaya bahwa nanti setelah terbiasa bersama maka cinta akan tumbuh dengan sendirinya. Oleh sebab itulah Kanya mencoba membuka pintu hatinya yang tertutup untuk Davva. Mungkin jika bukan sekarang, cinta akan tumbuh di hatinya suatu saat nanti.“Lagi ngelamunin apa, Nya?” Suara yang baru saja didengarnya membuat Kanya menoleh ke sebelah. Lensa matanya mendapati Davva sedang menyetir di sampingnya. Saat ini Davva dan Kanya sedang berada di dalam perjalanan menuju rumah orang tua Davva.Davva mengajak Kanya ke sana. Mereka akan berbicara face to face bertiga. Davva bermaksud menyampaikan niatnya untuk menata hubungan yang lebih serius dengan Kanya.Kanya tersenyum lalu menggelengkan kepalanya pelan. “Nggak ngelamunin apa-apa.”“Yakin? Kalau nggak ngelamun kenapa dari tadi kamu hanya diam?”“Aku agak grogi,” jawab Kanya berterus terang. Mendatangi rumah orang t
“Rav, aku kepikiran deh buat jodohin Ray dan Lavanya.”Celetukan yang berasal dari mulut Aline itu sontak membuat Raven mengangkat mukanya lalu memindahkan pandangannya pada istrinya itu. “Jodohin apa maksud kamu?” Alis Raven bertaut..“Ya dijodohin. Mereka kan nggak ada hubungan darah apa-apa. Daripada sama orang lain mending Ray sama Lavanya. Dia kan anak kita juga. Lagian aku lihat kalau kecilnya aja udah cantik gimana gedenya.”Raven geleng-geleng kepala mendengar ide Aline. Ray belum berumur dua tahun tapi pikiran Aline sudah ke mana-mana.“Mereka masih kecil tapi kamu mikirnya udah kejauhan.”“Sekarang mereka memang masih kecil tapi anak-anak gedenya nggak berasa lho, Rav. Tau-tau udah SMU, tau-tau udah kuliah, tau-tau udah tiga puluh tahun.”Raven diam saja, tidak menanggapi ocehan Aline. Ia kembali menekuri english breakfast-nya.“Aku pikir nggak ada salahnya kita rencanakan masa depan mereka sejak sekarang. Kita jodohin mereka dari kecil jadi dewasanya nggak akan ke mana-man
Kanya mulai berpikir untuk mencari pekerja baru di butiknya mengingat makin ke sini Monique semakin ramai sehingga ia dan Dita juga semakin kewalahan. Belum lagi Kanya juga harus mengasuh Monic yang sedang aktif-aktifnya.Kanya juga sedang mempertimbangkan rencananya untuk pindah ke butik dan memberikan kembali apartemen yang ditempatinya selama ini pada Davva. Pelan-pelan ia akan mengembalikan segala pemberian Davva padanya. Bukan sekaligus tapi bertahap. Karena Kanya juga tidak akan mampu mengembalikan semuanya secara langsung.Dan tentang Davva sendiri sudah beberapa hari ini Kanya tidak pernah lagi bertemu dengannya. Lebih tepatnya sejak di rumah sakit. Entah karena Davva masih sibuk mengurus mamanya atau mungkin karena pelan-pelan pikirannya mulai terbuka dan menyadari bahwa hubungan mereka tidak mungkin dilanjutkan. Apapun itu Kanya mensyukurinya.Beralih pikiran dari Davva, pandangan Kanya lalu tertuju pada Monic yang sedang main sendiri. Perasaan sedih terbersit di hatinya men
“Kanya! Tunggu dulu, Nya!” Davva berseru keras memanggil Kanya yang berjalan beberapa meter di depannya sambil menggendong Monic.Semakin dipanggil Kanya melangkah semakin cepat hingga Davva terpaksa mengejarnya agar tidak ketinggalan terlalu jauh.Davva akhirnya berhasil menangkap lengan Kanya, lalu mensejajarkan langkah dengan perempuan itu.“Eh, Dav,” kata Kanya seakan tidak terjadi apa-apa. Ia terpaksa menahan kakinya demi meladeni Davva bicara dengannya.“Kamu jangan salah paham dulu, Nya, kasih aku kesempatan untuk menjelaskannya.”“Apa yang mau dijelaskan, Dav?” Kanya masih menjaga ketenangan sikap meski ada sebagian diri yang terluka.“Tentang yang kamu dengar tadi, Nya. Aku harap kamu nggak salah paham.” Sungguh, Davva tidak ingin jika Kanya jadi salah mengartikannya. Ingin marah pada Wanda tapi wanita itu adalah ibu kandung tempat dirinya berasal.“Yang mana ya, Dav?”“Tentang Shella. Dia sama sekali nggak ada hubungan apa-apa sama aku. Dia anak sahabatnya Mama.” Davva berus
“Lagi sibuk banget ya, Dav?”Kanya menatap lekat layar gawainya sampai menggelap sendiri. Ia baru saja mengirim pesan pada Davva. Sudah beberapa hari ini Davva menghilang tanpa berkabar pada Kanya. Sikap Davva tersebut tentu saja membuat Kanya cemas. Dulu Davva juga pernah hilang-hilang timbul seperti ini. Hal itu terjadi cukup lama sebelum akhirnya Davva kembali muncul ke kehidupan Kanya.Ting!Denting dari notifikasi ponselnya membuat Kanya terkesiap. Pandangannya lalu turun pada ponsel yang berada dalam genggamannya. Ada balasan pesan dari Davva yang sejak tadi dinantinya.“Sorry baru ngabarin sekarang, aku lagi di rumah sakit, Nya. Mama sakit.” Tidak ada emoji atau emoticon dalam pesan yang Davva kirim. Tapi Kanya bisa merasakan getar kekhawatiran di sana. “Mama sakit apa, Dav?” tanyanya kemudian membalas pesan tersebut.Lama Kanya menanti balasannya sampai pesan kedua dari Davva kembali masuk ke ponselnya.“Hipertensi.”“Mama dirawat di rumah sakit mana, Dav?”Davva membalasny