Hari-hari berlalu dengan begitu cepat. Tanpa terasa ini adalah bulan terakhir pendidikan Kanya. Seiring dengan hal tersebut usia kehamilan Kanya yang semakin bertambah membuat perutnya juga semakin membesar.Selama tiga bulan ini Kanya putus komunikasi dengan Raven. Saat perasaan rindu pada Ray datang terbersit keinginan di hati Kanya untuk menelepon Raven. Tapi Raven tidak pernah mau sekali pun menerima panggilan darinya. Pria itu menutup akses komunikasi dari Kanya. Sejak itu Kanya berhenti menghubungi Raven.“Nggak berasa udah enam bulan. Habis ini apa rencanamu, Nya?”Suara Davva menghalau pergi lamunan Kanya. Saat ini mereka sedang berada di atas Pacific Wheel di Santa Monica. Kanya terdiam. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya setelah masa pendidikan berakhir. Menurut kesepakatan yayasan hanya membiayainya selama enam bulan. Jika Kanya ingin tetap bertahan di New York itu artinya ia harus menggunakan biaya sendiri. Untuk saat ini Kanya memang memiliki uang hasil dari had
Pesawat yang membawa Kanya dan Davva baru saja mendarat dengan selamat setelah penerbangan panjang yang memakan waktu lebih dari dua puluh empat jam termasuk untuk transit.Tidak mudah terbang selama itu apalagi dengan membawa bayi yang baru berumur tiga bulan. Beberapa kali Monica rewel di pesawat, tapi untung ada Davva yang membantu Kanya mengatasinya. Jika saja Kanya sendiri pasti sudah bingung menghadapinya.Sekilas kalau dilihat Kanya dan Davva terkesan bagaikan pasangan suami istri sungguhan. Tidak ada yang menyangka jika keduanya tidak memiliki hubungan apapun.Dari bandara Davva mengantar Kanya ke hotel. Davva meminta Kanya untuk stay di sana dulu sampai Davva berhasil mendapatkan tempat tinggal yang tepat untuk Kanya.“Aku bakal pulang sebentar sekalian nyari apartemen buat kamu,” kata Davva begitu mereka masuk ke kamar hotel.Kanya memandangi kamar tempatnya berada sekarang. Cukup luas dan terkesan begitu nyaman. Ia yakin betah berada di sana. Hanya saja sesuatu mengganggu p
Tatapan Kanya masih bertahan di titik yang sama sejak bermenit-menit yang lalu. Seolah terhipnotis Kanya terpukau pada pemandangan yang begitu nyata di hadapannya. Dari balik tatapannya yang buram oleh air mata hatinya pilu menyaksikan interaksi antara ayah dan anak itu.Tanpa terasa Kanya sudah melewatkan sangat banyak hal, terutama perkembangan Ray. Anak itu tumbuh tanpa dirinya. Bahkan Kanya tidak yakin jika Ray mengenalnya sebagai ibu kandungnya setelah besar nanti. Kanya hanyalah penggalan bayangan yang sekadar lewat pada dua bulan pertama kehidupannya di dunia.“Ayo, Ray, tendangnya yang kuat!” Raven berseru keras menyuruh Ray agar menendang bola ke arahnya.Mengerti instruksi Raven, anak itu melakukannya. Untuk menyenangkan Ray Raven berpura-pura jatuh dan gagal menangkap bola.“Duh, Papa jatuh nih. Ray bantu Papa ambil bolanya ya!”Patuh, Ray berjalan pelan menuju arah bola. Anak itu tertegun di tempatnya tatkala menyaksikan taksi yang sedang berhenti di depan rumah.Kanya ter
Seminggu sudah Kanya berada di Indonesia. Dan hingga sejauh ini Kanya masih menginap di hotel. Davva mengatakan padanya bahwa sudah mendapatkan apartemen untuk Kanya tempati. Hanya saja saat ini Davva sedang menyiapkan segala furniture dan peralatannya.Di saat Kanya tidak memiliki aktivitas apapun selain mengurus Monica, Davva sudah memulai rutinitasnya. Meskipun disibukkan dengan hal tersebut Davva tidak lupa mengunjungi Kanya yang dilakukannya dua kali sehari. Pagi sebelum berangkat ke kantor, dan sore atau pun malam sebelum pulang.Hari ini Davva datang setelah maghrib. Saat itu Kanya baru saja selesai menyusui Monica.“Si cantik udah lama tidurnya?” tanya Davva sembari melirik ke arah ranjang tempat Monica berbaring.“Barusan, paling baru sepuluh menit,” jawab Kanya.Davva memberikan kantong berisi makanan di tangannya, “Tadi kebetulan aku lewat di Soerabi Enhaii,” ucapnya lalu melangkah pelan menghampiri tempat tidur.Davva duduk di pinggirnya, memandang Monica hitungan menit
Davva terdiam cukup lama di mobilnya setelah menyalakan mesin. Berkali-kali tangannya terangkat untuk mengusap mukanya. Peristiwa beberapa menit yang lalu membuatnya sedikit terguncang. Tidak percaya kalau dirinya memiliki keberanian untuk menyentuh Kanya. Ya, walaupun tidak jadi. Davva bersyukur ia masih bisa menahan diri sebelum berhasil menyentuh Kanya. Davva memikirkan akibatnya. Jika saja tadi mereka jadi berciuman, bukan tidak mungkin Kanya merasa tidak nyaman, kemudian pelan-pelan menjauh. Dan Davva belum siap untuk kehilangan Kanya secepat itu.Davva tersentak ketika mendengar suara klakson dari kendaraan di belakangnya. Ternyata sudah sejak tadi dirinya melamun. Menarik hand brake, Davva mulai melaju meninggalkan area hotel. Lelaki itu memutuskan langsung pulang ke rumahnya tanpa mampir ke mana-mana. Di samping hari sudah malam, ia juga ingin mencaritahu perihal penyebab kenapa Kanya diberhentikan dari butik mamanya dulu.Saat lampu merah lalu lintas menyala Davva terpaksa be
Hari ini adalah hari pertama pembukaan Monique Boutique. Jauh sebelum subuh Kanya sudah membuka mata. Bukan karena sudah cukup tidur, melainkan lantaran sudah tidak sabar. Lebih tepatnya sudah sejak semalam debaran jantungnya menghentak dengan kencang. Perasaannya harap-harap cemas. Kanya khawatir jika acara tersebut tidak berlangsung dengan lancar. Ia takut jika terjadi hal-hal yang tidak diharapkan atau berada di luar kendalinya. Tapi seperti biasa, Davva adalah orang yang selalu ada untuk menghibur dan memotivasi.“Gimana nanti kalau nggak ada pembeli? Gimana kalau misalnya nggak ada yang tertarik?” Kanya mengemukakan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada Davva.Davva menenangkan Kanya dengan menggenggam hangat tangannya sembari memberi pengertian.“Kanya, coba dengar aku baik-baik,” ujar laki-laki itu meminta Kanya agar memandang padanya.Kanya memakukan matanya di wajah Davva, menanti apa yang akan disampaikannya.“Ini baru hari pertama jadi wajar kalau nggak ada pembeli
Raven mengerutkan dahi. Perkataan istrinya membuat Raven menolehkan kepala ke sebelah.“Saingan baru apa?”“Tadi anak-anak di butik chat aku, katanya ada butik baru di jalan Cendana.”Raven mengembuskan napasnya setelah mendengar penuturan Aline. Istrinya itu ada-ada saja. Selalu menganggap orang lain yang membuka usaha yang sama dengan mereka kalau bukan musuh ya sebagai saingan.“Kenapa kamu bilang saingan? Namanya juga orang mencari rezeki. Mereka kan juga butuh uang, bukan cuma kita,” kata Raven menasihati.“Kamu kok jadi ngebela dia, Rav? Aku nggak masalah mereka mau usaha apa saja asal jangan sama kayak kita,” kata Aline tidak terima.“Kenapa jadi kamu yang sewot? Setiap orang berhak untuk membuka usaha apa saja.”“Aku bukannya sewot, tapi kalau ada butik baru sama artinya dengan mengurangi peluang kita.”“Tapi kita juga nggak punya hak untuk ngelarang orang membuka usaha yang sama. Sudahlah, rezeki masing-masing orang sudah ditentukan sejak dia lahir. Daripada kamu marah-marah
Raven mengerutkan dahi saat mendengar tangisan itu. Tidak salah lagi, suara tangisan tersebut berasal dari balik counter yang berasal tepat di hadapannya.Jadi ternyata ada bayi di sini. Tapi anak siapa?Sementara itu di hadapan Raven Kanya mulai terserang gugup karena tangisan sang putri bertambah keras. Dengan terburu-buru Kanya menyiapkan belanjaan Raven lalu memberikannya pada lelaki itu.“Ini, Pak,” ucapnya sembari menyebutkan total belanjaan Raven.Setelah membayar dan menerima belanjaannya Raven tidak langsung pergi. Kakinya seakan dipaku di tempat itu.“Maaf, Pak, apa masih ada lagi?” tanya Kanya yang sudah tidak sabar ingin menenangkan Monica tapi Raven tak kunjung beranjak dari hadapannya.Belum Raven menjawab, Dita muncul dan dengan inisiatifnya sendiri langsung mengangkat Monica dari stroller dan membawanya menjauh. Semua itu tidak luput dari pandangan Raven. Jadi benar ada bayi di sini. Tapi, anak siapa bayi itu? Dari pakaiannya yang Raven lihat sekilas anak tersebut ada
Raven dan Aline serentak memandang ke arah Davva. Air muka Raven berubah seketika setelah mendengar ucapan laki-laki itu. Jadi mereka ke sini untuk membeli cincin nikah? Apa mereka akan menikah?Raven yang selama ini selalu tenang tidak kuasa menyembunyikan kegelisahan yang terlukis jelas di raut gagahnya.“Wedding ring untuk siapa? Siapa yang akan menikah?” Entah bagaimana tapi pertanyaan itu terlontar dari bibir Raven.“Kami yang akan menikah, aku dan Kanya.” Masih Davva yang menjawab.Raven memindahkan arah pandangnya pada Kanya seakan ingin meminta langsung penjelasan dari mantan istrinya itu. Raven ingin Kanya berbicara. Ia berharap Kanya menidakkan dan yang tadi didengarnya tadi hanyalah lanturan Davva saja.Kanya menundukkan kepala, tidak sanggup membalas tatapan Raven yang menghujamnya begitu dalam.“Kanya, apa itu benar? Apa kamu akan menikah?” Raven mengulangi pertanyaannya yang belum sempat Kanya jawab.“Kami memang akan menikah,” jawab Davva mewakili Kanya.“Aku bicara pad
Setelah keluar dari rumah, Davva langsung mengajak Kanya pergi. Kanya diam membeku di sebelah Davva. Peristiwa yang dialaminya barusan sangat mengguncangnya. Tuduhan keluarga Davva membuatnya lebih dari terhina.“Kanya …”Kanya diam saja saat Davva menyentuh pundaknya.“Jangan dimasukin ke hati ya kata-kata Mama tadi.”Larangan Davva sangat mengusik Kanya. Bagaimana mungkin Kanya tidak memasukkan ke hati? Toh Kanya adalah manusia yang memiki perasaan. Jika yang dulu-dulu Kanya masih bisa menahannya, tapi sekarang tidak lagi. Mereka sudah kelewatan. “Aku bukan robot, Dav. Aku punya hati. Nggak mungkin aku nggak tersinggung sedangkan keluarga kamu menuduhku yang bukan-bukan,” lirih Kanya sembari menaikkan tangan mengusap matanya. Bulir-bulir air bening itu kembali meluncur.Merasa masalah ini tidak bisa dibicarakan sambil menyetir, Davva menepi lalu berhenti di tepi jalan. Davva beringsut memiringkan duduknya mengarah pada Kanya.“Aku tahu kata-kata Mama sangat keterlaluan dan membuat
Rupanya dugaan Kanya terbukti benar. Tidak salah lagi. Ia akan mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari keluarga Davva. Sejujurnya Kanya merasa sangat sedih atas hinaan yang diterimanya. Tapi Davva yang mencintainya membuat Kanya memiliki keberanian untuk maju. Jika Davva saja tidak mempermasalahkan keadaannya, kenapa ia harus ambil pusing pada perkataan orang lain?Berdeham, Kanya membuka suaranya. “Maaf, Bu, mungkin saya akan terkesan tidak sopan di mata Ibu. Tapi saya tahu diri. Saya sadar kondisi dan keadaan saya. Menurut Ibu saya tidak pantas untuk Davva. Tapi tentang uang dan harta saya sama sekali tidak menginginkannya dari Davva. Saya punya pekerjaan dan saya cukup mapan. Masalahnya, Davva yang mengejar-ngejar saya. Saya sudah tolak berulang kali, tapi Davva tidak mengerti. Davva tetap ingin saya menerima cintanya. Jadi menurut Ibu apa ini adalah kesalahan saya?” Kanya tidak tahu entah dari mana memiliki keberanian untuk bicara selugas itu. Namun ia berhasil membuat perempua
Ada yang mengatakan bahwa cinta akan datang karena terbiasa. Itu pula yang kini ditanamkan Kanya pada dirinya. Ia mencoba untuk percaya bahwa nanti setelah terbiasa bersama maka cinta akan tumbuh dengan sendirinya. Oleh sebab itulah Kanya mencoba membuka pintu hatinya yang tertutup untuk Davva. Mungkin jika bukan sekarang, cinta akan tumbuh di hatinya suatu saat nanti.“Lagi ngelamunin apa, Nya?” Suara yang baru saja didengarnya membuat Kanya menoleh ke sebelah. Lensa matanya mendapati Davva sedang menyetir di sampingnya. Saat ini Davva dan Kanya sedang berada di dalam perjalanan menuju rumah orang tua Davva.Davva mengajak Kanya ke sana. Mereka akan berbicara face to face bertiga. Davva bermaksud menyampaikan niatnya untuk menata hubungan yang lebih serius dengan Kanya.Kanya tersenyum lalu menggelengkan kepalanya pelan. “Nggak ngelamunin apa-apa.”“Yakin? Kalau nggak ngelamun kenapa dari tadi kamu hanya diam?”“Aku agak grogi,” jawab Kanya berterus terang. Mendatangi rumah orang t
“Rav, aku kepikiran deh buat jodohin Ray dan Lavanya.”Celetukan yang berasal dari mulut Aline itu sontak membuat Raven mengangkat mukanya lalu memindahkan pandangannya pada istrinya itu. “Jodohin apa maksud kamu?” Alis Raven bertaut..“Ya dijodohin. Mereka kan nggak ada hubungan darah apa-apa. Daripada sama orang lain mending Ray sama Lavanya. Dia kan anak kita juga. Lagian aku lihat kalau kecilnya aja udah cantik gimana gedenya.”Raven geleng-geleng kepala mendengar ide Aline. Ray belum berumur dua tahun tapi pikiran Aline sudah ke mana-mana.“Mereka masih kecil tapi kamu mikirnya udah kejauhan.”“Sekarang mereka memang masih kecil tapi anak-anak gedenya nggak berasa lho, Rav. Tau-tau udah SMU, tau-tau udah kuliah, tau-tau udah tiga puluh tahun.”Raven diam saja, tidak menanggapi ocehan Aline. Ia kembali menekuri english breakfast-nya.“Aku pikir nggak ada salahnya kita rencanakan masa depan mereka sejak sekarang. Kita jodohin mereka dari kecil jadi dewasanya nggak akan ke mana-man
Kanya mulai berpikir untuk mencari pekerja baru di butiknya mengingat makin ke sini Monique semakin ramai sehingga ia dan Dita juga semakin kewalahan. Belum lagi Kanya juga harus mengasuh Monic yang sedang aktif-aktifnya.Kanya juga sedang mempertimbangkan rencananya untuk pindah ke butik dan memberikan kembali apartemen yang ditempatinya selama ini pada Davva. Pelan-pelan ia akan mengembalikan segala pemberian Davva padanya. Bukan sekaligus tapi bertahap. Karena Kanya juga tidak akan mampu mengembalikan semuanya secara langsung.Dan tentang Davva sendiri sudah beberapa hari ini Kanya tidak pernah lagi bertemu dengannya. Lebih tepatnya sejak di rumah sakit. Entah karena Davva masih sibuk mengurus mamanya atau mungkin karena pelan-pelan pikirannya mulai terbuka dan menyadari bahwa hubungan mereka tidak mungkin dilanjutkan. Apapun itu Kanya mensyukurinya.Beralih pikiran dari Davva, pandangan Kanya lalu tertuju pada Monic yang sedang main sendiri. Perasaan sedih terbersit di hatinya men
“Kanya! Tunggu dulu, Nya!” Davva berseru keras memanggil Kanya yang berjalan beberapa meter di depannya sambil menggendong Monic.Semakin dipanggil Kanya melangkah semakin cepat hingga Davva terpaksa mengejarnya agar tidak ketinggalan terlalu jauh.Davva akhirnya berhasil menangkap lengan Kanya, lalu mensejajarkan langkah dengan perempuan itu.“Eh, Dav,” kata Kanya seakan tidak terjadi apa-apa. Ia terpaksa menahan kakinya demi meladeni Davva bicara dengannya.“Kamu jangan salah paham dulu, Nya, kasih aku kesempatan untuk menjelaskannya.”“Apa yang mau dijelaskan, Dav?” Kanya masih menjaga ketenangan sikap meski ada sebagian diri yang terluka.“Tentang yang kamu dengar tadi, Nya. Aku harap kamu nggak salah paham.” Sungguh, Davva tidak ingin jika Kanya jadi salah mengartikannya. Ingin marah pada Wanda tapi wanita itu adalah ibu kandung tempat dirinya berasal.“Yang mana ya, Dav?”“Tentang Shella. Dia sama sekali nggak ada hubungan apa-apa sama aku. Dia anak sahabatnya Mama.” Davva berus
“Lagi sibuk banget ya, Dav?”Kanya menatap lekat layar gawainya sampai menggelap sendiri. Ia baru saja mengirim pesan pada Davva. Sudah beberapa hari ini Davva menghilang tanpa berkabar pada Kanya. Sikap Davva tersebut tentu saja membuat Kanya cemas. Dulu Davva juga pernah hilang-hilang timbul seperti ini. Hal itu terjadi cukup lama sebelum akhirnya Davva kembali muncul ke kehidupan Kanya.Ting!Denting dari notifikasi ponselnya membuat Kanya terkesiap. Pandangannya lalu turun pada ponsel yang berada dalam genggamannya. Ada balasan pesan dari Davva yang sejak tadi dinantinya.“Sorry baru ngabarin sekarang, aku lagi di rumah sakit, Nya. Mama sakit.” Tidak ada emoji atau emoticon dalam pesan yang Davva kirim. Tapi Kanya bisa merasakan getar kekhawatiran di sana. “Mama sakit apa, Dav?” tanyanya kemudian membalas pesan tersebut.Lama Kanya menanti balasannya sampai pesan kedua dari Davva kembali masuk ke ponselnya.“Hipertensi.”“Mama dirawat di rumah sakit mana, Dav?”Davva membalasny
“Hueek … hueeek ... hueeek ..."Suara itu menggema di kamar. Kanya terhuyung. Tidak hanya merasa pusing tapi ia juga muntah sekarang. Melihat Kanya hampir saja terjatuh, Davva dengan sigap menangkap tubuh Kanya. Di saat yang sama Kanya mengeluarkan lagi muntahan dari perutnya dan mengenai baju Davva.“Sorry, Dav,” ucap Kanya tidak enak hati.“Nggak apa-apa,” jawab Davva pengertian. Ia membuka bajunya yang ternoda kemudian menuntun Kanya ke kamar mandi untuk muntah di sana.Kanya memuntahkan isi perutnya sedangkan Davva memijit tengkuknya, memperlakukan perempuan itu sebagaimana yang dilakukan orang-orang pada biasanya.Setelah tidak ada lagi yang bisa dikeluarkannya Kanya membersihkan mulut dan mukanya dengan nafas sedikit sesak.“Hamilnya nggak akan seekspres ini kan, Dav?” celetuk Kanya ketika Davva menggandengnya keluar dari kamar mandi.Tawa Davva berderai. “Iya kali, Nya, bikinnya baru tadi malam tapi paginya udah langsung jadi.”“Terus kenapa aku jadi muntah-muntah begini?”“It