Raven mengerutkan dahi. Perkataan istrinya membuat Raven menolehkan kepala ke sebelah.“Saingan baru apa?”“Tadi anak-anak di butik chat aku, katanya ada butik baru di jalan Cendana.”Raven mengembuskan napasnya setelah mendengar penuturan Aline. Istrinya itu ada-ada saja. Selalu menganggap orang lain yang membuka usaha yang sama dengan mereka kalau bukan musuh ya sebagai saingan.“Kenapa kamu bilang saingan? Namanya juga orang mencari rezeki. Mereka kan juga butuh uang, bukan cuma kita,” kata Raven menasihati.“Kamu kok jadi ngebela dia, Rav? Aku nggak masalah mereka mau usaha apa saja asal jangan sama kayak kita,” kata Aline tidak terima.“Kenapa jadi kamu yang sewot? Setiap orang berhak untuk membuka usaha apa saja.”“Aku bukannya sewot, tapi kalau ada butik baru sama artinya dengan mengurangi peluang kita.”“Tapi kita juga nggak punya hak untuk ngelarang orang membuka usaha yang sama. Sudahlah, rezeki masing-masing orang sudah ditentukan sejak dia lahir. Daripada kamu marah-marah
Raven mengerutkan dahi saat mendengar tangisan itu. Tidak salah lagi, suara tangisan tersebut berasal dari balik counter yang berasal tepat di hadapannya.Jadi ternyata ada bayi di sini. Tapi anak siapa?Sementara itu di hadapan Raven Kanya mulai terserang gugup karena tangisan sang putri bertambah keras. Dengan terburu-buru Kanya menyiapkan belanjaan Raven lalu memberikannya pada lelaki itu.“Ini, Pak,” ucapnya sembari menyebutkan total belanjaan Raven.Setelah membayar dan menerima belanjaannya Raven tidak langsung pergi. Kakinya seakan dipaku di tempat itu.“Maaf, Pak, apa masih ada lagi?” tanya Kanya yang sudah tidak sabar ingin menenangkan Monica tapi Raven tak kunjung beranjak dari hadapannya.Belum Raven menjawab, Dita muncul dan dengan inisiatifnya sendiri langsung mengangkat Monica dari stroller dan membawanya menjauh. Semua itu tidak luput dari pandangan Raven. Jadi benar ada bayi di sini. Tapi, anak siapa bayi itu? Dari pakaiannya yang Raven lihat sekilas anak tersebut ada
Saat ini Kanya sedang mengoleskan lipstick tipis-tipis ke bibirnya. Pemulas bibir berwarna baby pink itu begitu sesuai dengannya. Membuat Kanya terlihat manis dan benar-benar seperti belum pernah menikah. Hari ini Kanya akan mengunjungi rumah Davva. Sekitar setengah jam yang lalu laki-laki itu mengabari bahwa ia akan berangkat menjemput Kanya.“Um … um … um …” Suara Monica yang sedang berada di tempat tidur membuat Kanya buru-buru menyudahi dandanannya.“Iya, Sayang, sebentar ya …”Kanya bangkit dari kursi rias kemudian menghampiri tempat tidur dan mengangkat Monica dari sana.“Kita tunggu Om Davva di depan aja yuk.”Kanya menggendong Monica, lalu keluar dari kamar dan memutuskan untuk menanti di ruang tamu.Kanya tahu bahwa Wanda adalah orang yang baik. Namun tetap saja ia gagal mengendalikan detak jantungnya. Bel yang berbunyi membuat Kanya bangkit dari duduknya.“Itu pasti Om Davva yang datang. Kita buka pintunya yuk, Sayang.”Begitu daun pintu terbuka sesosok laki-laki muda berk
Davva keluar dari kamar meninggalkan Wanda yang bersungut-sungut. Ia kembali ke ruang tamu menemui Kanya yang bengong sendiri di sana sambil memegangi Monica.Davva tersenyum pada Kanya sambil menyembunyikan dalam-dalam kecamuk di dadanya.“Nya, kebetulan Mama agak sakit kepala, jadi nggak bisa nemenin kita di sini.” Davva membuat alasan. Davva harap Kanya memercayainya dan tidak mencurigai alasan yang mungkin terdengar janggal itu. Masalahnya tadi Wanda baik-baik saja, lalu tiba-tiba sudah sakit kepala.“Terus Bu Wandanya udah minum obat?” Kanya yang polos ikut khawatir.“Sudah, tapi ya itu, nggak bisa nemenin kita. Nggak apa-apa kan?”“Ya nggak apa-apa lah. Biar Ibu istirahat, nggak usah diganggu.”Sebenarnya Davva merasa bersalah membohongi Kanya. Namun mau bagaimana lagi. Hanya itu satu-satunya cara yang terpikirkan olehnya saat ini. Kanya tentu akan curiga jika Wanda mengurung diri terus menerus di dalam kamar.“Kita jalan aja yuk, Nya?”“Ke mana?” “Ke mana aja yang kamu mau. Ke
Davva pulang ke rumah setelah mengantar Kanya ke apartemennya. Hari ini sangat menyenangkan. Sama seperti hari-hari lainnya jika itu bersama Kanya pasti sangat menyenangkan.Davva baru akan membuka pintu kamarnya ketika pintu kamar di sebelah lebih dulu terbuka. Wanda keluar dari sana.“Dari tadi Mama tunggu kamu pulang,” ucapnya lega saat mengetahu yang dinanti akhirnya tiba.“Nggak usah ditunggu sih, Ma, harusnya.”“Mama tuh mau bicara sama kamu, Dav, malah kamu ngomongnya begitu.”Davva mengikuti langkah Wanda untuk duduk bersama. Mereka benar-benar akan berbicara serius. Davva sudah menduga pasti ibunya itu ingin membahas mengenai Kanya dan segala ketidaksetujuannya.“Ke mana aja tadi udah malam begini baru pulang?” Wanda membuka percakapan setelah mereka sama-sama duduk. Sorot matanya yang jatuh di wajah Davva begitu penuh selidik.“Main, Ma.” Davva menjawab apa adanya tanpa berpanjang kali lebar.“Sama Kanya?”“Bertiga sama Monic.”Wanda terdiam sesaat sembari mengunci sang putr
Waktu saat itu menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Tiga puluh menit lagi butik akan tutup. Dita sudah Kanya suruh pulang duluan karena rekan kerja sekaligus temannya itu mendadak tidak enak badan.Sementara Kanya masih berkutat dengan sketsanya. Seorang pelanggan tetap Monique Boutique meminta Kanya membuatkan gaun yang akan dipakai pada hari pertunangannya nanti. Tapi sayang waktunya begitu mepet sehingga Kanya harus buru-buru menyelesaikannya. “Selamat datang, silakan masuk.” Kanya sontak mengangkat kepalanya dari buku sketsa kala mendengar suara itu. Setiap kali ada yang membuka pintu maka biasanya suara pemberitahuan tersebut akan menggema memenuhi ruangan.Kanya bersiap-siap untuk melayani pengunjung butiknya. Namun begitu bertemu mata dengan si tamu, jantungnya berdegup demikian kencang.Kanya berdiri mematung di tempatnya. Untuk apa Raven datang malam-malam di saat butiknya hampir tutup? Ingin membeli baju untuk Aline lagi kah?Kanya mulai menghitung mundur dari sepulu
Raven membelai kepala Ray yang sedang tidur di sebelahnya. Sudah sejak tadi ia melakukan hal tersebut pada anak itu. Rasa bahagia menyelimuti hatinya. Tidak hanya karena dianugerahi anak yang sehat dan menggemaskan seperti Ray melainkan karena ia baru mengetahui memiliki seorang anak lagi dari Kanya. Hidupnya terasa lengkap sekarang. Walau belum sempurna. Semuanya baru akan sempurna jika bersama Kanya.“Ternyata kamu di sini, dari tadi aku cariin ke mana-mana. “Itu suara Aline yang baru masuk ke kamar menyusul Raven.Raven memutar kepala menatap sang istri sesaat lalu kembali memusatkan atensinya pada sang putra.“Ray sakit?” tanya Aline setelah mendekat dan ikut memandangi anak itu.Raven menggeleng pelan. Ia hanya ingin menghabiskan waktunya bersama Ray.“Ke kamar yuk, kasihan Ray-nya, nanti kebangun.” Aline menarik tangan Raven agar ikut dengannya kembali ke kamar mereka.“Kamu aja, Lin, aku tidur di sini sama Ray,” jawab Raven menolak.Jawaban yang didengarnya dari mulut Raven mem
“Kamu di mana, Nya? Kenapa butik ditinggalin?” tanya Dita saat menelepon Kanya.Astaga! Kanya mengusap mukanya ketika menyadari apa yang telah dilakukanya. Tadi lantaran panik dan terburu-buru Kanya melupakan segalanya.“Sorry banget, Dit, tadi aku lupa. Tiba-tiba Monic badannya panas.” Hingga saat ini Kanya masih bisa merasakan kepanikannya tadi. Untuk kali ini saja Kanya merasa beruntung karena ada Raven.“Terus kamu di mana sekarang?”“Di rumah sakit. Kamu tolong urus butik dulu ya, aku harus jaga Monic di sini. Kata dokter Monic harus diopname.”“Ya ampun, Nya!” Dita terkejut mengetahui hal tersebut. Seingatnya kemarin gadis kecil itu berada dalam keadaan sehat dan baik-baik saja. “Kenapa tiba-tiba gini sih, Nya? Kemarin Monic sehat-sehat kan ya?” Dita menyatakan keheranannya.“Makanya itu aku panik.”“Terus aku harus ke sana nggak sih?” tanya Dita menawarkan diri. Ia merasa khawatir dan kasihan pada Kanya. Di saat-saat genting begini pasti Kanya butuh seseorang untuk mendampingin
Setelah mereka resmi menikah Davva mengajak Kanya pindah ke rumah. Menurut Davva rumah pribadi meskipun sederhana lebih ideal untuk membangun kehidupan berkeluarga dibandingkan dengan tinggal di apartemen. Davva membeli sebuah rumah yang nyaman untuk mereka bertiga. Ia menyerahkan pada Kanya untuk pemilihan lokasi, model dan tipe rumah beserta interior dan furniture di dalamnya. Davva memperlakukan Kanya bagai ratu sesungguhnya. Bahkan kadang Kanya berpikir semua ini terlalu berlebihan untuknya. Ia merasa tidak pantas untuk semua ini walaupun Davva sudah berkali-kali meyakinkannya bahwa Kanya berhak diperlakukan dengan istimewa.Dering suara ponsel Davva membangunkan Kanya pagi itu.Kanya membuka matanya. Lalu dengan perlahan Kanya menepis tangan Davva yang melingkarinya. Lelaki itu memeluk Kanya dari belakang. Mengangkat tubuh, Kanya menjangkau ponsel suaminya yang tergeletak di nakas. Begitu benda itu berada di tangannya Kanya melihat nama Tante Lilis tertera di sana. Kanya sontak
Malam semakin tua. Keheningan mulai juga semakin meraja. Namun di kamar mewah itu Davva dan Kanya masih betah membuka mata. Mereka baru saja selesai berdansa dan makan malam bersama sekitar satu jam yang lalu.Saat ini keduanya sama-sama berbaring di atas kasur yang dipenuhi taburan kelopak mawar merah. Tiada sepatah kata pun yang terlontar dari bibir keduanya. Hanya mata keduanya yang berbahasa.Keduanya berbaring miring berhadapan dengan jari-jemarinya Davva membelai wajah Kanya.Kanya tidak menyangka jika jalan hidup akan membawa dirinya pada titik ini. Setelah ditipu dan dijual oleh orang tuanya, Kanya menikah dengan lelaki asing yang tidak dikenalnya. Lalu menghadapi cobaan yang datang bertubi-tubi hingga akhirnya dipersatukan dengan Davva yang menjadi pendamping barunya.“Dav, apa Mama tahu hari ini kita menikah?”Belaian tangan Davva di wajah Kanya melambat saat mendengar pertanyaan istrinya itu.Sehari sebelum menikah Davva mencoba menelepon Wanda tapi tidak dijawab. Davva jug
Kanya mematut diri di muka cermin memandangi sekujur tubuhnya dari atas kepala hingga bawah kaki.Kalau saja Kanya narsis ia ingin mengatakan betapa jelita dirinya saat ini dengan balutan gaun broken white yang membalut tubuhnya. Layaknya pakaian yang digunakan untuk akad, gaun itu sopan dan tertutup tapi tetap saja tidak mengurangi kecantikan Kanya yang bersumber dari dalam.Pintu ruangan tiba-tiba dibuka dari luar bersamaan dengan munculnya Dita.Gadis itu melangkah ke dalam.“Cantik banget kamu, Nya. Aura pengantinnya keluar,” puji Dita mengomentari penampilan Kanya.Hari ini akhirnya tiba. Hari di mana Davva akan mengikat Kanya dalam ikatan yang suci dan sakral serta sah secara agama maupun negara.Bibir Kanya mengembangkan senyum tipis. Ingatannya lantas terseret mundur pada momen beberapa tahun yang lalu. Saat itu ia menikah dengan Raven dengan suasana yang tidak jauh berbeda dengan saat ini. Pernikahannya dengan Raven kala itu digelar secara tertutup. Sedangkan pernikahan kedua
Kanya tarik tangannya dari genggaman Raven setelah lelaki itu mengecupnya.Kanya hampir saja goyah dengan segala bentuk cara Raven meyakinkannya. Iya. Kanya percaya jika Raven sungguh-sungguh dengan ucapannya. Tapi yang menjadi masalah adalah terbuat dari apa hati Kanya jika membatalkan pernikahannya dan Davva justru di detik-detik terakhir? Apa Kanya tega menyakiti Davva yang merupakan malaikat penyelamat dalam hidupnya.“Maaf, Rav, pernikahan aku dan Davva nggak bisa dibatalkan lagi.”“Oke. Kalau pernikahan kamu nggak bisa dibatalkan, maka perasaan aku juga nggak bisa dibatalkan. Aku mencintai kamu, Kanya. Apa begitu sulit untuk memahami perasaanku?” ujar Raven gregetan. Raven sudah putus asa. Ia tidak tahu harus menggunakan cara apa lagi untuk mengubah pendirian Kanya agar membatalkan keputusannya.“Tentang cinta mungkin aku terlalu mentah. Tapi yang kutahu cinta tidak harus saling memiliki,” jawab Kanya bijaksana menirukan ungkapan yang sering digaungkan di kalangan para pencinta
Kanya dan Raven sudah berada di mobil Raven. Raven menutup rapat-rapat pintunya setelah menyalakan mesin.Raven tidak langsung menyampaikan maksudnya. Yang dilakukannya saat ini adalah memandangi Kanya selama hitungan detik.“Rav, kamu mau bicara apa?” tuntut Kanya karena Raven bergeming dan tidak melepaskan Kanya dari tatapannya.“Aku mau kamu klarifikasi soal tadi.”Kanya mengernyit. “Yang tadi mana?”“Soal pernikahan. Kamu yakin akan menikah lagi?”Jadi hanya untuk itu Raven datang dan mengajaknya bicara berdua?“Aku nggak pernah seyakin dari sekarang, Rav.” Kanya memberi jawaban yang membuat hati Raven patah.“Aku masih nggak percaya kalau kamu mengambil keputusan secepat ini. Aku yakin ini hanya keputusan emosional kamu,” vonis Raven yang masih berharap Kanya akan mengkaji ulang keputusannya lalu membatalkan rencana pernikahannya dengan Davva.“Tahu apa kamu tentang aku?” balas Kanya. Raven bersikap seolah sangat mengenal Kanya lalu dengan mudahnya mengatakan keputusan Kanya adal
Raven dan Aline serentak memandang ke arah Davva. Air muka Raven berubah seketika setelah mendengar ucapan laki-laki itu. Jadi mereka ke sini untuk membeli cincin nikah? Apa mereka akan menikah?Raven yang selama ini selalu tenang tidak kuasa menyembunyikan kegelisahan yang terlukis jelas di raut gagahnya.“Wedding ring untuk siapa? Siapa yang akan menikah?” Entah bagaimana tapi pertanyaan itu terlontar dari bibir Raven.“Kami yang akan menikah, aku dan Kanya.” Masih Davva yang menjawab.Raven memindahkan arah pandangnya pada Kanya seakan ingin meminta langsung penjelasan dari mantan istrinya itu. Raven ingin Kanya berbicara. Ia berharap Kanya menidakkan dan yang tadi didengarnya tadi hanyalah lanturan Davva saja.Kanya menundukkan kepala, tidak sanggup membalas tatapan Raven yang menghujamnya begitu dalam.“Kanya, apa itu benar? Apa kamu akan menikah?” Raven mengulangi pertanyaannya yang belum sempat Kanya jawab.“Kami memang akan menikah,” jawab Davva mewakili Kanya.“Aku bicara pad
Setelah keluar dari rumah, Davva langsung mengajak Kanya pergi. Kanya diam membeku di sebelah Davva. Peristiwa yang dialaminya barusan sangat mengguncangnya. Tuduhan keluarga Davva membuatnya lebih dari terhina.“Kanya …”Kanya diam saja saat Davva menyentuh pundaknya.“Jangan dimasukin ke hati ya kata-kata Mama tadi.”Larangan Davva sangat mengusik Kanya. Bagaimana mungkin Kanya tidak memasukkan ke hati? Toh Kanya adalah manusia yang memiki perasaan. Jika yang dulu-dulu Kanya masih bisa menahannya, tapi sekarang tidak lagi. Mereka sudah kelewatan. “Aku bukan robot, Dav. Aku punya hati. Nggak mungkin aku nggak tersinggung sedangkan keluarga kamu menuduhku yang bukan-bukan,” lirih Kanya sembari menaikkan tangan mengusap matanya. Bulir-bulir air bening itu kembali meluncur.Merasa masalah ini tidak bisa dibicarakan sambil menyetir, Davva menepi lalu berhenti di tepi jalan. Davva beringsut memiringkan duduknya mengarah pada Kanya.“Aku tahu kata-kata Mama sangat keterlaluan dan membuat
Rupanya dugaan Kanya terbukti benar. Tidak salah lagi. Ia akan mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari keluarga Davva. Sejujurnya Kanya merasa sangat sedih atas hinaan yang diterimanya. Tapi Davva yang mencintainya membuat Kanya memiliki keberanian untuk maju. Jika Davva saja tidak mempermasalahkan keadaannya, kenapa ia harus ambil pusing pada perkataan orang lain?Berdeham, Kanya membuka suaranya. “Maaf, Bu, mungkin saya akan terkesan tidak sopan di mata Ibu. Tapi saya tahu diri. Saya sadar kondisi dan keadaan saya. Menurut Ibu saya tidak pantas untuk Davva. Tapi tentang uang dan harta saya sama sekali tidak menginginkannya dari Davva. Saya punya pekerjaan dan saya cukup mapan. Masalahnya, Davva yang mengejar-ngejar saya. Saya sudah tolak berulang kali, tapi Davva tidak mengerti. Davva tetap ingin saya menerima cintanya. Jadi menurut Ibu apa ini adalah kesalahan saya?” Kanya tidak tahu entah dari mana memiliki keberanian untuk bicara selugas itu. Namun ia berhasil membuat perempua
Ada yang mengatakan bahwa cinta akan datang karena terbiasa. Itu pula yang kini ditanamkan Kanya pada dirinya. Ia mencoba untuk percaya bahwa nanti setelah terbiasa bersama maka cinta akan tumbuh dengan sendirinya. Oleh sebab itulah Kanya mencoba membuka pintu hatinya yang tertutup untuk Davva. Mungkin jika bukan sekarang, cinta akan tumbuh di hatinya suatu saat nanti.“Lagi ngelamunin apa, Nya?” Suara yang baru saja didengarnya membuat Kanya menoleh ke sebelah. Lensa matanya mendapati Davva sedang menyetir di sampingnya. Saat ini Davva dan Kanya sedang berada di dalam perjalanan menuju rumah orang tua Davva.Davva mengajak Kanya ke sana. Mereka akan berbicara face to face bertiga. Davva bermaksud menyampaikan niatnya untuk menata hubungan yang lebih serius dengan Kanya.Kanya tersenyum lalu menggelengkan kepalanya pelan. “Nggak ngelamunin apa-apa.”“Yakin? Kalau nggak ngelamun kenapa dari tadi kamu hanya diam?”“Aku agak grogi,” jawab Kanya berterus terang. Mendatangi rumah orang t