Waktu saat itu menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Tiga puluh menit lagi butik akan tutup. Dita sudah Kanya suruh pulang duluan karena rekan kerja sekaligus temannya itu mendadak tidak enak badan.Sementara Kanya masih berkutat dengan sketsanya. Seorang pelanggan tetap Monique Boutique meminta Kanya membuatkan gaun yang akan dipakai pada hari pertunangannya nanti. Tapi sayang waktunya begitu mepet sehingga Kanya harus buru-buru menyelesaikannya. “Selamat datang, silakan masuk.” Kanya sontak mengangkat kepalanya dari buku sketsa kala mendengar suara itu. Setiap kali ada yang membuka pintu maka biasanya suara pemberitahuan tersebut akan menggema memenuhi ruangan.Kanya bersiap-siap untuk melayani pengunjung butiknya. Namun begitu bertemu mata dengan si tamu, jantungnya berdegup demikian kencang.Kanya berdiri mematung di tempatnya. Untuk apa Raven datang malam-malam di saat butiknya hampir tutup? Ingin membeli baju untuk Aline lagi kah?Kanya mulai menghitung mundur dari sepulu
Raven membelai kepala Ray yang sedang tidur di sebelahnya. Sudah sejak tadi ia melakukan hal tersebut pada anak itu. Rasa bahagia menyelimuti hatinya. Tidak hanya karena dianugerahi anak yang sehat dan menggemaskan seperti Ray melainkan karena ia baru mengetahui memiliki seorang anak lagi dari Kanya. Hidupnya terasa lengkap sekarang. Walau belum sempurna. Semuanya baru akan sempurna jika bersama Kanya.“Ternyata kamu di sini, dari tadi aku cariin ke mana-mana. “Itu suara Aline yang baru masuk ke kamar menyusul Raven.Raven memutar kepala menatap sang istri sesaat lalu kembali memusatkan atensinya pada sang putra.“Ray sakit?” tanya Aline setelah mendekat dan ikut memandangi anak itu.Raven menggeleng pelan. Ia hanya ingin menghabiskan waktunya bersama Ray.“Ke kamar yuk, kasihan Ray-nya, nanti kebangun.” Aline menarik tangan Raven agar ikut dengannya kembali ke kamar mereka.“Kamu aja, Lin, aku tidur di sini sama Ray,” jawab Raven menolak.Jawaban yang didengarnya dari mulut Raven mem
“Kamu di mana, Nya? Kenapa butik ditinggalin?” tanya Dita saat menelepon Kanya.Astaga! Kanya mengusap mukanya ketika menyadari apa yang telah dilakukanya. Tadi lantaran panik dan terburu-buru Kanya melupakan segalanya.“Sorry banget, Dit, tadi aku lupa. Tiba-tiba Monic badannya panas.” Hingga saat ini Kanya masih bisa merasakan kepanikannya tadi. Untuk kali ini saja Kanya merasa beruntung karena ada Raven.“Terus kamu di mana sekarang?”“Di rumah sakit. Kamu tolong urus butik dulu ya, aku harus jaga Monic di sini. Kata dokter Monic harus diopname.”“Ya ampun, Nya!” Dita terkejut mengetahui hal tersebut. Seingatnya kemarin gadis kecil itu berada dalam keadaan sehat dan baik-baik saja. “Kenapa tiba-tiba gini sih, Nya? Kemarin Monic sehat-sehat kan ya?” Dita menyatakan keheranannya.“Makanya itu aku panik.”“Terus aku harus ke sana nggak sih?” tanya Dita menawarkan diri. Ia merasa khawatir dan kasihan pada Kanya. Di saat-saat genting begini pasti Kanya butuh seseorang untuk mendampingin
Kanya melipat kedua tangannya di depan dada, berharap dengan gesturnya tersebut ia bisa mengintimidasi Raven yang sejak beberapa menit yang lalu hingga saat ini masih membungkam suara.Meski begitu, Kanya tidak akan berharap banyak. Ia hampir tahu apa jawaban Raven. Lelaki itu tidak bisa memilih antara Kanya atau Aline. Apa memang seberat itu?Kanya hampir saja keluar dari ruang rawat Monica demi mencari udara segar ketika Raven mencekal pergelangan tangannya.“Kanya, beri aku waktu, aku akan pikirkan tentang hal ini.”Entah mengapa jawaban Raven memberi celah kecewa di hati Kanya. Ternyata Raven tidak benar-benar menginginkannya. Sama seperti sebelumnya Raven seakan bisa membaca isi pikiran Kanya. Lelaki itu pun berucap, “Tolong jangan ragukan aku. Aku serius ingin membangun rumah tangga dengan kamu, lalu hidup bahagia dengan anak-anak kita. Tapi aku harus selesaikan dulu semuanya dengan Aline. Dan untuk menyelesaikannya aku butuh waktu,” kata Raven menerangkan.Raven memiliki beber
Raven akhirnya tiba di rumah sakit. Dengan membawa Ray di dalam gendongannya pria itu melangkah cepat. Ia tahu pasti Kanya sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Ray. Raven membayangkan selebar apa senyum Kanya saat mereka bertemu nanti.Ketika tiba tepat di depan ruang rawat Monica Raven berhenti. Dibukanya pintu dengan seperlahan mungkin.Kanya yang sedang melamun sedari tadi refleks berdiri ketika melihat Raven akhirnya muncul. Sudah sejak tadi Kanya menanti lelaki itu.Pandangan Kanya lantas beralih pada anak laki-laki di dalam gendongan mantan suaminya.“Ray …” Ia menggumam dengan begitu penuh perasaan.Kanya menarik langkah mendekat lalu mengulurkan tangannya untuk mengambil Ray dari dekapan Raven.Raven tersenyum dan memberitahu pada sang putra, “Ray, ini Mama.”“Sama Mama yuk, Sayang …”Ray memandang Kanya tidak bersahabat sambil mengeratkan lingkaran tangannya di leher Raven.Raven berniat menurunkan Ray dan memindahkannya pada Kanya. Akan tetapi anak itu menolak dan bertahan
Raven mendapat tatapan tajam dari Aline ketika keesokan hari pulang ke rumah. Semalam Raven memang tidak pulang ke rumah. Ia memutuskan untuk menginap di rumah sakit menemani Kanya menjaga Monica.“Kamu tidur di mana semalam?” Aline bertanya dengan pandangan menyelidik. Jarang-jarang Raven tidak pulang ke rumah seperti yang terjadi kemarin. “Di kantor,” jawab Raven sambil lalu kemudian masuk ke kamar mandi.Aline menanti di kamar. Jawaban Raven tidak membuatnya puas. Urusan sepenting apa yang membuat Raven tidak bisa pulang dan membuatnya menginap di kantor?Begitu Raven keluar dari kamar mandi sekitar sepuluh menit kemudian, Aline langsung menyerbu.“Memangnya ada apa? Urusan sepenting apa sampai kamu nggak bisa pulang?” tuntutnya pada sang suami.“Aku jelasin juga kamu nggak bakal ngerti,” jawab Raven sembari membuka lemari lantas mengambil pakaian dari sana.“Makanya dijelasin biar aku ngerti!” Aline mendesak agar Raven menerangkan padanya. Alasan Raven begitu aneh dan tidak bisa
Kanya terkejut setengah mati kala mengetahui Aline lah pemilik suara deheman tersebut. Untuk apa Aline datang? Apa keperluannya? Dan dari mana dia tahu bahwa Kanya ada di rumah sakit?Langsung saja Kanya berdiri dari duduk sambil menggendong Monica. Kanya mendekap sang putri sedemikian erat. Ia khawatir jika Aline akan berbuat sesuatu pada putrinya.Sementara itu Aline yang tadi membuntuti Raven kini terkejut saat melihat Kanya dan anak perempuan di dalam gendongannya. Setelah mengikuti Raven tadi Aline menanti di luar dan memantau dari jauh. Tak diduga ternyata inilah yang ia temukan. Kanya dan anak perempuan.Aline menatap tanpa kedip anak perempuan dalam gendongan Kanya. Ia terkejut ketika tahu Kanya punya anak lagi. Terlebih saat melihat sendiri dengan matanya betapa mirip wajah anak itu dengan raut Raven. Tidak diragukan lagi bahwa anak tersebut adalah anak Raven.Pertanyaannya, kapan dia lahir? Dan bagaimana bisa?Rasa sakit itu kembali menggigit mengetahui Raven datang untuk K
Kanya dan Davva sama-sama memandangi Monica yang sedang tengkurap di atas matrasnya. Sesekali celotehan kecil meluncur dari bibir anak itu. Sedangkan tangannya menunjuk-nunjuk gambar kartun di matras.“Senang banget dia kayaknya,” kata Davva mengomentari tingkah Monica. Mereka baru saja tiba di apartemen Kanya sekitar sepuluh menit yang lalu.Kanya tersenyum. Bahagianya bisa menyaksikan sendiri perkembangan putrinya yang dari hari ke hari semakin menakjubkan. Tapi sayangnya Kanya kehilangan momen yang sama pada Ray. Kanya kehilangan banyak hal dari anak laki-lakinya.Di sela-sela memerhatikan Monica, Davva mencuri pandang ke arah Kanya. Dua minggu tidak bertemu perasaan rindunya begitu mendalam pada perempuan itu. Davva bukannya sibuk tetapi sedang menghindari Kanya demi memenuhi permintaan ibunya.Sejak Kanya datang ke rumah dan mengetahui bahwa dia adalah perempuan pilihan Davva, Wanda menjadi syok. Ia tidak bisa berhenti memikirkannya. Sama dengan kebanyakan ibu-ibu di Indonesia Wa
Raven mendekati Kanya, menyentuh dahinya yang menjadi sasaran kenakalan sang putra. Lemparan Ray yang begitu kuat membuat dahi Kanya bengkak. Kepalanya juga pusing dan terasa berdenyut.Kejadian yang menimpa Kanya membuatnya otomatis memindahkan atensi orang-orang. Kanya dibawa ke ruangan guru untuk diobati di sana. “Biar saya saja, Bu,” kata Raven pada guru yang akan mengompres dahi Kanya. Raven mengambil alih. Dikompresnya dahi Kanya pelan-pelan.Kanya meringis, tangannya refleks mencekal pergelangan Raven.“Sakit?” tanya Raven melihat ringisan Kanya.Kanya mengangguk dengan perlahan. Kanya tidak habis pikir bagaimana mungkin anak seusia Ray bisa melakukan tindakan seperti tadi.“Maafin Ray ya, Nya. Dia nggak tahu kamu siapa. Dia memang manja, semua keinginannya harus dituruti, kalau ada yang nggak sesuai dengan hatinya dia akan ngamuk, contohnya seperti tadi. Awalnya dia nggak mau sekolah. Tapi dari pada terus berada di rumah aku pikir sebaiknya disekolahkan, apalagi teman-teman
Keluar dari kamar Wanda, Davva melangkah menuju ruang tamu guna menemui Kanya yang sedang duduk menunggu di sana. Kanya tampak sedang mengawasi Monic bermain. Anak itu tidak betah duduk di pangkuan Kanya. Sedari tadi ia sibuk berjalan ke sana kemari mengeksplor apapun yang menarik perhatiannya.“Nya, ayo ke kamar Mama.”“Kamu udah kasih tahu aku ada di sini?”“Udah, yuk.” Davva kemudian melambaikan tangan pada Monic meminta agar gadis cilik itu mendekat. “Monic! Ayo sini sama Papa, Nak!” Sejak resmi menikahi Kanya, Davva mengajarkan agar anak sambungnya memanggil Papa padanya.Monic berlari kecil menghampiri Davva yang membungkuk sambil merentangkan tangan. Begitu anak itu berada dekat dengannya, Davva langsung membawa ke gendongannya.Jantung Kanya berdegup kencang begitu Davva merangkul punggungnya menuju kamar Wanda. Kanya menyiapkan diri untuk kemungkinan paling buruk termasuk jika nanti Wanda mengusirnya.Dengan Monic berada dalam gendongannya, tangan Davva memutar gagang pintu
Setelah mereka resmi menikah Davva mengajak Kanya pindah ke rumah. Menurut Davva rumah pribadi meskipun sederhana lebih ideal untuk membangun kehidupan berkeluarga dibandingkan dengan tinggal di apartemen. Davva membeli sebuah rumah yang nyaman untuk mereka bertiga. Ia menyerahkan pada Kanya untuk pemilihan lokasi, model dan tipe rumah beserta interior dan furniture di dalamnya. Davva memperlakukan Kanya bagai ratu sesungguhnya. Bahkan kadang Kanya berpikir semua ini terlalu berlebihan untuknya. Ia merasa tidak pantas untuk semua ini walaupun Davva sudah berkali-kali meyakinkannya bahwa Kanya berhak diperlakukan dengan istimewa.Dering suara ponsel Davva membangunkan Kanya pagi itu.Kanya membuka matanya. Lalu dengan perlahan Kanya menepis tangan Davva yang melingkarinya. Lelaki itu memeluk Kanya dari belakang. Mengangkat tubuh, Kanya menjangkau ponsel suaminya yang tergeletak di nakas. Begitu benda itu berada di tangannya Kanya melihat nama Tante Lilis tertera di sana. Kanya sontak
Malam semakin tua. Keheningan mulai juga semakin meraja. Namun di kamar mewah itu Davva dan Kanya masih betah membuka mata. Mereka baru saja selesai berdansa dan makan malam bersama sekitar satu jam yang lalu.Saat ini keduanya sama-sama berbaring di atas kasur yang dipenuhi taburan kelopak mawar merah. Tiada sepatah kata pun yang terlontar dari bibir keduanya. Hanya mata keduanya yang berbahasa.Keduanya berbaring miring berhadapan dengan jari-jemarinya Davva membelai wajah Kanya.Kanya tidak menyangka jika jalan hidup akan membawa dirinya pada titik ini. Setelah ditipu dan dijual oleh orang tuanya, Kanya menikah dengan lelaki asing yang tidak dikenalnya. Lalu menghadapi cobaan yang datang bertubi-tubi hingga akhirnya dipersatukan dengan Davva yang menjadi pendamping barunya.“Dav, apa Mama tahu hari ini kita menikah?”Belaian tangan Davva di wajah Kanya melambat saat mendengar pertanyaan istrinya itu.Sehari sebelum menikah Davva mencoba menelepon Wanda tapi tidak dijawab. Davva jug
Kanya mematut diri di muka cermin memandangi sekujur tubuhnya dari atas kepala hingga bawah kaki.Kalau saja Kanya narsis ia ingin mengatakan betapa jelita dirinya saat ini dengan balutan gaun broken white yang membalut tubuhnya. Layaknya pakaian yang digunakan untuk akad, gaun itu sopan dan tertutup tapi tetap saja tidak mengurangi kecantikan Kanya yang bersumber dari dalam.Pintu ruangan tiba-tiba dibuka dari luar bersamaan dengan munculnya Dita.Gadis itu melangkah ke dalam.“Cantik banget kamu, Nya. Aura pengantinnya keluar,” puji Dita mengomentari penampilan Kanya.Hari ini akhirnya tiba. Hari di mana Davva akan mengikat Kanya dalam ikatan yang suci dan sakral serta sah secara agama maupun negara.Bibir Kanya mengembangkan senyum tipis. Ingatannya lantas terseret mundur pada momen beberapa tahun yang lalu. Saat itu ia menikah dengan Raven dengan suasana yang tidak jauh berbeda dengan saat ini. Pernikahannya dengan Raven kala itu digelar secara tertutup. Sedangkan pernikahan kedua
Kanya tarik tangannya dari genggaman Raven setelah lelaki itu mengecupnya.Kanya hampir saja goyah dengan segala bentuk cara Raven meyakinkannya. Iya. Kanya percaya jika Raven sungguh-sungguh dengan ucapannya. Tapi yang menjadi masalah adalah terbuat dari apa hati Kanya jika membatalkan pernikahannya dan Davva justru di detik-detik terakhir? Apa Kanya tega menyakiti Davva yang merupakan malaikat penyelamat dalam hidupnya.“Maaf, Rav, pernikahan aku dan Davva nggak bisa dibatalkan lagi.”“Oke. Kalau pernikahan kamu nggak bisa dibatalkan, maka perasaan aku juga nggak bisa dibatalkan. Aku mencintai kamu, Kanya. Apa begitu sulit untuk memahami perasaanku?” ujar Raven gregetan. Raven sudah putus asa. Ia tidak tahu harus menggunakan cara apa lagi untuk mengubah pendirian Kanya agar membatalkan keputusannya.“Tentang cinta mungkin aku terlalu mentah. Tapi yang kutahu cinta tidak harus saling memiliki,” jawab Kanya bijaksana menirukan ungkapan yang sering digaungkan di kalangan para pencinta
Kanya dan Raven sudah berada di mobil Raven. Raven menutup rapat-rapat pintunya setelah menyalakan mesin.Raven tidak langsung menyampaikan maksudnya. Yang dilakukannya saat ini adalah memandangi Kanya selama hitungan detik.“Rav, kamu mau bicara apa?” tuntut Kanya karena Raven bergeming dan tidak melepaskan Kanya dari tatapannya.“Aku mau kamu klarifikasi soal tadi.”Kanya mengernyit. “Yang tadi mana?”“Soal pernikahan. Kamu yakin akan menikah lagi?”Jadi hanya untuk itu Raven datang dan mengajaknya bicara berdua?“Aku nggak pernah seyakin dari sekarang, Rav.” Kanya memberi jawaban yang membuat hati Raven patah.“Aku masih nggak percaya kalau kamu mengambil keputusan secepat ini. Aku yakin ini hanya keputusan emosional kamu,” vonis Raven yang masih berharap Kanya akan mengkaji ulang keputusannya lalu membatalkan rencana pernikahannya dengan Davva.“Tahu apa kamu tentang aku?” balas Kanya. Raven bersikap seolah sangat mengenal Kanya lalu dengan mudahnya mengatakan keputusan Kanya adal
Raven dan Aline serentak memandang ke arah Davva. Air muka Raven berubah seketika setelah mendengar ucapan laki-laki itu. Jadi mereka ke sini untuk membeli cincin nikah? Apa mereka akan menikah?Raven yang selama ini selalu tenang tidak kuasa menyembunyikan kegelisahan yang terlukis jelas di raut gagahnya.“Wedding ring untuk siapa? Siapa yang akan menikah?” Entah bagaimana tapi pertanyaan itu terlontar dari bibir Raven.“Kami yang akan menikah, aku dan Kanya.” Masih Davva yang menjawab.Raven memindahkan arah pandangnya pada Kanya seakan ingin meminta langsung penjelasan dari mantan istrinya itu. Raven ingin Kanya berbicara. Ia berharap Kanya menidakkan dan yang tadi didengarnya tadi hanyalah lanturan Davva saja.Kanya menundukkan kepala, tidak sanggup membalas tatapan Raven yang menghujamnya begitu dalam.“Kanya, apa itu benar? Apa kamu akan menikah?” Raven mengulangi pertanyaannya yang belum sempat Kanya jawab.“Kami memang akan menikah,” jawab Davva mewakili Kanya.“Aku bicara pad
Setelah keluar dari rumah, Davva langsung mengajak Kanya pergi. Kanya diam membeku di sebelah Davva. Peristiwa yang dialaminya barusan sangat mengguncangnya. Tuduhan keluarga Davva membuatnya lebih dari terhina.“Kanya …”Kanya diam saja saat Davva menyentuh pundaknya.“Jangan dimasukin ke hati ya kata-kata Mama tadi.”Larangan Davva sangat mengusik Kanya. Bagaimana mungkin Kanya tidak memasukkan ke hati? Toh Kanya adalah manusia yang memiki perasaan. Jika yang dulu-dulu Kanya masih bisa menahannya, tapi sekarang tidak lagi. Mereka sudah kelewatan. “Aku bukan robot, Dav. Aku punya hati. Nggak mungkin aku nggak tersinggung sedangkan keluarga kamu menuduhku yang bukan-bukan,” lirih Kanya sembari menaikkan tangan mengusap matanya. Bulir-bulir air bening itu kembali meluncur.Merasa masalah ini tidak bisa dibicarakan sambil menyetir, Davva menepi lalu berhenti di tepi jalan. Davva beringsut memiringkan duduknya mengarah pada Kanya.“Aku tahu kata-kata Mama sangat keterlaluan dan membuat