Raven akhirnya tiba di rumah sakit. Dengan membawa Ray di dalam gendongannya pria itu melangkah cepat. Ia tahu pasti Kanya sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Ray. Raven membayangkan selebar apa senyum Kanya saat mereka bertemu nanti.Ketika tiba tepat di depan ruang rawat Monica Raven berhenti. Dibukanya pintu dengan seperlahan mungkin.Kanya yang sedang melamun sedari tadi refleks berdiri ketika melihat Raven akhirnya muncul. Sudah sejak tadi Kanya menanti lelaki itu.Pandangan Kanya lantas beralih pada anak laki-laki di dalam gendongan mantan suaminya.“Ray …” Ia menggumam dengan begitu penuh perasaan.Kanya menarik langkah mendekat lalu mengulurkan tangannya untuk mengambil Ray dari dekapan Raven.Raven tersenyum dan memberitahu pada sang putra, “Ray, ini Mama.”“Sama Mama yuk, Sayang …”Ray memandang Kanya tidak bersahabat sambil mengeratkan lingkaran tangannya di leher Raven.Raven berniat menurunkan Ray dan memindahkannya pada Kanya. Akan tetapi anak itu menolak dan bertahan
Raven mendapat tatapan tajam dari Aline ketika keesokan hari pulang ke rumah. Semalam Raven memang tidak pulang ke rumah. Ia memutuskan untuk menginap di rumah sakit menemani Kanya menjaga Monica.“Kamu tidur di mana semalam?” Aline bertanya dengan pandangan menyelidik. Jarang-jarang Raven tidak pulang ke rumah seperti yang terjadi kemarin. “Di kantor,” jawab Raven sambil lalu kemudian masuk ke kamar mandi.Aline menanti di kamar. Jawaban Raven tidak membuatnya puas. Urusan sepenting apa yang membuat Raven tidak bisa pulang dan membuatnya menginap di kantor?Begitu Raven keluar dari kamar mandi sekitar sepuluh menit kemudian, Aline langsung menyerbu.“Memangnya ada apa? Urusan sepenting apa sampai kamu nggak bisa pulang?” tuntutnya pada sang suami.“Aku jelasin juga kamu nggak bakal ngerti,” jawab Raven sembari membuka lemari lantas mengambil pakaian dari sana.“Makanya dijelasin biar aku ngerti!” Aline mendesak agar Raven menerangkan padanya. Alasan Raven begitu aneh dan tidak bisa
Kanya terkejut setengah mati kala mengetahui Aline lah pemilik suara deheman tersebut. Untuk apa Aline datang? Apa keperluannya? Dan dari mana dia tahu bahwa Kanya ada di rumah sakit?Langsung saja Kanya berdiri dari duduk sambil menggendong Monica. Kanya mendekap sang putri sedemikian erat. Ia khawatir jika Aline akan berbuat sesuatu pada putrinya.Sementara itu Aline yang tadi membuntuti Raven kini terkejut saat melihat Kanya dan anak perempuan di dalam gendongannya. Setelah mengikuti Raven tadi Aline menanti di luar dan memantau dari jauh. Tak diduga ternyata inilah yang ia temukan. Kanya dan anak perempuan.Aline menatap tanpa kedip anak perempuan dalam gendongan Kanya. Ia terkejut ketika tahu Kanya punya anak lagi. Terlebih saat melihat sendiri dengan matanya betapa mirip wajah anak itu dengan raut Raven. Tidak diragukan lagi bahwa anak tersebut adalah anak Raven.Pertanyaannya, kapan dia lahir? Dan bagaimana bisa?Rasa sakit itu kembali menggigit mengetahui Raven datang untuk K
Kanya dan Davva sama-sama memandangi Monica yang sedang tengkurap di atas matrasnya. Sesekali celotehan kecil meluncur dari bibir anak itu. Sedangkan tangannya menunjuk-nunjuk gambar kartun di matras.“Senang banget dia kayaknya,” kata Davva mengomentari tingkah Monica. Mereka baru saja tiba di apartemen Kanya sekitar sepuluh menit yang lalu.Kanya tersenyum. Bahagianya bisa menyaksikan sendiri perkembangan putrinya yang dari hari ke hari semakin menakjubkan. Tapi sayangnya Kanya kehilangan momen yang sama pada Ray. Kanya kehilangan banyak hal dari anak laki-lakinya.Di sela-sela memerhatikan Monica, Davva mencuri pandang ke arah Kanya. Dua minggu tidak bertemu perasaan rindunya begitu mendalam pada perempuan itu. Davva bukannya sibuk tetapi sedang menghindari Kanya demi memenuhi permintaan ibunya.Sejak Kanya datang ke rumah dan mengetahui bahwa dia adalah perempuan pilihan Davva, Wanda menjadi syok. Ia tidak bisa berhenti memikirkannya. Sama dengan kebanyakan ibu-ibu di Indonesia Wa
Davva baru saja memasuki halaman rumahnya yang luas. Di samping mobil ibunya ia juga melihat ada mobil lain yang sedang parkir. Mengacu dari percakapan melalui telepon tadi dengan Wanda Davva bisa memastikan pastilah itu mobil Shella.Menghela napasnya, Davva kemudian turun dari mobil dan melangkah pelan menuju rumah. Baru saja kakinya menapak di beranda ia mendengar suara percakapan yang salah satu di antaranya adalah suara Wanda.Davva kemudian melangkah masuk dan langsung disambut oleh suara Wanda.“Nah, ini dia yang ditunggu-tunggu dari tadi.”Seorang gadis muda berambut panjang mengenakan dress senada kulit krah sabrina refleks mengarahkan matanya ke pintu. Senyum tersungging di bibirnya saat melihat kedatangan Davva.“Hai, Dav!” sapanya ramah.“Hai, Shel!” Davva membalas dengan nada yang sama. “Baru pulang ngantor, Dav?” “Iya nih. Kamu udah lama? Tumben ke sini?”“Kira-kira udah satu jam-an,” jawab Shella setelah melirik jam yang melingkar di pergelangannya.Davva manggut-mang
“Aku tahu Mama pasti kaget. Tapi aku serius dengan keinginanku, Ma,” kata Raven sungguh-sungguh menyatakan niatnya.“Mama nggak ngerti entah setan mana yang merasuki pikiranmu, Rav,” jawab Marissa setelah berhasil meredakan kekagetannya.“Aku nggak kerasukan setan atau apapun seperti yang Mama pikirin. Aku sungguh-sungguh, Ma. Aku udah nggak sanggup berumah tangga dengan Aline.”“Tapi kenapa, Rav? Kalian sedang ada masalah apa?” Raven menjawab dengan helaan napas. Seharusnya ibunya tidak perlu bertanya lagi. Semestinya Marissa sudah tahu tanpa bertanya apa penyebabnya.“Jawab Mama, Rav!” desak Marissa tidak sabar.“Ma, harusnya Mama nggak usah nanya lagi,” jawab Raven gemas. “Pernikahanku dan Aline itu udah nggak sehat. Kami memang suami istri, tapi nyatanya Aline nggak bisa memberi apa yang kubutuhkan.” Sebenarnya Raven sangat sungkan mengatakan hal ini. Namun ia harus menyampaikannya demi menjawab pertanyaan ibunya.“Apa?” Kerutan di dahi Marissa semakin dalam. “Mama nggak usah ka
Monica memang sudah sembuh, akan tetapi Kanya memutuskan hari ini untuk istirahat dulu. Kanya mendelegasikan semua pekerjaannya pada Dita. Jadi seharian ini Kanya memiliki banyak waktu untuk mereka berdua. Quality time bersama sang putri adalah hal yang sangat menyenangkan bagi Kanya. Kanya sangat menikmati setiap detik perkembangan putri kecilnya. Seakan Kanya ingin menebus segala waktunya yang hilang bersama Ray dulu.Selagi Monica asyik dengan mainan bayinya, Kanya juga sibuk berselancar di dunia maya. Bulan depan Monica berumur enam bulan, itu artinya Kanya harus mempersiapkan diri memberi sang putri menu-menu kreatif hasil olahan tangannya. Saat Kanya sedang asyik browsing, ponselnya terdengar berbunyi. Kanya terpaksa meninggalkan sejenak keasyikannya browsing menu MPASI.“Halo, Dit,” sapanya pada Dita yang menelepon.“Nya, kamu di mana?” Dita bertanya dengan suara yang terdengar berbisik di telinga Kanya.“Di apartemen, ada apa, Dit? Ada masalah?” “Ada Mas Raven.”Jantung Kanya
Raven tahu, selepas menceraikan Aline semestinya mereka tinggal berpisah. Seharusnya Aline tahu diri dan segera angkat kaki dari rumah Raven. Tapi yang terjadi Aline masih tetap berada di sana. Perempuan itu tidak sadar diri sehingga jadilah Raven yang terpaksa mengalah. Raven mengungsi tidur ke kamar lain.“Hari ini aku akan urus perceraian kita, aku sudah hubungi Pak Wangsa,” kata Raven tepat di hari ketiga setelah menceraikan Aline.Aline bergeming, pura-pura tidak mendengar Raven. Ia tetap asyik berdandan seakan tidak mendengar kata-kata Raven. Aline bersikap seolah tidak ada Raven di sana.“Tentang harta gono-gini dan segala macam kamu jangan khawatir.” Raven menyambung ucapannya mencoba memancing reaksi Aline. Raven harap setelah berkata demikian Aline sadar diri lalu menujukkan iktikad baiknya untuk pergi.Aline memang hidup sendiri karena kedua orang tuanya sudah tiada. Tapi bukan benar-benar sebatang kara karena keluarganya yang lain masih hidup. Aline bisa saja kembali pada
Raven termangu sekian lama sambil memandang nanar cincin yang diberikan Kanya langsung ke telapak tangannya.“Nggak bisa begitu, Nya. Kamu nggak bisa membatalkan pernikahan kita hanya karena Qiandra terbukti sebagai anak Davva. Kita sudah merencanakan semua ini dengan matang. Undangan sudah dicetak, gedung sudah di-booking, belum lagi yang lainnya,” tukas Raven tidak terima. Ini bukan hanya semata-mata perihal persiapan pernikahan, melainkan tentang perasaannya pada Kanya. Ia tidak rela melepas Kanya justru setelah perempuan itu berada di genggamannya.“Rav, mengertilah, aku nggak bisa,” jawab Kanya putus asa. Entah bagaimana lagi caranya menjelaskan pada Raven bahwa dirinya benar-benar tidak bisa melanjutkan hubungan mereka.“Kamu minta aku untuk mengerti kamu, tapi apa kamu mengerti aku? Alasan kamu nggak jelas. Kenapa baru sekarang kamu bilang nggak bisa menikah denganku? Kenapa bukan dari sebelum-sebelumnya? Kenapa setelah kedatangan Davva? Semua ini terlalu lucu untuk disebut hany
Waktu saat ini menunjukkan pukul satu malam waktu Indonesia bagian barat, tapi tidak sepicing pun Kanya mampu memejamkan matanya. Adegan demi adegan tadi siang terus membayang. Saat ia bertemu dengan Davva, bicara berdua dari hati ke hati, serta mengungkapkan langsung kegalauannya pada laki-laki itu. Dan Davva dengan begitu bijak menjawab saat Kanya menanyakan apa ia harus memikirkan lagi hubungannya dengan Raven.“Aku rasa aku butuh waktu untuk mengkaji ulang hubungan dengan Raven. Aku nggak mau gagal lagi seperti dulu. Menurut kamu gimana kalau misalnya aku menunda atau membatalkan pernikahan itu?”Davva terlihat kaget mendengar pertanyaan Kanya. Ia memindai raut Kanya dengan seksama demi meyakinkan jika Kanya sungguh-sungguh bertanya padanya. Dan hasilnya adalah Davva melihat keraguan yang begitu kentara di wajah Kanya.“Aku bingung, aku nggak mau gagal lagi.” Kanya mengucapkannya sekali lagi sambil menatap Davva dengan intens.“Follow your heart, Nya. Ikuti apa kata hatimu. Dan ja
Kanya tersentak ketika mendengar ketukan di depan pintu. Pasti itu Raven yang datang, pikirnya. Beberapa hari ini memang tidak bertemu dengan laki-laki itu. Bukan karena mereka ada masalah, tapi karena Kanya sedang butuh waktu untuk sendiri.Mengayunkan langkah ke depan, Kanya membuka pintu. Tubuhnya membeku seketika begitu mengetahui siapa yang saat ini berdiri tegak di hadapannya. Bukan Raven seperti yang tadi menjadi dugaannya, tapi ...“Dav ...”Davva membalas gumaman Kanya dengan membawa perempuan itu ke dalam pelukannya.“Aku baru tahu semuanya dari Raven. Aku minta maaf karena waktu itu ninggalin kamu. Aku nggak tahu kalau kamu hamil anak kita,” bisik Davva pelan penuh penyesalan.“Kamu nggak salah, Dav, aku yang salah. Aku pikir Qiandra anak Raven,” isak Kanya dalam dekapan laki-laki itu.Kenyataan bahwa Qiandra adalah darah daging Davva membuat Kanya begitu terpukul. Beberapa hari ini ia merenungi diri dan menyesali betapa bodoh dirinya yang tidak tahu mengenai hal tersebut.
Davva menegakkan duduknya lalu memfokuskan pendengarannya pada Raven yang menelepon dari benua yang berbeda dengannya.“Sorry, Rav, ini kita lagi membicarakan siapa? Baby girl apa maksudnya?” Davva ingin Raven memperjelas maksud ucapannya. Apa mungkin Raven salah orang? “Ini aku Davva. Kamu yakin yang mau ditelepon Davva aku? Atau mungkin Davva yang lain tapi salah dial?”“Aku nggak salah orang. Hanya ada satu Davva yang berhubungan dengan hidupku dan Kanya, yaitu kamu," tegas Raven.Perasaaan Davva semakin tegang mendengarnya, apalagi mendengar nada serius dari nada suara Raven.“Jadi maksudnya baby girl apa? Kenapa kasih selamat sama aku?” tanya Davva tidak mengerti. Justru seharusnya Davvalah yang menyampaikan ucapan tersebut pada Raven karena dialah yang berada di posisi itu.“Aku tahu semua ini nggak akan cukup kalau hanya disampaikan melalui telepon. Ceritanya panjang. Tapi aku harus bilang sekarang kalau Qiandra adalah anak kandung kamu, Dav. Dia bukan darah dagingku. Hasil tes
Kanya mengajak Raven keluar dari ruangan dokter. Mereka tidak mungkin berdebat apalagi sampai bertengkar di sana.“Jawab pertanyaanku, Nya, siapa bapak anak itu?” Raven kembali mendesak setelah mereka tiba di luar.Kanya menggelengkan kepala. Bukan karena tidak tahu, tapi juga akibat syok mendapati kenyataan yang tidak disangka-sangka.“Jadi kamu nggak tahu siapa bapak anak itu? Memangnya berapa banyak lelaki yang meniduri kamu, Nya?” Kanya membuat Raven hampir saja terpancing emosi.“Jangan pernah menuduhkku sembarangan, Rav! Aku bukan perempuan murahan yang akan tidur dengan laki-laki sembarangan! Aku masih punya harga diri,” bantah Kanya membela diri.“Tapi hasil tes itu nggak mungkin berbohong, Kanya!” ucap Raven gregetan. “Ini rumah sakit internasional, tenaga medis di sini juga profesional. Mereka nggak akan mungkin salah menentukan hasil tes. Jangan kamu pikir mamaku yang mengacaukan agar hasilnya berbeda. Ini kehidupan nyata, Kanya, bukan adegan sinetron!”Suara tinggi Raven m
“Kanya, aku rasa sudah saatnya kita lakukan tes DNA. Aku nggak mau menunggu lagi. Aku nggak bisa melihat kamu mengurus anak-anak kita sendiri.”Kanya menolehkan kepalanya kala mendengar ucapan Raven.Hari ini baby Qiandra berumur satu bulan. Kanya sudah sejak lama pulang dari rumah sakit. Kondisinya pasca persalinan juga sangat baik.Setelah saat itu Raven datang ke rumah sakit, Davva pergi tiba-tiba. Padahal Raven ingin mengucapkan terima kasih padanya.“Siang ini aku harus pulang ke NY, Nya.” Itu alasan Davva saat Kanya menelepon menanyakan keberadaannya.“Tapi kenapa kamu pergi nggak bilang aku dulu?”“Maaf banget ya, Nya, aku ada panggilan mendadak dan nggak sempat bilang ke kamu.”Setelah hari itu Kanya tidak pernah lagi berkomunikasi dengan Davva. Davva sibuk dengan pekerjaannya, Kanya juga sedang menikmati hari-harinya memiliki buah hati yang baru.“Kanya! Gimana?” tegur Raven meminta jawaban lantaran Kanya tidak menjawab.“Harus banget ya tes DNA itu?” Kanya masih merasa keber
Pria itu baru saja keluar dari mobil lalu menarik langkah cepat. Ia mengangguk sepintas pada seseorang saat berpapasan. Entah siapa orang itu tidak terekam di benaknya. Ia hanya ingin segera tiba secepatnya di kamar lalu beristirahat sepuasnya.Smart lock kamarnya berbunyi kecil saat mendeteksi kesesuaian. Pintu kamar pun terbuka.Raven—lelaki itu langsung masuk. Begitu melihat hamparan kasur ia langsung menghambur. Hari ini begitu melelahkan. Pertemuan serta dengar pendapat dengan pemerintah daerah tadi siang berlangsung dengan alot. Pemerintah setempat memberi banyak tuntutan yang kurang masuk akal kepada para pengusaha yang sebagian besar tidak bisa mereka penuhi.Tatapan Raven berlabuh pada benda seukuran telapak tangan yang terselip di antara bantal. Ternyata Raven lupa membawa ponselnya yang ternyata berada dalam keadaan mati.Sambil berbaring Raven menyalakannya. Beberapa detik kemudian setelah mendapat sinyal, notifikasinya berdenting. Raven terkesiap ketika membaca pesan dari
Sedikit pun tidak terlintas di pikiran Kanya bahwa dirinya akan menghadapi hal menakjubkan di dalam hidupnya, yaitu melakukan persalinan sendiri tanpa bantuan tenaga medis dan terjadi di tempat yang sama sekali tidak disangka-sangka.Setelah melahirkan di toilet SPBU ditemani Davva, Kanya mendapat pertolongan dan dibawa ke rumah sakit terdekat. Cerita tentang persalinan di toilet tersebut menjadi buah bibir di sekitar tempat itu, tapi untung tidak sampai viral, karena Kanya tidak ingin populer dengan cara tersebut.Setelah proses observasi, saat ini Kanya berada di ruang rawat. Kondisi Kanya masih terlihat lemah karena kehilangan banyak energi. Tapi perasaan bahagia yang begitu dalam menyelimuti hatinya melihat bayi perempuan yang dilahirkannya begitu sehat, normal, serta lengkap seluruh organ tubuhnya. Bayi mungil itu saat ini berada di dalam box yang diletakkan di samping tempat tidur Kanya.Monic begitu gembira karena pada akhirnya keinginan anak itu untuk memiliki adik perempuan m
“Kanya, maaf sekali, aku nggak bisa menemani kamu lahiran.”Kanya yang saat itu sedang menyesap juice apel refleks memandang ke arah Raven kala mendengar ucapan laki-laki itu. Bagaimana tidak, mereka sudah merencanakannya jauh-jauh hari. Bahkan Raven sudah mem-booking rumah sakit terbaik untuk proses persalinan Kanya. Lalu dengan seenaknya sekarang Raven mengatakan tidak bisa.Raven mengangkat tangan sebagai isyarat bahwa ia akan menjelaskan alasannya pada Kanya sebelum perempuan itu mengajukan aksi protes.“Aku baru mendapat telepon dari asistenku di daerah. Dia bilang ada undangan untuk pertemuan dari pemerintah daerah setempat, dan itu nggak bisa diwakilkan. Bukan hanya aku tapi semua pengusaha sawit yang berada di sana,” jelas Raven menyampaikan alasannya.Kanya memahami argumen Raven. Dalam hal ini ia tidak boleh egois dengan memikirkan dirinya sendiri. Ia juga harus mendukung karir Raven.“Nggak apa-apa, Rav, pergilah,” jawab Kanya merelakan.Raven memindai wajah Kanya, mencoba