Kanya menahan air bening agar tidak berlinangan dari sudut-sudut matanya yang menghangat.Davva benar. Tidak seharusnya Kanya datang menemui Raven meskipun dengan alasan menemui Ray. Karena yang ia terima hanyalah kekecewaan. Namun bagaimana lagi, yang namanya seorang ibu merindukan anaknya. Rasa itu tidak sanggup Kanya bendung.“Baik, karena tugasku sudah selesai aku akan pergi,” lirih Kanya menjawab lalu memutar tubuh meninggalkan Raven.“Eh, udah, Nya?” tanya Dita keheranan ketika Kanya menarik tangannya pergi. “Nggak jadi ketemu Ray?”Kanya tidak menjawab. Tapi Kanya yang menarik tangannya semakin kuat membungkam mulut Dita agar tidak bertanya lagi. Dita bertahan dalam diam sampai mereka masuk ke dalam taksi dan melihat Kanya menangis.“Ada apa, Nya? Kenapa nangis? Suamimu nyakitin kamu?”“Dia bukan suamiku lagi, Dit,” jawab Kanya sesenggukan.“Maksudnya?” Dita menatap muka basah Kanya penuh tanda tanya.“Dia bilang hubungan kami sudah selesai.”“Jadi maksudnya kalian bercerai?” D
Hari-hari berlalu dengan begitu cepat. Tanpa terasa ini adalah bulan terakhir pendidikan Kanya. Seiring dengan hal tersebut usia kehamilan Kanya yang semakin bertambah membuat perutnya juga semakin membesar.Selama tiga bulan ini Kanya putus komunikasi dengan Raven. Saat perasaan rindu pada Ray datang terbersit keinginan di hati Kanya untuk menelepon Raven. Tapi Raven tidak pernah mau sekali pun menerima panggilan darinya. Pria itu menutup akses komunikasi dari Kanya. Sejak itu Kanya berhenti menghubungi Raven.“Nggak berasa udah enam bulan. Habis ini apa rencanamu, Nya?”Suara Davva menghalau pergi lamunan Kanya. Saat ini mereka sedang berada di atas Pacific Wheel di Santa Monica. Kanya terdiam. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya setelah masa pendidikan berakhir. Menurut kesepakatan yayasan hanya membiayainya selama enam bulan. Jika Kanya ingin tetap bertahan di New York itu artinya ia harus menggunakan biaya sendiri. Untuk saat ini Kanya memang memiliki uang hasil dari had
Pesawat yang membawa Kanya dan Davva baru saja mendarat dengan selamat setelah penerbangan panjang yang memakan waktu lebih dari dua puluh empat jam termasuk untuk transit.Tidak mudah terbang selama itu apalagi dengan membawa bayi yang baru berumur tiga bulan. Beberapa kali Monica rewel di pesawat, tapi untung ada Davva yang membantu Kanya mengatasinya. Jika saja Kanya sendiri pasti sudah bingung menghadapinya.Sekilas kalau dilihat Kanya dan Davva terkesan bagaikan pasangan suami istri sungguhan. Tidak ada yang menyangka jika keduanya tidak memiliki hubungan apapun.Dari bandara Davva mengantar Kanya ke hotel. Davva meminta Kanya untuk stay di sana dulu sampai Davva berhasil mendapatkan tempat tinggal yang tepat untuk Kanya.“Aku bakal pulang sebentar sekalian nyari apartemen buat kamu,” kata Davva begitu mereka masuk ke kamar hotel.Kanya memandangi kamar tempatnya berada sekarang. Cukup luas dan terkesan begitu nyaman. Ia yakin betah berada di sana. Hanya saja sesuatu mengganggu p
Tatapan Kanya masih bertahan di titik yang sama sejak bermenit-menit yang lalu. Seolah terhipnotis Kanya terpukau pada pemandangan yang begitu nyata di hadapannya. Dari balik tatapannya yang buram oleh air mata hatinya pilu menyaksikan interaksi antara ayah dan anak itu.Tanpa terasa Kanya sudah melewatkan sangat banyak hal, terutama perkembangan Ray. Anak itu tumbuh tanpa dirinya. Bahkan Kanya tidak yakin jika Ray mengenalnya sebagai ibu kandungnya setelah besar nanti. Kanya hanyalah penggalan bayangan yang sekadar lewat pada dua bulan pertama kehidupannya di dunia.“Ayo, Ray, tendangnya yang kuat!” Raven berseru keras menyuruh Ray agar menendang bola ke arahnya.Mengerti instruksi Raven, anak itu melakukannya. Untuk menyenangkan Ray Raven berpura-pura jatuh dan gagal menangkap bola.“Duh, Papa jatuh nih. Ray bantu Papa ambil bolanya ya!”Patuh, Ray berjalan pelan menuju arah bola. Anak itu tertegun di tempatnya tatkala menyaksikan taksi yang sedang berhenti di depan rumah.Kanya ter
Seminggu sudah Kanya berada di Indonesia. Dan hingga sejauh ini Kanya masih menginap di hotel. Davva mengatakan padanya bahwa sudah mendapatkan apartemen untuk Kanya tempati. Hanya saja saat ini Davva sedang menyiapkan segala furniture dan peralatannya.Di saat Kanya tidak memiliki aktivitas apapun selain mengurus Monica, Davva sudah memulai rutinitasnya. Meskipun disibukkan dengan hal tersebut Davva tidak lupa mengunjungi Kanya yang dilakukannya dua kali sehari. Pagi sebelum berangkat ke kantor, dan sore atau pun malam sebelum pulang.Hari ini Davva datang setelah maghrib. Saat itu Kanya baru saja selesai menyusui Monica.“Si cantik udah lama tidurnya?” tanya Davva sembari melirik ke arah ranjang tempat Monica berbaring.“Barusan, paling baru sepuluh menit,” jawab Kanya.Davva memberikan kantong berisi makanan di tangannya, “Tadi kebetulan aku lewat di Soerabi Enhaii,” ucapnya lalu melangkah pelan menghampiri tempat tidur.Davva duduk di pinggirnya, memandang Monica hitungan menit
Davva terdiam cukup lama di mobilnya setelah menyalakan mesin. Berkali-kali tangannya terangkat untuk mengusap mukanya. Peristiwa beberapa menit yang lalu membuatnya sedikit terguncang. Tidak percaya kalau dirinya memiliki keberanian untuk menyentuh Kanya. Ya, walaupun tidak jadi. Davva bersyukur ia masih bisa menahan diri sebelum berhasil menyentuh Kanya. Davva memikirkan akibatnya. Jika saja tadi mereka jadi berciuman, bukan tidak mungkin Kanya merasa tidak nyaman, kemudian pelan-pelan menjauh. Dan Davva belum siap untuk kehilangan Kanya secepat itu.Davva tersentak ketika mendengar suara klakson dari kendaraan di belakangnya. Ternyata sudah sejak tadi dirinya melamun. Menarik hand brake, Davva mulai melaju meninggalkan area hotel. Lelaki itu memutuskan langsung pulang ke rumahnya tanpa mampir ke mana-mana. Di samping hari sudah malam, ia juga ingin mencaritahu perihal penyebab kenapa Kanya diberhentikan dari butik mamanya dulu.Saat lampu merah lalu lintas menyala Davva terpaksa be
Hari ini adalah hari pertama pembukaan Monique Boutique. Jauh sebelum subuh Kanya sudah membuka mata. Bukan karena sudah cukup tidur, melainkan lantaran sudah tidak sabar. Lebih tepatnya sudah sejak semalam debaran jantungnya menghentak dengan kencang. Perasaannya harap-harap cemas. Kanya khawatir jika acara tersebut tidak berlangsung dengan lancar. Ia takut jika terjadi hal-hal yang tidak diharapkan atau berada di luar kendalinya. Tapi seperti biasa, Davva adalah orang yang selalu ada untuk menghibur dan memotivasi.“Gimana nanti kalau nggak ada pembeli? Gimana kalau misalnya nggak ada yang tertarik?” Kanya mengemukakan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada Davva.Davva menenangkan Kanya dengan menggenggam hangat tangannya sembari memberi pengertian.“Kanya, coba dengar aku baik-baik,” ujar laki-laki itu meminta Kanya agar memandang padanya.Kanya memakukan matanya di wajah Davva, menanti apa yang akan disampaikannya.“Ini baru hari pertama jadi wajar kalau nggak ada pembeli
Raven mengerutkan dahi. Perkataan istrinya membuat Raven menolehkan kepala ke sebelah.“Saingan baru apa?”“Tadi anak-anak di butik chat aku, katanya ada butik baru di jalan Cendana.”Raven mengembuskan napasnya setelah mendengar penuturan Aline. Istrinya itu ada-ada saja. Selalu menganggap orang lain yang membuka usaha yang sama dengan mereka kalau bukan musuh ya sebagai saingan.“Kenapa kamu bilang saingan? Namanya juga orang mencari rezeki. Mereka kan juga butuh uang, bukan cuma kita,” kata Raven menasihati.“Kamu kok jadi ngebela dia, Rav? Aku nggak masalah mereka mau usaha apa saja asal jangan sama kayak kita,” kata Aline tidak terima.“Kenapa jadi kamu yang sewot? Setiap orang berhak untuk membuka usaha apa saja.”“Aku bukannya sewot, tapi kalau ada butik baru sama artinya dengan mengurangi peluang kita.”“Tapi kita juga nggak punya hak untuk ngelarang orang membuka usaha yang sama. Sudahlah, rezeki masing-masing orang sudah ditentukan sejak dia lahir. Daripada kamu marah-marah
Raven termangu sekian lama sambil memandang nanar cincin yang diberikan Kanya langsung ke telapak tangannya.“Nggak bisa begitu, Nya. Kamu nggak bisa membatalkan pernikahan kita hanya karena Qiandra terbukti sebagai anak Davva. Kita sudah merencanakan semua ini dengan matang. Undangan sudah dicetak, gedung sudah di-booking, belum lagi yang lainnya,” tukas Raven tidak terima. Ini bukan hanya semata-mata perihal persiapan pernikahan, melainkan tentang perasaannya pada Kanya. Ia tidak rela melepas Kanya justru setelah perempuan itu berada di genggamannya.“Rav, mengertilah, aku nggak bisa,” jawab Kanya putus asa. Entah bagaimana lagi caranya menjelaskan pada Raven bahwa dirinya benar-benar tidak bisa melanjutkan hubungan mereka.“Kamu minta aku untuk mengerti kamu, tapi apa kamu mengerti aku? Alasan kamu nggak jelas. Kenapa baru sekarang kamu bilang nggak bisa menikah denganku? Kenapa bukan dari sebelum-sebelumnya? Kenapa setelah kedatangan Davva? Semua ini terlalu lucu untuk disebut hany
Waktu saat ini menunjukkan pukul satu malam waktu Indonesia bagian barat, tapi tidak sepicing pun Kanya mampu memejamkan matanya. Adegan demi adegan tadi siang terus membayang. Saat ia bertemu dengan Davva, bicara berdua dari hati ke hati, serta mengungkapkan langsung kegalauannya pada laki-laki itu. Dan Davva dengan begitu bijak menjawab saat Kanya menanyakan apa ia harus memikirkan lagi hubungannya dengan Raven.“Aku rasa aku butuh waktu untuk mengkaji ulang hubungan dengan Raven. Aku nggak mau gagal lagi seperti dulu. Menurut kamu gimana kalau misalnya aku menunda atau membatalkan pernikahan itu?”Davva terlihat kaget mendengar pertanyaan Kanya. Ia memindai raut Kanya dengan seksama demi meyakinkan jika Kanya sungguh-sungguh bertanya padanya. Dan hasilnya adalah Davva melihat keraguan yang begitu kentara di wajah Kanya.“Aku bingung, aku nggak mau gagal lagi.” Kanya mengucapkannya sekali lagi sambil menatap Davva dengan intens.“Follow your heart, Nya. Ikuti apa kata hatimu. Dan ja
Kanya tersentak ketika mendengar ketukan di depan pintu. Pasti itu Raven yang datang, pikirnya. Beberapa hari ini memang tidak bertemu dengan laki-laki itu. Bukan karena mereka ada masalah, tapi karena Kanya sedang butuh waktu untuk sendiri.Mengayunkan langkah ke depan, Kanya membuka pintu. Tubuhnya membeku seketika begitu mengetahui siapa yang saat ini berdiri tegak di hadapannya. Bukan Raven seperti yang tadi menjadi dugaannya, tapi ...“Dav ...”Davva membalas gumaman Kanya dengan membawa perempuan itu ke dalam pelukannya.“Aku baru tahu semuanya dari Raven. Aku minta maaf karena waktu itu ninggalin kamu. Aku nggak tahu kalau kamu hamil anak kita,” bisik Davva pelan penuh penyesalan.“Kamu nggak salah, Dav, aku yang salah. Aku pikir Qiandra anak Raven,” isak Kanya dalam dekapan laki-laki itu.Kenyataan bahwa Qiandra adalah darah daging Davva membuat Kanya begitu terpukul. Beberapa hari ini ia merenungi diri dan menyesali betapa bodoh dirinya yang tidak tahu mengenai hal tersebut.
Davva menegakkan duduknya lalu memfokuskan pendengarannya pada Raven yang menelepon dari benua yang berbeda dengannya.“Sorry, Rav, ini kita lagi membicarakan siapa? Baby girl apa maksudnya?” Davva ingin Raven memperjelas maksud ucapannya. Apa mungkin Raven salah orang? “Ini aku Davva. Kamu yakin yang mau ditelepon Davva aku? Atau mungkin Davva yang lain tapi salah dial?”“Aku nggak salah orang. Hanya ada satu Davva yang berhubungan dengan hidupku dan Kanya, yaitu kamu," tegas Raven.Perasaaan Davva semakin tegang mendengarnya, apalagi mendengar nada serius dari nada suara Raven.“Jadi maksudnya baby girl apa? Kenapa kasih selamat sama aku?” tanya Davva tidak mengerti. Justru seharusnya Davvalah yang menyampaikan ucapan tersebut pada Raven karena dialah yang berada di posisi itu.“Aku tahu semua ini nggak akan cukup kalau hanya disampaikan melalui telepon. Ceritanya panjang. Tapi aku harus bilang sekarang kalau Qiandra adalah anak kandung kamu, Dav. Dia bukan darah dagingku. Hasil tes
Kanya mengajak Raven keluar dari ruangan dokter. Mereka tidak mungkin berdebat apalagi sampai bertengkar di sana.“Jawab pertanyaanku, Nya, siapa bapak anak itu?” Raven kembali mendesak setelah mereka tiba di luar.Kanya menggelengkan kepala. Bukan karena tidak tahu, tapi juga akibat syok mendapati kenyataan yang tidak disangka-sangka.“Jadi kamu nggak tahu siapa bapak anak itu? Memangnya berapa banyak lelaki yang meniduri kamu, Nya?” Kanya membuat Raven hampir saja terpancing emosi.“Jangan pernah menuduhkku sembarangan, Rav! Aku bukan perempuan murahan yang akan tidur dengan laki-laki sembarangan! Aku masih punya harga diri,” bantah Kanya membela diri.“Tapi hasil tes itu nggak mungkin berbohong, Kanya!” ucap Raven gregetan. “Ini rumah sakit internasional, tenaga medis di sini juga profesional. Mereka nggak akan mungkin salah menentukan hasil tes. Jangan kamu pikir mamaku yang mengacaukan agar hasilnya berbeda. Ini kehidupan nyata, Kanya, bukan adegan sinetron!”Suara tinggi Raven m
“Kanya, aku rasa sudah saatnya kita lakukan tes DNA. Aku nggak mau menunggu lagi. Aku nggak bisa melihat kamu mengurus anak-anak kita sendiri.”Kanya menolehkan kepalanya kala mendengar ucapan Raven.Hari ini baby Qiandra berumur satu bulan. Kanya sudah sejak lama pulang dari rumah sakit. Kondisinya pasca persalinan juga sangat baik.Setelah saat itu Raven datang ke rumah sakit, Davva pergi tiba-tiba. Padahal Raven ingin mengucapkan terima kasih padanya.“Siang ini aku harus pulang ke NY, Nya.” Itu alasan Davva saat Kanya menelepon menanyakan keberadaannya.“Tapi kenapa kamu pergi nggak bilang aku dulu?”“Maaf banget ya, Nya, aku ada panggilan mendadak dan nggak sempat bilang ke kamu.”Setelah hari itu Kanya tidak pernah lagi berkomunikasi dengan Davva. Davva sibuk dengan pekerjaannya, Kanya juga sedang menikmati hari-harinya memiliki buah hati yang baru.“Kanya! Gimana?” tegur Raven meminta jawaban lantaran Kanya tidak menjawab.“Harus banget ya tes DNA itu?” Kanya masih merasa keber
Pria itu baru saja keluar dari mobil lalu menarik langkah cepat. Ia mengangguk sepintas pada seseorang saat berpapasan. Entah siapa orang itu tidak terekam di benaknya. Ia hanya ingin segera tiba secepatnya di kamar lalu beristirahat sepuasnya.Smart lock kamarnya berbunyi kecil saat mendeteksi kesesuaian. Pintu kamar pun terbuka.Raven—lelaki itu langsung masuk. Begitu melihat hamparan kasur ia langsung menghambur. Hari ini begitu melelahkan. Pertemuan serta dengar pendapat dengan pemerintah daerah tadi siang berlangsung dengan alot. Pemerintah setempat memberi banyak tuntutan yang kurang masuk akal kepada para pengusaha yang sebagian besar tidak bisa mereka penuhi.Tatapan Raven berlabuh pada benda seukuran telapak tangan yang terselip di antara bantal. Ternyata Raven lupa membawa ponselnya yang ternyata berada dalam keadaan mati.Sambil berbaring Raven menyalakannya. Beberapa detik kemudian setelah mendapat sinyal, notifikasinya berdenting. Raven terkesiap ketika membaca pesan dari
Sedikit pun tidak terlintas di pikiran Kanya bahwa dirinya akan menghadapi hal menakjubkan di dalam hidupnya, yaitu melakukan persalinan sendiri tanpa bantuan tenaga medis dan terjadi di tempat yang sama sekali tidak disangka-sangka.Setelah melahirkan di toilet SPBU ditemani Davva, Kanya mendapat pertolongan dan dibawa ke rumah sakit terdekat. Cerita tentang persalinan di toilet tersebut menjadi buah bibir di sekitar tempat itu, tapi untung tidak sampai viral, karena Kanya tidak ingin populer dengan cara tersebut.Setelah proses observasi, saat ini Kanya berada di ruang rawat. Kondisi Kanya masih terlihat lemah karena kehilangan banyak energi. Tapi perasaan bahagia yang begitu dalam menyelimuti hatinya melihat bayi perempuan yang dilahirkannya begitu sehat, normal, serta lengkap seluruh organ tubuhnya. Bayi mungil itu saat ini berada di dalam box yang diletakkan di samping tempat tidur Kanya.Monic begitu gembira karena pada akhirnya keinginan anak itu untuk memiliki adik perempuan m
“Kanya, maaf sekali, aku nggak bisa menemani kamu lahiran.”Kanya yang saat itu sedang menyesap juice apel refleks memandang ke arah Raven kala mendengar ucapan laki-laki itu. Bagaimana tidak, mereka sudah merencanakannya jauh-jauh hari. Bahkan Raven sudah mem-booking rumah sakit terbaik untuk proses persalinan Kanya. Lalu dengan seenaknya sekarang Raven mengatakan tidak bisa.Raven mengangkat tangan sebagai isyarat bahwa ia akan menjelaskan alasannya pada Kanya sebelum perempuan itu mengajukan aksi protes.“Aku baru mendapat telepon dari asistenku di daerah. Dia bilang ada undangan untuk pertemuan dari pemerintah daerah setempat, dan itu nggak bisa diwakilkan. Bukan hanya aku tapi semua pengusaha sawit yang berada di sana,” jelas Raven menyampaikan alasannya.Kanya memahami argumen Raven. Dalam hal ini ia tidak boleh egois dengan memikirkan dirinya sendiri. Ia juga harus mendukung karir Raven.“Nggak apa-apa, Rav, pergilah,” jawab Kanya merelakan.Raven memindai wajah Kanya, mencoba