Jawaban yang baru saja terlontar dari bibir Aline tidak hanya mengejutkan Kanya tapi juga membuat perempuan itu ingin pingsan.
“Mak— maksudnya apa? Tolong katakan pada saya dengan jelas,” pinta Kanya dengan bibir gemetar. Begitu pun dengan anggota tubuhnya yang lain.
“Apa masih kurang jelas juga? Saya adalah istri pertama Raven dan kamu istri keduanya.” Sekali lagi senyum merekah sempurna dari bibir perempuan cantik di hadapan Kanya.
Kanya sontak membisu. Ia menatap nanar pada perempuan di hadapannya. Fakta mengejutkan ini membuatnya syok. Tadinya Kanya sudah mencoba menerima pernikahan ini dengan ikhlas dan berharap akan bahagia. Namun, ketika mendengar langsung pengakuan Aline, ia merasa sakit. Kanya tidak rela jadi istri kedua. Ia tidak bisa menerima. Hal itu sangat bertentangan dengan prinsip hidupnya.
“Kenapa, Kanya? Kamu kenapa terkejut?” ucap Aline ringan melihat wajah pucat Kanya, lalu menyambung perkataannya. “Justru saat ini saya berterimakasih padamu, karena kamu bersedia untuk melahirkan anak untuk kami. Sungguh, kami sudah menantikan perempuan yang bersedia dan cocok untuk mengambil peran ini. Kamu tidak usah khawatir ya, anggap saja saya kakakmu. Jangan sungkan-sungkan. Saya akan memastikan bahwa kamu selalu sehat dan anak yang akan kamu kandung nanti lahir dengan selamat. Duh, Kanya, saya sudah tidak sabar untuk menggendong bayi.” Senyum merekah sempurna di bibir Aline, senyum sinis yang tidak Kanya sadari. Kanya juga tidak tahu bahwa saat ini Aline sedang mencoba menekannya dengan mengatakan bahwa mereka hanya butuh rahimnya.
Sementara Kanya diam membatu di depan Aline mencerna semua kata-kata perempuan itu. Ia mengerti sekarang apa maksudnya. Tenyata ia dinikahi hanya karena rahimnya. Mata Kanya menghangat. Ia ingin menangis. Perasaannya tidak pernah sesakit ini.
“Kanya, sekali lagi saya ucapkan terima kasih. Jaga kesehatanmu ya, jangan mikir yang berat-berat agar kamu bisa segera hamil.” Aline merengkuh Kanya dan memeluknya dengan erat lalu tersenyum miring dan mengutuki Kanya di dalam hati.
Kanya diam saja di dalam pelukan perempuan itu. Kanya sangat marah pada Raven. Ia kecewa atas ketidakjujuran lelaki itu sejak awal. Kenapa Raven tidak mengatakan bahwa pria itu sudah memiliki istri dan menikahi Kanya hanya demi keturunan?
Keduanya masih berpelukan ketika Raven muncul dan berdiri di sisi pintu. Raven tertegun kala menyaksikan dengan matanya sendiri keakuran kedua istrinya. Ia merasa lega mengetahui Aline bisa menerima Kanya dengan baik.
“Aline, katanya tadi mau nambah sup. Mana?”
Pelukan Aline dan Kanya terurai ketika mendengar suara Raven. Keduanya sama-sama memandang ke sumber suara.
“Astaga! Sampai lupa. Tadi aku udah ambilin tapi nggak sengaja Kanya menumpahkannya ke lantai, jadi supnya udah nggak ada. Maaf ya, Rav, aku janji besok-besok akan bikinin lagi yang banyak buat kamu.”
Raven menatap sekilas ke arah Kanya. Perempuan itu memalingkan muka darinya.
“Nggak apa-apa, Lin, aku juga udah kenyang,” ucap Raven. Ia kemudian berpamitan dan membawa Kanya pulang.
Selama dalam perjalanan kembali ke rumah Kanya mengunci mulut. Kanya menahan semua rasa sedih, kecewa serta amarah di dalam hati. Ia menunggu hingga tiba di rumah lalu menumpahkan perasaannya.
“Kenapa kamu membohongi saya?” tuntut Kanya ketika mereka masuk ke dalam kamar.
Raven menyipit memandang Kanya. Ia ingin tahu apa lagi yang dipermasalahkan perempuan itu.
“Kenapa kamu tidak bilang kalau ternyata kamu sudah menikah dan kamu menikahi saya hanya karena menginginkan anak? Kamu pikir saya mesin pencetak anak?” oceh Kanya menggebu-gebu mengungkapkan perasaan serta kekecewaannya.
Raven hanya menatap datar pada Kanya. Lelaki itu tampak tenang seperti sebelumnya.
“Kamu pembohong. Pertama, kamu sudah membeli saya. Kedua, kamu ternyata sudah menikah dan ketiga kamu hanya memanfaatkan saya. Orang seperti apa kamu? Saya pikir kamu laki-laki yang baik.” Kanya terisak dan menangis sesenggukan.
“Saya tidak membohongi kamu. Orangtuamulah yang berbohong. Saya sudah mengatakan pada mereka apa tujuan saya menikahi kamu dan kondisi saya sebenarnya. Mereka setuju.”
“Saya tidak percaya!” sanggah Kanya. Ia yakin Ravenlah yang berbohong. Mana mungkin orangtuanya tega melakukan hal senista itu padanya.
“Baik, kalau kamu tidak percaya saya akan tunjukkan buktinya.” Raven bergerak ke arah lemari ingin mengambil sesuatu yang akan ditunjukkannya pada Kanya.
Kanya tidak peduli. Ia sangat membenci Raven yang sudah menipunya mentah-mentah. Ia kemudian mengemasi barang-barangnya dan berniat pergi dari sana.
“Kamu mau ke mana, Kanya?” Raven berseru memanggil ketika Kanya keluar dari kamar sambil membawa tas.
Kanya tidak menggubris panggilan Raven. Ia melangkah cepat. Ia akan meninggalkan rumah itu dan kembali pada orang tuanya. Kanya tidak mau menjadi istri kedua yang dinikahi hanya untuk melahirkan anak.
Akan tetapi semua tidaklah semudah seperti yang Kanya pikir. Tidak gampang keluar dari rumah itu. Satu-satunya pintu pagar tempat akses keluar masuk terkunci dengan rapat.
Kanya tertegun. Ia tidak mungkin memanjat pagar tinggi itu. Ingatan lantas menyadarkannya bahwa saat ini ia tidak memegang uang sepeser pun. Dan itu artinya ia tidak akan bisa ke mana-mana.
“Kanya, sebelum kamu pergi kamu harus baca ini dulu.”
Sebuah suara mengagetkan Kanya. Ketika ia menoleh Kanya mendapati Raven sudah berdiri di belakangnya. Pria itu memegang bundelan kertas di tangannya.
“Apa ini?” Dahi Kanya berkerut.
“Ini dokumen perjanjian antara saya dan orang tua kamu.”
Kanya menerima dokumen itu dan membacanya di dalam hati. Disitu tertera sejumlah kesepakatan antara Raven dengan orang tua Kanya. Bahwa Raven membeli Kanya dari mereka. Di surat tersebut juga dijelaskan bahwa Raven sudah menikah dan Kanya akan menjadi istri kedua yang akan menghasilkan keturunan untuk Raven sebanyak yang ia inginkan. Orangtua Kanya pun menyetujui dengan imbalan pelunasan hutang dan sejumlah uang.
Kanya terkulai lemas. Segenap tubuhnya lunglai. Perlahan air matanya jatuh. Ia tidak bisa menutupi rasa sedih dan kecewanya. Kanya tidak menyangka jika dalam hal ini orangtuanyalah yang bersalah dan sudah menipu, bukan Raven. Laki-laki yang sudah menjadi suaminya sama sekali tidak bersalah.
“Bagaimana, Kanya? Sudah mengerti? Masih ingin pergi?” Raven memandangi wajah basah Kanya yang penuh air mata.
Kanya tidak mampu menjawab. Ia hanya mampu memandangi Raven dari balik tatapannya yang berkabut oleh air mata. Karena orangtuanya sudah melepaskannya, itu artinya Kanya tidak punya pilihan lain kecuali hidup dengan Raven, selamanya.
***
Terbangun pagi itu, Kanya mendapati dirinya di atas ranjang besar dan empuk. Tapi ia hanya sendiri. Tidak ada Raven di sana. Padahal seingat Kanya lelaki itu berbaring di sebelahnya. Hingga sebelum mata Kanya terpejam ia masih melihat Raven. Tapi pagi ini hanya permukaan kasur yang kosong dan dingin yang didapatinya.Kanya lantas bangkit dari tidurnya. Ia menyandarkan punggung ke headboard untuk sesaat sembari pikirannya mengira apa yang harus dilakukannya hari ini.Menyadari bahwa ia harus mengerjakan sesuatu, Kanya kemudian turun dari ranjang. Keluar dari kamar setelah mandi, Kanya mencoba mencari Raven. Namun sosok lelaki itu tidak ada di bagian mana pun di rumah itu.Langkah Kanya berakhir di ruang belakang.Ia tertegun saat melihat seorang perempuan sedang berkutat di dapur. Kanya lalu berdeham hingga perempuan yang sedang membelakanginya itu membalikkan badan menghadap Kanya. Lalu perempuan itu tersenyum dan menyapanya.“Selamat pagi. Ibu Kanya sudah bangun?”Kanya mengangguk pe
Kanya menyimpan tanda tanya besar di kepalanya karena saat ini tiga teman Aline sedang memindainya dari puncak kepala hingga ujung kaki dengan tatapan menilai.“Cantik banget pembantu lo, Lin, hati-hati, ntar Raven bisa kepincut.” Salah satu dari teman Aline berbicara dengan berbisik tapi suaranya terdengar oleh Kanya. Hanya saja Kanya tidak tahu apa yang mereka bisikkan.Aline tertawa pelan. “Serius lo mau ngebandingin gue sama tuh babu? Lo nggak lagi ngelindur kan? Ya cantikan gue ke mana-mana lah.”Lalu keempatnya tertawa bersama. Sedangkan Kanya berdiri beberapa langkah di sebelah Aline dengan kikuk. Cukup lama ia menjadi kambing congek sedangkan Aline sibuk dengan teman-temannya. Kanya merasa tidak enak hati karena sesekali Aline dan teman-temannya melirik ke arahnya sambil berbisik-bisik dan tertawa. Apa ada yang aneh denganku? Apa bajuku terbalik? Kanya meneliti diri sendiri dan mendapati tidak ada yang menggelikan. Tapi kenapa mereka terus tertawa?Apa mereka sedang membicara
Selama dalam perjalanan pulang ke rumah Raven tidak bersuara. Begitu pun dengan Kanya yang duduk di sebelahnya. Selain tidak tahu harus membicarakan apa, pikiran Kanya juga tertuju pada seseorang, yaitu Aline. Dari yang tadi terakhir Kanya lihat setelah ia berada di mobil, Aline memandang tajam ke arahnya. Mungkin Aline pikir Kanya tidak bisa merasakannya karena sudah berada di mobil. Kanya takut mengartikan tatapan yang tampak seperti tidak menyukainya. Tapi, apa mungkin Aline begitu? Jika dilihat beberapa hari ini sikapnya begitu baik pada Kanya. Lamunan Kanya buyar begitu saja begitu mobil yang mereka tumpangi berhenti. Ternyata mereka sudah tiba di rumah.Kanya tertegun melihat Raven yang lebih duluan turun dari mobil ternyata menunggunya untuk berjalan bersama. Pria itu menggandeng tangan Kanya lantas membawanya masuk.Kepedulian pria itu dan perhatian-perhatian kecilnya membuat hati Kanya menghangat.Raven baru melepaskan Kanya dari kaitan tangannya ketika membuka pintu kamar
Dua minggu sudah berlalu sejak pernikahan Kanya dan Raven. Sedikit demi sedikit Kanya mulai beradaptasi dengan kehidupannya yang baru.Raven mengizinkan Kanya melakukan aktivitas kecil-kecilan seperti memasak dan merawat tanaman hias di depan rumah. Raven juga lebih banyak menghabiskan waktu di rumah Kanya daripada di tempat istri pertamanya.Siang itu Kanya sedang menyiapkan masakan untuk makan siang Raven. Ia hanya punya waktu satu jam lagi sebelum suaminya itu pulang. Tadi pagi Raven mengatakan akan makan siang di rumah dan me-request salah satu makanan kesukaannya yang lain, yaitu iga bakar. Raven memang menyukai olahan daging.Setelah berkutat di dapur sendiri Kanya selesai memasak. Ia memandangi iga bakar hasil kreasinya dengan puas. Raven tidak pernah tidak memuji hasil masakannya. Dan sejujurnya hal itu membuat hati Kanya bahagia luar biasa.Kanya terkejut ketika merasakan dekapan di tubuhnya. Ia hampir saja berteriak. Namun niat itu urung terjadi karena sebuah bisikan lembut
“Rav, kamu dengar aku kan? Kamu masih di sana?” Aline menegur Raven lantaran tidak menjawab pertanyaannya.“Iya, bisa,” jawab Raven memutuskan. Walau hatinya berat tapi Raven menyadari bahwa ia harus mampu bersikap adil pada kedua wanitanya.“Beneran ya, Rav, jangan sampai telat.”“Iya, Lin, beneran.”“Aku tunggu ya, Rav.” Aline menekankan nada ucapannya yang berarti ia sangat menantikan kehadiran Raven.“Iyaaaa …” Raven ikut menekan nada suaranya, sedikit gemas pada Aline yang seakan tidak memercayainya.“Love you, Rav.”Raven tertegun dengan ponsel yang masih menempel di telinganya. Sudah cukup lama ia dan Aline tidak saling mengucapkan kata cinta. Dan sekarang tiba-tiba saja kalimat sakti itu meluncur dari bibir Aline.“Rav, kamu masih di sana?” Untuk kedua kalinya Aline bertanya untuk hal yang berbeda.“Iya, aku di sini.”“Kok nggak ngejawab aku?”Raven berdeham. Ia hanya perlu menjawab ucapan Aline. Namun kenapa terasa begitu berat?“Love you too.” Entah mengapa lidahnya sangat k
Kanya memandangi layar gawainya dengan intens. Berkali-kali ia membaca balasan pesan yang dikirimkan Raven padanya. Kanya tidak menyangka akan mendapat jawaban kata-kata kasar yang membuat perasaannya menjadi sedih. Selama dua minggu pernikahan mereka lelaki itu tidak sekali pun berlaku kasar atau menunjukkan tindakan yang tidak menyenangkan padanya. Baru kali ini Raven melakukannya.Setengah mati Kanya memikirkan apa kesalahannya. Namun sampai buntu pikirannya Kanya tidak menemukannya. Bahkan tadi sebelum pergi Raven masih sempat meninggalkan kecupan lembut di keningnya. Lantas, apa kesalahannya?Rasanya Kanya ingin langsung menelepon Raven dan menanyakan apa kesalahannya. Namun, apa Raven tidak akan marah?Bermenit-menit lamanya Kanya mondar-mandir di kamar sembari mempertimbangkan apa sebaiknya menelepon Raven atau tidak. Setelah berdebat dengan batinnya Kanya memutuskan untuk menelepon Raven. Tapi panggilannya dijawab oleh suara operator. Raven mematikan ponsel. Ternyata pria itu
Hari ini tepat dua bulan Kanya dan Raven menikah. Hingga sejauh ini Kanya bahagia dengan kehidupan pernikahannya bersama lelaki itu meskipun sesekali Raven meninggalkannya untuk bersama Aline.Selama tiga puluh hari ini pula Kanya sudah banyak berubah. Sekolah kepribadian yang diikutinya membuat Kanya menjadi ‘sosok yang baru’. Kanya bertransformasi menjadi perempuan moderat karena tuntutan lingkungan di sekitarnya. Tidak ada yang menyangka bahwa dia datang dari sebuah daerah perkebunan milik Raven yang terletak jauh dari kota. Meskipun penampilannya berubah tapi tidak ikut membuat sifat dan karakter Kanya jadi berganti. Kanya tetaplah Kanya, seorang perempuan muda berumur dua puluh tahun berparas manis yang lembut dan baik hati.“Apa sudah ada tanda-tanda?”Kanya mengernyit ketika Raven bertanya padanya.“Maksudnya apa ya, Rav?” Kanya balas bertanya pada sang suami atas pertanyaan yang tidak dimengertinya.Raven mencetak senyum. Ia tahu Kanya tidak sebodoh itu. Hanya kalimatnya yang
PS: ada adegan 21. Skip saja bagi yang tidak suka.***Kanya memandang hampa pada hamparan air biru di sekelilingnya. Saat ini ia sedang duduk melamun sendiri di depan water villa yang ditempatinya bersama Raven. Iya, baru beberapa jam yang lalu mereka tiba di Maldives. Raven merealisasikan janjinya untuk mengajak Kanya berbulan madu. Harusnya saat ini Kanya merasa bahagia. Tapi yang terjadi hatinya gundah gulana. Perkataan Aline kemarin begitu meresahkan. Membuat Kanya tidak bisa berhenti memikirkannya. Jika Kanya tidak berhasil hamil dan memberi Raven anak maka pria itu akan menceraikannya dan mencampakkan Kanya. Kemudian Raven akan menikah lagi dengan perempuan lain yang jauh lebih subur dan menghasilkan. Kanya khawatir, jika Raven menceraikannya ia harus pergi ke mana? Kanya tidak lagi memiliki tempat tinggal. Kanya tidak ingin kembali pada orang tuanya. Pengalaman mengajarkan Kanya akan banyak hal. Bukan tidak mungkin kedua orang tuanya akan kembali menjual Kanya. Dan kali ini p
Raven dan Aline serentak memandang ke arah Davva. Air muka Raven berubah seketika setelah mendengar ucapan laki-laki itu. Jadi mereka ke sini untuk membeli cincin nikah? Apa mereka akan menikah?Raven yang selama ini selalu tenang tidak kuasa menyembunyikan kegelisahan yang terlukis jelas di raut gagahnya.“Wedding ring untuk siapa? Siapa yang akan menikah?” Entah bagaimana tapi pertanyaan itu terlontar dari bibir Raven.“Kami yang akan menikah, aku dan Kanya.” Masih Davva yang menjawab.Raven memindahkan arah pandangnya pada Kanya seakan ingin meminta langsung penjelasan dari mantan istrinya itu. Raven ingin Kanya berbicara. Ia berharap Kanya menidakkan dan yang tadi didengarnya tadi hanyalah lanturan Davva saja.Kanya menundukkan kepala, tidak sanggup membalas tatapan Raven yang menghujamnya begitu dalam.“Kanya, apa itu benar? Apa kamu akan menikah?” Raven mengulangi pertanyaannya yang belum sempat Kanya jawab.“Kami memang akan menikah,” jawab Davva mewakili Kanya.“Aku bicara pad
Setelah keluar dari rumah, Davva langsung mengajak Kanya pergi. Kanya diam membeku di sebelah Davva. Peristiwa yang dialaminya barusan sangat mengguncangnya. Tuduhan keluarga Davva membuatnya lebih dari terhina.“Kanya …”Kanya diam saja saat Davva menyentuh pundaknya.“Jangan dimasukin ke hati ya kata-kata Mama tadi.”Larangan Davva sangat mengusik Kanya. Bagaimana mungkin Kanya tidak memasukkan ke hati? Toh Kanya adalah manusia yang memiki perasaan. Jika yang dulu-dulu Kanya masih bisa menahannya, tapi sekarang tidak lagi. Mereka sudah kelewatan. “Aku bukan robot, Dav. Aku punya hati. Nggak mungkin aku nggak tersinggung sedangkan keluarga kamu menuduhku yang bukan-bukan,” lirih Kanya sembari menaikkan tangan mengusap matanya. Bulir-bulir air bening itu kembali meluncur.Merasa masalah ini tidak bisa dibicarakan sambil menyetir, Davva menepi lalu berhenti di tepi jalan. Davva beringsut memiringkan duduknya mengarah pada Kanya.“Aku tahu kata-kata Mama sangat keterlaluan dan membuat
Rupanya dugaan Kanya terbukti benar. Tidak salah lagi. Ia akan mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari keluarga Davva. Sejujurnya Kanya merasa sangat sedih atas hinaan yang diterimanya. Tapi Davva yang mencintainya membuat Kanya memiliki keberanian untuk maju. Jika Davva saja tidak mempermasalahkan keadaannya, kenapa ia harus ambil pusing pada perkataan orang lain?Berdeham, Kanya membuka suaranya. “Maaf, Bu, mungkin saya akan terkesan tidak sopan di mata Ibu. Tapi saya tahu diri. Saya sadar kondisi dan keadaan saya. Menurut Ibu saya tidak pantas untuk Davva. Tapi tentang uang dan harta saya sama sekali tidak menginginkannya dari Davva. Saya punya pekerjaan dan saya cukup mapan. Masalahnya, Davva yang mengejar-ngejar saya. Saya sudah tolak berulang kali, tapi Davva tidak mengerti. Davva tetap ingin saya menerima cintanya. Jadi menurut Ibu apa ini adalah kesalahan saya?” Kanya tidak tahu entah dari mana memiliki keberanian untuk bicara selugas itu. Namun ia berhasil membuat perempua
Ada yang mengatakan bahwa cinta akan datang karena terbiasa. Itu pula yang kini ditanamkan Kanya pada dirinya. Ia mencoba untuk percaya bahwa nanti setelah terbiasa bersama maka cinta akan tumbuh dengan sendirinya. Oleh sebab itulah Kanya mencoba membuka pintu hatinya yang tertutup untuk Davva. Mungkin jika bukan sekarang, cinta akan tumbuh di hatinya suatu saat nanti.“Lagi ngelamunin apa, Nya?” Suara yang baru saja didengarnya membuat Kanya menoleh ke sebelah. Lensa matanya mendapati Davva sedang menyetir di sampingnya. Saat ini Davva dan Kanya sedang berada di dalam perjalanan menuju rumah orang tua Davva.Davva mengajak Kanya ke sana. Mereka akan berbicara face to face bertiga. Davva bermaksud menyampaikan niatnya untuk menata hubungan yang lebih serius dengan Kanya.Kanya tersenyum lalu menggelengkan kepalanya pelan. “Nggak ngelamunin apa-apa.”“Yakin? Kalau nggak ngelamun kenapa dari tadi kamu hanya diam?”“Aku agak grogi,” jawab Kanya berterus terang. Mendatangi rumah orang t
“Rav, aku kepikiran deh buat jodohin Ray dan Lavanya.”Celetukan yang berasal dari mulut Aline itu sontak membuat Raven mengangkat mukanya lalu memindahkan pandangannya pada istrinya itu. “Jodohin apa maksud kamu?” Alis Raven bertaut..“Ya dijodohin. Mereka kan nggak ada hubungan darah apa-apa. Daripada sama orang lain mending Ray sama Lavanya. Dia kan anak kita juga. Lagian aku lihat kalau kecilnya aja udah cantik gimana gedenya.”Raven geleng-geleng kepala mendengar ide Aline. Ray belum berumur dua tahun tapi pikiran Aline sudah ke mana-mana.“Mereka masih kecil tapi kamu mikirnya udah kejauhan.”“Sekarang mereka memang masih kecil tapi anak-anak gedenya nggak berasa lho, Rav. Tau-tau udah SMU, tau-tau udah kuliah, tau-tau udah tiga puluh tahun.”Raven diam saja, tidak menanggapi ocehan Aline. Ia kembali menekuri english breakfast-nya.“Aku pikir nggak ada salahnya kita rencanakan masa depan mereka sejak sekarang. Kita jodohin mereka dari kecil jadi dewasanya nggak akan ke mana-man
Kanya mulai berpikir untuk mencari pekerja baru di butiknya mengingat makin ke sini Monique semakin ramai sehingga ia dan Dita juga semakin kewalahan. Belum lagi Kanya juga harus mengasuh Monic yang sedang aktif-aktifnya.Kanya juga sedang mempertimbangkan rencananya untuk pindah ke butik dan memberikan kembali apartemen yang ditempatinya selama ini pada Davva. Pelan-pelan ia akan mengembalikan segala pemberian Davva padanya. Bukan sekaligus tapi bertahap. Karena Kanya juga tidak akan mampu mengembalikan semuanya secara langsung.Dan tentang Davva sendiri sudah beberapa hari ini Kanya tidak pernah lagi bertemu dengannya. Lebih tepatnya sejak di rumah sakit. Entah karena Davva masih sibuk mengurus mamanya atau mungkin karena pelan-pelan pikirannya mulai terbuka dan menyadari bahwa hubungan mereka tidak mungkin dilanjutkan. Apapun itu Kanya mensyukurinya.Beralih pikiran dari Davva, pandangan Kanya lalu tertuju pada Monic yang sedang main sendiri. Perasaan sedih terbersit di hatinya men
“Kanya! Tunggu dulu, Nya!” Davva berseru keras memanggil Kanya yang berjalan beberapa meter di depannya sambil menggendong Monic.Semakin dipanggil Kanya melangkah semakin cepat hingga Davva terpaksa mengejarnya agar tidak ketinggalan terlalu jauh.Davva akhirnya berhasil menangkap lengan Kanya, lalu mensejajarkan langkah dengan perempuan itu.“Eh, Dav,” kata Kanya seakan tidak terjadi apa-apa. Ia terpaksa menahan kakinya demi meladeni Davva bicara dengannya.“Kamu jangan salah paham dulu, Nya, kasih aku kesempatan untuk menjelaskannya.”“Apa yang mau dijelaskan, Dav?” Kanya masih menjaga ketenangan sikap meski ada sebagian diri yang terluka.“Tentang yang kamu dengar tadi, Nya. Aku harap kamu nggak salah paham.” Sungguh, Davva tidak ingin jika Kanya jadi salah mengartikannya. Ingin marah pada Wanda tapi wanita itu adalah ibu kandung tempat dirinya berasal.“Yang mana ya, Dav?”“Tentang Shella. Dia sama sekali nggak ada hubungan apa-apa sama aku. Dia anak sahabatnya Mama.” Davva berus
“Lagi sibuk banget ya, Dav?”Kanya menatap lekat layar gawainya sampai menggelap sendiri. Ia baru saja mengirim pesan pada Davva. Sudah beberapa hari ini Davva menghilang tanpa berkabar pada Kanya. Sikap Davva tersebut tentu saja membuat Kanya cemas. Dulu Davva juga pernah hilang-hilang timbul seperti ini. Hal itu terjadi cukup lama sebelum akhirnya Davva kembali muncul ke kehidupan Kanya.Ting!Denting dari notifikasi ponselnya membuat Kanya terkesiap. Pandangannya lalu turun pada ponsel yang berada dalam genggamannya. Ada balasan pesan dari Davva yang sejak tadi dinantinya.“Sorry baru ngabarin sekarang, aku lagi di rumah sakit, Nya. Mama sakit.” Tidak ada emoji atau emoticon dalam pesan yang Davva kirim. Tapi Kanya bisa merasakan getar kekhawatiran di sana. “Mama sakit apa, Dav?” tanyanya kemudian membalas pesan tersebut.Lama Kanya menanti balasannya sampai pesan kedua dari Davva kembali masuk ke ponselnya.“Hipertensi.”“Mama dirawat di rumah sakit mana, Dav?”Davva membalasny
“Hueek … hueeek ... hueeek ..."Suara itu menggema di kamar. Kanya terhuyung. Tidak hanya merasa pusing tapi ia juga muntah sekarang. Melihat Kanya hampir saja terjatuh, Davva dengan sigap menangkap tubuh Kanya. Di saat yang sama Kanya mengeluarkan lagi muntahan dari perutnya dan mengenai baju Davva.“Sorry, Dav,” ucap Kanya tidak enak hati.“Nggak apa-apa,” jawab Davva pengertian. Ia membuka bajunya yang ternoda kemudian menuntun Kanya ke kamar mandi untuk muntah di sana.Kanya memuntahkan isi perutnya sedangkan Davva memijit tengkuknya, memperlakukan perempuan itu sebagaimana yang dilakukan orang-orang pada biasanya.Setelah tidak ada lagi yang bisa dikeluarkannya Kanya membersihkan mulut dan mukanya dengan nafas sedikit sesak.“Hamilnya nggak akan seekspres ini kan, Dav?” celetuk Kanya ketika Davva menggandengnya keluar dari kamar mandi.Tawa Davva berderai. “Iya kali, Nya, bikinnya baru tadi malam tapi paginya udah langsung jadi.”“Terus kenapa aku jadi muntah-muntah begini?”“It