“Rav, kamu dengar aku kan? Kamu masih di sana?” Aline menegur Raven lantaran tidak menjawab pertanyaannya.
“Iya, bisa,” jawab Raven memutuskan. Walau hatinya berat tapi Raven menyadari bahwa ia harus mampu bersikap adil pada kedua wanitanya. “Beneran ya, Rav, jangan sampai telat.” “Iya, Lin, beneran.” “Aku tunggu ya, Rav.” Aline menekankan nada ucapannya yang berarti ia sangat menantikan kehadiran Raven. “Iyaaaa …” Raven ikut menekan nada suaranya, sedikit gemas pada Aline yang seakan tidak memercayainya. “Love you, Rav.” Raven tertegun dengan ponsel yang masih menempel di telinganya. Sudah cukup lama ia dan Aline tidak saling mengucapkan kata cinta. Dan sekarang tiba-tiba saja kalimat sakti itu meluncur dari bibir Aline. “Rav, kamu masih di sana?” Untuk kedua kalinya Aline bertanya untuk hal yang berbeda. “Iya, aku di sini.” “Kok nggak ngejawab aku?” Raven berdeham. Ia hanya perlu menjawab ucapan Aline. Namun kenapa terasa begitu berat? “Love you too.” Entah mengapa lidahnya sangat kelu saat menjawab. Begitu selesai mengucapkannya Raven menutup telepon dan memutar tubuh. Ia sedikit kaget saat mendapati Kanya sudah berada di dekatnya. Kanya tersenyum. “Sudah selesai menelepon?” tanya perempuan itu. “Sudah. Dari Aline. Nanti saya akan menemani dia ke dokter.” “Aline sakit?” Kanya terkejut mendengarnya. Dan itu tidak dibuat-buat. Raven menganggukkan kepala tanpa menjelaskan dengan lebih detail apa penyakit istrinya. “Aline sakit apa?” “Kapan-kapan saya akan cerita. Sekarang saya balik ke kantor dulu. Nanti dari sana langsung ke rumah Aline. Dan kemungkinan besar saya nggak pulang malam ini.” Sontak Kanya membisu setelah mendengar penuturan suaminya. Jika Raven tidak pulang malam ini itu artinya Kanya akan tidur sendiri. Ia akan kesepian dan kedinginan. Kanya sudah biasa tidur dalam dekapan hangat lelaki itu. “Nggak apa-apa kan?” tanya Raven melihat Kanya diam tanpa kata. Kanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Meski sangat menginginkan Raven menghabiskan hari-hari bersamanya, tapi Kanya sepenuhnya sadar bahwa dirinya tidak boleh egois. Kanya hanyalah istri kedua. Dirinya adalah orang baru dalam kehidupan Raven. Jadi ia harus tahu diri. “Nggak apa-apa,” jawab Kanya sambil menyunggingkan senyum. Menunjukkan bahwa ia ikhlas. Raven juga tersenyum. Berterima kasih atas pengertian Kanya. Sebelum pergi lelaki itu meninggalkan kecupan lembut di kening Kanya. Sepeninggal Raven, Kanya melangkah masuk ke dalam rumah dengan tubuh lesu. Terbiasa Raven selalu bersamanya sepanjang dua minggu pernikahan mereka, sekarang saat lelaki itu pergi rasanya ada yang kosong. *** Raven tiba di rumah Aline sepuluh menit sebelum jam tiga sore. Lelaki itu menepati janjinya. Begitu turun dari mobil Raven langsung disambut oleh wajah masam ibunya. “Mama kira kamu sudah nggak ingat jalan ke rumah ini.” Raven tertawa ringan. “Mama kenapa bicara begitu?” “Masih aja nanya. Sudah berapa lama kamu nggak ke sini? Sejak kamu tinggal sama perempuan itu kamu jadi lupa sama Mama, terutama sama Aline. Apa kamu lupa kalau dia istri kamu yang sebenarnya?” “Aku nggak lupa. Tapi Aline sudah kasih izin ke aku untuk tinggal di rumah Kanya dulu.” “Itulah istri kamu. Dia sangat baik dan legowo. Padahal hatinya sedih. Tapi mana pernah menunjukkan itu semua. Sampai sekarang Mama masih nggak ikhlas kamu menikah lagi.” Marissa melipat tangan di dada lantas membuang muka ke arah lain. Tidak sudi bertemu pandang dengan sang putra. Menghela napas panjang untuk sesaat, Raven dengan sabar menjelaskan pada ibunya. “Awalnya aku juga berat untuk mengambil keputusan ini. Aku nggak mau menyakiti Aline. Tapi kita kan sudah bicarakan ini jauh-jauh hari. Kalau Mama mau marah atau menyalahkanku, terlebih dulu salahkan almarhum papa yang membuat surat wasiat aneh kayak gini. Masa mau mengambil hakku sendiri harus punya anak dulu.” Marissa mengesah lelah. Kadang ia menyesali keputusan mendiang suaminya yang terdengar konyol. Suaminya memberi warisan yang jumlahnya tidak sedikit pada putra tunggal mereka, yaitu Raven. Hanya saja ada dua syarat yang harus dipenuhi. Pertama, Raven mesti menikah. Kedua, Raven harus punya anak. Barulah warisan itu bisa dicairkan. Untuk memenuhi syarat pertama Marissa menjodohkan Raven dengan Aline yang merupakan anak sahabatnya. Semula Raven menolak karena ia tidak mencintai Aline. Tapi setelah menimbang bahwa ia butuh dana yang tidak sedikit untuk ekspansi usahanya, Raven terpaksa menerima perjodohan itu dan menikah dengan Aline. Namun ternyata Aline tidak bisa memberi keturunan karena rahimnya diangkat. Sehingga untuk memenuhi syarat yang kedua Raven harus mencari seorang ibu pengganti untuk mengandung anaknya. Terpilihlah Kanya yang ternyata tidak disukai Marissa dengan alasan tidak sederajat dengan mereka. “Sudahlah, Ma. Jangan dipermasalahkan lagi. Semua sudah terjadi. Kalau sebelumnya Aline nggak mengizinkan, aku juga nggak akan menikah. Tapi buktinya Aline kasih izin. Sekarang Mama boleh nggak suka sama Kanya, tapi kalau cucu Mama sudah lahir Mama pasti akan menyayangi dia sama seperti Aline.” Raven tersenyum menggoda Marissa yang dibalas perempuan itu dengan decak kesal. “Raven benar, Ma. Aku sama sekali nggak masalah soal itu. Aku ikhlas kok.” Entah sejak kapan mendengarkan percakapan keduanya tiba-tiba Aline menampakkan diri di tengah-tengah mereka. Ia tersenyum seakan benar-benar ikhlas sambil mengusap pelan pundak Marissa. “Mulia sekali hatimu, Lin. Mama nggak salah memilih kamu untuk Raven,” ucap Marissa penuh simpati. Senyum Aline semakin mekar. Ia memang paling pandai mengambil hati mertuanya. “Sudah kewajibanku, Ma. Aku tahu aku nggak sempurna dan aku nggak mau egois. Sekarang Mama nggak usah pikirin lagi ya.” Marissa hanya bisa tersenyum pahit. Raven kemudian ke kamar Aline untuk mandi. Ia meletakkan pakaian bekas pakai di atas tempat tidur. Saat lelaki itu di kamar mandi ponselnya berdenting. Aline yang sedang berdandan langsung melirik ke sumber suara dan mengambil ponsel Raven. Ada pesan masuk dari Kanya. “Rav, kamu sudah sampai di rumah Aline? Saya cuma mau kasih tahu, handphone kamu yang satu lagi ketinggalan dan tadi ada yang menelepon.” Aline langsung menjawab pesan itu dengan perasaan benci. “Kalau saya sedang berada di rumah istri tercinta saya Aline, kamu jangan pernah hubungi saya. Jangan mengganggu kami. Jangan lupa camkan di otak bodohmu itu!" Setelah pesan terkirim Aline langsung me-non aktifkan ponsel Raven. ***Kanya memandangi layar gawainya dengan intens. Berkali-kali ia membaca balasan pesan yang dikirimkan Raven padanya. Kanya tidak menyangka akan mendapat jawaban kata-kata kasar yang membuat perasaannya menjadi sedih. Selama dua minggu pernikahan mereka lelaki itu tidak sekali pun berlaku kasar atau menunjukkan tindakan yang tidak menyenangkan padanya. Baru kali ini Raven melakukannya.Setengah mati Kanya memikirkan apa kesalahannya. Namun sampai buntu pikirannya Kanya tidak menemukannya. Bahkan tadi sebelum pergi Raven masih sempat meninggalkan kecupan lembut di keningnya. Lantas, apa kesalahannya?Rasanya Kanya ingin langsung menelepon Raven dan menanyakan apa kesalahannya. Namun, apa Raven tidak akan marah?Bermenit-menit lamanya Kanya mondar-mandir di kamar sembari mempertimbangkan apa sebaiknya menelepon Raven atau tidak. Setelah berdebat dengan batinnya Kanya memutuskan untuk menelepon Raven. Tapi panggilannya dijawab oleh suara operator. Raven mematikan ponsel. Ternyata pria itu
Hari ini tepat dua bulan Kanya dan Raven menikah. Hingga sejauh ini Kanya bahagia dengan kehidupan pernikahannya bersama lelaki itu meskipun sesekali Raven meninggalkannya untuk bersama Aline.Selama tiga puluh hari ini pula Kanya sudah banyak berubah. Sekolah kepribadian yang diikutinya membuat Kanya menjadi ‘sosok yang baru’. Kanya bertransformasi menjadi perempuan moderat karena tuntutan lingkungan di sekitarnya. Tidak ada yang menyangka bahwa dia datang dari sebuah daerah perkebunan milik Raven yang terletak jauh dari kota. Meskipun penampilannya berubah tapi tidak ikut membuat sifat dan karakter Kanya jadi berganti. Kanya tetaplah Kanya, seorang perempuan muda berumur dua puluh tahun berparas manis yang lembut dan baik hati.“Apa sudah ada tanda-tanda?”Kanya mengernyit ketika Raven bertanya padanya.“Maksudnya apa ya, Rav?” Kanya balas bertanya pada sang suami atas pertanyaan yang tidak dimengertinya.Raven mencetak senyum. Ia tahu Kanya tidak sebodoh itu. Hanya kalimatnya yang
PS: ada adegan 21. Skip saja bagi yang tidak suka.***Kanya memandang hampa pada hamparan air biru di sekelilingnya. Saat ini ia sedang duduk melamun sendiri di depan water villa yang ditempatinya bersama Raven. Iya, baru beberapa jam yang lalu mereka tiba di Maldives. Raven merealisasikan janjinya untuk mengajak Kanya berbulan madu. Harusnya saat ini Kanya merasa bahagia. Tapi yang terjadi hatinya gundah gulana. Perkataan Aline kemarin begitu meresahkan. Membuat Kanya tidak bisa berhenti memikirkannya. Jika Kanya tidak berhasil hamil dan memberi Raven anak maka pria itu akan menceraikannya dan mencampakkan Kanya. Kemudian Raven akan menikah lagi dengan perempuan lain yang jauh lebih subur dan menghasilkan. Kanya khawatir, jika Raven menceraikannya ia harus pergi ke mana? Kanya tidak lagi memiliki tempat tinggal. Kanya tidak ingin kembali pada orang tuanya. Pengalaman mengajarkan Kanya akan banyak hal. Bukan tidak mungkin kedua orang tuanya akan kembali menjual Kanya. Dan kali ini p
Elusan Raven di punggung Kanya spontan berhenti. Jujur saja, pertanyaan yang diajukan istrinya mengagetkan Raven.Sesungguhnya Raven memesan Kanya pada bawahannya lantas membeli perempuan itu dan menikahinya semata-mata karena rahimnya. Namun kemudian Raven teringat pada pesan dokter Gatra. Dirinya atau pun Kanya jangan sampai stres agar program hamil tersebut berhasil. Jadi Raven cukup bijak untuk hal ini.“Kenapa bertanya begitu?” ucapnya kemudian.“Saya hanya bertanya. Saya takut usaha kita sia-sia dan kamu akan menceraikan saya. Saya udah nggak punya siapa-siapa.” Suara Kanya tenggelam di dada Raven.“Bagi saya tidak ada yang sia-sia. Yang penting kita sudah mencoba.” Raven menjawab sambil menghadiahkan kecupan di kepala Kanya.Namun bukan jawaban itu yang ingin Kanya dengarkan. Yang Kanya butuhkan adalah kepastian bahwa Raven tidak akan mencampakkannya jika Kanya gagal memberi keturunan. “Udah yuk, kita mandi dulu lalu makan.”Kanya terpaksa menyingkir dari pangkuan Raven setela
Raven mengusap tanda terima telepon di layar gawainya yang seketika langsung membuatnya terhubung dengan Aline. "Halo, Lin." Ia menyapa dengan gayanya yang khas. Tenang, cool, dan berwibawa."Rav, maaf aku mengganggu. Aku tahu kamu lagi happy-happy, tapi aku terpaksa menelepon." Suara Aline langsung terdengar tanpa salam pembuka.Entah mengapa Raven merasa kurang suka mendengar kata 'happy-happy' itu. Seakan Raven sengaja meninggalkan Aline dalam keadaan yang menyedihkan."Sama sekali nggak mengganggu, ada apa, Lin?""Aku cuma mau tanya obatku kamu letakkan di mana?"Raven melempar pandangannya menembus jendela jauh ke lautan lepas sembari mengingat obat yang dimaksud Aline. Tempo hari Raven memang menemani Aline berobat rutin seperti kebiasaannya selama ini."Bukannya kamu yang pegang?" ujar Raven kemudian."Memang sama aku tapi yang satunya kamu yang pegang. Masalahnya sekarang perutku sakit. Aku butuh obat itu." Aline mencerocos tanpa henti. Sesaat setelahnya barulah ia tersadar
Meskipun kaget atas kehadiran Kanya yang tidak diduganya, Raven tetap bersikap tenang seperti biasa.“Kamu sudah lama berdiri di sini?” tanyanya pada Kanya, jadi ia bisa memperkirakan sudah sebanyak apa Kanya mendengarkan percakapannya dengan Marissa tadi.Kanya menggeleng pelan. Ia baru berada di sana dan tidak bermaksud menguping.Mengetahuinya, Raven mengembuskan nafas lega. Syukurlah.“Rav, menurut saya gimana kalau kita pulang sekarang? Kasihan Aline.”“Tapi kita masih dua hari di sini. Kita belum melakukan banyak hal,” jawab Raven keberatan.“Nggak apa-apa, Rav. Walau Cuma sebentar tapi saya sangat senang. Lagi pula, kita nggak mungkin senang-senang di sini sedangkan Aline sakit di rumah. Dia butuh kamu.”Ucapan yang disampaikan Kanya membuat Raven tertegun. Betapa mulia hati istri mudanya ini. Tidak terlihat secercah pun rasa kesal di wajah jelitanya. Mungkin jika terjadi pada perempuan lain mereka akan jengkel setengah mati.“Baik.” Pada akhirnya Raven memutuskan menyudahi bul
Kanya melangkah cepat keluar dari rumah Aline. Sedangkan Raven hanya bisa memandangi istrinya itu dengan sorot tak mengerti. Apa yang terjadi pada Kanya? Kenapa istrinya begitu? Tersadar dari ketermanguan, Raven berniat mengejar Kanya. Ia tidak mungkin membiarkan perempuan muda itu pulang sendiri. “Kanya, tunggu dulu!”“Raven, kamu mau ke mana?” Marissa mencekal lengan Raven agar tidak pergi.“Aku mau mengejar Kanya, Ma, dia nggak mungkin pulang sendiri.”“Kenapa tidak? Dia itu sudah besar dan sehat wal’afiat. Badannya segar bugar. Sedangkan Aline? Kamu nggak usah kejar dia. Dia nggak akan hilang. Aline yang lebih butuh kamu.” Marissa melarang sambil tetap mencekal lengan Raven.“Ma, tolong lepaskan tanganku. Aku harus mengantar Kanya dulu, nanti aku akan ke sini lagi.”“Mama nggak percaya. Kalau kamu sudah pulang ke sana kamu lupa balik ke sini. Entah pelet apa yang dikasih perempuan itu.”“Astaga, Ma. Mama boleh nggak suka sama Kanya, tapi tolong jangan tuduh dia yang macam-macam
Kanya membuka matanya pelan-pelan. Ia memandang bingung ke sekelilingnya. Kanya tidak lagi berada di taman. Tidak ada meja dan kertas-kertas di atasnya. Ternyata saat ini ia sedang berada di kamarnya.“Kamu tadi pingsan, Kanya.” Dola memberitahu, menjawab pertanyaan yang menggantung di kepala Kanya.“Pingsan?” ulang Kanya bingung. Sesaat kemudian ia berhasil mengingat. Tadi mendadak ia merasa sakit perut. Karena tidak sanggup menahannya tiba-tiba Kanya tidak sadarkan diri. Dan di sinilah dirinya sekarang.“Kanya, mau aku panggilin dokter?” tanya Dola meminta pendapat Kanya.“Nggak usah, Dola. Saya udah nggak apa-apa. Tadi saya pingsannya berapa lama?”“Paling sekitar sepuluh menit.” Dola menjawab sambil memandang jam tangannya. “Kalau sampai lima menit lagi kamu nggak sadar aku beneran mau manggil dokter ke sini.”“Jangan, Dola, saya sudah baikan. Terima kasih banyak.” Kanya melarang dan tidak ingin bersikap berlebihan.“Kalau begitu nggak apa-apa kan kalau aku tinggal dulu?”“Nggak a
Raven dan Aline serentak memandang ke arah Davva. Air muka Raven berubah seketika setelah mendengar ucapan laki-laki itu. Jadi mereka ke sini untuk membeli cincin nikah? Apa mereka akan menikah?Raven yang selama ini selalu tenang tidak kuasa menyembunyikan kegelisahan yang terlukis jelas di raut gagahnya.“Wedding ring untuk siapa? Siapa yang akan menikah?” Entah bagaimana tapi pertanyaan itu terlontar dari bibir Raven.“Kami yang akan menikah, aku dan Kanya.” Masih Davva yang menjawab.Raven memindahkan arah pandangnya pada Kanya seakan ingin meminta langsung penjelasan dari mantan istrinya itu. Raven ingin Kanya berbicara. Ia berharap Kanya menidakkan dan yang tadi didengarnya tadi hanyalah lanturan Davva saja.Kanya menundukkan kepala, tidak sanggup membalas tatapan Raven yang menghujamnya begitu dalam.“Kanya, apa itu benar? Apa kamu akan menikah?” Raven mengulangi pertanyaannya yang belum sempat Kanya jawab.“Kami memang akan menikah,” jawab Davva mewakili Kanya.“Aku bicara pad
Setelah keluar dari rumah, Davva langsung mengajak Kanya pergi. Kanya diam membeku di sebelah Davva. Peristiwa yang dialaminya barusan sangat mengguncangnya. Tuduhan keluarga Davva membuatnya lebih dari terhina.“Kanya …”Kanya diam saja saat Davva menyentuh pundaknya.“Jangan dimasukin ke hati ya kata-kata Mama tadi.”Larangan Davva sangat mengusik Kanya. Bagaimana mungkin Kanya tidak memasukkan ke hati? Toh Kanya adalah manusia yang memiki perasaan. Jika yang dulu-dulu Kanya masih bisa menahannya, tapi sekarang tidak lagi. Mereka sudah kelewatan. “Aku bukan robot, Dav. Aku punya hati. Nggak mungkin aku nggak tersinggung sedangkan keluarga kamu menuduhku yang bukan-bukan,” lirih Kanya sembari menaikkan tangan mengusap matanya. Bulir-bulir air bening itu kembali meluncur.Merasa masalah ini tidak bisa dibicarakan sambil menyetir, Davva menepi lalu berhenti di tepi jalan. Davva beringsut memiringkan duduknya mengarah pada Kanya.“Aku tahu kata-kata Mama sangat keterlaluan dan membuat
Rupanya dugaan Kanya terbukti benar. Tidak salah lagi. Ia akan mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari keluarga Davva. Sejujurnya Kanya merasa sangat sedih atas hinaan yang diterimanya. Tapi Davva yang mencintainya membuat Kanya memiliki keberanian untuk maju. Jika Davva saja tidak mempermasalahkan keadaannya, kenapa ia harus ambil pusing pada perkataan orang lain?Berdeham, Kanya membuka suaranya. “Maaf, Bu, mungkin saya akan terkesan tidak sopan di mata Ibu. Tapi saya tahu diri. Saya sadar kondisi dan keadaan saya. Menurut Ibu saya tidak pantas untuk Davva. Tapi tentang uang dan harta saya sama sekali tidak menginginkannya dari Davva. Saya punya pekerjaan dan saya cukup mapan. Masalahnya, Davva yang mengejar-ngejar saya. Saya sudah tolak berulang kali, tapi Davva tidak mengerti. Davva tetap ingin saya menerima cintanya. Jadi menurut Ibu apa ini adalah kesalahan saya?” Kanya tidak tahu entah dari mana memiliki keberanian untuk bicara selugas itu. Namun ia berhasil membuat perempua
Ada yang mengatakan bahwa cinta akan datang karena terbiasa. Itu pula yang kini ditanamkan Kanya pada dirinya. Ia mencoba untuk percaya bahwa nanti setelah terbiasa bersama maka cinta akan tumbuh dengan sendirinya. Oleh sebab itulah Kanya mencoba membuka pintu hatinya yang tertutup untuk Davva. Mungkin jika bukan sekarang, cinta akan tumbuh di hatinya suatu saat nanti.“Lagi ngelamunin apa, Nya?” Suara yang baru saja didengarnya membuat Kanya menoleh ke sebelah. Lensa matanya mendapati Davva sedang menyetir di sampingnya. Saat ini Davva dan Kanya sedang berada di dalam perjalanan menuju rumah orang tua Davva.Davva mengajak Kanya ke sana. Mereka akan berbicara face to face bertiga. Davva bermaksud menyampaikan niatnya untuk menata hubungan yang lebih serius dengan Kanya.Kanya tersenyum lalu menggelengkan kepalanya pelan. “Nggak ngelamunin apa-apa.”“Yakin? Kalau nggak ngelamun kenapa dari tadi kamu hanya diam?”“Aku agak grogi,” jawab Kanya berterus terang. Mendatangi rumah orang t
“Rav, aku kepikiran deh buat jodohin Ray dan Lavanya.”Celetukan yang berasal dari mulut Aline itu sontak membuat Raven mengangkat mukanya lalu memindahkan pandangannya pada istrinya itu. “Jodohin apa maksud kamu?” Alis Raven bertaut..“Ya dijodohin. Mereka kan nggak ada hubungan darah apa-apa. Daripada sama orang lain mending Ray sama Lavanya. Dia kan anak kita juga. Lagian aku lihat kalau kecilnya aja udah cantik gimana gedenya.”Raven geleng-geleng kepala mendengar ide Aline. Ray belum berumur dua tahun tapi pikiran Aline sudah ke mana-mana.“Mereka masih kecil tapi kamu mikirnya udah kejauhan.”“Sekarang mereka memang masih kecil tapi anak-anak gedenya nggak berasa lho, Rav. Tau-tau udah SMU, tau-tau udah kuliah, tau-tau udah tiga puluh tahun.”Raven diam saja, tidak menanggapi ocehan Aline. Ia kembali menekuri english breakfast-nya.“Aku pikir nggak ada salahnya kita rencanakan masa depan mereka sejak sekarang. Kita jodohin mereka dari kecil jadi dewasanya nggak akan ke mana-man
Kanya mulai berpikir untuk mencari pekerja baru di butiknya mengingat makin ke sini Monique semakin ramai sehingga ia dan Dita juga semakin kewalahan. Belum lagi Kanya juga harus mengasuh Monic yang sedang aktif-aktifnya.Kanya juga sedang mempertimbangkan rencananya untuk pindah ke butik dan memberikan kembali apartemen yang ditempatinya selama ini pada Davva. Pelan-pelan ia akan mengembalikan segala pemberian Davva padanya. Bukan sekaligus tapi bertahap. Karena Kanya juga tidak akan mampu mengembalikan semuanya secara langsung.Dan tentang Davva sendiri sudah beberapa hari ini Kanya tidak pernah lagi bertemu dengannya. Lebih tepatnya sejak di rumah sakit. Entah karena Davva masih sibuk mengurus mamanya atau mungkin karena pelan-pelan pikirannya mulai terbuka dan menyadari bahwa hubungan mereka tidak mungkin dilanjutkan. Apapun itu Kanya mensyukurinya.Beralih pikiran dari Davva, pandangan Kanya lalu tertuju pada Monic yang sedang main sendiri. Perasaan sedih terbersit di hatinya men
“Kanya! Tunggu dulu, Nya!” Davva berseru keras memanggil Kanya yang berjalan beberapa meter di depannya sambil menggendong Monic.Semakin dipanggil Kanya melangkah semakin cepat hingga Davva terpaksa mengejarnya agar tidak ketinggalan terlalu jauh.Davva akhirnya berhasil menangkap lengan Kanya, lalu mensejajarkan langkah dengan perempuan itu.“Eh, Dav,” kata Kanya seakan tidak terjadi apa-apa. Ia terpaksa menahan kakinya demi meladeni Davva bicara dengannya.“Kamu jangan salah paham dulu, Nya, kasih aku kesempatan untuk menjelaskannya.”“Apa yang mau dijelaskan, Dav?” Kanya masih menjaga ketenangan sikap meski ada sebagian diri yang terluka.“Tentang yang kamu dengar tadi, Nya. Aku harap kamu nggak salah paham.” Sungguh, Davva tidak ingin jika Kanya jadi salah mengartikannya. Ingin marah pada Wanda tapi wanita itu adalah ibu kandung tempat dirinya berasal.“Yang mana ya, Dav?”“Tentang Shella. Dia sama sekali nggak ada hubungan apa-apa sama aku. Dia anak sahabatnya Mama.” Davva berus
“Lagi sibuk banget ya, Dav?”Kanya menatap lekat layar gawainya sampai menggelap sendiri. Ia baru saja mengirim pesan pada Davva. Sudah beberapa hari ini Davva menghilang tanpa berkabar pada Kanya. Sikap Davva tersebut tentu saja membuat Kanya cemas. Dulu Davva juga pernah hilang-hilang timbul seperti ini. Hal itu terjadi cukup lama sebelum akhirnya Davva kembali muncul ke kehidupan Kanya.Ting!Denting dari notifikasi ponselnya membuat Kanya terkesiap. Pandangannya lalu turun pada ponsel yang berada dalam genggamannya. Ada balasan pesan dari Davva yang sejak tadi dinantinya.“Sorry baru ngabarin sekarang, aku lagi di rumah sakit, Nya. Mama sakit.” Tidak ada emoji atau emoticon dalam pesan yang Davva kirim. Tapi Kanya bisa merasakan getar kekhawatiran di sana. “Mama sakit apa, Dav?” tanyanya kemudian membalas pesan tersebut.Lama Kanya menanti balasannya sampai pesan kedua dari Davva kembali masuk ke ponselnya.“Hipertensi.”“Mama dirawat di rumah sakit mana, Dav?”Davva membalasny
“Hueek … hueeek ... hueeek ..."Suara itu menggema di kamar. Kanya terhuyung. Tidak hanya merasa pusing tapi ia juga muntah sekarang. Melihat Kanya hampir saja terjatuh, Davva dengan sigap menangkap tubuh Kanya. Di saat yang sama Kanya mengeluarkan lagi muntahan dari perutnya dan mengenai baju Davva.“Sorry, Dav,” ucap Kanya tidak enak hati.“Nggak apa-apa,” jawab Davva pengertian. Ia membuka bajunya yang ternoda kemudian menuntun Kanya ke kamar mandi untuk muntah di sana.Kanya memuntahkan isi perutnya sedangkan Davva memijit tengkuknya, memperlakukan perempuan itu sebagaimana yang dilakukan orang-orang pada biasanya.Setelah tidak ada lagi yang bisa dikeluarkannya Kanya membersihkan mulut dan mukanya dengan nafas sedikit sesak.“Hamilnya nggak akan seekspres ini kan, Dav?” celetuk Kanya ketika Davva menggandengnya keluar dari kamar mandi.Tawa Davva berderai. “Iya kali, Nya, bikinnya baru tadi malam tapi paginya udah langsung jadi.”“Terus kenapa aku jadi muntah-muntah begini?”“It