Raven terbangun karena suara berisik yang berasal dari ponselnya. Dengan malas lelaki itu membuka matanya yang berat bagai diberi perekat. Perlahan ia mengangkat tangannya yang dijadikan Kanya sebagai bantal. Nama ibunya tertera di layar ketika Raven berhasi menjangkau ponsel yang diletakkannya di nakas. Sesaat matanya menyipit untuk melihat penunjuk waktu saat ini. Ternyata sudah jam satu malam. Raven sedikit berdecak. Menyesal tidak mematikan ponselnya sebelum tidur tadi agar tidak seorang pun mengganggu kebersamaannya dengan Kanya.“Ada apa, Ma?” tanya Raven parau setelah menjawab panggilan tersebut.“Rav, kamu di mana?”“Di rumah Kanya, Ma.”“Mama minta kamu pulang sekarang. Aline sakit lagi, kepalanya pusing, dari tadi nggak bisa tidur.”“Tapi aku lagi di rumah Kanya, Ma. Ini udah larut, aku nggak bisa pulang sekarang.” Raven menunjukkan rasa keberatannya. Sudah dua minggu Raven menahan rindu pada Kanya. Sekalinya bisa bersama, selalu saja ada penginterupsi.“Tapi Aline sakit! K
Raven memejamkan mata sembari menikmati titik-titik air yang menetes membasahi tubuhnya. Ia baru bisa bernafas lega sekarang seakan baru saja lolos dari maut.Tadi Aline terus memaksa untuk melakukannya. Raven tidak bisa menghindar setelah mengajukan berbagai alasan. Aline malah menuding jika Raven tidak lagi mencintainya karena sudah ada Kanya. Pada akhirnya Raven mengalah demi menyenangkan hati Aline. Mereka mencoba melakukannya. Tapi belum apa-apa, Aline sudah merintih kesakitan. Akhirnya proses penyatuan dua tubuh itu pun terhenti begitu saja.Selesai mandi Raven kembali ke kamar. Sepasang matanya langsung dihadapkan pada pemandangan yang membuatnya menghela napas. Aline sedang meringkuk di ranjang sambil menangis.Raven berjalan mendekat lalu duduk di pinggir tempat tidur mereka. “Udahlah, Lin, nggak usah sedih.” “Gimana aku nggak sedih, aku nggak ada gunanya buat kamu. Aku cacat, aku nggak sempurna. Aku nggak bisa menjadi istri yang baik. Bahkan untuk sekadar melayani kamu aku
Kanya memandangi Raven sesaat dengan sorot meminta penjelasan. Raven membalas Kanya dengan tatapan tanpa kedip. Kanya kemudian menjadi paham apa yang Raven maksudkan. Suaminya itu ingin mereka bersandiwara.“Baik, Pak,” ucap Kanya pelan kemudian melarikan diri ke belakang bersama batinnya yang perih. Meski semua ini hanya sandiwara, namun Kanya tidak akan mengingkari jika perasaannya sangat sedih saat ini.Di ruang belakang, Kanya mengambil gelas kemudian membuatkan minuman seperti yang dikehendaki Raven.“Bu Kanya sedang apa di sini?” tegur Titik melihat keberadaan Kanya di sana.“Saya mau bikin minuman untuk tamu Raven, Bi,” jawab Kanya sembari menuangkan sirup ke dalam gelas.“Kenapa Ibu Kanya yang bikin? Biar saya saja, Bu.” Titik bermaksud untuk mengambilnya dari Kanya, tapi Kanya bertahan agar dirinya yang melakukan.“Biar saya, Bi, ini sudah hampir siap. Kalau pekerjaan Bibi sudah selesai Bibi istirahat saja di kamar."Karena Kanya terus memaksa untuk melakukannya sendiri, Titi
Kanya tergeletak di pinggir jalan dengan keadaan lemah tidak berdaya. Sekujur tubuhnya terasa remuk. Persendiannya luar biasa linu, tubuhnya lemas seperti kehilangan tulang penyangga. Sementara di hadapannya pagar rumah tertutup rapat dan tentu saja telah dikunci.Hari itu Kanya memang berada sendiri di rumah. Sudah sejak tadi Rudi pergi menemani Titik belanja bulanan. Saat itulah Marissa datang. Begitu mengetahui Kanya hanya sendiri ia menjadi sangat leluasa.Sambil menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya terutama perut bagian bawah dan area genital, Kanya mencoba bangun. Sesaat perempuan yang malang itu termenung sambil memandangi pagar tinggi rumah Raven.Kanya tidak tahu harus pergi ke mana, tapi suara dalam hatinya yang paling dalam berteriak dengan keras padanya agar Kanya jangan kembali lagi ke rumah itu.Namun, ia harus ke mana?Kanya tidak mungkin ke butik atau minta tolong pada Dola. Itu sama halnya dengan menyerahkan diri pada Raven.Kanya merogoh saku celana coklat sepaha y
Kanya mulai mencoba membiasakan diri dengan penampilan barunya. Meski sangat jelas seluruh jenis kain yang melekat di tubuhnya membuat perempuan itu jadi tidak nyaman. Lisa yang sedang menyetir tersenyum geli saat melirik ke sebelah dan melihat Kanya menutupi pahanya yang terbuka dengan telapak tangan. Mau ditutupi bagaimanapun tetap saja bagian itu terekspos dengan jelas.“Santai aja, Kanya, di sini nggak ada siapa-siapa. Cuma saya yang bisa ngeliat kamu,” ucap Lisa menenangkan Kanya agar bersikap biasa saja.Kanya menggigit bibirnya. Sekarang memang hanya Lisa yang bisa menyaksikannya. Tapi nanti setelah tiba di tempat yang dituju ia akan menjadi santapan berpasang-pasang mata.Selagi Lisa menyetir, Kanya yang duduk di sebelah perempuan itu tak kuasa menengkan perasaannya. Jantungnya berdetak jauh lebih kencang dari yang seharusnya. Kanya mencoba membayangkan tentang pekerjaan yang akan dijalaninya nanti. Apa ia bisa? Apa nanti ia tidak akan grogi?"Kanya, kita sudah sampai."Kanya
Kanya sama sekali tidak menyangka jika jalan hidup seperti inilah yang akan dilaluinya. Derita bertubi-tubi menghampirinya tanpa berhenti.Setelah dijual oleh orangtuanya kini ia harus menghadapi masalah lain yang tidak kalah mengguncang batinnya.Setelah ditangkap dalam sebuah operasi prostitusi Kanya dibawa untuk diamankan dan hingga saat ini masih diinterogasi. Semua semakin sulit karena Kanya tidak mengantongi kartu tanda pengenal jenis apapun.“Saya bukan PSK, Pak, saya ditipu. Saya dijanjikan bekerja di restoran tapi ternyata bukan. Saya tidak tahu kalau begini jadinya,” terang Kanya menjelaskan sesuai dengan keadaan sebenarnya. Tapi sayangnya tidak seorang pun bersedia memercayai kata-kata Kanya. Mereka sudah biasa dengan modus pembelaan diri seperti yang digunakan Kanya.“Sudahlah, Mbak, jangan mengelak lagi. Justru kalau anda terus berbohong semua jadi semakin sulit,” kata Riki, lelaki yang menginterogasi Kanya. Lelaki itu sedikit lebih lunak dari lelaki sebelumnya yang mengi
Davva membuka pintu apartemennya dan menyilakan Kanya masuk. Namun Kanya tertegun di tempat dan hanya berdiri di sana.Davva sudah berjalan beberapa langkah ketika menyadari Kanya tidak berada di sebelahnya. Lelaki itu memandang ke belakang dan melihat Kanya berdiri bagai patung.“Kanya, ayo!” panggilnya agar perempuan itu mendekat.Terbangun dari ketermanguan, Kanya menggerakkan kaki berjalan menghampiri Davva yang berada beberapa meter di depannya.Apartemen Davva sangat luas. Bahkan menurut Kanya terlalu lapang untuk dihuni sendiri. Tentang Davva yang tinggal sendiri di sana Kanya ketahui dari Wanda.“Duduk bentar ya, aku ambilin air minum dulu.” Davva mengembangkan tangan menunjuk sofa.Selagi Davva ke belakang, Kanya menanti sendiri dengan pikiran melayang ke mana-mana. Pada kejadian tadi yang hampir saja menodainya. Pada Raven yang jauh di daerah sana.Sebuah pertanyaan tumbuh di hati Kanya. Apa seharian ini Raven ada menghubunginya? Apa orang-orang di rumah tidak bertanya-tanya
Saat terbangun pagi ini Kanya sudah merasa jauh lebih baik. Semalam Davva menemaninya di kamar sampai Kanya tertidur. Davva meyakinkan jika posisi Kanya aman bersamanya. Kanya tidak perlu takut lagi. Barulah Kanya bisa memejamkan mata sampai pagi. Kanya tidak tahu entah jam berapa lelaki itu keluar dari kamarnya.Kanya kemudian turun dari tempat tidur, menghabiskan sepuluh menit di kamar mandi dan setelahnya keluar.Harumnya aroma kopi terhirup oleh hidung Kanya ketika kakinya menapak di lantai ruang tengah. Tidak ada sekat antara ruang tersebut dengan ruang belakang sehingga jenis aroma apapun akan mudah menguar dan menyebar ke bagian manapun di tempat itu.Kanya mengayun langkah pelan menuju ruang belakang. Ia tertegun saat melihat Davva sedang sibuk menyiapkan minuman yang berkemungkinan untuk mereka berdua. Cukup lama ia berdiri di sana sampai Davva menegurnya.“Udah bangun?” Davva tersenyum saat menyadari kehadiran Kanya.Kanya membalas dengan lengkungan bibirnya dan tetap berdir
Raven mendekati Kanya, menyentuh dahinya yang menjadi sasaran kenakalan sang putra. Lemparan Ray yang begitu kuat membuat dahi Kanya bengkak. Kepalanya juga pusing dan terasa berdenyut.Kejadian yang menimpa Kanya membuatnya otomatis memindahkan atensi orang-orang. Kanya dibawa ke ruangan guru untuk diobati di sana. “Biar saya saja, Bu,” kata Raven pada guru yang akan mengompres dahi Kanya. Raven mengambil alih. Dikompresnya dahi Kanya pelan-pelan.Kanya meringis, tangannya refleks mencekal pergelangan Raven.“Sakit?” tanya Raven melihat ringisan Kanya.Kanya mengangguk dengan perlahan. Kanya tidak habis pikir bagaimana mungkin anak seusia Ray bisa melakukan tindakan seperti tadi.“Maafin Ray ya, Nya. Dia nggak tahu kamu siapa. Dia memang manja, semua keinginannya harus dituruti, kalau ada yang nggak sesuai dengan hatinya dia akan ngamuk, contohnya seperti tadi. Awalnya dia nggak mau sekolah. Tapi dari pada terus berada di rumah aku pikir sebaiknya disekolahkan, apalagi teman-teman
Keluar dari kamar Wanda, Davva melangkah menuju ruang tamu guna menemui Kanya yang sedang duduk menunggu di sana. Kanya tampak sedang mengawasi Monic bermain. Anak itu tidak betah duduk di pangkuan Kanya. Sedari tadi ia sibuk berjalan ke sana kemari mengeksplor apapun yang menarik perhatiannya.“Nya, ayo ke kamar Mama.”“Kamu udah kasih tahu aku ada di sini?”“Udah, yuk.” Davva kemudian melambaikan tangan pada Monic meminta agar gadis cilik itu mendekat. “Monic! Ayo sini sama Papa, Nak!” Sejak resmi menikahi Kanya, Davva mengajarkan agar anak sambungnya memanggil Papa padanya.Monic berlari kecil menghampiri Davva yang membungkuk sambil merentangkan tangan. Begitu anak itu berada dekat dengannya, Davva langsung membawa ke gendongannya.Jantung Kanya berdegup kencang begitu Davva merangkul punggungnya menuju kamar Wanda. Kanya menyiapkan diri untuk kemungkinan paling buruk termasuk jika nanti Wanda mengusirnya.Dengan Monic berada dalam gendongannya, tangan Davva memutar gagang pintu
Setelah mereka resmi menikah Davva mengajak Kanya pindah ke rumah. Menurut Davva rumah pribadi meskipun sederhana lebih ideal untuk membangun kehidupan berkeluarga dibandingkan dengan tinggal di apartemen. Davva membeli sebuah rumah yang nyaman untuk mereka bertiga. Ia menyerahkan pada Kanya untuk pemilihan lokasi, model dan tipe rumah beserta interior dan furniture di dalamnya. Davva memperlakukan Kanya bagai ratu sesungguhnya. Bahkan kadang Kanya berpikir semua ini terlalu berlebihan untuknya. Ia merasa tidak pantas untuk semua ini walaupun Davva sudah berkali-kali meyakinkannya bahwa Kanya berhak diperlakukan dengan istimewa.Dering suara ponsel Davva membangunkan Kanya pagi itu.Kanya membuka matanya. Lalu dengan perlahan Kanya menepis tangan Davva yang melingkarinya. Lelaki itu memeluk Kanya dari belakang. Mengangkat tubuh, Kanya menjangkau ponsel suaminya yang tergeletak di nakas. Begitu benda itu berada di tangannya Kanya melihat nama Tante Lilis tertera di sana. Kanya sontak
Malam semakin tua. Keheningan mulai juga semakin meraja. Namun di kamar mewah itu Davva dan Kanya masih betah membuka mata. Mereka baru saja selesai berdansa dan makan malam bersama sekitar satu jam yang lalu.Saat ini keduanya sama-sama berbaring di atas kasur yang dipenuhi taburan kelopak mawar merah. Tiada sepatah kata pun yang terlontar dari bibir keduanya. Hanya mata keduanya yang berbahasa.Keduanya berbaring miring berhadapan dengan jari-jemarinya Davva membelai wajah Kanya.Kanya tidak menyangka jika jalan hidup akan membawa dirinya pada titik ini. Setelah ditipu dan dijual oleh orang tuanya, Kanya menikah dengan lelaki asing yang tidak dikenalnya. Lalu menghadapi cobaan yang datang bertubi-tubi hingga akhirnya dipersatukan dengan Davva yang menjadi pendamping barunya.“Dav, apa Mama tahu hari ini kita menikah?”Belaian tangan Davva di wajah Kanya melambat saat mendengar pertanyaan istrinya itu.Sehari sebelum menikah Davva mencoba menelepon Wanda tapi tidak dijawab. Davva jug
Kanya mematut diri di muka cermin memandangi sekujur tubuhnya dari atas kepala hingga bawah kaki.Kalau saja Kanya narsis ia ingin mengatakan betapa jelita dirinya saat ini dengan balutan gaun broken white yang membalut tubuhnya. Layaknya pakaian yang digunakan untuk akad, gaun itu sopan dan tertutup tapi tetap saja tidak mengurangi kecantikan Kanya yang bersumber dari dalam.Pintu ruangan tiba-tiba dibuka dari luar bersamaan dengan munculnya Dita.Gadis itu melangkah ke dalam.“Cantik banget kamu, Nya. Aura pengantinnya keluar,” puji Dita mengomentari penampilan Kanya.Hari ini akhirnya tiba. Hari di mana Davva akan mengikat Kanya dalam ikatan yang suci dan sakral serta sah secara agama maupun negara.Bibir Kanya mengembangkan senyum tipis. Ingatannya lantas terseret mundur pada momen beberapa tahun yang lalu. Saat itu ia menikah dengan Raven dengan suasana yang tidak jauh berbeda dengan saat ini. Pernikahannya dengan Raven kala itu digelar secara tertutup. Sedangkan pernikahan kedua
Kanya tarik tangannya dari genggaman Raven setelah lelaki itu mengecupnya.Kanya hampir saja goyah dengan segala bentuk cara Raven meyakinkannya. Iya. Kanya percaya jika Raven sungguh-sungguh dengan ucapannya. Tapi yang menjadi masalah adalah terbuat dari apa hati Kanya jika membatalkan pernikahannya dan Davva justru di detik-detik terakhir? Apa Kanya tega menyakiti Davva yang merupakan malaikat penyelamat dalam hidupnya.“Maaf, Rav, pernikahan aku dan Davva nggak bisa dibatalkan lagi.”“Oke. Kalau pernikahan kamu nggak bisa dibatalkan, maka perasaan aku juga nggak bisa dibatalkan. Aku mencintai kamu, Kanya. Apa begitu sulit untuk memahami perasaanku?” ujar Raven gregetan. Raven sudah putus asa. Ia tidak tahu harus menggunakan cara apa lagi untuk mengubah pendirian Kanya agar membatalkan keputusannya.“Tentang cinta mungkin aku terlalu mentah. Tapi yang kutahu cinta tidak harus saling memiliki,” jawab Kanya bijaksana menirukan ungkapan yang sering digaungkan di kalangan para pencinta
Kanya dan Raven sudah berada di mobil Raven. Raven menutup rapat-rapat pintunya setelah menyalakan mesin.Raven tidak langsung menyampaikan maksudnya. Yang dilakukannya saat ini adalah memandangi Kanya selama hitungan detik.“Rav, kamu mau bicara apa?” tuntut Kanya karena Raven bergeming dan tidak melepaskan Kanya dari tatapannya.“Aku mau kamu klarifikasi soal tadi.”Kanya mengernyit. “Yang tadi mana?”“Soal pernikahan. Kamu yakin akan menikah lagi?”Jadi hanya untuk itu Raven datang dan mengajaknya bicara berdua?“Aku nggak pernah seyakin dari sekarang, Rav.” Kanya memberi jawaban yang membuat hati Raven patah.“Aku masih nggak percaya kalau kamu mengambil keputusan secepat ini. Aku yakin ini hanya keputusan emosional kamu,” vonis Raven yang masih berharap Kanya akan mengkaji ulang keputusannya lalu membatalkan rencana pernikahannya dengan Davva.“Tahu apa kamu tentang aku?” balas Kanya. Raven bersikap seolah sangat mengenal Kanya lalu dengan mudahnya mengatakan keputusan Kanya adal
Raven dan Aline serentak memandang ke arah Davva. Air muka Raven berubah seketika setelah mendengar ucapan laki-laki itu. Jadi mereka ke sini untuk membeli cincin nikah? Apa mereka akan menikah?Raven yang selama ini selalu tenang tidak kuasa menyembunyikan kegelisahan yang terlukis jelas di raut gagahnya.“Wedding ring untuk siapa? Siapa yang akan menikah?” Entah bagaimana tapi pertanyaan itu terlontar dari bibir Raven.“Kami yang akan menikah, aku dan Kanya.” Masih Davva yang menjawab.Raven memindahkan arah pandangnya pada Kanya seakan ingin meminta langsung penjelasan dari mantan istrinya itu. Raven ingin Kanya berbicara. Ia berharap Kanya menidakkan dan yang tadi didengarnya tadi hanyalah lanturan Davva saja.Kanya menundukkan kepala, tidak sanggup membalas tatapan Raven yang menghujamnya begitu dalam.“Kanya, apa itu benar? Apa kamu akan menikah?” Raven mengulangi pertanyaannya yang belum sempat Kanya jawab.“Kami memang akan menikah,” jawab Davva mewakili Kanya.“Aku bicara pad
Setelah keluar dari rumah, Davva langsung mengajak Kanya pergi. Kanya diam membeku di sebelah Davva. Peristiwa yang dialaminya barusan sangat mengguncangnya. Tuduhan keluarga Davva membuatnya lebih dari terhina.“Kanya …”Kanya diam saja saat Davva menyentuh pundaknya.“Jangan dimasukin ke hati ya kata-kata Mama tadi.”Larangan Davva sangat mengusik Kanya. Bagaimana mungkin Kanya tidak memasukkan ke hati? Toh Kanya adalah manusia yang memiki perasaan. Jika yang dulu-dulu Kanya masih bisa menahannya, tapi sekarang tidak lagi. Mereka sudah kelewatan. “Aku bukan robot, Dav. Aku punya hati. Nggak mungkin aku nggak tersinggung sedangkan keluarga kamu menuduhku yang bukan-bukan,” lirih Kanya sembari menaikkan tangan mengusap matanya. Bulir-bulir air bening itu kembali meluncur.Merasa masalah ini tidak bisa dibicarakan sambil menyetir, Davva menepi lalu berhenti di tepi jalan. Davva beringsut memiringkan duduknya mengarah pada Kanya.“Aku tahu kata-kata Mama sangat keterlaluan dan membuat