Sudah beberapa hari ini kondisi Indah tidak stabil. Ia menjadi sering pusing dan mual. Ingin rasanya memeriksakan diri, tetapi ia masih dalam masa kurungan yang akan berakhir satu hari lagi.Bara sendiri tidak pernah pulang ke rumah, membuat Indah kesulitan untuk mengadu. Beberapa kali ia mengirim pesan, tetapi statusnya hanya dibaca tanpa dibalas. Apa Bara sudah benar-benar tidak peduli padanya? Sehingga sengaja mengabaikannya. Sungguh, Indah merasa jika usahanya sia-sia dalam meluluhkan hati Bara kembali. Pria itu tetap kukuh pada pendiriannya yang terus bersama Mawar. Sekali lagi Indah mencoba menghubungi Bara ketika kepalanya merasa pusing. Namun, panggilannya tidak dijawab. Ia pun memutuskan untuk mengirim pesan kepada suaminya. [Mas, bolehkah aku pergi sebentar? Ada yang ingin aku lakukan. Ini mendesak.] Menunggu beberapa saat dan Indah tidak mendapatkan jawaban apa pun. Indah mendesah lalu membawa langkahnya menuju jendela kamar. Ia memastikan keadaan sekitar yang nampak s
"Apa yang kalian lakukan? Kenapa istriku bisa pergi dari rumah?" Bara nampak murka ketika mendapatkan panggilan telepon dari salah satu anak buahnya yang melaporkan jika Indah pergi dari rumah. Jelas ia yang baru saja selesai rapat langsung pulang untuk memastikannya. Benar, saat ia pulang rumah sudah dalam keadaan kosong. Indah tidak ada di mana-mana, membuat Bara khawatir sekaligus naik pitam. Ia mengecek rekaman CCTV yang ada di halaman rumah dan dapat melihat jika Indah keluar dari jendela. Sungguh, ia tidak mengira jika Indah akan pergi darinya. "Argh!" Pria itu berteriak frustasi. Ia tidak ingin kehilangan Indah, tidak Indah tidak boleh pergi dari hidupnya. Indah penyelamatnya dan ia bisa mati tanpa Indah di sampingnya. "Cari dan terulusuri tempat yang mungkin Indah datangi!" perintah Bara tidak ingin dibantah. "Baik, Tuan Muda." Setelah kepergian Indah, Bara mendudukan dirinya di sofa ruang tengah. Ia menunduk dalam sambil memegang kepalanya yang tiba-tiba saja k
Bara yang terjebak macet mengumpat kesal. "Sial! Aku kehilangan jejak kamu, Indah." Segera ia mengambil ponselnya lalu menghubungi seseorang. Namun, gerakan jarinya yang buru-buru malah membuka pesan dari nomor yang tidak ia kenal. Niatnya ingin diabaikan dan kembali menghubungi anak buahnya, tetapi sebuah pesan gambar membuatnya tertarik. Pria itu melihat gambar yang dikirimkan dari nomor yang tidak dikenal. Betapa kagetnya ia ketika gambar tersebut terbuka yang menampakkan sosok istrinya tengah berbincang dengan seorang pria. Tidak terlalu jelas siapa pria itu karena pengambiln foto dari belakang. Sehingga yang terlihat jelas hanya Indah. Sontak Bara merasakan tubuhnya memanas diiringi dengan nafasnya yang tersenggal-senggal. Masih teringat jelas ketika Indah pulang malam enam hari yang lalu. Mungkinkah saat itu Indah sedang ketemuan dengan pria tersebut? Membayangkannya saja sudah membuat Bara ingin membunuh seseorang. "Argh! Indah, kenapa jadi begini?" Bara menjambak
Cukup lama mereka saling diam dengan Indah yang mengkhawatirkan Bara. Tiba-tiba pria itu menoleh lalu menatap Indah dengan jijik. "Indah, aku tidak menyangka kamu setega ini padaku." Kedua alis Indah saling bertautan dengan samar mendengar ucapan Bara barusan. "Maksud, Mas?" "Kamu jangan pura-pura polos, Indah!" sentak Bara tidak terkendali. Tautan itu semakin jelas, hingga menimbulkan garis-garis halus di sekitar kening Indah. "Maskud, Mas, apa? Aku minta maaf karena sudah keluar dari rumah diam-diam, Mas." Indah yang berpikir jika Bara marah kapadanya gara-gara ia yang pergi diam-diam pun memilih meminta maaf. Ia sadar jika yang dilakukannya salah. Hanya saja ia memiliki alasan kenapa melakukannya. "Ck! Bagaimana bisa aku memaafkan istri yang diam-diam bertemu dengan pria lain, Indah?" Perempuan itu tersentak mendengar tuduhan dari Bara. "Tadi aku--' "Apa kamu sedang balas dendam karena aku kembali kepada Mawar, Indah?" Belum sempat Indah menjelaskan, Bara sudah le
Bara menatap Indah yang terlihat nampak pucat dengan tatapan yang tidak dapat Indah artikan. Indah merasa lelah malam ini, sehingga tidak ingin lagi berdebat dengan Bara. Untuk masalah kesalahpahaman yang terjadi, Indah sudah menjelaskan. Seberapa keras Indah berusaha, jika Bara tidak percaya padanya. Maka semuanya hanya akan sia-sia saja. "Aku sudah menjelaskan semuanya, kamu mau percaya atau tidak itu urusan kamu. Tapi aku harap kamu mau mempercayaiku meski itu sulit." "Apa maksudmu, Indah?" "Aku lelah, Mas, aku mau istirahat." Setelah mengatakan itu Indah langsung berbalik. Ia percaya jika Bara masih memiliki hati nurani, pria itu akan sedikit saja mempercayainya. Namun, jika Bara tetap menuduhnya yang tidak-tidak, mungkin memang tidak ada kesempatan untuknya meluluhkan hati Bara. Indah ingin berjuang, tetapi Bara selalu mendorongnya. Awalnya ia berharap dengan kehadiran calon buah hati mereka, maka Bara akan luluh. Namun, belum sempat mengatakannya Bara sudah lebih menud
Meski kesal, tetapi Indah tetap menyiapkan sarapan untuk Bara. Hanya roti panggang dan selesai kacang karena stok makanan di lemari pendingin sudah habis. Indah belum sempat belanja karena dalam masa kurungan. Roti panggang Indah simpan di atas meja bar. Setelahnya ia duduk di depannya dan mulai menikmati sarapan tanpa mengajak Bara. Perutnya sudah sangat lapar dan tidak sabar untuk segera diisi. Melihat Indah yang tak acuh dan makan roti sendiri membuat Bara yang masih berdiri sambil memegang gelas pun disimpan secara kasar. Sehingga apa yang ia lakukan menimbulkan suara. Bara ingin menarik perhatian Indah. Namun, Indah hanya menoleh sekilas lalu kembali melanjutkan makannya. Sontak Bara mendesah gusar. Ia mengusap wajahnya yang belum dicuci dengan kasar. "Indah, apa kamu enggak akan mengajakku untuk sarapan bersama?" Pada akhirnya Bara yang tidak tahan pun bertanya. Indah menoleh sebentar lalu berkata, "Aku pikir Mas enggak akan mau makan buatanku seperti sebelum-sebelum
"Hemm, aku memindahkanmu pada bagian lain." Jawaban Bara membuat Indah tersenyum miris. "Kenapa?" tanyanya menuntut penjelasan lebih. "Kamu libur selama satu minggu, aku enggak bisa biarkan posisi sekretaris kosong." "Bukan keinginan aku buat libur, Mas, kamu yang menghukumku." Indah masih tidak terima dengan alasan Bara. Bara bungkam, tidak mengatakan sepatah kata pun untuk menyangkal atau membenarkan. Melihat itu Indah hanya mampu mendesah pelan. "Sepertinya dengan perlahan bukan posisi perkerjaan yang digantikan oleh Mawar, tapi posisiku sebagai istrimu, Mas." Sontak mata tajam Bara melebar mendengar ucapan Indah. Ia tidak pernah berpikir ke arah sana. Namun, Indah begitu mudah mengatakannya. "Apa yang kamu katakan, Indah?" tanya Bara menahan geram. "Aku hanya mengatakan kemungkinan ke depannya agar bisa bersiap dan enggak kaget seperti sekarang." "Omong kosong!" umpat Bara. "Kalau begitu sekarang aku bekerja di bagian mana? Biar aku bereskan semua barangku."
Sinta menghampiri Indah yang sedang duduk termangu di meja kerjanya. Perempuan itu masih bingung harus melakukan apa karena tidak tahu tugasnya dalam pekerjaannya kali ini. Sehingga memilih menunggu intruksi. "Indah." Panggilan dari Sinta membuat Indah tersadar dari lamunan. Perempuan itu menegakkan tubuhnya lalu mendongak--menatap Sinta dengan tatapan bertanya. "Iya, Bu?" Wanita paruh baya itu menyerahkan beberapa berkas di kepada Indah. Segera Indah menerimanya. "Karena ini pengalaman pertama kamu bekerja di bagian ini, jadi pelajari ini semua lebih dulu. Kalau ada yang tidak dimengerti bisa tanyakan kepada teman-teman kamu." "Baik, Bu." "Kalau begitu saja permisi." "Iya, Bu." Setelah kepergian Sinta, Indah mulai membuka salah satu berkas dan mulai mempelajarinya. Karena ini pengalaman pertamanya, Indah sedikit kesulitan. Namun, karena mempelajarinya dengan tekun dan serius membuatnya mulai paham apa perkerjaannya tanpa harus menanyakan kepada temab-teman barunya. Lagi pula