"Kamu pulanglah bersama Pak Jajang," ujar Bara ketika pria itu menghampiri yang sedang siap-siap untuk pulang. Satu alis Indah terangkat begitu mendengar ucapan Bara. Ia menatap Bara dengan heran karena tidak biasanya ia disuruh pulang sendiri bersama Pak Jajang--sopir baru. Apa ini ada hubungannya dengan pertengkaran tadi? "Kenapa aku hanya pulang bersama Pak Jajang, Mas sendiri apa tidak akan pulang?""Aku ada urusan sebentar, Indah." "Urusan apa? Aku rasa pekerjaan kamu sudah selesai, Mas." Belum sempat Bara menjawab, Indah sudah lebih dulu bicara. "Sepertinya ini urusan soal Mawar." "Indah--" "Aku mengerti, Mas, semoga harimu menyenangkan." Indah berkata dengan perasaan getir. Semakin terang-terangan saja Bara dalam berhubungan bersama Mawar. Bara mendesah pelan melihat kekecewaan di wajah Indah. Sementara Indah malah meraih tangan kanan Bara lalu mencium punggung tangan tersebut. "Aku pulang duluan, assalamu'alaikum." Tanpa menunggu balasan dari Bara, Indah beranjak den
Seperti biasa, meski kemarin Indah dikecawakan oleh Bara, tetapi Indah tetap menyiapkan sarapan. Bersamaan dengan Indah yang selesai masak, Bara turun sudah memakai kemeja yang Indah siapkan. Tidak ada senyum meski Indah menyambutnya dengan senyuman. Jelas saja Indah merasa kecewa dengan sikap Bara. Karena tidak mau larut, Indah segera mengambilkan makan lalu menyerahkannya kepada Bara. Setelahnya baru ia duduk di mejanya dan mengambil makan untuk diri sendiri. "Emm ... Mas, tadi malam pulang jam berapa?" tanya Indah mengawali percakapan agar suasana pagi lebih hidup. Lebih dari itu Indah memang penasaran karena ia yang kelelahan tidak sadar ketika Bara pulang. Ada perasaan bersalah karena biasanya ia akan menunggu dan menyambut kepulangan Bara jika terlambat. Sehingga ia ingin mengkomfirmasinya. Bara yang sedang mengunyah memelankan kunyahannya. Setelah merasa sedikit lembut ia menelannya agak kasar. Pria itu diam menatap Indah sejenak dengan tatapan yang tidak dapat Indah menger
"Jadi kamu mengakui kedekatanmu dengan Zulfi, Indah?" tanya Bara dengan sorot tajam.Indah terdiam sejenak. Sebelumnya ia tidak pernah melihat Bara semarah ini. "Aku enggak ada kedekatan khusus dengan Pak Zulfi." "Lalu yang tadi aku liat itu apa?" Sepertinya Bara tidak puas dengan jawaban yang Indah berikan. "Pak Zulfi hanya menyapa dan menanyakan kamu, tidak lebih." Perempuan itu mencoba mengontrol dirinya agar terlihat biasa saja. Pertanyaan Bara menandakan jika pria itu tidak percaya padanya. Tentu saja Indah merasa sakit hati karena ia tidak seperti apa yang dituduhkan Bara"Benarkah?" "Apa aku terlihat sedang berbohong, Mas?" Indah yang kesal memilih melampar pertanyaan. Bara menatap manik Indah yang memancarkan kejujuran. Iya, Bara tidak melihat adanya kebohongan di sana. Sehingga dengan alami kemarahannya berangsur turun. "Aku tidak mengerti kenapa kamu selalu menuduhku yang tidak-tidak, Mas. Dari awal sampai saat ini aku masih sama, masih menjadi Indah yang dulu. Aku sud
Bara menghempaskan tubuh Indah begitu masuk ke ruangannya. Indah yang tidak dapat menahan tubuhnya yang limbung pun jatuh di atas sofa. Beruntung sofanya empuk, sehingga Indah tidak terlalu merasa sakit selain lengannya yang terasa kebas karena tadi Bara mencekalnya begitu kuat Indah berniat bangkit, tetapi tidak Bara izinkan. Pria itu langsung mengukung tubuh Indah. Sehingga ia tidak bisa bergerak sama sekali."Mas, mau apa?" "Mau apa?" Bukan jawaban yang Indah dengar, tetapi pertanyaan dari Bara. Perempuan itu sendiri bingung harus mengatakan apa. Terlebih ia sangat gugup melihat raut wajah Bara yang nampak keras dengan sorot mata yang begitu tajam. "Indah, apa senang disentuh Zulfi seperti barusan?" tanya Bara pelan, tetapi terdengar penuh penekanan. "Apa maksudmu, Mas?" tanya Indah tidak mengerti dengan pertanyaan Bara. Mendengarnya membuat Bara menyunggingkan senyum masam. "Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kalau bahu kamu disentuh oleh Zulfi." Sekarang Indah men
"Indah, apa hubungan kamu dengan Pak Bara lagi enggak baik-baik aja?" tanya Rosi. Indah dan Rosi sedang makan siang di salah satu kedai yang tidak jauh dari kantor. Rosi yang mengajaknya karena merasa tidak tega melihat Indah yang selalu menjadi pusat perhatian juga cibiran. Terlebih setelah Bara dengan terang-terangan kembali bersama Mawar. Tidak tahu harus mengatakan apa, Indah hanya tersenyum masam lalu kembali menyeruput sop buntutnya. Melihat itu, Rosi bisa menebak jika memang hubungan Indah dengan Bara sedang diguncang oleh badai. "Kamu yang sabar, Indah, aku harap apa pun masalahnya ... kamu bisa melewatinya dengan baik. Sungguh, Indah merasa beruntung karena memiliki Rosi sebagai teman. Ia merasa tersentuh dengan ucapan Rosi barusan. "Aku harap begitu, Rosi." "Iya, Indah. Jangan khawatir, kamu cantik dan akan mudah mendapatkan pengganti Pak Bara." "Kamu ini bicara apa?" "Aku hanya kesal saja, dulu memang Pak Bara arogan. Tapi setelah kecelakaan itu ... dia berubah jadi
Indah mengikuti Roki dan Bara dari belakang. Melihat itu, Roki menghentikan langkah membuat Bara ikut berhenti. "Indah, kenapa harus di belakang? Kamu bisa berjalan di samping Bara." Bara paham maksud dari ucapan papanya. Sehingga tanpa mengunggu lama, ia langsung menggandeng tangan Indah. Sontak Indah kaget, tetapi tidak berani protes karena ada papa mertuanya. Roki kembali melanjutkan langkahnya setelah melihat Bara menggandeng tangan Indah. Diam-diam tangannya terkepal saat mengingat kejadian tadi di lobi. Bagaimana bisa Bara menggandeng tangan Mawar dengan mesra di depan umum, sedangkan saat bersama Indah pria itu nampak tak acuh. Tiba di ruangan Bara, Roki langsung menatap Bara dengan tajam. "Pak, ada apa? Tumben ke sini." Plak! Sebuah tamparan dari Roki menjadi jawaban atas pertanyaan Bara. Indah yang baru saja menutup pintu nampak terkejut melihat hal barusan. Namun, ia tidak berani mengatakan apa pun. Sehingga yang bisa Indah lakukan hanya diam dengan menatap suaminya
Dengan langkah gontai Indah keluar dari ruangan Bara. Ia duduk di meja kerjanya. Kemudian merenungi ucapan Bara tadi. Bibir Indah menyungging masam. Bagiamana bisa Bara begitu egois? Pria itu menginginkan Mawar tanpa mau melepaskannya dengan alasan ia istri dan penyelamat hidupnya.Semua berawal dari Indah yang menolong Bara dengan tulus dari maut. Andai ia tidak menolong Bara saat itu, mungkin semua akan berbeda. Indah tidak perlu bergelung dengan rasa yang menyakitankan ini. Namun, pasti Indah akan menyesal seumur hidup andai Bara tidak tertolong. Sehingga ia merasa semua pilihan sama-sama membuatnya terjerat dengan Bara. "Apa aku harus diam terus seperti ini?" gumamnya lirih. Indah merasa tidak sanggup jika terus berdiam saja. Hatinya buka batu yang tidak memiliki perasaan. Ia membutuhkan waktu untuk menenangkan diri. Sementara di ruangan, Bara nampak sedang memandang layar komputer. Namun, bukan pekerjaan yang sedang ia liat, tetapi wajah Indah yang murung. Iya, pria itu seda
Indah termenung setelah kepergian yang Bara entah ke mana. Namun, sepertinya ia tahu ke mana Bara pergi. Tentu saja kepada Mawar--itulah yang ada dipikiran Indah saat ini. Setelah lama ia diam merenungi semua yang terjadi, Indah memilih pasrah. Ia akan mencoba untuk bertahan meski dalam kesakitan. "Aku akan mencobanya sekali lagi," gumamnya. Karena merasa cukup, Indah pun perlahan menurunkan kakinya satu persatu hingga menapaki lantai yang terasa sangat dingin. Ia mendesah lirih sebelum akhirnya bangkit. Mungkin karena efek menangis membuat kepala Indah pusing. Tubuhnya tiba-tiba terhuyung karena kepalanya terasa berputar. Beruntung ia bisa menahan pada kepala ranjang. Memegangnya dengan erat. Setelah pusingnya hilang, Indah mulai melangkah menuju kamar mandi. Ia ingin membersihkan dirinya yang terasa lengket. Untuk beberapa waktu Indah memilih berendam dengan air hangat. Mencoba rileks dan lebih tenang. Setelah merasa cukup, Indah mengeringkan tubuh lal berpakaian. Sebelum mengi
“Mohon maaf, Pak, tapi keinginan Anda tidak bisa saya lakukan,” ujar Dokter Kristi yang membuat Bara murka.“Kenapa tidak bisa? Bukankah teknologi semakin maju!” “Itu karena akan membahayakan janin dan ibunya, Pak. Terlebih dengan kondisi Nona Indah yang kurang baik.” Dokter Kristi mencoba memberi pengertian agar Bara tidak memaksakan kehendak.“Aku tidak peduli! Lakukan atau karirmu hancur,” cetus Bara membuat Dokter Kristi ketakutan.Bagaimanapun bagi Bara akan mudah menghancurkan karirnya. “Pak, tolong pertimbangkan kembali,” ujarnya mulai goyah. “Tidak, keputusanku sudah bulat!”Mendengar perdebatan suaminya dengan Dokter Kristi membuat Indah kecewa. Perempuan yang sejak tadi hanya diam itu bangkit membuat Bara dan Dokter Kristi langsung menoleh ke arahnya. “Mau ke mana kamu?” tanya Bara.“Sudah cukup, Mas. Kalau memang kamu tidak mempercayai aku hamil anakmu tidak apa-apa. Anggap saja aku memang melakukan seperti apa yang kamu pikirkan, Mas.” Terang saja ucapan Indah memancing
Berita tentang Mawar dan Zulfi yang dibawa oleh polisi sudah menyebar di kalangan karyawan dan kolega bisnis Bara, termasuk kedua orang tuanya. Karena itulah kini Bara dimintai Roki untuk datang ke rumahnya.“Apa yang sebenarnya terjadi? Coba jelaskan,” pinta Riko dan Diana.Tidak langsung menjawab, Bara lantas mengembuskan napas dengan kasar terlebih dahulu. “Sebenarnya ingatanku sudah kembali,” ujar Bara membuat kedua orang tuanya kaget bukan main.“Jadi kamu sudah mengingat semuanya, Bara?”“Iya, Mam.” “Lalu kenapa tidak menceritakannya kepada kami?” Roki menuntut penjelasan lebih.“Karena aku ingin mengungkap lebih dulu pelaku dibalik kecelakaan yang kualami.”“Artinya kamu kembali bersama Mawar itu juga bagian dari rencana?” “Iya, Pap.” Bara mengangguk membenarkan membuat Roki mengusap wajahnya kasar. “Kamu keterlaluan, Bara!”Bentakan dari Roki membuat Bara terkejut. Ia pikir pria paruh baya itu akan senang karena ingatannya sudah kembali.“Keterlaluan bagaimana?” “Kamu sud
Bara pulang dalam keadaan mabuk parah, membuat Indah yang sedang terlelap tersentak ketika tiba-tiba Bara menjatuhkan diri di sampingnya. “Mas, Bara,” ucap Indah lantas bangkit.Bau menyengat yang menguar dari tubuh Bara membuat Indah mual. Meski begitu, Indah tetap membantu Bara melepaskan sepatu juga jas yang masih melekat di tubuh tegap suaminya. “Kenapa senang sekali minum minuman terlarang?” gumam Indah.*** Mata setajam elang itu mengerjap beberapa kali hingga akhirnya dibuka dengan sempurna. Bara mengedarkan pandangannya dan mendapati jika dirinya sudah berada di kamar. Ia bangkit sambil memegang kepalanya yang terasa pening. “Mas, Bara,” ucap Indah yang baru saja masuk kamar.Bara lantas menoleh sebentar lalu membuang muka ketika ingatannya kembali pada saat kemarin ia mendapati Indah di mushola bersama Dirga. “Kau, dari mana kemarin?” tanyanya.Pria itu sudah tidak tahan lagi dengan praduganya selama ini. Pria itu menatap Indah nyalang. Membuat Indah menelan ludahnya kasar
Bara mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, menyalip kendaraan lain yang sekiranya menghalangi jalan bagi dirinya. Pria itu bahkan mengabaikan protes yang dilakukan oleh pengguna jalan lain. Tidak peduli klaksonan atau pun umpatan yang terdengar. Dalam pikirannya ia hanya ingin melampiaskan kekesalannya karena Indah dengan tega melakukan hal tercela di kantor dengan pria lain. Sungguh, pria itu tidak menyangka jika Indah sampai hati melakukan hal tersebut. Padahal ia pernah berpikir jika perempuan yang menjadi penyelamat hidupnya merupakan perempuan baik-baik. “Haha … hahaha ….” Pria itu tertawa seperti kesetanan. Ia merasa bodoh karena berhasil dibodohi oleh wajah polos Indah. Ternyata di balik wajah lugu Indah tersimpan sebuah kenyataan yang membuat Bara tidak habis pikir. Bagaimana bisa? Hanya itu yang ada dalam benak Bara sekarang. Pertanyaan mengenai Indah yang bisa-bisanya malah melakukan hal seperti itu terus berputar di pikiran Bara. Sampai pria itu tidak sadar ji
Bara yang berjalan tergesa tentu menjadi pusat perhatian semua orang. Meski begitu tidak ada yang berani bertanya atau sekedar menyapa. Semuanya memilih menyingkir–memberikan jalan untuk pria tersebut. Sampai akhirnya Bara tiba di ruangannya. Dengan keras ia membuka pintu kemudian menutupnya kembali. Sehingga Mawar yang berniat masuk untuk menyusul pun mengurungkan niat kala ia akan masuk, tetapi pintu dengan keras tertutup. Wanita itu hanya mampu berdiri mematung sambil memegang dadanya dengan kedua tangan. Sementara matanya melebar dengan napas yang terengah akibat berlari menyusul Bara. Dengan kasar ia mendengus kemudian berbalik–berniat ke meja kerjanya. Namun, Mawar malah dikagetkan dengan kehadiran Zulfi yang sudah ada di belakangnya entah sejak kapan. “Sepertinya ada hal penting yang sedang dilakukan Pak Bara,” ujar Zulfi yang dibalas delikan oleh Mawar. “Hemm, aku tau! Tapi entah apa itu. Bisakah kamu menyeledikinya?” Permintaan itu ditanggapi Zulfi dengan mengangkat satu
Tiba di rumah Indah lantas turun dari mobil setelah membayar ongkosnya. Perempuan itu berjalan dengan langkah gontai menuju gerbang yang menjulang tinggi. Tidak perlu banyak bicara, penjaga rumah pun sudah mengetahui jika Indah adalah nyonya di rumah tersebut. Sehingga dengan sedikit keheranan karena tidak biasanya Indah pulang sangat cepat pun membukakan gerbang. “Siang, Nyonya,” sapa Pak satpam yang berjaga. Dengan seulas senyum yang sangat tipis Indah membalas sapaan satpam tersebut. Bukan karena ia tidak ramah, tetapi ia yang lelah membuat Indah ingin segera tiba di kamar. Setelahnya Indah masuk rumah kemudian menaiki anak tangga untuk tiba di kamar.Begitu tiba, Indah membuka kerudung yang sejak tadi menutupi kepalanya. Lantas setelahnya ia merebahkan diri di atas ranjang. Meringkuk sambil menutup tubuhnya dengan selimut. Sementara di tempat lain, Bara sedang melakukan pertemuan dengan lawan bisnisnya di salah satu restoran. Mereka melakukannya di sana sekalian untuk makan sia
Raut wajah Dirga nampak khawatir ketika melihat Indah yang malah melamun. Meski terkejut dan sedikit tidak terima karena perempuan yang ia cintai mengandung anak dari pria lain, tetapi Dirga tetap mengkhawatir andai sesuatu terjadi dengan calon anak Indah. “Apakah kandungannya baik-baik saja?” Pertanyaan itu membuat Indah tersenyum miris. Ia berharap pria yang menanyakan hal itu adalah Bara, bukan Dirga. Namun, ia sadar diri karena Bara belum mengetahui kehamilannya.Lagi pula andai tahu, apakah Bara akan menerimanya? Atau sebaliknya, dan menuduh dirinya yang tidak-tidak karena pernah mendapati sebuah foto yang memperlihatkan dirinya dengan seorang pria pada malam hari. Yang tidak lain adalah Dirga. “Kandungannya baik-baik aja, Mas. Enggak ada yang perlu dikhawatirkan,” jawab Indah dengan seulas senyum untuk menyembunyikan kerisauan dalam dirinya. Mendengar jawaban Indah seharusnya membuat Dirga bisa bernapas lega, tetapi pria itu malah semakin khawatir lantaran melihat dari ekspr
Tiba di rumah sakit Indah diarahkan oleh Dirga untuk mendaftarkan diri terlebih dahulu di bagian resepsionis. Baru setelahnya mereka menunggu di depan ruang dokter kandung. Agak heran bagi Dirga karena Indah malah memilih dokter kandungan dan bukan dokter umum.“Mas, Kayaknya aku masih lama, apa enggak sebaiknya Mas kembali ke kantor? Aku yakin Ibu Santi sekarang sedang mencari-cari, Mas.” Indah merasa tidak enak lantaran Dirga malah menemaninya di rumah sakit, sedangkan pekerjaan pria itu diabaikan begitu saja. “Enggak masalah, Indah. Aku di sini aja temani kamu,” ujar Dirga yang kukuh ingin menemani Indah. “Tapi–” “Udah, kamu enggak maksa. Di sini aku yang mau, jadi enggak perlu enggak enak.” Dirga dengan cepat menyela ucapan Indah. Sehingga Indah tidak dapat melanjutkan kalimatnya.Karena Indah sedang merasa lemas dan kesakitan, sehingga ia memilih untuk diam dan tidak lagi banyak bicara. Perempuan itu memilih mencoba menghilangkan rasa sakit, meski rasanya mustahil. Sementara D
Selama pertemuan berlangsung di salah satu restoran Bara tidak bisa fokus karena dalam benaknya terus berputar nama Indah yang tidak dapat ia liat di ruangan. Rasanya ingin segera menyelesaikan pertemuan. Namun, sayangnya hal itu tidak bisa dilakukan karena ini merupakan pertemuan penting yang tidak semua orang bisa dapatkan.Semetara di tempat lain, Indah nampak meringkuk di mushola sambil memeluk perutnya yang sakit. Tadi saat perempuan itu ke ruangannya, ia meminta izin kepada Santi untuk beristirahat terlebih dahulu di mushola karena perutnya yang melilit. Tentu saja Santi yang melihat wajah pucat Indah pun memilih membiarkan. “Indah, apa baik-baik saja?” Dirga yang merasa khawatir memilih menyusul Indah untuk memastikan keadaan tambatan hatinya.Perlahan Indah yang memejamkan mata, tetapi tidak tertidur pun membuka matanya. Nampak manik yang biasanya memancarkan keindahan kini terlihat sangat sayu, membuat semua orang yang melihatnya akan merasa iba. “Iya, Mas,” sahutnya pelan.