"Bagaimana caranya, Nya?"
Bi Asih bingung bagaimana membantu majikannya. Sementara dia hanyalah orang biasa dan hampir sepuh yang tak punya kekuatan atau kekuasaan.
Hana diam sejenak. Di saat sedang sakit seperti ini, berpikir keras pasti akan membuat kesehatannya menurun. Namun demikian, jika diam saja maka dirinya yang akan hancur.
"Begini, Bi. Saya tidak bisa bebas bergerak sebab kondisi saya. Jadi, saya akan pasang CCTV dan minta bantuan orang untuk mengintai."
"Hah? Maksud Nyonya, intel?"
Hana menyergah. Wanita itu sempat tersenyum mendengar jawaban Bi Asih.
"Bukan, Bi. Orang biasa yang bisa dijadikan mata-mata. Nanti, saya kasih bayaran yang setimpal. Apa Bi Asih punya kenalan atau saudara yang bisa bantu saya?"
Wanita yang rambutnya sebagian memutih itu terlihat berpikir, mengingat-ingat siapa yang mungkin bisa membantu Hana. Sampai satu nama terlintas.
"Ada, Nya! Keponakan saya. Usianya 20 tahunan, seusia Non Kalila. Namanya Rendi."
Mata sayu Hana berbinar. "Benarkah? Apa dia bisa dipercaya?"
"Bisa, Nya. Dia itu anak pintar, cuma ayahnya meninggal. Jadi, terpaksa dia yang bekerja. Dia pernah jadi sopir di pasar, kirim sayuran."
"Bagus, Bi! Sekalian saja dia kerja di sini sebagai sopir Kalila juga mata-mata untuk saya. Gajinya dua kali lipat, bagaimana?"
Bi Asih terlihat senang. Mengingat kalau Rendi itu hanya kerja serabutan. Pernah jadi sopir beberapa bulan, tapi berhenti karena majikannya pindah ke kota lain. Ini juga akan lebih mudah sebab Rendi tidak mungkin berkhianat pada Hana yang juga majikan Bi Asih.
"Bisa-bisa, Nya."
"Bagus, Bi. Hari ini saya akan pesan CCTV sama toko langganan saya, biar langsung pasang hari ini juga. Bi Asih panggil Rendi ke sini, ya?"
Wanita itu langsung patuh, segera pergi untuk memanggil Rendi. Sementara Hana menghubungi toko langganannya untuk pasang CCTV.
Kebetulan, saat Hana masih kerja di perusahaan, dia bagian GA atau general affair. Dia juga suka memesan CCTV untuk keperluan kantor. Jadi, mudah baginya mendapatkan benda itu.
***
"Nama saya Hana," ucap Hana sembari menyalami tangan Rendi.
Pemuda berperawakan tegap itu membungkukkan badan dan menyebutkan namanya. Kulitnya kecokelatan, khas orang pekerja keras yang ada di lapangan.
Ditelisik, Rendi itu tampan. Hanya saja karena sering bekerja kasar dan terus berada di bawah matahari langsung, wajahnya terlihat kelelahan. Cekungan matanya begitu jelas.
Hana tersenyum kecil. Tampaknya, dia bisa menggunakan Rendi untuk menghancurkan Kalila.
"Apakah Bi Asih sudah menjelaskan kenapa kamu saya panggil ke sini?"
Rendi mengangguk dengan patuh. "Sudah, Nyonya."
"Bagus. Saya akan menjelaskan ulang. Dengarkan baik-baik."
Hana menjelaskan apa saja tugas Rendi di sini. Wanita itu akan memberikan gaji besar dan menyekolahkan adik-adik Rendi.
Tentu saja pemuda itu senang. Bi Asih pun sangat berterima kasih kepada Hana.
"Ingat, Rendi. Kalau kamu setia, aku akan memberikan apa pun kebutuhan keluargamu dan menjaminya. Tapi, kalau kamu berkhianat, jangan harap bisa lepas dariku."
Hana mengatakan itu dengan serius dan mata membara. Rendi dan Bi Asih kaget mendengarnya.
Padahal, setahu Bi Asih, Hana adalah wanita penyabar dan lemah lembut. Tetapi, sekalinya disakiti sisi buruknya keluar dengan jelas.
Hana akan pastikan semua bukti terkumpul. Dengan begitu, dia bisa menyingkirkan Kalila dan Aji. Memberikan hukuman berat pada keduanya.
***
Dua hari kemudian, Kalila dan Aji pun pulang. Mereka keluar dari mobil yang sama sembari bergandengan tangan. Hana yang melihat dari jendela ruang tamu pun geram bukan main.
Bahkan, tampak sekali keduanya mesra. Hati Hana semakin membara. Sayangnya, untuk saat ini dia tidak bisa membongkar kebusukan keduanya.
Sang wanita harus benar-benar bisa mengumpulkan bukti. Untunglah, kemarin lusa Hana sudah memasang CCTV di ruang kerja Aji, kamar Kalila dan taman belakang rumah. Karena, tempat-tempat itulah yang diduga dijadikan tempat mereka bermesraan.
Hana terus melihat gerak-gerik keduanya, sampai akhirnya di depan pintu, Kalila melepaskan rangkulan tangan. Tampak seperti bersiap untuk berubah ekspresi.
Aji membukakan pintu dan Hana pun mundur dari jendela. Pria itu tampak kaget saat melihat istrinya ada di sana.
"Ya Tuhan! Hana, sedang apa kamu di sini?"
Kalila juga ikut kaget melihat kakaknya sudah ada di ruang tamu. Biasanya di jam sekarang, Hana sedang tiduran di kamar atau duduk di taman belakang.
"Loh, kenapa Kakak ada di sini?"
Kekagetan keduanya membuat Hana muak. Ingin sekali memaki keduanya. Sayangnya, Hana harus menahannya sekuat hati.
"Aku hanya sedang duduk di sini saja. Bosan kalau terus di kamar," timpal Hana, berusaha bersikap seperti biasanya.
Walaupun saat ini hatinya membara. Tetapi, untuk menguak kejahatan mereka, Hana harus sabar dan seolah dirinya tidak tahu apa-apa.
Kalila tampak menghela napas lega. Dia menyenggol lengan Aji pelan, seolah memberi isyarat. Hana juga melihat itu, tapi dia pura-pura tidak tahu.
"Em, Hana. Tadi, apa kamu melihat ke luar?"
Hana diam sejenak. Dalam hati dia mengutuk pria itu. Tetapi, dengan cepat Hana tersenyum sebaik mungkin.
"Enggak, Mas. Ngapain aku lihat ke luar, kaya ada pemandangan yang bagus aja," cetus Hana.
Lagi-lagi Kalila menghela napas lega. Aji pun tersenyum, pria itu mendorong kursi roda Hana untuk kembali ke kamar.
Hana mengeratkan genggaman pada pakaiannya. Ternyata, menahan diri agar emosi tidak meledak itu, tidak mudah.
Baru juga beberapa langkah, seseorang datang. "Nyonya, mesin mobil sudah saya cek. Masih bagus dan siap dipakai."
Kalila dan Aji kembali dikagetkan dengan kedatangan seorang pria. Dia adalah Rendi.
"Han, siapa pria ini?"
"Oh, dia Rendi. Saudaranya Bi Asih. Katanya, butuh pekerjaan. Ya, aku suruh jadi sopir aja, Mas. Lagian, mobilku nganggur."
"So-sopir buat siapa, Kak?"
"Buat kamu," jawab Hana, dengan senyuman khasnya.
"Hah?! Aku gak pakai mobil, Kak."
"Loh, kenapa? Aku kasihan sama kamu. Sudah ngurusi aku, anak dan suami. Jadi, ini bentuk terima kasihku padamu."
Aji dan Kalila saling pandang. Mereka kaget dengan semua ini. Tetapi, gelagat Hana sama sekali tidak mencurigakan.
"Kamu tenang saja. Rendi ini bisa nyetir dan punya SIM. Jadi, kamu pasti aman. Iya kan, Ren?"
"Iya, Nyonya." Rendi menjawab itu sembari menatap Aji dan Kalila yang masih mematung, mencerna keputusan Hana.
"Ya sudah, Mas. Aku ke kamar dulu. Sudah waktunya istirahat," cetus Hana sembari mendorong kursi rodanya sendiri.
Rendi pun memilih mengikuti Hana, tidak mau sampai terjerat masalah di hari pertamanya bekerja.
"Mas, kenapa tiba-tiba pakai sopir? Nanti, aku gak bisa semobil dengan kamu lagi, dong!" seru Kalila kesal, setelah tidak ada Hana dan Rendi.
"Ya, aku juga kaget dengernya. Hana belum pernah cerita apa pun tentang pria itu."
"Jadi, gimana dong?" Wajah Kalila tampak khawatir.
"Sebaiknya kita ke ruang kerja dulu. Jangan bahas itu di sini," ujar Aji, sembari melihat ke sekitar. Takut jika ada yang mendengar. Di sisi lain, Hana tersenyum puas. Saat ini dia sedang di kamar sembari berbaring. Dia menatap ponsel yang memperlihatkan video dari CCTV di ruang kerja Aji.Tampak sekali kalau kedua orang itu terlihat bingung. Ada CCTV dari berbagai sudut, dan Hana bisa melihat gerak-gerik mereka dari arah mana saja."Mas, kenapa Kak Hana ngambil keputusan begitu? Gak ngomong sama aku atau kamu dulu." Suara Kalila terdengar jelas. Tidak sia-sia dia juga menyimpan penyadap suara di tempat itu. Hana benar-benar totalitas dan sungguh-sungguh untuk mengungkap kebusukan dua orang itu.Wajah Aji tampak gusar. Hana bisa melihat itu dengan jelas, dari gelagatnya yang uring-uringan."Entahlah, aku juga tidak tahu harus bagaimana. Tapi, kalau kita menolak keputusan Hana, dia pasti akan curiga. Kamu mau hubungan kita terbongkar?" papar Aji.Wajah Hana langsung menegang. Ternyat
Selama perjalanan pulang, Hana memberi peringatan kepada Rendi agar tidak memberitahukan perihal dirinya yang pergi ke dokter lain."Ren, kamu harus laporkan apa saja yang dilihat atau didengar selama menjadi sopir Kalila. Bila perlu, rekam semua itu.""Baik, Nyonya."Sang wanita melihat jalanan dari kaca mobil. Mengingat pembicaraan Kalila dan Aji tempo hari, membuat Hana benar-benar murka.Namun, sampai detik ini dia belum bisa mengungkapkan kebusukan mereka. Setelah sampai rumah, Hana melihat Kalila sudah pulang. Adiknya itu tampak bingung bercampur kaget saat melihat Hana pulang bersama Rendi.Pasalnya, wanita itu tak tahu jika sang Kakak keluar. Saat dia pulang kuliah, tak mendapati Hana. Kala bertanya pada Bi Asih, wanita yang hampir sepuh itu malah mengatakan tidak tahu.Memang sebelumnya Rendi mengantarkan Kalila kuliah, setelah itu barulah menjemput Hana untuk pergi ke rumah sakit."Ya Tuhan, Kak. Kakak dari mana saja? Aku nyariin, loh," ujar Kalila, menghampiri Hana yang bar
Tepat pukul 5 sore, Kalila dan Aji pulang bersama. Kebetulan, hari ini jadwal Hana periksa pada Bara. Jadi, tentu saja Rendi ikut dengan sang wanita.Aji tiba-tiba saja berteriak pada Rendi. Sang pemuda pun kaget, tapi Hana tidak. Wanita itu tampaknya tahu apa yang akan terjadi.Sebab, yang menyebarkan video itu adalah Hana sendiri. Selama beberapa minggu, Hana mengumpulkan semua video asusila mereka. Awalnya, Hana ingin melabrak mereka dan melampiaskan kekesalannya. Namun, mengingat keadaannya yang masih lemah, membuat Hana mencari cara lain. Yaitu, menghancurkan keduanya secara tidak langsung.Sebelum memviralkan kedua pengkhianat itu, Hana sudah menyuruh Rendi untuk mengambil beberapa CCTV di sana, hanya menyisakan satu CCTV yang pastinya akan sulit ditemukan oleh Aji maupun Kalila.Kemungkinan mereka menyalahkan Rendi itu sudah diperhitungkan oleh Hana. Jadi, sang wanita itu memberi perintah Rendi dengan pura-pura tidak tahu."Heh, pemuda sialan! Apa yang kamu lakukan, hah?!" seru
Besoknya, Hana menemui Bara. Sebenarnya dia tidak mau merepotkan siapa pun. Hanya saja, untuk kali ini, Hana benar-benar butuh bantuan Bara untuk memalsukan kehadirannya di rumah sakit sebelumnya. Ini bertujuan agar Kalila tidak curiga kepadanya. Membiarkan sang adik berpikiran kalau dirinya tidak ganti dokter atau rumah sakit."Itu sulit, Han."Hana terlihat murung mendengar jawaban Bara."Kenapa? Bukankah dokter di sana juga teman sejawatmu?"Bara menganggukkan kepala. "Benar, tapi masalahnya itu seniorku. Mana mungkin aku melakukan itu."Hana tampak kecewa. Tetapi, dia tidak bisa memaksakan kehendak. Apalagi pada orang lain."Baiklah kalau begitu, aku permisi."Hana berdiri dengan lemah. Bara merasa bersalah dengan penolakannya. Lalu, tiba-tiba saja pria itu melontarkan sebuah pertanyaan yang membuat si empunya tercenung."Han, untuk apa kamu melakukan itu? Bukankah kamu adalah orang yang jujur. Aku merasa tak percaya kamu meminta hal seperti itu."Hana menghentikan langkah, tapi w
Sungguh tidak terduga. Padahal, Hana belum mempersiapkan segalanya untuk membongkar kebejatan kedua orang itu. Ingin menghancurkan Kalila dan Aji sehancur-hancurnya.Namun, kenapa semua di luar dugaan. Kalila malah mengakui dan meminta maaf atas perbuatannya. Apa ini? Dia selemah itu. Setelah mendapat cemoohan dari semua orang, mentalnya langsung down.Tidak seperti tampang dan omongannya tempo hari di ruang kerja Aji, yang katanya ingin membuat Hana menderita dan merebut apa pun yang didapat oleh Hana."Kak, percaya sama aku! Aku gak fitnah Mas Aji. Kami memang berselingkuh!"Lamunan Hana buyar mendengar seruan dari Kalila. Kalau sudah begini, Hana harus putar otak. Mengubah rencana. Kalila tidak boleh mendapatkan pengampunan secepat ini."Kalau begitu, aku ingin mendengar langsung dari pengakuan Mas Aji."Kalila tampak kaget. Sepertinya dia tidak menyangka kalau Hana akan mengatakan hal seperti itu. Kalila pikir, Hana akan terpancing emosi dan mengamuk pada Aji. Lalu, berakhir memaa
"Apa maksudmu, Mas? Kenapa kamu bilang begitu?" tanya Hana.Ini di luar dugaan. Wanita itu kira, Aji akan mengaku dan hanya membahas perihal perselingkuhan mereka. Tetapi, Aji malah mengatakan yang semakin membuat Hana terkejut."Iya, adikmu inilah yang memberi ide agar kamu sakit dan--"Belum juga melanjutkan ucapannya, suara tamparan kembali terdengar. Lagi-lagi Kalila menampar pria itu."Cukup, Mas! Jangan membuat hubungan persuadaraan kami hancur! Sudah!"Kalila menangis dan berusaha untuk meyakinkan Lusi kalau semua itu hanya fitnah Aji saja.Hana hanya terdiam. Rendi dan Bi Asih pun tak bisa berbuat apa-apa selain menjadi penonton gratisan."Mbak, ampuni aku," lirih Kalila, bersimpuh di depan Hana yang masih berdiri.Perihal sakit Hana yang dibuat-buat, dia baru bisa menyimpulkan ini perbuatan Aji. Sebab rekaman pembicaraan mereka tempo hari, Aji lah yang menyuruh Kalila menaikkan dosisnya.Namun, bukan berarti adiknya tidak salah. Pasti ada andil Kalila. Entah siapa yang memula
Hana termenung sendiri di kamarnya. Dia memikirkan langkah selanjutnya untuk menghadapi Kalila dan Aji."Aku tidak menyangka akan seperti ini. Sekarang, aku bingung harus bagaimana."Hana masih diam memikirkan itu semua. Tetapi belum ada titik terang. Wanita itu pun memilih untuk memantau Aji di tempat kerjanya. Sebab, jika Aji tidak ada di kamar dan sedang dalam masalah, biasanya pria itu akan berdiam diri di ruang kerja.Hana langsung mengecek CCTV di ruangan itu. Ternyata dugaannya benar. Sang suami sedang uring-uringan di ruang kerja. Sempat bolak balik tak jelas, lalu kembali duduk sembari mengusap kasar rambutnya."Sial! Kenapa semua bisa terjadi?!" erang Aji. Suaranya sampai berdenging di telinga Hana. Wanita itu kadang memakai earphone saat menjalankan aksinya itu. Hana akan pantau, apa saja yang akan dilakukan oleh Aji di sana. Tak lama kemudian, Kalila masuk dengan beringas. Wanita itu bahkan membanting pintu ruang kerja Aji."Apa yang kamu lakukan?!" tanya Aji, kaget. Bahk
"Benar-benar biadab! Selama ini, aku menikahi orang jahat sepertinya," rutuk Hana, dengan pelan tetapi penuh penekanan.Sementara, di ruang kerja, Aji dan Kalila tertawa jumawa. Seolah mereka akan menang telak karena rencana yang diyakini sudah sempurna."Benar juga kamu, Mas. Jadi, mereka bakalan ngira kalau Kak Hana meninggal karena penyakit, bukan karena dibunuh. Tapi, kalau aku keluar dari sini, siapa yang akan memberi obat sama Kak Hana?"Aji tersenyum enteng dan kembali mengelus surai hitam Kalila. "Gampang, aku juga bisa. Intinya, kamu ikuti saja rencanaku. Ke depannya, kita bisa bebas melakukan apa saja.""Baiklah, Mas. Aku ikut saja."Hana hanya bisa memejamkan mata melihat adegan itu lagi. Dia kira pertengkaran tadi akan membuat keduanya merenggang. Tetapi, ternyata semua rencana Aji.Sungguh, sebelumnya Hana kira Aji selingkuh dengan adiknya karena Hana yang sakit-sakitan dan kurangnya perhatian darinya. Tetapi, ternyata ada niat jahat yang sudah terencana seperti itu.Apak
Hana tak bertanya atau walaupun menimpali ucapan wanita itu, tetapi lebih meneliti bagaimana wajah Kalila saat ini. Mungkin saja wanita itu sedang berbohong kepadanya. Dia benar-benar harus berhati-hati kepada Kalila. Wajahnya saja yang terlihat lugu, tapi ternyata hatinya busuk dan kelakuannya di luar batas. Bahkan dia tidak menyangka kalau Adik yang selama ini disayangi dan juga dilindungi malah menusuknya dari belakang. "Aku benar-benar serius mengatakan itu. Kalau misalkan Kakak tidak percaya, aku bisa memberikan buktinya. Aku sudah mengumpulkan banyak bukti tentang kejahatan Mas Aji kepada Kakak," ujar Kalila. Dia tidak mau sampai diserang oleh Hana atau malah sendirian menghadapi Aji. "Kamu punya bukti-buktinya? Kenapa kamu melakukan itu? Berarti benar kamu mengakui kalau kamu itu sudah jahat kepadaku?" tanya Hana sembari melipat tangan di depan dada. Dia ingin sekali melakukan ini dari dulu, menginterogasi atau bahkan memaki-maki adiknya sendiri. Tak masalah, karena memang
Melihat situasi yang mulai memanas, sang kakek pun langsung buka suara. "Maaf kalau saya memotong pembicaraan kalian. Saya ingin menjelaskan duduk permasalahannya, agar tidak ada salah paham, ya," ucap Kakek itu yang membuat mereka bertiga menoleh. Kebetulan di sana juga sudah ada Rendi. "Maaf, Kakek ini siapa, ya?" tanya Hana, dia tidak bisa mudah percaya begitu saja. Mengingat kalau Kalila itu mungkin licik dan menyewa Kakek ini untuk pura-pura menjadi saksi. Walaupun memang saat ini keadaan Kalila begitu kacau, tapi entah kenapa rasa percaya terhadap adiknya itu sudah hilang begitu saja. Harus punya bukti yang kuat, baru benar-benar bisa paham dengan situasi yang terjadi. "Saya Tono. Saya orang yang tinggal di sekitaran perkebunan itu." Pria tua itu pun menceritakan kronologis saat ia menemukan Kalila di sebuah lubang. Hana hanya terdiam. Dia melihat tidak ada kebohongan di sorot mata Kakek ini. Tampak benar-benar tulus dan juga jujur. "Seperti itu, Nak. Saya datang ke sini h
Saat ini Hana sedang berada di mobil menuju perjalanan pulan. Dia terus saja memikirkan perkataan Sabrina kepadanya. Wanita itu hampir saja tergoda untuk ikut kerjasama dengan Sabrina perihal Kalila, tetapi Hana sadar kalau yang dihadapinya adalah Rido dan orang kaya yang mungkin saja bisa melakukan segala cara dengan uang atau bisa saja dia dimanfaatkan oleh Sabrina demi kepentingan tertentu. Lalu, ujungnya Hana juga yang menjadi tersangka atau kambing hitam mereka. "Aku tidak mau berurusan dengan orang-orang kaya seperti itu. Mereka terlihat baik, padahal di belakangnya busuk. Untuk masalah Kalila, biarlah aku sendiri akan berpikir sesuai dengan rencanaku sebelumnya," gumam Hana saat masih di dalam mobil.Dia benar-benar tidak mau berurusan lagi dengan Rido atau istrinya, berharap semuanya akan segera berakhir dan bisa memulai hidup baru dengan baik. Suara ponsel berdering, di sana tertera nama Rendi. Wanita itu menautkan kedua alisnya. Biasanya Rendi akan menelepon Hana jika mema
“Aku ingin mengajakmu kerja sama.”Hana masih tampak kebingungan, terlihat dari wajahnya serta alis yang saling bertautan.“Untuk?”Sabrina tersenyum, lalu menghela napas panjang. wanita itu begitu santai. Tetapi, wajahnya kali ini tampak serius.“Aku tahu, suamimu selingkuh dengan adikmu.”Lagi-lagi tubuh Hana menegang. Satu pertanyaan muncul di benak, bagaimana wanita itu bisa tahu?Seolah paham dengan mimik wajah Hana, Sabrina kembali melanjutkan ucapannya yang malah membuat Hana tidak bisa berkata-kata.“Aku mengikuti kegiatan dan gerak-gerik Kalila.”Hana menghela napas berat. Adiknya itu memang sangat memalukan. Dia malah merebut seorang suami yang sudah beristri.Namun, sekarang bukan itu point masalahnya. Kenapa Sabrina harus mengajaknya kerja sama? Dia sama sekali tidak butuh patner untuk memberikan adiknya hukuman.“Kamu bisa memakai uangmu untuk membereskan Kalila. Dia memang adikku, tapi perlakuan dan tindakannya bukan tanggung jawabku.”Sabrina takjub dengan keteguhan dan
“Kalau itu saya kurang tahu, Non. Tapi, sedari pagi Tuan memang sudah berangkat.”Kalila masih khawatir. Jadi, dia hanya bisa berharap kalau Aji tidak dulu pulang dan Hana segara kembali.Sementara itu di sebuah kafe, Hana sedang bertemu dengan wanita yang kemarin meneleponnya. Pada akhirnya, sang wanita tidak punya pilihan lain.Rasa penasaran membuatnya mengambil keputusan ini. Apalagi, mungkin ini bisa dijadikan bahan bukti penangkapan Adik dan suaminya.Namun, yang membuat Hana kaget adalah wanita itu dikenal olehnya. Dia adalah Sabrina, istri dari Rido.Wanita cantik dan elegan itu tersenyum simpul pada Hana. Entah kenapa, kesan pertama yang dilihat bukanlah takut atau risi, melainkan merasa terpukau.“Pasti kamu kenal aku, kan?” tanya Sabrina dengan ramah.Hana ikut tersenyum sembari mengangguk. “Iya, aku mengenalmu.”“Sama, aku juga kenal kamu. Termasuk hubunganmu dengan suamiku.”Kali ini Hana mengernyit bingung. “Maksudmu? Maaf, aku tidak punya hubungan apa pun dengan Rido.”
“Tas?”Rendi bergegas melihat isi tas itu, tentu saja menggunakan sarung tangan. Ini akan jadi bukti untuk diperlihatkan pada Hana. Isinya masih aman, kecuali HP. Sudah dipastikan kalau Aji menculik Kalila.Pria itu mencoba mencari apalagi yang bisa dijadikan bukti, sampai Rendi melihat ada jaket milik Aji yang tertinggal di sana. Rendi pun langsung mengambilnya. Ini akan semakin memperkuat kesalahan Aji.Setelah itu sang pria pun langsung pergi dari sana. Dia akan mencari jejak Kalila sepanjang pulang dari sini. Mungkin saja wanita itu masih ada di sekitaran sini.Sementara itu, tepat pukul 9 Kalila bisa menaiki mobil sayur. Dia diantar oleh kakek itu untuk ke kantor polisi.Selama perjalanan, Kalila terus berdoa, semoga dia tidak bertemu dengan Aji. Kalau tidak, bukan hanya dirinya yang ada dalam masalah, tapi sang Kakek juga.Kalila menutupi kepalanya dengan kain jarik yang diberikan Nenek. Ini digunakan agar Kalila aman dan tidak ada yang mengenali.Hingga satu jam kemudian, akhir
“Ini, Nak. Minumlah.”Kakek tua itu menyerahkan teh hangat pada Kalila yang sedang duduk di dipan sebuah rumah sederhana berdinding anyaman bambu.Dengan tangan gemetar, wanita itu menerimanya dan langsung meminumnya.“Pelan-pelan, Nak. Itu masih panas.”Kalila tahu, teh itu masih agak panas. Tetapi, semalaman dia tidak makan maupun minum. Entah bagaimana kalau dirinya sampai tak tertolong, mungkin kejahatan Aji tidak akan pernah bisa terbongkar.“Kamu sudah tenang?”Tanya seorang nenek yang keluar dari arah dapur. Sepasang sepuh itu tinggal dengan cucunya. Mereka ada di ujung perkambungan, dan hanya rumah ini yang ada di sepanjang jalan setapak. Terbilang hidup sangat sederhana.Nenek itu duduk di pinggir dipan dan mengusap pundak Kalila dengan pelan.“Ya Allah, Nak. Badanmu sampai gemetar seperti ini. Dia pasti sangat ketakutan,” ucap Nenek itu pada sang Kakek.Pria sepuh mengangguk setuju. “Iya, Bu. Kalau saja kita tidak menemukannya, dia pasti sudah tertangkap lagi oleh penculik i
Kalila menangis dengan suara parau. Dia benar-benar mulai putus asa. Kalau tidak ada yang menolongnya, maka kemungkinan besar dirinya akan ketangkap oleh Aji.Dia menggelengkan kepala. Membayangkannya saja sudah membuat dirinya merasa takut.Ternyata Aji punya sisi jahat yang mengerikan. Mungkin saja, Kalila akan habis di tangan pria itu kalau tidak kabur. Tetapi, masalahnya dia tidak tahu cara keluar dari sini.Wanita itu menangis sembari berusaha berpikir, bagaimana caranya agar bisa keluar dari sini. Tak ada jalan selain terus menyerukan permintaan tolong dan berdoa pada Tuhan.“Ya Tuhan, aku benar-benar menyesal. Tidak mau berurusan dengan Mas Aji lagi. Kalau aku keluar dari sini, aku akan membuka kebusukan pria itu. Aku janji.”Kalila menangis sesenggukan, sampai tiba-tiba ....“Ternyata orang!” seru seorang anak remaja dengan pakaian kaos dan celana panjang. Ada topi bambu yang menempel di kepalanya.Kalila langsung mendongak dan menghapus jejak air mata. Wanita itu merasa senan
“Siapa kamu sebenarnya?”Hana masih mencari tahu tentang identitas wanita di seberang sana. Tetapi, lagi-lagi sang wanita tak mengatakan apa pun.“Kamu akan tahu siapa aku setelah nanti kita bertemu.”Hana diam sejenak, memikirkan apa yang harus dia lakukan.“Kalau kamu mau tahu tentang adikmu dan suamimu, datanglah besok jam 8. Aku akan mengirimkan alamatnya.”Setelah itu panggilan pun terputus. Lalu, sebuah pesan masuk. Isinya alamat dari si penelepon tadi.Entah apa yang akan Hana perbuat besok. Yang pasti dia harus hati-hati dengan kemungkinan terburuk.***Suara pintu utama terbuka membuat Hana terkesiap. Sang wanita langsung mencari tahu siapa yang datang, ternyata itu adalah suaminya.Aji terlihat pucat dan juga terengah-engah. Hana mengernyit, bingung. Sebab tak biasanya Aji seperti ini.Pantas saja sedari tadi dia tak melihat keberadaan sang pria.“Kamu dari mana, Mas? Lalu, kenapa seperti habis dikejar orang?”Aji berusaha menenangkan diri. Yang sebenarnya, saat pulang tadi