Tepat pukul 5 sore, Kalila dan Aji pulang bersama. Kebetulan, hari ini jadwal Hana periksa pada Bara. Jadi, tentu saja Rendi ikut dengan sang wanita.
Aji tiba-tiba saja berteriak pada Rendi. Sang pemuda pun kaget, tapi Hana tidak. Wanita itu tampaknya tahu apa yang akan terjadi.
Sebab, yang menyebarkan video itu adalah Hana sendiri. Selama beberapa minggu, Hana mengumpulkan semua video asusila mereka.
Awalnya, Hana ingin melabrak mereka dan melampiaskan kekesalannya. Namun, mengingat keadaannya yang masih lemah, membuat Hana mencari cara lain. Yaitu, menghancurkan keduanya secara tidak langsung.
Sebelum memviralkan kedua pengkhianat itu, Hana sudah menyuruh Rendi untuk mengambil beberapa CCTV di sana, hanya menyisakan satu CCTV yang pastinya akan sulit ditemukan oleh Aji maupun Kalila.
Kemungkinan mereka menyalahkan Rendi itu sudah diperhitungkan oleh Hana. Jadi, sang wanita itu memberi perintah Rendi dengan pura-pura tidak tahu.
"Heh, pemuda sialan! Apa yang kamu lakukan, hah?!" seru Aji, menghampiri Rendi yang saat itu tengah mendorong kursi roda Hana.
Sang wanita pun pura-pura kaget mendengarnya. Sebenarnya, dia sulit untuk berakting seperti ini, sebab harus menahan emosi.
Namun, untuk menghadapi orang licik, harus menggunakan cara cerdik. Jadi, mau tak mau Hana harus berlakon.
"Kamu kenapa, sih, Mas? Datang-datang kok marah-marah!"
Kalila hanya diam di belakang Aji dengan wajah kesal. Tampaknya gadis itu tidak berani mengatakan apa-apa, takut salah bicara.
Aji menoleh pada Hana, kemudian kembali memandangi Rendi dengan marah. "Pemuda ini brengsek, jahat!"
"Jahat gimananya, sih, Mas? Dia kan bekerja dengan baik."
"Halah, itu cuma alasan. Aslinya, dia punya niat terselubung."
Hana menautkan kedua alis. Sementara Rendi pun terlihat hanya diam dan tenang.
"Aku gak paham, Mas. Kamu ngomongin apa, sih?"
Aji berdecak kasar. Dia mengguyar kepalanya. "Dia itu menyebarkan video--"
Hana dan Rendi terdiam, wajah mereka tampak penasaran. Menunggu Aji melanjutkan ucapannya.
Kalila pun sama. Tetapi, wanita itu tampaknya cepat paham, kenapa sampai Aji menghentikan ucapannya.
Aji kebingungan. Dia memegangi mulutnya sebentar dengan wajah gugup. Untung saja tidak keceplosan.
"Kamu mau ngomong apa, Mas? Kok berhenti?"
Aji terdiam. Sekarang, pria itu malah merasa terpojokkan dengan wajah penasaran Hana dan Rendi.
"Tadi, Tuan bilang video. Video apa ya, Tuan?" tanya Rendi, mulai mengikuti alur lakon Hana.
Aji meneguk saliva dengan susah payah. Karena emosi, dia sampai tidak bisa berpikir jernih, dan hampir saja membocorkan rahasianya.
Melihat reaksi Hana dan Rendi, Aji mengambil kesimpulan kalau kedua orang itu tidak tahu menahu perihal video yang beredar.
Aji berdehem sejenak, berusaha untuk mengendalikan diri agar tetap tenang.
"Enggak, bukan apa-apa. Aku-aku cuma kesal, kenapa Rendi tidak jemput Kalila. Akhirnya, aku harus pulang duluan mengantar Kalila."
Mendengar itu, Kalila terperangah. Tak menyangka dengan apa yang dikatakan oleh Aji.
Pria itu pun memilih untuk pergi ke ruang kerja, sementara Kalila masuk ke kamarnya.
Melihat gelagat mereka, Hana benar-benar senang. Kehancuran ada di depan matanya.
"Bagus, Ren. Sebentar lagi, mereka akan benar-benar hancur."
***
Malam harinya, Kalila kembali ke ruang kerja Aji. Dia ingin menyelesaikan masalah yang urgent ini.
Saat masuk ke ruang kerja, Aji tampak uring-uringan sembari menerima telepon. Melihat itu, Kalila bingung. Tetapi, tak urung tetap di sana.
"Sial!" seru Aji, sembari menggebrak meja kerjanya. Kalila sampai dibuat kaget.
Di ruangan lain, seperti biasa Hana sedang memantau mereka. Hana tersenyum puas melihat kekalutan Aji. Wanita itu terus mendengarkan apa yang sedang dibicarakan oleh Aji dan Kalila.
"Kamu kenapa, sih, Mas? Kok marah-marah gitu?"
Aji menoleh sejenak pada Kalila, lalu menghempaskan diri di kursi kebesarannya.
"Gimana aku gak marah? Tenderku dibatalkan. Malahan, banyak client yang mundur gara-gara video itu."
Kalila terdiam sejenak dengan wajah kaget. "Kamu gak bisa terus begini, Mas."
"Aku tahu. Makanya, kita harus menangkap pelakunya."
"Kamu bilang itu pasti Rendi. Tapi, kenapa tadi malah gak jadi marahin si Rendi?"
Aji menegakkan punggungnya sembari menatap Kalila datar. "Maksudmu, aku harus memberitahu Hana tentang video itu? Kalau Hana melihatnya, menurut kamu apa yang akan terjadi pada kita? Hancur!"
Kalila terdiam. Memikirkan perkataan Aji. Tetapi, dia meragukan kalau Hana belum melihat video itu.
"Mas, yakin Kak Hana belum melihat video itu?"
Aji menggelengkan kepala. "Aku juga tidak tahu, Kal. Tapi, kalau memang Hana tahu, dia pasti akan marah. Aku akan meminta orang untuk menghapus video itu, sebelum Hana melihatnya."
Beberapa minggu kemudian, Hana mulai mengalami perubahan. Setelah mendapat perawatan dari Bara, Hana berangsur membaik. Bahkan, dia juga sudah mulai berjalan sendiri tanpa kursi roda lagi.
Sementara, video syur Aji dan Kalila memang bisa dihapus. Tetapi, sekalinya dihapus, akan muncul lagi video lain dari akun anonim.
Semua itu Hana lakukan demi membalaskan rasa sakit hatinya. Setelah hasil labolatorium hari itu, Hana kaget saat tahu kalau obat yang diberikannya adalah racun yang membuatnya mati secara perlahan.
Hana pun akhirnya bertekad untuk bangkit, melawan dua pengkhianat itu.
Selama video itu terus beredar, Hana juga masih pura-pura tidak tahu dan bersikap biasa saja. Sampai Kalila mulai sadar akan perubahan Hana.
Wajah kakaknya itu bahkan tampak segar dan lebih mengagetkannya lagi, Hana sudah berjalan seperti biasa.
"Loh, Kak. Kakak gak pakai kursi roda?"
Hana tersenyum kecil sebelum menjawabnya. "Iya, Kal. Mulai sekarang, aku gak akan pakai kursi roda lagi."
"Hah?!"
"Loh, kenapa kamu kaget seperti itu? Bukannya bagus kalau aku udah sehat lagi?"
Kalila tersenyum kaku. Dia yakin, kalau obat yang sering diberikannya itu adalah racun yang sudah dibalut dengan placebo. Tetapi, kenapa malah seperti ini? Tidak masuk akal menurut Kalila.
"O-oh, bukan seperti itu, Kak. Aku hanya kaget saja, Kakak biasanya pakai kursi roda. Terus, sekarang terlihat segar."
Hana tersenyum senang sembari memegangi wajahnya sendiri. "Benarkah? Itu artinya, obatmu manjur!"
Kalila masih merasa aneh. Dia harus memastikannya sendiri.
"Kak, gimana kalau aku antar Kakak periksa? Aku penasaran saja, apakah Kakak sudah benar-benar sehat."
Hana menautkan kedua alisnya. "Kamu ngomong apa, sih? Sudah jelas aku sehat."
"Ya, bukan apa-apa. Aku hanya ingin memastikan saja, kalau Kakak sudah membaik menurut medis."
Hana menelisik wajah adiknya, tampak sekali sedang berusaha mengorek informasi darinya.
"Aku gak mau."
"Hah?! Kenapa? Kan biasanya juga sama aku, Kak."
"Aku udah diperiksa kemarin lusa, Kal. Masa harus ke sana lagi?"
Kalila hendak bersuara, tapi dengan cepat Hana menghindar. Memilih untuk pergi ke kamar.
"Ini pasti ada yang gak beres."
Di kamar, Hana cekikikan sendiri. Puas melihat kebingungan adiknya. Dia harus cepat mengumpulkan bukti untuk menyengsarakan keduanya.
Besoknya, Hana menemui Bara. Sebenarnya dia tidak mau merepotkan siapa pun. Hanya saja, untuk kali ini, Hana benar-benar butuh bantuan Bara untuk memalsukan kehadirannya di rumah sakit sebelumnya. Ini bertujuan agar Kalila tidak curiga kepadanya. Membiarkan sang adik berpikiran kalau dirinya tidak ganti dokter atau rumah sakit."Itu sulit, Han."Hana terlihat murung mendengar jawaban Bara."Kenapa? Bukankah dokter di sana juga teman sejawatmu?"Bara menganggukkan kepala. "Benar, tapi masalahnya itu seniorku. Mana mungkin aku melakukan itu."Hana tampak kecewa. Tetapi, dia tidak bisa memaksakan kehendak. Apalagi pada orang lain."Baiklah kalau begitu, aku permisi."Hana berdiri dengan lemah. Bara merasa bersalah dengan penolakannya. Lalu, tiba-tiba saja pria itu melontarkan sebuah pertanyaan yang membuat si empunya tercenung."Han, untuk apa kamu melakukan itu? Bukankah kamu adalah orang yang jujur. Aku merasa tak percaya kamu meminta hal seperti itu."Hana menghentikan langkah, tapi w
Sungguh tidak terduga. Padahal, Hana belum mempersiapkan segalanya untuk membongkar kebejatan kedua orang itu. Ingin menghancurkan Kalila dan Aji sehancur-hancurnya.Namun, kenapa semua di luar dugaan. Kalila malah mengakui dan meminta maaf atas perbuatannya. Apa ini? Dia selemah itu. Setelah mendapat cemoohan dari semua orang, mentalnya langsung down.Tidak seperti tampang dan omongannya tempo hari di ruang kerja Aji, yang katanya ingin membuat Hana menderita dan merebut apa pun yang didapat oleh Hana."Kak, percaya sama aku! Aku gak fitnah Mas Aji. Kami memang berselingkuh!"Lamunan Hana buyar mendengar seruan dari Kalila. Kalau sudah begini, Hana harus putar otak. Mengubah rencana. Kalila tidak boleh mendapatkan pengampunan secepat ini."Kalau begitu, aku ingin mendengar langsung dari pengakuan Mas Aji."Kalila tampak kaget. Sepertinya dia tidak menyangka kalau Hana akan mengatakan hal seperti itu. Kalila pikir, Hana akan terpancing emosi dan mengamuk pada Aji. Lalu, berakhir memaa
"Apa maksudmu, Mas? Kenapa kamu bilang begitu?" tanya Hana.Ini di luar dugaan. Wanita itu kira, Aji akan mengaku dan hanya membahas perihal perselingkuhan mereka. Tetapi, Aji malah mengatakan yang semakin membuat Hana terkejut."Iya, adikmu inilah yang memberi ide agar kamu sakit dan--"Belum juga melanjutkan ucapannya, suara tamparan kembali terdengar. Lagi-lagi Kalila menampar pria itu."Cukup, Mas! Jangan membuat hubungan persuadaraan kami hancur! Sudah!"Kalila menangis dan berusaha untuk meyakinkan Lusi kalau semua itu hanya fitnah Aji saja.Hana hanya terdiam. Rendi dan Bi Asih pun tak bisa berbuat apa-apa selain menjadi penonton gratisan."Mbak, ampuni aku," lirih Kalila, bersimpuh di depan Hana yang masih berdiri.Perihal sakit Hana yang dibuat-buat, dia baru bisa menyimpulkan ini perbuatan Aji. Sebab rekaman pembicaraan mereka tempo hari, Aji lah yang menyuruh Kalila menaikkan dosisnya.Namun, bukan berarti adiknya tidak salah. Pasti ada andil Kalila. Entah siapa yang memula
Hana termenung sendiri di kamarnya. Dia memikirkan langkah selanjutnya untuk menghadapi Kalila dan Aji."Aku tidak menyangka akan seperti ini. Sekarang, aku bingung harus bagaimana."Hana masih diam memikirkan itu semua. Tetapi belum ada titik terang. Wanita itu pun memilih untuk memantau Aji di tempat kerjanya. Sebab, jika Aji tidak ada di kamar dan sedang dalam masalah, biasanya pria itu akan berdiam diri di ruang kerja.Hana langsung mengecek CCTV di ruangan itu. Ternyata dugaannya benar. Sang suami sedang uring-uringan di ruang kerja. Sempat bolak balik tak jelas, lalu kembali duduk sembari mengusap kasar rambutnya."Sial! Kenapa semua bisa terjadi?!" erang Aji. Suaranya sampai berdenging di telinga Hana. Wanita itu kadang memakai earphone saat menjalankan aksinya itu. Hana akan pantau, apa saja yang akan dilakukan oleh Aji di sana. Tak lama kemudian, Kalila masuk dengan beringas. Wanita itu bahkan membanting pintu ruang kerja Aji."Apa yang kamu lakukan?!" tanya Aji, kaget. Bahk
"Benar-benar biadab! Selama ini, aku menikahi orang jahat sepertinya," rutuk Hana, dengan pelan tetapi penuh penekanan.Sementara, di ruang kerja, Aji dan Kalila tertawa jumawa. Seolah mereka akan menang telak karena rencana yang diyakini sudah sempurna."Benar juga kamu, Mas. Jadi, mereka bakalan ngira kalau Kak Hana meninggal karena penyakit, bukan karena dibunuh. Tapi, kalau aku keluar dari sini, siapa yang akan memberi obat sama Kak Hana?"Aji tersenyum enteng dan kembali mengelus surai hitam Kalila. "Gampang, aku juga bisa. Intinya, kamu ikuti saja rencanaku. Ke depannya, kita bisa bebas melakukan apa saja.""Baiklah, Mas. Aku ikut saja."Hana hanya bisa memejamkan mata melihat adegan itu lagi. Dia kira pertengkaran tadi akan membuat keduanya merenggang. Tetapi, ternyata semua rencana Aji.Sungguh, sebelumnya Hana kira Aji selingkuh dengan adiknya karena Hana yang sakit-sakitan dan kurangnya perhatian darinya. Tetapi, ternyata ada niat jahat yang sudah terencana seperti itu.Apak
Aji uring-uringan. Saat ini pria itu sedang di mobil menuju kantor. Hati dan pikirannya sedang tidak sinkron.Bagaimana tidak? Perubahan Hana begitu kentara. Dari mulai tidak memakai kursi roda lagi dan sekarang bisa beraktivitas seperti biasanya. Bukan hanya itu saja, wajah Hana tampak segar. Tidak pucat dan sayu seperti dulu. Ini sangat aneh. Aji akan tanyakan pada Kalila, apakah obat itu masih diberikan atau tidak.Sementara itu, Rendi berhasil mengikuti Kalila. Ternyata sang gadis pindah ke apartemen yang cukup mewah. Rendi akan pastikan dulu kalau Kalila tinggal di sana, dan bukan menginap di tempat orang.Wanita itu sedikit kesal karena dia harus naik litf. Padahal, di rumah Hana, Kalila dapat kamar di bawah. Memang apartemen ini tidak buruk juga, hanya saja dia kurang suka karena tidak seperti rumah Hana yang ada halamannya. Harus turun ke lantai dasar baru bisa menikmati halaman luas.Dengan gerutuan, Kalila pun pergi ke sana. Dia memberitahukan pihak apartemen tentang kepind
Hana tidak menjawab pertanyaan Rendi, memilih untuk pergi ke kamarnya. Sang pemuda tidak berani mengikuti, apalagi itu kamar pribadi. Jadi, Rendi pun memilih menunggu di luar.Hana bergegas membuka laci, di mana surat-surat penting ditaruh. Wanita itu langsung mencari aset apa saja yang dimiliki dirinya dan Aji.Ternyata, Aji tidak punya harta yang berarti. Hanya rumah ini saja. Itu pun atas nama Hana. Dia menghela napas panjang, lega rasanya saat tahu kalau rumah yang ditempati bisa jadi miliknya. Jadi, jika terjadi apa-apa, Aji yang harus angkat kaki dari rumah ini.Wanita itu juga teringat mobil Aji dan juga miliknya. Hana harus segera membalik nama mobil itu menjadi miliknya. Dengan begitu, Aji akan benar-benar sengsara."Aku harus mendapatkan STNK mobil itu. Jadi, bisa diurus untuk balik nama," gumam Hana.Sang wanita menyimpan surat tanah, rumah dan BPKB mobilnya maupun mobil dirinya. Hana lakukan untuk meminimalisir kemungkinan terburuk, agar Aji tidak macam-macam dengannya.Ta
"Harusnya aku yang tanya begitu. Istrimu tidak masalah kalau perusahaan ini menampung orang yang berbuat asusila?" tanya Hana, penasaran.Sebab, dia pikir Aji akan segera dipecat. Bukan malah dipertahankan seperti ini, ya walaupun turun jabatan.Rido terkekeh sembari menggelengkan kepala. "Ya, dia protes, sampai sekarang pun menuntut untukku memecatnya. Cuma, aku gak enak sama kamu, Han."Sekarang, bagian Hana yang tersenyum kecil. "Gak perlu kaya gitu, Do. Aku gak masalah kalau memang kamu mau memecat Mas Aji.""Hah?! Serius? Tapi, nanti gimana dengan kalian?"Hana tersenyum getir. Lagian, sebentar lagi tidak akan ada kata 'kita' di antara dirinya dan Aji."Apa kamu pikir aku akan terus bersama dengan orang yang sudah berkhianat?"Rido diam. Tampaknya dia mengerti jalan pembicaraan ini. Memang harusnya suami seperti Aji itu ditinggalkan saja."Baiklah, kalau begitu aku akan dengan senang hati memecatnya, Han. Tapi, bagaimana dengan kamu?"Kali ini senyuman Hana begitu melegakan. "Aku
Hana tak bertanya atau walaupun menimpali ucapan wanita itu, tetapi lebih meneliti bagaimana wajah Kalila saat ini. Mungkin saja wanita itu sedang berbohong kepadanya. Dia benar-benar harus berhati-hati kepada Kalila. Wajahnya saja yang terlihat lugu, tapi ternyata hatinya busuk dan kelakuannya di luar batas. Bahkan dia tidak menyangka kalau Adik yang selama ini disayangi dan juga dilindungi malah menusuknya dari belakang. "Aku benar-benar serius mengatakan itu. Kalau misalkan Kakak tidak percaya, aku bisa memberikan buktinya. Aku sudah mengumpulkan banyak bukti tentang kejahatan Mas Aji kepada Kakak," ujar Kalila. Dia tidak mau sampai diserang oleh Hana atau malah sendirian menghadapi Aji. "Kamu punya bukti-buktinya? Kenapa kamu melakukan itu? Berarti benar kamu mengakui kalau kamu itu sudah jahat kepadaku?" tanya Hana sembari melipat tangan di depan dada. Dia ingin sekali melakukan ini dari dulu, menginterogasi atau bahkan memaki-maki adiknya sendiri. Tak masalah, karena memang
Melihat situasi yang mulai memanas, sang kakek pun langsung buka suara. "Maaf kalau saya memotong pembicaraan kalian. Saya ingin menjelaskan duduk permasalahannya, agar tidak ada salah paham, ya," ucap Kakek itu yang membuat mereka bertiga menoleh. Kebetulan di sana juga sudah ada Rendi. "Maaf, Kakek ini siapa, ya?" tanya Hana, dia tidak bisa mudah percaya begitu saja. Mengingat kalau Kalila itu mungkin licik dan menyewa Kakek ini untuk pura-pura menjadi saksi. Walaupun memang saat ini keadaan Kalila begitu kacau, tapi entah kenapa rasa percaya terhadap adiknya itu sudah hilang begitu saja. Harus punya bukti yang kuat, baru benar-benar bisa paham dengan situasi yang terjadi. "Saya Tono. Saya orang yang tinggal di sekitaran perkebunan itu." Pria tua itu pun menceritakan kronologis saat ia menemukan Kalila di sebuah lubang. Hana hanya terdiam. Dia melihat tidak ada kebohongan di sorot mata Kakek ini. Tampak benar-benar tulus dan juga jujur. "Seperti itu, Nak. Saya datang ke sini h
Saat ini Hana sedang berada di mobil menuju perjalanan pulan. Dia terus saja memikirkan perkataan Sabrina kepadanya. Wanita itu hampir saja tergoda untuk ikut kerjasama dengan Sabrina perihal Kalila, tetapi Hana sadar kalau yang dihadapinya adalah Rido dan orang kaya yang mungkin saja bisa melakukan segala cara dengan uang atau bisa saja dia dimanfaatkan oleh Sabrina demi kepentingan tertentu. Lalu, ujungnya Hana juga yang menjadi tersangka atau kambing hitam mereka. "Aku tidak mau berurusan dengan orang-orang kaya seperti itu. Mereka terlihat baik, padahal di belakangnya busuk. Untuk masalah Kalila, biarlah aku sendiri akan berpikir sesuai dengan rencanaku sebelumnya," gumam Hana saat masih di dalam mobil.Dia benar-benar tidak mau berurusan lagi dengan Rido atau istrinya, berharap semuanya akan segera berakhir dan bisa memulai hidup baru dengan baik. Suara ponsel berdering, di sana tertera nama Rendi. Wanita itu menautkan kedua alisnya. Biasanya Rendi akan menelepon Hana jika mema
“Aku ingin mengajakmu kerja sama.”Hana masih tampak kebingungan, terlihat dari wajahnya serta alis yang saling bertautan.“Untuk?”Sabrina tersenyum, lalu menghela napas panjang. wanita itu begitu santai. Tetapi, wajahnya kali ini tampak serius.“Aku tahu, suamimu selingkuh dengan adikmu.”Lagi-lagi tubuh Hana menegang. Satu pertanyaan muncul di benak, bagaimana wanita itu bisa tahu?Seolah paham dengan mimik wajah Hana, Sabrina kembali melanjutkan ucapannya yang malah membuat Hana tidak bisa berkata-kata.“Aku mengikuti kegiatan dan gerak-gerik Kalila.”Hana menghela napas berat. Adiknya itu memang sangat memalukan. Dia malah merebut seorang suami yang sudah beristri.Namun, sekarang bukan itu point masalahnya. Kenapa Sabrina harus mengajaknya kerja sama? Dia sama sekali tidak butuh patner untuk memberikan adiknya hukuman.“Kamu bisa memakai uangmu untuk membereskan Kalila. Dia memang adikku, tapi perlakuan dan tindakannya bukan tanggung jawabku.”Sabrina takjub dengan keteguhan dan
“Kalau itu saya kurang tahu, Non. Tapi, sedari pagi Tuan memang sudah berangkat.”Kalila masih khawatir. Jadi, dia hanya bisa berharap kalau Aji tidak dulu pulang dan Hana segara kembali.Sementara itu di sebuah kafe, Hana sedang bertemu dengan wanita yang kemarin meneleponnya. Pada akhirnya, sang wanita tidak punya pilihan lain.Rasa penasaran membuatnya mengambil keputusan ini. Apalagi, mungkin ini bisa dijadikan bahan bukti penangkapan Adik dan suaminya.Namun, yang membuat Hana kaget adalah wanita itu dikenal olehnya. Dia adalah Sabrina, istri dari Rido.Wanita cantik dan elegan itu tersenyum simpul pada Hana. Entah kenapa, kesan pertama yang dilihat bukanlah takut atau risi, melainkan merasa terpukau.“Pasti kamu kenal aku, kan?” tanya Sabrina dengan ramah.Hana ikut tersenyum sembari mengangguk. “Iya, aku mengenalmu.”“Sama, aku juga kenal kamu. Termasuk hubunganmu dengan suamiku.”Kali ini Hana mengernyit bingung. “Maksudmu? Maaf, aku tidak punya hubungan apa pun dengan Rido.”
“Tas?”Rendi bergegas melihat isi tas itu, tentu saja menggunakan sarung tangan. Ini akan jadi bukti untuk diperlihatkan pada Hana. Isinya masih aman, kecuali HP. Sudah dipastikan kalau Aji menculik Kalila.Pria itu mencoba mencari apalagi yang bisa dijadikan bukti, sampai Rendi melihat ada jaket milik Aji yang tertinggal di sana. Rendi pun langsung mengambilnya. Ini akan semakin memperkuat kesalahan Aji.Setelah itu sang pria pun langsung pergi dari sana. Dia akan mencari jejak Kalila sepanjang pulang dari sini. Mungkin saja wanita itu masih ada di sekitaran sini.Sementara itu, tepat pukul 9 Kalila bisa menaiki mobil sayur. Dia diantar oleh kakek itu untuk ke kantor polisi.Selama perjalanan, Kalila terus berdoa, semoga dia tidak bertemu dengan Aji. Kalau tidak, bukan hanya dirinya yang ada dalam masalah, tapi sang Kakek juga.Kalila menutupi kepalanya dengan kain jarik yang diberikan Nenek. Ini digunakan agar Kalila aman dan tidak ada yang mengenali.Hingga satu jam kemudian, akhir
“Ini, Nak. Minumlah.”Kakek tua itu menyerahkan teh hangat pada Kalila yang sedang duduk di dipan sebuah rumah sederhana berdinding anyaman bambu.Dengan tangan gemetar, wanita itu menerimanya dan langsung meminumnya.“Pelan-pelan, Nak. Itu masih panas.”Kalila tahu, teh itu masih agak panas. Tetapi, semalaman dia tidak makan maupun minum. Entah bagaimana kalau dirinya sampai tak tertolong, mungkin kejahatan Aji tidak akan pernah bisa terbongkar.“Kamu sudah tenang?”Tanya seorang nenek yang keluar dari arah dapur. Sepasang sepuh itu tinggal dengan cucunya. Mereka ada di ujung perkambungan, dan hanya rumah ini yang ada di sepanjang jalan setapak. Terbilang hidup sangat sederhana.Nenek itu duduk di pinggir dipan dan mengusap pundak Kalila dengan pelan.“Ya Allah, Nak. Badanmu sampai gemetar seperti ini. Dia pasti sangat ketakutan,” ucap Nenek itu pada sang Kakek.Pria sepuh mengangguk setuju. “Iya, Bu. Kalau saja kita tidak menemukannya, dia pasti sudah tertangkap lagi oleh penculik i
Kalila menangis dengan suara parau. Dia benar-benar mulai putus asa. Kalau tidak ada yang menolongnya, maka kemungkinan besar dirinya akan ketangkap oleh Aji.Dia menggelengkan kepala. Membayangkannya saja sudah membuat dirinya merasa takut.Ternyata Aji punya sisi jahat yang mengerikan. Mungkin saja, Kalila akan habis di tangan pria itu kalau tidak kabur. Tetapi, masalahnya dia tidak tahu cara keluar dari sini.Wanita itu menangis sembari berusaha berpikir, bagaimana caranya agar bisa keluar dari sini. Tak ada jalan selain terus menyerukan permintaan tolong dan berdoa pada Tuhan.“Ya Tuhan, aku benar-benar menyesal. Tidak mau berurusan dengan Mas Aji lagi. Kalau aku keluar dari sini, aku akan membuka kebusukan pria itu. Aku janji.”Kalila menangis sesenggukan, sampai tiba-tiba ....“Ternyata orang!” seru seorang anak remaja dengan pakaian kaos dan celana panjang. Ada topi bambu yang menempel di kepalanya.Kalila langsung mendongak dan menghapus jejak air mata. Wanita itu merasa senan
“Siapa kamu sebenarnya?”Hana masih mencari tahu tentang identitas wanita di seberang sana. Tetapi, lagi-lagi sang wanita tak mengatakan apa pun.“Kamu akan tahu siapa aku setelah nanti kita bertemu.”Hana diam sejenak, memikirkan apa yang harus dia lakukan.“Kalau kamu mau tahu tentang adikmu dan suamimu, datanglah besok jam 8. Aku akan mengirimkan alamatnya.”Setelah itu panggilan pun terputus. Lalu, sebuah pesan masuk. Isinya alamat dari si penelepon tadi.Entah apa yang akan Hana perbuat besok. Yang pasti dia harus hati-hati dengan kemungkinan terburuk.***Suara pintu utama terbuka membuat Hana terkesiap. Sang wanita langsung mencari tahu siapa yang datang, ternyata itu adalah suaminya.Aji terlihat pucat dan juga terengah-engah. Hana mengernyit, bingung. Sebab tak biasanya Aji seperti ini.Pantas saja sedari tadi dia tak melihat keberadaan sang pria.“Kamu dari mana, Mas? Lalu, kenapa seperti habis dikejar orang?”Aji berusaha menenangkan diri. Yang sebenarnya, saat pulang tadi