"Sebaiknya kita ke ruang kerja dulu. Jangan bahas itu di sini," ujar Aji, sembari melihat ke sekitar. Takut jika ada yang mendengar.
Di sisi lain, Hana tersenyum puas. Saat ini dia sedang di kamar sembari berbaring. Dia menatap ponsel yang memperlihatkan video dari CCTV di ruang kerja Aji.Tampak sekali kalau kedua orang itu terlihat bingung. Ada CCTV dari berbagai sudut, dan Hana bisa melihat gerak-gerik mereka dari arah mana saja.
"Mas, kenapa Kak Hana ngambil keputusan begitu? Gak ngomong sama aku atau kamu dulu."
Suara Kalila terdengar jelas. Tidak sia-sia dia juga menyimpan penyadap suara di tempat itu. Hana benar-benar totalitas dan sungguh-sungguh untuk mengungkap kebusukan dua orang itu.
Wajah Aji tampak gusar. Hana bisa melihat itu dengan jelas, dari gelagatnya yang uring-uringan.
"Entahlah, aku juga tidak tahu harus bagaimana. Tapi, kalau kita menolak keputusan Hana, dia pasti akan curiga. Kamu mau hubungan kita terbongkar?" papar Aji.
Wajah Hana langsung menegang. Ternyata apa yang dikatakan Bi Asih benar juga. Keduanya memang sudah menjalin hubungan terlarang di belakangnya.
Mereka tidak bersuara, tetapi keduanya semakin uring-uringan. Sampai seuntai kalimat berhasil membuat Hana dikagetkan dengan fakta baru lagi.
"Bagaimana dengan obat yang kamu berikan pada Hana? Apakah ada kemajuan?"
"Ya, kamu lihat sendiri kan, Mas. Kak Hana gak sembuh-sembuh dan semakin parah. Kita tinggal menunggu tubuhnya benar-benar lemah. Setelah itu, barulah kamu bisa meninggalkannya."
Hana langsung membekap mulutnya sendiri mendengar pernyataan itu. Dia yakin, obat yang dimaksud Kalila adalah obat yang sering diberikan padanya.
Hati Hana kembali hancur. Rasanya dia ditusuk ribuan pedang dari belakang, oleh orang-orang yang begitu disayangi dan dipercaya.
"Lagian, kenapa dari awal kamu gak racuni dia saja sih, Mas? Kan beres, gak perlu sembunyi-sembunyi kaya gini," tambah Kalila, gadis itu melipat tangan di depan dada.
Hana masih membungkam mulutnya sendiri. Ternyata, selama ini sakitnya itu disengaja oleh kedua orang itu. Ini terlampau menyakitkan untuknya.
Dia seperti orang bodoh yang ditipu oleh keluarganya sendiri. Wanita itu berusaha mengontrol emosi. Jangan sampai dia mengacaukan rencana yang sudah diperbuatnya.
"Ya, tidak bisa seperti itu. Kalau aku kasih racun, cepat atau lambat kita pasti akan ketahuan. Mau dipenjara? Sekarang, sabar saja. Kamu kasih saja obat dengan dosis yang lebih tinggi, dengan begitu kesehatan Hana akan semakin menurun."
"Baiklah, Mas. Aku paham."
Dua sejoli itu lalu keluar dari ruang kerja Aji. Hana pun mengakhiri aksinya. Dia harus menyimpan bukti ini dengan sangat baik.
Hana merasa sangat tertipu. Pantas saja selama ini Kalila yang selalu menyimpan obat-obatannya. Bahkan, Kalila sendiri yang memberikan itu pada Hana.
Hana mengingat-ingat sesuatu. Pernah satu hari Bi Asih mengambil obat Hana, tapi Kalila memarahi Bi Asih habis-habisan. Alasannya, takut jika Bi Asih melakukan kesalahan waktu memberi obat padanya. Tetapi, ternyata semua memang sudah diatur oleh mereka.
Hana menangis. Dia tidak boleh diam saja. Kalau terus meminum obat itu, dijamin hidupnya tak akan lama lagi. Kalila dan Aji pasti akan merasa senang jika Hana tiada.
Wanita itu berpikir sejenak. Lalu, dia menelepon Rendi. Menyuruh pria itu untuk mengecek sesuatu. Hana akan mengambil sampel obat yang diberikan Kalila dan mengeceknya ke labolaturium. Ini juga bisa dijadikan bukti kejahatan mereka.
***
Selama beberapa hari, Hana diam-diam tidak meminum obatnya. Memang sulit karena harus menahan kesakitan, tapi dia berhasil mengelabuhi Kalila dengan berpura-pura minum obat yang diberikan oleh adiknya. Menyimpan obat itu di bawah lidah.
Setelah Kalila pergi, Hana langsung membuangnya. Hingga sekarang dia ada di RS yang lain untuk periksa kesehatannya.
Awalnya Hana merasa lemah, tapi setelah beberapa hari berlalu tidak meminum obat dari Kalila, tubuhnya lebih segar dari biasanya, membuatnya makin yakin obat itu memang racun untuknya.
"Loh, Hana?"
Hana kaget saat seorang dokter menyapanya. Padahal, dia baru saja masuk ke ruangan periksa, tapi tiba-tiba di sapa oleh orang tak dikenal.
"Siapa, ya?" tanya Hana, menatap pria berkacamata yang ditutupi masker.
Dokter itu duduk di kursi kebesaran, lalu membuka maskernya. Hana mengernyit bingung, sebab tidak mengenalinya.
"Kamu tidak kenal aku?" tanya dokter itu.
Hana merasa familiar dengan suara itu, tapi dia lupa dengan wajah di depannya.
Sang dokter terkekeh. "Kalau begitu, kamu masih ingat dengan nama ini?" tanya dokter itu, sembari menunjuk name tag di jubah putihnya.
"Bara Ramadhika, Sp.P."
Hana bergumam. Dia mengingat-ingat nama itu. Tak lama kemudian, matanya membulat kala mengingat seseorang.
"Ya ampun, kamu Bara? Teman sekelasku waktu SMA?" tanya Hana, heboh.
Dokter bernama Bara itu tersenyum dan menganggukkan kepala. Senang, karena akhirnya dikenali oleh Hana.
"Ya Tuhan, kamu sudah jadi dokter? Hebat sekali!"
Obrolan Hana dan Bara mengalir begitu saja. Wanita itu lupa, kalau dirinya mau berobat ke sana.
Kebetulan, hari ini Hana diantar Rendi ke rumah sakit lain untuk periksa kesehatan, tanpa Kalila.
Ini karena percakapan Kalila dan Aji kemarin tentang obat palsu, Hana ingin sembuh dan mencari tahu obat apa yang selama ini diberikan Kalila kepadanya.Sementara Rendi ke labolatorium yang ada di rumah sakit itu, Hana pergi ke dokter spesialis paru. Ternyata, dokter itu adalah Bara.
"Kamu bisa jadi dokter paru? Bukankah dulu kamu mau jadi dokter jantung?"
Senyuman Bara memudar. Ada raut wajah sedih. "Aku ingin menyembuhkan ibuku. Tapi, beliau sudah wafat sebelum aku menyelesaikan pendidikan."
Hana terdiam. Dia tidak menyangka ada kisah pilu dari perjuangan Bara.
"Aku turut berduka cita. Tapi, ibumu pasti akan senang kalau tahu anaknya sudah sukses seperti ini."
Bara tersenyum kecil. Pembicaraan mereka pun berlanjut pada diagnosa Hana. Semua berjalan lancar. Pelayanan Bara pun memuaskan.
"Kamu sudah 3 bulan, tapi masih tetap sakit dan semakin parah?"
"Begitulah, aku juga tidak paham."
"Boleh aku lihat obatnya?"
Kalila terkesiap saat Bara menanyakan itu. Sebab sampel obatnya sudah dibawa Rendi
"Obatnya dibawa ke labolatorium sama asistenku."
Bara menganggukkan kepala. "Kalau begitu, kita tinggal tunggu hasil labolatoriumnya. Untuk sekarang, aku kasih resep baru, ya?"
Hana tersenyum sembari menganggukkan kepala. Bersemangat.
Bara menyodorkan selembar kertas berisi resep. Dokter itu juga memberikan petuah agar Hana membiasakan hidup sehat.
"Aku sudah melakukan itu semua, Dok. Tapi, tampaknya ada yang sengaja membuatku sakit," cetus Hana.
"Hah? Apa maksudmu?"
Hana terkesiap. Tampaknya dia tidak sadar sudah mengucapkan hal yang sensitif.
"Oh, tidak-tidak. Terima kasih resepnya," ujar Hana, sembari membawa resep itu, hendak keluar.
Namun, Bara merasa ada yang janggal dari gelagat Hana. Pria itu pun menghentikan Hana.
"Tunggu, Hana. Ambillah," ucap Bara, menyodorkan kartu namanya.
Hana mendongak, menatap kartu nama itu dan Bara secara bergantian. Tetapi, sang wanita tak langsung menerimanya.
"Ambillah untuk jaga-jaga. Mulai sekarang, kamu kan pasienku. Jika terjadi sesuatu, hubungi aku."
Sebenarnya Hana sungkan melakukan itu. Dia tidak mau melibatkan siapa pun dalam masalah ini, makanya dia mencari tahu sendiri tengang obat palsu itu.
Namun, Hana tidak mungkin menolak kebaikan Bara. Apalagi alasannya karena dia pasien Bara.
Wanita itu tersenyum sembari mengambil kartu nama Bara.
"Terima kasih."
Selama perjalanan pulang, Hana memberi peringatan kepada Rendi agar tidak memberitahukan perihal dirinya yang pergi ke dokter lain."Ren, kamu harus laporkan apa saja yang dilihat atau didengar selama menjadi sopir Kalila. Bila perlu, rekam semua itu.""Baik, Nyonya."Sang wanita melihat jalanan dari kaca mobil. Mengingat pembicaraan Kalila dan Aji tempo hari, membuat Hana benar-benar murka.Namun, sampai detik ini dia belum bisa mengungkapkan kebusukan mereka. Setelah sampai rumah, Hana melihat Kalila sudah pulang. Adiknya itu tampak bingung bercampur kaget saat melihat Hana pulang bersama Rendi.Pasalnya, wanita itu tak tahu jika sang Kakak keluar. Saat dia pulang kuliah, tak mendapati Hana. Kala bertanya pada Bi Asih, wanita yang hampir sepuh itu malah mengatakan tidak tahu.Memang sebelumnya Rendi mengantarkan Kalila kuliah, setelah itu barulah menjemput Hana untuk pergi ke rumah sakit."Ya Tuhan, Kak. Kakak dari mana saja? Aku nyariin, loh," ujar Kalila, menghampiri Hana yang bar
Tepat pukul 5 sore, Kalila dan Aji pulang bersama. Kebetulan, hari ini jadwal Hana periksa pada Bara. Jadi, tentu saja Rendi ikut dengan sang wanita.Aji tiba-tiba saja berteriak pada Rendi. Sang pemuda pun kaget, tapi Hana tidak. Wanita itu tampaknya tahu apa yang akan terjadi.Sebab, yang menyebarkan video itu adalah Hana sendiri. Selama beberapa minggu, Hana mengumpulkan semua video asusila mereka. Awalnya, Hana ingin melabrak mereka dan melampiaskan kekesalannya. Namun, mengingat keadaannya yang masih lemah, membuat Hana mencari cara lain. Yaitu, menghancurkan keduanya secara tidak langsung.Sebelum memviralkan kedua pengkhianat itu, Hana sudah menyuruh Rendi untuk mengambil beberapa CCTV di sana, hanya menyisakan satu CCTV yang pastinya akan sulit ditemukan oleh Aji maupun Kalila.Kemungkinan mereka menyalahkan Rendi itu sudah diperhitungkan oleh Hana. Jadi, sang wanita itu memberi perintah Rendi dengan pura-pura tidak tahu."Heh, pemuda sialan! Apa yang kamu lakukan, hah?!" seru
Besoknya, Hana menemui Bara. Sebenarnya dia tidak mau merepotkan siapa pun. Hanya saja, untuk kali ini, Hana benar-benar butuh bantuan Bara untuk memalsukan kehadirannya di rumah sakit sebelumnya. Ini bertujuan agar Kalila tidak curiga kepadanya. Membiarkan sang adik berpikiran kalau dirinya tidak ganti dokter atau rumah sakit."Itu sulit, Han."Hana terlihat murung mendengar jawaban Bara."Kenapa? Bukankah dokter di sana juga teman sejawatmu?"Bara menganggukkan kepala. "Benar, tapi masalahnya itu seniorku. Mana mungkin aku melakukan itu."Hana tampak kecewa. Tetapi, dia tidak bisa memaksakan kehendak. Apalagi pada orang lain."Baiklah kalau begitu, aku permisi."Hana berdiri dengan lemah. Bara merasa bersalah dengan penolakannya. Lalu, tiba-tiba saja pria itu melontarkan sebuah pertanyaan yang membuat si empunya tercenung."Han, untuk apa kamu melakukan itu? Bukankah kamu adalah orang yang jujur. Aku merasa tak percaya kamu meminta hal seperti itu."Hana menghentikan langkah, tapi w
Sungguh tidak terduga. Padahal, Hana belum mempersiapkan segalanya untuk membongkar kebejatan kedua orang itu. Ingin menghancurkan Kalila dan Aji sehancur-hancurnya.Namun, kenapa semua di luar dugaan. Kalila malah mengakui dan meminta maaf atas perbuatannya. Apa ini? Dia selemah itu. Setelah mendapat cemoohan dari semua orang, mentalnya langsung down.Tidak seperti tampang dan omongannya tempo hari di ruang kerja Aji, yang katanya ingin membuat Hana menderita dan merebut apa pun yang didapat oleh Hana."Kak, percaya sama aku! Aku gak fitnah Mas Aji. Kami memang berselingkuh!"Lamunan Hana buyar mendengar seruan dari Kalila. Kalau sudah begini, Hana harus putar otak. Mengubah rencana. Kalila tidak boleh mendapatkan pengampunan secepat ini."Kalau begitu, aku ingin mendengar langsung dari pengakuan Mas Aji."Kalila tampak kaget. Sepertinya dia tidak menyangka kalau Hana akan mengatakan hal seperti itu. Kalila pikir, Hana akan terpancing emosi dan mengamuk pada Aji. Lalu, berakhir memaa
"Apa maksudmu, Mas? Kenapa kamu bilang begitu?" tanya Hana.Ini di luar dugaan. Wanita itu kira, Aji akan mengaku dan hanya membahas perihal perselingkuhan mereka. Tetapi, Aji malah mengatakan yang semakin membuat Hana terkejut."Iya, adikmu inilah yang memberi ide agar kamu sakit dan--"Belum juga melanjutkan ucapannya, suara tamparan kembali terdengar. Lagi-lagi Kalila menampar pria itu."Cukup, Mas! Jangan membuat hubungan persuadaraan kami hancur! Sudah!"Kalila menangis dan berusaha untuk meyakinkan Lusi kalau semua itu hanya fitnah Aji saja.Hana hanya terdiam. Rendi dan Bi Asih pun tak bisa berbuat apa-apa selain menjadi penonton gratisan."Mbak, ampuni aku," lirih Kalila, bersimpuh di depan Hana yang masih berdiri.Perihal sakit Hana yang dibuat-buat, dia baru bisa menyimpulkan ini perbuatan Aji. Sebab rekaman pembicaraan mereka tempo hari, Aji lah yang menyuruh Kalila menaikkan dosisnya.Namun, bukan berarti adiknya tidak salah. Pasti ada andil Kalila. Entah siapa yang memula
Hana termenung sendiri di kamarnya. Dia memikirkan langkah selanjutnya untuk menghadapi Kalila dan Aji."Aku tidak menyangka akan seperti ini. Sekarang, aku bingung harus bagaimana."Hana masih diam memikirkan itu semua. Tetapi belum ada titik terang. Wanita itu pun memilih untuk memantau Aji di tempat kerjanya. Sebab, jika Aji tidak ada di kamar dan sedang dalam masalah, biasanya pria itu akan berdiam diri di ruang kerja.Hana langsung mengecek CCTV di ruangan itu. Ternyata dugaannya benar. Sang suami sedang uring-uringan di ruang kerja. Sempat bolak balik tak jelas, lalu kembali duduk sembari mengusap kasar rambutnya."Sial! Kenapa semua bisa terjadi?!" erang Aji. Suaranya sampai berdenging di telinga Hana. Wanita itu kadang memakai earphone saat menjalankan aksinya itu. Hana akan pantau, apa saja yang akan dilakukan oleh Aji di sana. Tak lama kemudian, Kalila masuk dengan beringas. Wanita itu bahkan membanting pintu ruang kerja Aji."Apa yang kamu lakukan?!" tanya Aji, kaget. Bahk
"Benar-benar biadab! Selama ini, aku menikahi orang jahat sepertinya," rutuk Hana, dengan pelan tetapi penuh penekanan.Sementara, di ruang kerja, Aji dan Kalila tertawa jumawa. Seolah mereka akan menang telak karena rencana yang diyakini sudah sempurna."Benar juga kamu, Mas. Jadi, mereka bakalan ngira kalau Kak Hana meninggal karena penyakit, bukan karena dibunuh. Tapi, kalau aku keluar dari sini, siapa yang akan memberi obat sama Kak Hana?"Aji tersenyum enteng dan kembali mengelus surai hitam Kalila. "Gampang, aku juga bisa. Intinya, kamu ikuti saja rencanaku. Ke depannya, kita bisa bebas melakukan apa saja.""Baiklah, Mas. Aku ikut saja."Hana hanya bisa memejamkan mata melihat adegan itu lagi. Dia kira pertengkaran tadi akan membuat keduanya merenggang. Tetapi, ternyata semua rencana Aji.Sungguh, sebelumnya Hana kira Aji selingkuh dengan adiknya karena Hana yang sakit-sakitan dan kurangnya perhatian darinya. Tetapi, ternyata ada niat jahat yang sudah terencana seperti itu.Apak
Aji uring-uringan. Saat ini pria itu sedang di mobil menuju kantor. Hati dan pikirannya sedang tidak sinkron.Bagaimana tidak? Perubahan Hana begitu kentara. Dari mulai tidak memakai kursi roda lagi dan sekarang bisa beraktivitas seperti biasanya. Bukan hanya itu saja, wajah Hana tampak segar. Tidak pucat dan sayu seperti dulu. Ini sangat aneh. Aji akan tanyakan pada Kalila, apakah obat itu masih diberikan atau tidak.Sementara itu, Rendi berhasil mengikuti Kalila. Ternyata sang gadis pindah ke apartemen yang cukup mewah. Rendi akan pastikan dulu kalau Kalila tinggal di sana, dan bukan menginap di tempat orang.Wanita itu sedikit kesal karena dia harus naik litf. Padahal, di rumah Hana, Kalila dapat kamar di bawah. Memang apartemen ini tidak buruk juga, hanya saja dia kurang suka karena tidak seperti rumah Hana yang ada halamannya. Harus turun ke lantai dasar baru bisa menikmati halaman luas.Dengan gerutuan, Kalila pun pergi ke sana. Dia memberitahukan pihak apartemen tentang kepind
Hana tak bertanya atau walaupun menimpali ucapan wanita itu, tetapi lebih meneliti bagaimana wajah Kalila saat ini. Mungkin saja wanita itu sedang berbohong kepadanya. Dia benar-benar harus berhati-hati kepada Kalila. Wajahnya saja yang terlihat lugu, tapi ternyata hatinya busuk dan kelakuannya di luar batas. Bahkan dia tidak menyangka kalau Adik yang selama ini disayangi dan juga dilindungi malah menusuknya dari belakang. "Aku benar-benar serius mengatakan itu. Kalau misalkan Kakak tidak percaya, aku bisa memberikan buktinya. Aku sudah mengumpulkan banyak bukti tentang kejahatan Mas Aji kepada Kakak," ujar Kalila. Dia tidak mau sampai diserang oleh Hana atau malah sendirian menghadapi Aji. "Kamu punya bukti-buktinya? Kenapa kamu melakukan itu? Berarti benar kamu mengakui kalau kamu itu sudah jahat kepadaku?" tanya Hana sembari melipat tangan di depan dada. Dia ingin sekali melakukan ini dari dulu, menginterogasi atau bahkan memaki-maki adiknya sendiri. Tak masalah, karena memang
Melihat situasi yang mulai memanas, sang kakek pun langsung buka suara. "Maaf kalau saya memotong pembicaraan kalian. Saya ingin menjelaskan duduk permasalahannya, agar tidak ada salah paham, ya," ucap Kakek itu yang membuat mereka bertiga menoleh. Kebetulan di sana juga sudah ada Rendi. "Maaf, Kakek ini siapa, ya?" tanya Hana, dia tidak bisa mudah percaya begitu saja. Mengingat kalau Kalila itu mungkin licik dan menyewa Kakek ini untuk pura-pura menjadi saksi. Walaupun memang saat ini keadaan Kalila begitu kacau, tapi entah kenapa rasa percaya terhadap adiknya itu sudah hilang begitu saja. Harus punya bukti yang kuat, baru benar-benar bisa paham dengan situasi yang terjadi. "Saya Tono. Saya orang yang tinggal di sekitaran perkebunan itu." Pria tua itu pun menceritakan kronologis saat ia menemukan Kalila di sebuah lubang. Hana hanya terdiam. Dia melihat tidak ada kebohongan di sorot mata Kakek ini. Tampak benar-benar tulus dan juga jujur. "Seperti itu, Nak. Saya datang ke sini h
Saat ini Hana sedang berada di mobil menuju perjalanan pulan. Dia terus saja memikirkan perkataan Sabrina kepadanya. Wanita itu hampir saja tergoda untuk ikut kerjasama dengan Sabrina perihal Kalila, tetapi Hana sadar kalau yang dihadapinya adalah Rido dan orang kaya yang mungkin saja bisa melakukan segala cara dengan uang atau bisa saja dia dimanfaatkan oleh Sabrina demi kepentingan tertentu. Lalu, ujungnya Hana juga yang menjadi tersangka atau kambing hitam mereka. "Aku tidak mau berurusan dengan orang-orang kaya seperti itu. Mereka terlihat baik, padahal di belakangnya busuk. Untuk masalah Kalila, biarlah aku sendiri akan berpikir sesuai dengan rencanaku sebelumnya," gumam Hana saat masih di dalam mobil.Dia benar-benar tidak mau berurusan lagi dengan Rido atau istrinya, berharap semuanya akan segera berakhir dan bisa memulai hidup baru dengan baik. Suara ponsel berdering, di sana tertera nama Rendi. Wanita itu menautkan kedua alisnya. Biasanya Rendi akan menelepon Hana jika mema
“Aku ingin mengajakmu kerja sama.”Hana masih tampak kebingungan, terlihat dari wajahnya serta alis yang saling bertautan.“Untuk?”Sabrina tersenyum, lalu menghela napas panjang. wanita itu begitu santai. Tetapi, wajahnya kali ini tampak serius.“Aku tahu, suamimu selingkuh dengan adikmu.”Lagi-lagi tubuh Hana menegang. Satu pertanyaan muncul di benak, bagaimana wanita itu bisa tahu?Seolah paham dengan mimik wajah Hana, Sabrina kembali melanjutkan ucapannya yang malah membuat Hana tidak bisa berkata-kata.“Aku mengikuti kegiatan dan gerak-gerik Kalila.”Hana menghela napas berat. Adiknya itu memang sangat memalukan. Dia malah merebut seorang suami yang sudah beristri.Namun, sekarang bukan itu point masalahnya. Kenapa Sabrina harus mengajaknya kerja sama? Dia sama sekali tidak butuh patner untuk memberikan adiknya hukuman.“Kamu bisa memakai uangmu untuk membereskan Kalila. Dia memang adikku, tapi perlakuan dan tindakannya bukan tanggung jawabku.”Sabrina takjub dengan keteguhan dan
“Kalau itu saya kurang tahu, Non. Tapi, sedari pagi Tuan memang sudah berangkat.”Kalila masih khawatir. Jadi, dia hanya bisa berharap kalau Aji tidak dulu pulang dan Hana segara kembali.Sementara itu di sebuah kafe, Hana sedang bertemu dengan wanita yang kemarin meneleponnya. Pada akhirnya, sang wanita tidak punya pilihan lain.Rasa penasaran membuatnya mengambil keputusan ini. Apalagi, mungkin ini bisa dijadikan bahan bukti penangkapan Adik dan suaminya.Namun, yang membuat Hana kaget adalah wanita itu dikenal olehnya. Dia adalah Sabrina, istri dari Rido.Wanita cantik dan elegan itu tersenyum simpul pada Hana. Entah kenapa, kesan pertama yang dilihat bukanlah takut atau risi, melainkan merasa terpukau.“Pasti kamu kenal aku, kan?” tanya Sabrina dengan ramah.Hana ikut tersenyum sembari mengangguk. “Iya, aku mengenalmu.”“Sama, aku juga kenal kamu. Termasuk hubunganmu dengan suamiku.”Kali ini Hana mengernyit bingung. “Maksudmu? Maaf, aku tidak punya hubungan apa pun dengan Rido.”
“Tas?”Rendi bergegas melihat isi tas itu, tentu saja menggunakan sarung tangan. Ini akan jadi bukti untuk diperlihatkan pada Hana. Isinya masih aman, kecuali HP. Sudah dipastikan kalau Aji menculik Kalila.Pria itu mencoba mencari apalagi yang bisa dijadikan bukti, sampai Rendi melihat ada jaket milik Aji yang tertinggal di sana. Rendi pun langsung mengambilnya. Ini akan semakin memperkuat kesalahan Aji.Setelah itu sang pria pun langsung pergi dari sana. Dia akan mencari jejak Kalila sepanjang pulang dari sini. Mungkin saja wanita itu masih ada di sekitaran sini.Sementara itu, tepat pukul 9 Kalila bisa menaiki mobil sayur. Dia diantar oleh kakek itu untuk ke kantor polisi.Selama perjalanan, Kalila terus berdoa, semoga dia tidak bertemu dengan Aji. Kalau tidak, bukan hanya dirinya yang ada dalam masalah, tapi sang Kakek juga.Kalila menutupi kepalanya dengan kain jarik yang diberikan Nenek. Ini digunakan agar Kalila aman dan tidak ada yang mengenali.Hingga satu jam kemudian, akhir
“Ini, Nak. Minumlah.”Kakek tua itu menyerahkan teh hangat pada Kalila yang sedang duduk di dipan sebuah rumah sederhana berdinding anyaman bambu.Dengan tangan gemetar, wanita itu menerimanya dan langsung meminumnya.“Pelan-pelan, Nak. Itu masih panas.”Kalila tahu, teh itu masih agak panas. Tetapi, semalaman dia tidak makan maupun minum. Entah bagaimana kalau dirinya sampai tak tertolong, mungkin kejahatan Aji tidak akan pernah bisa terbongkar.“Kamu sudah tenang?”Tanya seorang nenek yang keluar dari arah dapur. Sepasang sepuh itu tinggal dengan cucunya. Mereka ada di ujung perkambungan, dan hanya rumah ini yang ada di sepanjang jalan setapak. Terbilang hidup sangat sederhana.Nenek itu duduk di pinggir dipan dan mengusap pundak Kalila dengan pelan.“Ya Allah, Nak. Badanmu sampai gemetar seperti ini. Dia pasti sangat ketakutan,” ucap Nenek itu pada sang Kakek.Pria sepuh mengangguk setuju. “Iya, Bu. Kalau saja kita tidak menemukannya, dia pasti sudah tertangkap lagi oleh penculik i
Kalila menangis dengan suara parau. Dia benar-benar mulai putus asa. Kalau tidak ada yang menolongnya, maka kemungkinan besar dirinya akan ketangkap oleh Aji.Dia menggelengkan kepala. Membayangkannya saja sudah membuat dirinya merasa takut.Ternyata Aji punya sisi jahat yang mengerikan. Mungkin saja, Kalila akan habis di tangan pria itu kalau tidak kabur. Tetapi, masalahnya dia tidak tahu cara keluar dari sini.Wanita itu menangis sembari berusaha berpikir, bagaimana caranya agar bisa keluar dari sini. Tak ada jalan selain terus menyerukan permintaan tolong dan berdoa pada Tuhan.“Ya Tuhan, aku benar-benar menyesal. Tidak mau berurusan dengan Mas Aji lagi. Kalau aku keluar dari sini, aku akan membuka kebusukan pria itu. Aku janji.”Kalila menangis sesenggukan, sampai tiba-tiba ....“Ternyata orang!” seru seorang anak remaja dengan pakaian kaos dan celana panjang. Ada topi bambu yang menempel di kepalanya.Kalila langsung mendongak dan menghapus jejak air mata. Wanita itu merasa senan
“Siapa kamu sebenarnya?”Hana masih mencari tahu tentang identitas wanita di seberang sana. Tetapi, lagi-lagi sang wanita tak mengatakan apa pun.“Kamu akan tahu siapa aku setelah nanti kita bertemu.”Hana diam sejenak, memikirkan apa yang harus dia lakukan.“Kalau kamu mau tahu tentang adikmu dan suamimu, datanglah besok jam 8. Aku akan mengirimkan alamatnya.”Setelah itu panggilan pun terputus. Lalu, sebuah pesan masuk. Isinya alamat dari si penelepon tadi.Entah apa yang akan Hana perbuat besok. Yang pasti dia harus hati-hati dengan kemungkinan terburuk.***Suara pintu utama terbuka membuat Hana terkesiap. Sang wanita langsung mencari tahu siapa yang datang, ternyata itu adalah suaminya.Aji terlihat pucat dan juga terengah-engah. Hana mengernyit, bingung. Sebab tak biasanya Aji seperti ini.Pantas saja sedari tadi dia tak melihat keberadaan sang pria.“Kamu dari mana, Mas? Lalu, kenapa seperti habis dikejar orang?”Aji berusaha menenangkan diri. Yang sebenarnya, saat pulang tadi