"Gila si Vincent! Dia kira kita ini kancil apa! Disuruh kesana-kemari, bawa ini-itu. Di kiranya hantu nggak perlu istirahat.""Kalo nggak cakep udah ku selepet pake kolor ijo," cerocos Rachel yang muncul dari balik tembok dengan wajah jutek dan mulut yang tak berhenti mengerutu."Huahhh … capek." Rachel melempar tubuhnya ke atas ranjang. Tak lama ia terdiam lalu melirik bingung, karena tak mendapat respon yang berarti dari orang yang duduk di sisi yang berbeda."Tumben banget si Aileen nggak ngomel," ungkapnya sambil mengerling pada Mardiana yang baru saja menembus tembok dan duduk di sofa panjang. "Apa dia sakit lagi?"Mardiana menatap cemas dan segera beralih untuk mendekati Aileen yang masih menekuk wajahnya menatap ubin marmer berwarna gelap."Aileen, kamu baik-baik saja?" Mardiana menepuk perlahan pundak wanita muda itu."Eh …" Aileen mengerjab mata beberapa kali sebelum akhinya mengembangkan senyum manis di bibirnya. "Bu Mar, udah pulang?"Mardiana dan Rachel kompak mengerutkan
'Sejak kapan kamu suka makan bakso … Aira.'Aira susah payah menelan potongan bakso melewati tenggorokannya. Dalam benaknya kembali terngiang kalimat yang dilontarkan Bagas dengan raut wajah datar dan dingin, kalimat yang mampu membuat tubuhnya seketika membeku.Beruntung, saat itu Daren kembali muncul dan buru-buru menyeret tangan Aileen untuk segera pergi.Dan kini, ketiganya duduk dalam satu meja dimana tubuh Aileen dan Daren bersisian sedangkan Bagas duduk di hadapan mereka dengan tangan terlipat di depan dada. Pria itu sama sekali tak menyentuh mangkuknya. Matanya hanya lurus pada Aileen, seolah menuntut penjelasan."Bukankah aku sudah bilang, kamu pasti tak akan bisa makan disini," kata Daren.Sindiran bernada ringan itu berhasil memecah kesunyian yang kian terasa mencekam."Makan'lah. Rasanya enak kok," tutur Aira. Ia ingin sedikit menurunkan kerasnya intensitas tegang diantara mereka.Bagas melengos pelan lalu menurunkan tangannya dan bergerak canggung. Ia menatap boja pejal y
"Bagas, sejak kapan kamu tahu kalau aku bukan'lah Aileen?"Aira merebahkan kepala di pundak Bagas. Keduanya duduk bersisian di bangku taman belakang, menatap bintang sambil menikmati seduhan teh hangat—seperti yang dulu selalu mereka lakukan saat menghabiskan waktu bersama."Ku rasa dari awal," balas Bagas tenang, ia meletakkan cangkirnya kembali ke meja dan beralih pada wajah yang menatapnya dengan sorot mata lembut."Bagaimana kamu bisa tahu? Aku berusaha keras menjadi seperti Aileen?" Aira berdecak sebal. Ia ingat jelas betapa susah payahnya ia saat meniru sosok Aileen yang setiap harinya bicara dengan nada ketus.Bagas terkekeh geli. "Aileen tidak melihatku dengan tatapan lembut seperti ini," ucapnya seraya mengusapkan ibu jari di sudut mata Aileen. "Dia selalu melengos dan mengerutkan kening setiap kali berhadapan dengan ku." Bagas menurunkan tangannya seraya mengulum senyum."Ah, benar juga. Aku lupa kalau Aileen selalu kembali dengan wajah kesal dan mengumpat kasar setelah bert
Aileen bergelung dalam tidurnya. Ia mengeram pelan saat sengatan tajam terasa menusuk, menembus otaknya. Perlahan ia membuka mata, mengerjab beberapa kali saat mendapati suasana yang berbeda. Ini seringkali terjadi, namun ia tetap saja belum terbiasa bila tiba-tiba terbangun di tempat yang lain. Aileen memijat pelipisnya dan menyusuri pemandangan yang mampu dijangkau oleh matanya.'Ini kamar Bagas?' seru hatinya panik. Aileen berpaling saat mendengar suara dengkuran halus disertai terpaan hangat yang membelai wajahnya. Matanya melebar saat bertatapan langsung dengan wajah tampan yang masih tertidur pulas. Aileen mengalihkan pandangannya, lurus menatap langit-langit kamar sembari menebak-nebak apa yang telah terjadi selama dia tiada.Ia menahan napas saat rangkulan di pinggangnya mengetat dan menarik tubuhnya agar lebih dekat dengan pemilik tangan. 'Apa yang harus ku lakukan sekarang?' Teriaknya dalam hati. "Aku harus segera keluar dari sini," gumamnya.Perlahan Aileen mengangkat ta
'Kini aku takut kehilanganmu seperti aku kehilangan Aira.'Aileen menghela napas dalam untuk kesekian kalinya saat kalimat yang sama terus saja berulang dalam benaknya."Hei, Aileen! Sampai kapan kamu mau melamun disitu?" Vincent menopang kedua tangannya di pinggang dengan wajah cemberut. Sejak satu jam yang lalu, wanita yang datang dengan wujud asli itu hanya duduk di pojokan dengan ekspresi kosong."Apa yang terjadi padanya? Roh nya belum balik?" tanya Rachel sambil menggoyangkan dagu pada Aira yang ikut membantunya mengangkut kardus untuk dinaikkan ke lantai dua gedung cafe."Entahlah," sahut Aira tanpa bergeming. Matanya menatap lurus pada wajah yang mengasingkan diri sejak pagi tadi."Kalau kau cuma mau melamun, pulang saja sana!" Vincent mendekati posisi dimana Aileen duduk dan langsung melayangkan telapak tangannya, mengeplak puncak ubun-ubun."Akh … sakit," jerit Aileen, mengaduh kesakitan sambil mengosok kepalanya. "Kenapa dari tadi kamu terus saja mengomel, sih?"Vincent me
Peti mati perlahan diturunkan ke dalam tempat peristirahatan terakhir dari raga yang tak lagi berjiwa. Satu demi satu serukan, tanah merah perlahan menutupi atas peti. Menghantarkan kematian menuju alam kekal abadi. Taburan kelopak bunga menutupi permukaan gundukan, menandakan bahwa prosesi pemakaman telah berakhir.Mardiana menatap pusara putranya dengan mata sayu. Tak ada tangis, apalagi ratapan pilu. Sejak dokter mengusulkan pelepasan alat bantu pernapasan, ia telah memasrahkan diri. Menerima keadaan ini dengan lapang dada."Bu Mar, kita pulang ya," ajak Rachel. Ia menyentuh lengan Mardiana dengan tangan bergetar.Sedari tadi kesedihannya berpadu dengan rasa takut dimana puluhan mahkluk berwajah gelap mengintip dari kejauhan. Jiwa-jiwa gelap yang muncul dari segala arah, tampak antusias oleh kedatangan Aileen dan Vincent, dua jiwa yang memendarkan cahaya menyilaukan, mengaburkan sinar jingga sang senja. Mardiana berbalik, menatap Aileen, Vincent dan Aira yang hanya berjarak beb
Nani melirik takut-takut pada Aileen yang sedari tadi hanya duduk menopang tangan di depan dada. Wanita itu enggan untuk sekedar bertegur sapa ataupun balas menatapnya.Selama beberapa hari di rawat di rumah sakit, Nani banyak merenungi apa yang telah dilakukannya di masa lalu. Ia terlalu abai, tidak memperdulikan perasaan putri yang dilahirkannya di usia muda.Jadi, wajar saja bila kini Aileen bersikap dingin padanya. Nani yakin, bila bukan karena Bagas dan Denis, putrinya itu tak akan sudi menjenguknya."Ai, apa kabarmu?" tanya Nani demi memecah kesunyian. Dua puluh menit terasa amat lama baginya, berdiam diri dalam keheningan sementara Bagas dan Denis mengurus administrasi untuk kepulangannya.Aileen mengangkat wajah untuk menatap sang ibu. Tak lama ia kembali mengalihkan pandangannya. "Baik," sahutnya singkat."Dokter Daren banyak bercerita tentangmu. Ibu baru tahu kalau dokter itu calon saudara iparmu." Nani melanjutkan celotehannya untuk memancing reaksi putrinya.Namun, ia ha
Sepuluh menit telah berlalu dalam kesunyian, bahkan suara deru mobil tak lagi terdengar sejak Bagas memutar kunci—mematikan mesin mobil.Namun, tak satupun dari mereka yang beranjak atau sekedar berinisiatif untuk membuka suara. Keduanya larut dengan pikiran masing-masing hingga sebuah ketukan di jendela samping menyadarkan Bagas."Maaf, Tuan Bagas. Nyonya memanggil anda dan nona Aileen untuk masuk," usik pria tua yang bertugas merawat seluruh tanaman di halaman dan area kebun belakang. "Baik," angguk Bagas singkat dan kembali menaikkan kaca jendela. Ia berbalik untuk menatap Aileen yang tampak canggung, duduk sembari meremat jemarinya resah."Ayo, masuk," ajak Bagas. "Mama sudah meminta kita pulang dari tadi. Mama memasak chicken katsu kesukaan mu."Aileen mengangguk patuh. "Tunggu," tahan Bagas saat Aileen hendak menarik kenop pintu. Ia buru-buru keluar dari mobil dan berbalik arah untuk membuka pintu dari sisi yang berbeda.Aileen mengerjabkan matanya saat Bagas mengulurkan tanga
Aileen bergerak gelisah dalam tidurnya. Napasnya tersengal-sengal hingga beberapa kali terdengar erangan tertahan, lolos dari bibirnya yang bergetar.Perlahan ia membuka mata lalu beranjak ke posisi duduk. Aileen menekuk punggung lalu menyangga kepalanya yang terasa berat dengan kedua tangan—serasa tengah menopang beban ribuan kilo. “Sakit,” lenguhnya pelan sambil menekan perutnya.Aileen menegakkan tubuh lalu menginjak kaki di lantai dingin. Matanya meneliti bungkusan obat di atas nakas. Aileen yakin, sebelum naik ke atas ranjang, ia telah menegak sebungkus obat yang harus rutin di minumnya.Jemarinya meraih bungkusan kecil yang tersusun rapi di dalam box lalu menggenggam erat. Tertatih, Aileen menyeret langkahnya keluar dari kamar. Ia mendekatkan lengan ke wajah untuk menyeka keringat yang mengaburkan pandangan dengan permukaan lengan piyama yang dikenakannya.Aileen memanfaatkan setiap permukaan dinding sebagai tempat menumpukan tubuhnya yang lemah. Begitu melewati ruang tengah, A
“Bagas, bisakah aku pulang ke rumah?” Aileen bersuara setelah menimbang lama, ia merasa ini adalah waktu yang tepat.Ia menatap Bagas yang baru saja memarkirkan mobil dan melepaskan kemudi.“Bukankah kita sekarang di rumah?” tanggap Bagas sambil menjangkau seatbelt di sisi Aileen dan melepaskannya.Aileen menahan napasnya saat wajah Bagas hanya berjarak sebatas pandangan—sangat dekat hingga membuatnya tak bisa berkutik. “Maksudku rumah Ibu,” ralat Aileen setelah Bagas kembali ke kursinya.Buku-buku jari Aileen memerah akibat meremas jemarinya terlalu erat saat gugup. Ia mengatur ritme napasnya, demi menutupi kegelisahan yang tiba-tiba menghampirinya.“Buat apa?” Bagas menarik diri, namun tetap menautkan pandangannya dengan kening berkerut. “Dokter bilang kondisi Ibu sudah membaik. Apa beliau mengeluhkan sakit?”Ia menatap lekat untuk menyelami apa yang tengah dipikirkan oleh Aileen hingga membuat wanita itu gelisah dan terus saja mengalihkan pandangan, seolah tengah menghindar agar k
“Aileen!” Suara nyaring yang tiba-tiba muncul dari balik pintu, setengah berlari—menghampiri Aileen dan menyentak tubuhnya agar menjauh dari sisi Daren. “Apa yang kalian lakukan?”“Bagas! Soraya?” Seru Aira, terkejut akan kehadiran sosok Bagas yang datang bersama adik tirinya.Daren bergerak risih—menepis tangan Soraya yang memeluk lengannya. “Lepaskan, Soraya.” Wajah Soraya berubah masam namun hal itu tak menyurutkan langkah Daren untuk menarik diri dan beralih untuk menghampiri Aileen yang masih terpaku dengan wajah bingung.Sayangnya, langkah Daren kurang cepat karena Bagas telah lebih dulu menjangkau lengan Aileen dan menarik tubuh ringkih itu ke sisinya. “Bukankah aku menyuruhmu tetap diam di rumah,” desis Bagas. Ia meraih tangan Aileen dan terkejut akan jemari sedingin es. “Apa yang terjadi?” Burunya cemas.Bagas menempelkan punggung tangannya di atas dahi pucat itu. Dua alisnya saling bertaut begitu menyadari suhu tubuh Aileen jauh lebih rendah dari manusia normal.Pandangan
“Dok.”“AAA …”“Eh, kenapa?” Aira segera menghampiri dua orang yang kompak menjerit bersamaan.“Ah, maafkan aku,” desah Daren sembari mengelus dadanya. “Aku belum terbiasa dengan ini,” ujarnya seraya beringsut mundur—menjauhi Rachel dan Aira.“Apa maksudnya?” Rachel mengerjabkan kedua matanya, bingung.Aira mengulum senyum geli. “Dia takut padamu, Rachel. Apa kamu tak mengerti juga?” urainya di balik tawa tertahan.Rachel mengerucutkan bibirnya, sebal. “Aku adalah hantu tercantik diantara semua hantu di abad ini. Tidak sopan berteriak ketakutan di hadapan wajah se cantik ini,” protesnya sambil menyibak rambut sebahu yang menutupi sebagian wajahnya. Aira mencelos malas sedangkan Daren mengurai senyum serba salah.“Abaikan saja dia, Daren. Kamu hanya butuh sedikit waktu agar terbiasa melihat kami.” Aira beralih pada kertas di tangan Daren. “Apa itu?”“Entahlah.” Daren mengedikkan bahunya. “Dukun itu memintaku menyiapkan obat,” jelasnya sambil melambaikan kertas panjang itu.“Obat?” Air
“Wanita itu sangat keras kepala,” desis Bagas gusar. Ia menggenggam erat ponselnya seraya menatap titik merah yang berkedip-kedip di atas peta—aplikasi tracking.“Padahal aku sudah melarangnya keluar rumah,” gerutunya sembari berjalan keluar rumah menuju mobil yang terparkir di halaman.“Bagas, kamu mau kemana?” Wanita anggun berambut sebahu, menghentikan langkah Bagas yang tengah bersiap memasuki mobilnya.“Soraya?” Bagas menautkan alisnya. Sudah beberapa hari, ia tak melihat adik iparnya pulang ke rumah ini. “Apa renovasi rumahmu sudah selesai?” Soraya terdiam sesaat sebelum menggelengkan kepalanya. “Masih ada beberapa bagian yang membutuhkan perbaikan,” ulasnya ragu-ragu.“Hmm,” gumam Bagas acuh tanpa berniat mencari tahu lebih jauh.“Bagas, boleh aku ikut? Belakangan ini aku tidak nyaman berada di rumah ini sendirian,” pinta Soraya dengan suara lembut, berhias senyum manis di bibirnya.Bagas terdiam lama, ia kurang nyaman akan keberadaan Soraya disekitarnya, karena ia tahu wanit
'Apa yang sekarang dipikirkan Aira? Apa dia tahu kalau mereka pernah bertemu di masa lalu? Harus'kah aku menceritakannya?' Pertanyaan demi pertanyaan saling sambut menyambut dalam benak Aileen. Sesekali ia melirik wanita yang duduk disampingnya. Sejak meninggalkan restoran dan memasuki mobil mewah, tak banyak yang terucap di antara Aileen dan Aira. Keduanya saling berdiam diri, larut dalam pemikiran masing-masing.Mobil memasuki area parkir, mata kedua wanita yang duduk di kursi belakang terpaku pada gedung bergaya artistik dimana puluhan orang tengah mengantri untuk memasuki area dalam."Ini?" Aileen bergumam samar, bertanya pada benaknya."Galeri Mama Viona," balas Aira. Ia menarik pergelangan tangan Aileen agar mereka bisa segera mengikuti langkah cepat sosok dirinya dalam ingatan. "Mau kemana dia?"Tanpa sadar, Aileen terkikik geli akan celetukan yang di lontarkan wanita disampingnya."Kenapa? Apa yang lucu?" Selidik Aira dengan alis yang saling bertaut."Aku hanya merasa aneh k
'Bocah? Wanita? Siapa yang sebenarnya yang mereka maksud?'"Apa kamu kenal? Siapa yang sedang mereka bicarakan?" Usik Aileen."Entahlah," sahut Aira dengan mata meraut bingung. "Kami punya yayasan yang mengasuh banyak anak-anak telantar tapi Papa tidak pernah mengatakan niatnya untuk mengadopsi salah satunya.""Tapi Kak …" Farhan terdiam saat wanita yang dilingkupi keangkuhan itu menatapnya tajam."Farhan, aku merasa kamu terlalu bertele-tele. Apa kamu sudah menemukan wanita itu?" Selidik Viona curiga.Farhan menggeleng cepat seakan hendak melepaskan kepalanya dari pangkal leher. "Ti-tidak, Kak," cicitnya terbata.Viona mendesis jengkel. "Jangan coba-coba untuk membohongi ku, Farhan. Kau tentu tahu apa akibatnya," kecamnya."Ba-baik, Kak." Farhan takut-takut untuk membalas sang Kakak.Aileen terdiam sesaat sambil memicingkan matanya, meneliti dengan lebih seksama sosok Farhan. Wajah itu seolah tak asing baginya namun tak juga spesial hingga meninggalkan jejak khusus dalam ingatannya.
"Berhati-hati 'lah! Jangan sampai terjebak ..."Aileen membuka matanya perlahan, sayup-sayup kalimat terakhir Vincent terngiang-ngiang di benaknya. 'Kenapa nada suaranya terdengar sangat cemas?' pikirnya."Kamu baik-baik saja, Ai?"Suara Aira membuat kesadaran Aileen meningkat sedikit demi sedikit. Ia menggosok pelipisnya yang berdenyut nyeri, rasanya seluruh isi dalam perutnya bergejolak—berlomba untuk keluar.'Kenapa Vincent tidak mengatakan kalau rasanya akan seburuk ini! Paling tidak aku bisa bersiap sebelumnya,' desah Aileen dalam hati."Oke," ucapnya dengan susah payah demi memenangkan wajah panik yang terus menatapnya. "Di mana kita sekarang?"Aira memperhatikan keadaan disekelilingnya. "Ku rasa ini kamar ku," tebaknya."Di rumah?" Aileen mengerutkan keningnya ragu. "Rasanya ini bukan kamar Bagas," gumamnya."Bukan. Ini kamar ku di rumah Papa," jelas Aira. "Oh." Aileen mengangguk paham. "Kenapa kita disini?" Ia mendekati rak bertingkat tiga dimana puluhan buku tertata rapi.
"Terlambat!"Kalimat pertama yang diucapkan Vincent dengan kening berkerut, begitu melihat Aileen dan Aira muncul dari balik pintu masuk kafe."Dan, apa ini?" Vincent menyeringai sinis, sengaja ingin menggoda Aileen. "Kali ini kamu membawa yang mana? Nomor satu atau dua?"Aileen mendesis jengkel. "Buang pikiran buruk mu itu. Daren sedang libur, jadi dia ikut untuk membantu," kilahnya ketus."Oh … membantu? Emangnya dokter tampan ini, bisa merawat hantu?" Ujar Vincent mengolok-olok alasan Aileen."Apa kamu akan terus mengocehkan hal konyol? Berarti aku bisa pulang lebih awal hari ini," kecam Aileen bernada ancaman."Ok … ok. Aku berhenti." Vincent mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. "Ayo ke lantai atas.""Di mana Rachel? Aku tidak melihatnya dari tadi." Aira mengedarkan pandangannya untuk mencari sosok yang tak pernah ingin ketinggalan dalam setiap kegiatan yang menurutnya menyenangkan."Aku mengutusnya untuk melakukan sesuatu," sahut Vincent singkat sembari melangkahkan kakiny