"Aileen …"Aira mengangkat tangannya untuk memastikan apa yang terjadi dan benar saja, kali ini ia kembali di berada dalam tubuh Aileen."Apa yang harus kulakukan?" Gumam Aira panik.Ia berpaling untuk mencari sosok bermata merah namun mahkluk itu tak lagi berdiri di sana. Dia telah menghilang bagai asap."Aira …""Bagas?""Ini kamu 'kan?" Ulang Bagas demi memastikan firasatnya. Aira yang berada di tubuh Aileen mengangguk ragu. Dia tersentak kaget kala tubuhnya di tarik ke dalam pelukan."Aku merindukanmu," desah Bagas."A—aku juga, Bagas.""Apa yang kalian lakukan?"Bagas dan Aira saling melepaskan pelukan begitu mendengar suara orang lain dari balik dari arah yang berlawanan."Aileen, kamu baik-baik saja?" Daren datang dan meraih tubuh Aileen dari rangkulan sepupunya."Apa yang terjadi?""Ah, i—itu …" Aira tergagap, bingung.Bagas bangkit dan menepis tangan Daren dari pundak istrinya."Tadi ada tikus," sahutnya singkat dan mengabaikan tatapan protes yang dilayangkan Daren."Tikus?"
"Aira?" Gumam Daren tak percaya. "Kenapa kamu?"Suara bel yang berulang membuat kalimat Daren tertunda. Ia masih saja menatap nanar ke arah Aira. Seolah tak bisa mempercayai firasat dan logikanya yang saling bersinggungan."Siapa yang datang sepagi ini?" Keluh Bagas. Namun dia tak berencana untuk beranjak dari posisinya saat ini."Biar aku yang bukakan pintunya," sela Aira. Namun Bagas menahan tangannya."Biar aku saja," ucap Daren pada akhirnya. Tatapan yang diarahkan Bagas dengan jelas menunjukkan bahwa dia ingin Daren menjauh dari wanita disampingnya."Kamu?" Kening Daren berkerut saat disambut oleh wajah yang dikenalinya sebagai pemilik cafe dimana Aileen bekerja part time."Aku ingin bertemu dengan Aileen," kata Vincent."Ada keperluan apa dengan Aileen?" Daren tidak memberi celah bagi pria yang mengusik pikirannya sejak awal pertemuan. "Untuk membangunkannya," balas Vincent dengan nada misterius."Siapa?" tanya Bagas yang datang masih dengan mengengam erat tangan Aira. "Apa ya
"Hmm, aku dimana?" Gumam Aileen sembari memperhatikan pemandangan di sekitarnya."Oh, ini 'kan?""Aileen."Suara yang terdengar sangat familiar memanggil namanya, membuat Aileen buru-buru berpaling. 'Ayah!'"Aileen! Anak ayah ini nakal sekali. Kan udah dibilangin nggak boleh main kotor-kotoran lagi. Kita mau pulang."Aileen terpaku menatap wajah yang dirindukannya. Sosok ayah yang tampak jauh lebih muda dari ingatan terakhir Aileen, tengah mengomeli gadis kecil yang menunduk takut sembari menepuk gaun selututnya yang terkena cipratan becek."Maaf," gumam Aileen kecil."Ya sudah. Papa ambil air bersih dulu buat ngucek baju, nodanya harus segera dibersihkan agar tidak meninggalkan bekas."Aileen kecil mengangguk patuh. Ia mengambil alih kursi di pinggir danau yang ditinggalkan Ayahnya."Aileen."Gadis kecil itu berpaling."Jangan terlalu dekat dengan bantalan, danaunya dalam." Pesan sang ayah sebelum berlari ke pondok pemilik tempat pemancingan."Aileen bukan bocah," gerutu Aileen keci
"Akh. Sakit," rintih Aira sambil mencengkram erat dadanya. "Kenapa, Ai?" Buru Daren."Dada ku sakit sekali, seperti di tusuk-tusuk," urai Aira."Tubuh ini sudah mencapai batasnya," jelas Vincent. "Aira, panggil Aileen. Bangunkan dia!""A—aku tidak tahu caranya," rintih Aira diantara rasa sakit yang sangat."Pejamkan matamu dan berkonsentrasi lah, panggil Aileen keluar," bimbing Vincent.Aira mengikuti instruksi Vincent. Memejamkan matanya dan berkonsentrasi untuk memanggil jiwa yang tertidur lelap di balik alam bawah sadarnya.'Ai, kamu dimana? Bangunlah,' batin Aira."Aileen!"Dalam sepersekian detik tubuh Aira terlempar keluar dari raga Aileen bersamaan dengan luruhnya tubuh lemah itu ke dalam pelukan Bagas. "Aileen!" Aira dan teman-temannya menjerit ketakutan saat melihat tubuh itu terkulai lemah tak berdaya."Sial!" Desis Vincent panik. "Raganya kosong." Teriaknya sambil memperhatikan sekeliling, memastikan tidak ada roh yang mendekati raga Aileen.Daren menyentuh titik nadi d
"Kamu yakin?"Daren menatap cemas saat Aileen melepas seatbelt dan menekan kunci pintu mobil."Aku udah merasa sehat kok," ujar Aileen yakin, demi mengurai raut cemas di balik wajah tampan yang tengah menatapnya lekat."Kenapa kamu harus ke cafe ini lagi? Bukankah kemarin pemiliknya sudah datang ke rumah?"Aileen mendesah dalam. "Itu 'lah masalahnya, aku tak bisa mengabaikan permintaan Vincent karena kemarin dia sudah menolong ku."Aira yang duduk di bangku belakang mengangguk setuju."Tapi kamu masih butuh istirahat. Biar aku yang bicara langsung dengannya." Daren melepas seatbelt lalu mengapai pintu tapi Aileen segera menghentikannya."Nggak usah." Tahan Aileen. "Aku bukan bocah yang butuh klarifikasi emak bapaknya," sergahnya setengah bercanda."Tapi Ai—""Tenang saja. Vincent tidak seburuk yang kelihatan kok," pungkas Aileen.Aileen dan Aira melompat turun dari Ferrari merah lalu melambaikan tangan. "Terima kasih untuk tumpangannya dan sampai nanti," pamitnya sebelum berlari masuk
"Ka—kamu bisa melihatku?"'Sial!' umpat Aileen dalam hati. Ia mengutuk kebodohannya yang dengan gamblang menunjukkan bahwa dia bisa melihat keberadaan mahkluk di hadapannya.Aileen mengangkat wajahnya perlahan sambil mengalihkan pandangan ke arah yang lain. Mencoba untuk mengaburkan sikap sebelumnya."Aku yakin, kamu bisa melihatku," seru wanita berwajah pucat, mengenakan gaun pengantin berbahan sutra bertahtakan mutiara dan kristal yang memancarkan aura mewah."Jauhkan tangan mu!" Sentak Aira. Ia bergerak cepat dan berdiri dihadapan Aileen, menghalangi tangan yang bergerak untuk menyentuh wanita itu. "Bodoh! Kenapa kamu malah mengaku!" Hardik Aileen gemas. "Aku sedang berakting, pura-pura tidak melihatnya.""Oh, benarkah?" Aira terkekeh konyol. "Kenapa kamu tidak bilang? Aku hanya takut dia menyakitimu."'Bagaimana aku mengatakannya?!' Aileen mengerang frustasi, mengacak poni lalu mendesis jengkel. "Apa yang kamu lakukan disini?" Alihnya pada wanita yang tengah menatapnya lekat da
"Dari mana saja kalian?"Aira tersentak kaget saat Vincent tiba-tiba muncul begitu mereka keluar dari toilet. Ia bersyukur karena Moana telah pergi terlebih dahulu sebelum laki-laki itu tiba."Boker," sahut Aileen. Ia mengibaskan tangannya dengan santai hingga sisa air memercik kesana-kemari."Apa di dalam nggak ada blower?" Sindir Vincent sambil mendesis jijik.Aileen melengos malas lalu melangkahkan kakinya menjauh, menyusuri lorong panjang sedangkan Aira menepuk pundak Vincent, menyemangatinya. "Kamu harus banyak bersabar. Itu belum semuanya, Aileen yang sesungguhnya jauh lebih menyebalkan."Vincent terkekeh geli. "Apa kamu ibunya?""Belakangan ini aku merasa beralih fungsi sebagai ibu sekaligus asistennya," ungkap Aira sambil tertawa kecil."Kalau begitu, kamu yang seharusnya lebih bersabar karena aku yakin, dia belum menunjukkan semuanya," balas Vincent sarkas.Keduanya saling bertukar tawa."Terus saja ngedumel di belakang ku," sindir Aileen dari kejauhan. Aira berlari kecil m
Aira celingukan ke kiri dan kanan untuk memastikan tak ada seorangpun yang memperhatikan saat mereka melangkah kaki masuk ke salah satu ruangan kosong di gedung ini."Apa sih yang kamu lakukan?" Desis Aileen risih. Sedari tadi ia terus mengerutkan keningnya heran melihat tingkah Aira yang mengendap-endap, memperhatikan keadaan di sekelilingnya dengan waspada bak seorang detektif handal."Aku harus memastikan tidak ada orang yang melihat kita," balas Aira."Kita?" Dengus Aileen kasar."Eh …" Aira terkekeh geli menyadari kesalahannya. "Kamu, maksudku."Aileen memutar bola matanya. "Hentikan apa yang kamu lakukan," sergahnya. "Kamu membuat kepalaku pusing.""Bagaimana?" Alihnya pada ketiga hantu lain yang telah menunggu sambil memasang wajah bengong."Kalian berdua sangat kocak." Rachel terkikik geli. "Seperti duo pelawak."Mardiana menepuk pelan tangan Rachel, mencegahnya untuk meneruskan leluconnya.Aira mengernyit. "Apa ini semacam pujian?""Cukup bercanda nya, kita tidak punya banya