"Kamu yakin?"Daren menatap cemas saat Aileen melepas seatbelt dan menekan kunci pintu mobil."Aku udah merasa sehat kok," ujar Aileen yakin, demi mengurai raut cemas di balik wajah tampan yang tengah menatapnya lekat."Kenapa kamu harus ke cafe ini lagi? Bukankah kemarin pemiliknya sudah datang ke rumah?"Aileen mendesah dalam. "Itu 'lah masalahnya, aku tak bisa mengabaikan permintaan Vincent karena kemarin dia sudah menolong ku."Aira yang duduk di bangku belakang mengangguk setuju."Tapi kamu masih butuh istirahat. Biar aku yang bicara langsung dengannya." Daren melepas seatbelt lalu mengapai pintu tapi Aileen segera menghentikannya."Nggak usah." Tahan Aileen. "Aku bukan bocah yang butuh klarifikasi emak bapaknya," sergahnya setengah bercanda."Tapi Ai—""Tenang saja. Vincent tidak seburuk yang kelihatan kok," pungkas Aileen.Aileen dan Aira melompat turun dari Ferrari merah lalu melambaikan tangan. "Terima kasih untuk tumpangannya dan sampai nanti," pamitnya sebelum berlari masuk
"Ka—kamu bisa melihatku?"'Sial!' umpat Aileen dalam hati. Ia mengutuk kebodohannya yang dengan gamblang menunjukkan bahwa dia bisa melihat keberadaan mahkluk di hadapannya.Aileen mengangkat wajahnya perlahan sambil mengalihkan pandangan ke arah yang lain. Mencoba untuk mengaburkan sikap sebelumnya."Aku yakin, kamu bisa melihatku," seru wanita berwajah pucat, mengenakan gaun pengantin berbahan sutra bertahtakan mutiara dan kristal yang memancarkan aura mewah."Jauhkan tangan mu!" Sentak Aira. Ia bergerak cepat dan berdiri dihadapan Aileen, menghalangi tangan yang bergerak untuk menyentuh wanita itu. "Bodoh! Kenapa kamu malah mengaku!" Hardik Aileen gemas. "Aku sedang berakting, pura-pura tidak melihatnya.""Oh, benarkah?" Aira terkekeh konyol. "Kenapa kamu tidak bilang? Aku hanya takut dia menyakitimu."'Bagaimana aku mengatakannya?!' Aileen mengerang frustasi, mengacak poni lalu mendesis jengkel. "Apa yang kamu lakukan disini?" Alihnya pada wanita yang tengah menatapnya lekat da
"Dari mana saja kalian?"Aira tersentak kaget saat Vincent tiba-tiba muncul begitu mereka keluar dari toilet. Ia bersyukur karena Moana telah pergi terlebih dahulu sebelum laki-laki itu tiba."Boker," sahut Aileen. Ia mengibaskan tangannya dengan santai hingga sisa air memercik kesana-kemari."Apa di dalam nggak ada blower?" Sindir Vincent sambil mendesis jijik.Aileen melengos malas lalu melangkahkan kakinya menjauh, menyusuri lorong panjang sedangkan Aira menepuk pundak Vincent, menyemangatinya. "Kamu harus banyak bersabar. Itu belum semuanya, Aileen yang sesungguhnya jauh lebih menyebalkan."Vincent terkekeh geli. "Apa kamu ibunya?""Belakangan ini aku merasa beralih fungsi sebagai ibu sekaligus asistennya," ungkap Aira sambil tertawa kecil."Kalau begitu, kamu yang seharusnya lebih bersabar karena aku yakin, dia belum menunjukkan semuanya," balas Vincent sarkas.Keduanya saling bertukar tawa."Terus saja ngedumel di belakang ku," sindir Aileen dari kejauhan. Aira berlari kecil m
Aira celingukan ke kiri dan kanan untuk memastikan tak ada seorangpun yang memperhatikan saat mereka melangkah kaki masuk ke salah satu ruangan kosong di gedung ini."Apa sih yang kamu lakukan?" Desis Aileen risih. Sedari tadi ia terus mengerutkan keningnya heran melihat tingkah Aira yang mengendap-endap, memperhatikan keadaan di sekelilingnya dengan waspada bak seorang detektif handal."Aku harus memastikan tidak ada orang yang melihat kita," balas Aira."Kita?" Dengus Aileen kasar."Eh …" Aira terkekeh geli menyadari kesalahannya. "Kamu, maksudku."Aileen memutar bola matanya. "Hentikan apa yang kamu lakukan," sergahnya. "Kamu membuat kepalaku pusing.""Bagaimana?" Alihnya pada ketiga hantu lain yang telah menunggu sambil memasang wajah bengong."Kalian berdua sangat kocak." Rachel terkikik geli. "Seperti duo pelawak."Mardiana menepuk pelan tangan Rachel, mencegahnya untuk meneruskan leluconnya.Aira mengernyit. "Apa ini semacam pujian?""Cukup bercanda nya, kita tidak punya banya
"I—itu …" Rachel mengangkat telunjuknya ke arah pria yang mengenakan tuxedo. "Dia.""Papanya," ucap Rachel ke arah pria yang menggunakan tuxedo. "Papanya membayar orang untuk membunuh Moana agar putranya bisa menikah dengan putri dari rekan bisnisnya."Aileen melotot, mulutnya ternganga begitu mendengar pernyataan yang dilontarkan Rachel."Papanya?" Ulang Aileen untuk memastikan. "Kamu yakin?"Rachel mengangguk cepat. "Aku mendengar Papanya bicara dengan seorang pria berpakaian serba hitam di taman belakang.""Maaf, tapi bisakah kalian menjelaskan ini semua dengan akal sehat?" Hardik pria memakai tuxedo.Aileen berbalik menghadap Moana. "Apa kamu ingat apa yang terjadi sebelum kamu meninggal?" tuntutnya."A—aku tidak ingat jelas. Saat itu aku membuka pintu apartemen untuk menerima paket dan …" Moana tampak berpikir keras untuk kembali memanggil ingatannya yang samar-samar. "Ada tangan yang membekap mulutku dan tak lama semuanya menggelap, aku sempat melihat bayangan seseorang tapi itu
Bagas memeras handuk kecil di dalam baskom berisi air hangat dan meletakkannya di atas kening Aileen. Begitu mereka tiba di rumah, Bagas langsung memerintahkan Aileen menuju kamarnya untuk beristirahat sedangkan dia singgah ke dapur untuk membuka isi lemari pendingin, mencari sesuatu yang bisa di makan. Namun nihil, karena Mama sedang mengikuti Papa perjalanan dinas, otomatis tidak ada seorangpun di rumah ini yang berinisiatif untuk mengisi ulang bahan makanan di tempat penyimpanan.Akhirnya, Bagas memutuskan untuk pesan antar. Dia mengetuk pintu kamar Aileen untuk bertanya apa yang diinginkan wanita itu tapi setelah mengulang beberapa kali, tak ada sahutan dari dalam sehingga Bagas memutuskan untuk masuk."Tiga puluh sembilan," desah Bagas khawatir. Ia menatap termometer yang baru saja selesai mengukur suhu tubuh Aileen."Panas sekali," ucapnya sambil meletakkan tangan di atas kening yang suhunya cukup untuk menggoreng telur ceplok."Hmm …""Apa sangat sakit?" Gumam Bagas saat mend
"Bagas …" Derap langkah Cynthia ringan memasuki rumahnya. Ia meletakkan belasan paperbag di tangannya di atas meja dan berjalan menuju kamar putranya.Begitu pintu terbuka, ia tak menemukan Bagas."Gio, kata mu Bagas tidak masuk kantor hari ini?" tanyanya pada sang asisten yang menjemput di bandara dan mengantarkannya pulang."Iya, Bu Cynthia. Semalam Pak Bagas, meminta saya untuk menjemput Ibu di bandara pagi ini dan mengabarkan dia tidak masuk kantor untuk hari ini," jelas Gio yakin.'Lalu, kemana dia?' pikir Cynthia."Bagaimana dengan menu sarapan, Bu Cynthia? Apa mau saya minta chef restoran untuk mengirim makanan?"Cynthia mengangguk setuju lalu berbalik, menuju kamar lainnya yang berada di lantai yang sama."Apa Soraya masih disini?" tanyanya sambil lalu."Masih, Bu Cynthia. Tapi beberapa hari ini beliau jarang pulang," sahut Gio. Menjeda sejenak percakapannya melalui ponsel dengan chef restoran.Setelah mendengar jawaban asisten putranya, Cynthia memutar langkah menuju kamar ke
"Sayang, kamu ingin makan sesuatu? Biar Mama buatkan," tawar Cynthia.Aileen menggelengkan kepalanya pelan lalu memaksakan seulas senyum. Begitu membuka matanya, ia langsung dihadapkan dengan Cynthia yang menatapnya dengan raut wajah cemas."Ini aja cukup, Tante," ucap Aileen sambil mengaduk bubur hangat di hadapannya, yang mengepulkan aroma sedap.Cynthia mendesah pelan karena Aileen tetap saja bersikap canggung kala berada didekatnya."Bagas dan Gio harus ke kantor, mungkin mereka akan kembali saat waktu makan malam," jelasnya setelah menangkap gelagat Aileen yang tampak seolah mencari seseorang. Aileen mengangguk paham lalu kembali memaksa sesendok bubur melewati tenggorokannya yang perih hingga sulit untuk menelan apapun."Oh ya, Papa mengirim pesan untukmu." Cynthia menempelkan jari di ponselnya lalu membuka aplikasi pesan. Tak lama terdengar voicenote yang memperdengarkan suara yang bernada hampir sama dengan suara Bagas namun terdengar lebih berat."Beri dia banyak makanan seh